AQIDAH HTI
Hizbut Tahrir selama ini kita kenal sebagai organisasi yang gigih
memperjuangkan berdirinya khilafah islam. Jargon-jargon islam selalu
menyertai setiap gerakan mereka. Namun tidak banyak yang tahu
sesungguhnya di balik itu, mereka membawa paham keagamaan yang
bertentangan dengan Ahlussunnah wal jamaah, baik di bidang akidah maupun
syari’ah.
Di bidang akidah, mereka cenderung berpaham Qodariyah, paham yang menganggap manusia bisa menentukan sendiri keinginannya tanpa terikat ketentuan Allah. Berikut beberapa buktinya:
Ini jelas pendapat kaum Qodariyah yang menyimpang dari ajaran ahlussunnah wal jamaah karena bertentangan dengan ayat Al-Qur’an dan Hadits. Allah berfirman
Ibn Abbas RA berkata :
Bisa juga maksud Ibn Abbas dengan “kufur” di sini sebagai ‘warning’ bahwa hal itu mengarah pada kekafiran. Namun yang jelas mereka adalah ahli bid’ah.
Diriwayatkan pula dari Umar bin Abdul Aziz, Imam Malik bin Anas dan Imam Awza’i :
Ma’mar meriwayatkan dari Towus, dari bapaknya. Bahwa seseorang berkata kepada Ibnu Abbas: “Banyak orang mengatakan perbuatan buruk bukanlah qodar (kepastian) Allah SWT,” maka Ibnu Abbas menjawab: “Yang membedakan aku dan pengikut Qodariyah adalah Ayat ini:
Tak cukup itu, HIzbut Tahrir malah menuduh ahlussunnah sama dengan kelompok sesat Jabariyyah, tanpa menyertakan bukti yang memadai. Taqiyuddin menyatakan dalam kitab As-Syakhsiyyah Al-Islamiyah juz 1 hal. 73:
SYARIAH
Di bidang syari’ah, HTI tidak mau terikat kepada salah satu dari madzhab empat – Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali – dan lebih mendahulukan ijtihad mereka sendiri, mereka juga tidak mengakui ijma’ sebagai dasar hukum selain ijma’ sahabat. Berikut beberapa contoh fatwa nyleneh mereka.
Dalam kitab mereka, At-Tafkir hal. 149
Perkataan ini mengesankan terbukanya kemungkinan untuk berijtihad meskipun dengan modal pengetahuan yang sedikit.
DIALOG
Pada tanggal 23 – Sya’ban -1428H/ 5 – September – 2007M, beberapa pengurus PCNU kab. Pasuruan dan Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf selaku musytasyar PCNU Kab.Pasuruan berdialog dengan salah satu tokoh DPP HTI mewakili DPP HTI, di PP. Sunniyah Salafiyah Kraton, setelah membuat janji terlebih dahulu dengan DPP HTI. Dalam dialog tersebut jelas sekali perbedaan faham antara ahlussunnah wal jamaah dengan HTI, khususnya terkait masalah qodho’ dan qodar,
Tokoh HTI ini berterus terang mengakui secara lisan bahwa HTI memang tidak mengikuti rumusan Imam Asy’ari dan Imam Maturidi sebagaimana dianut ahlussunnah wal jama’ah. Rekaman dialog terdokumentasi dengan baik di Sunniyah Salafiyah
Alhasil, Hizbut Tahrir nyata-nyata berseberangan dengan Ahlussunnah. Pun demikian ini hanyalah sedikit dari penyimpangan mereka, masih banyak fakta-fakta yang belum terungkap.
Pertama, ideologi dan pola pikir HTI, berbeda dengan ideologi dan pola pikir mayoritas Muslim di Indonesia. Selama ini mayoritas Muslim di negeri ini memperjuangkan dan menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam ideologi dan mengikuti pola pikir bermadzhab dalam amaliyah sehari-hari. Sementara al-Nabhani –pendiri HTI- dalam kitab-kitab yang ditulisnya sebagai rujukan pergerakan HTI, memiliki pandangan yang berbeda. Dalam ideologi tidak menganut Ahlussunnah, dalam furu’ tidak bermadzhab. Perbedaan ideologi dan pola pikir HTI dengan mayoritas Muslim lain di negeri ini sudah barang tentu akan membuat perpecahan baru di kalangan Muslim antara HTI dengan yang lain, sehingga bukan mempermudah tegaknya khilafah dan kesatuan umat, tetapi akan menggerus ukhuwah Islamiyah sesama Muslim. Dengan pola pikir anti madzhab ala HT, akan dapat pula memutus hubungan kaum Muslimin dengan pendahulunya yang bermadzhab pada saat-saat khilafah masih ditegakkan.
Kedua, sejak dulu kala kaum Muslim Indonesia meyakini bahwa rukun iman jumlahnya ada enam. Yaitu mempercayai adanya Allah, Malaikat, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, hari pembalasan dan qadar (kepastian) Allah, yang baik dan yang buruk. Tetapi HTI, sebagaimana ditegaskan oleh al-Nahbani dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (1/43), meyakini bahwa rukun iman seorang Muslim hanya ada lima, yaitu selain qadha’ dan qadar Allah.
Ketiga, Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini dan mengikuti metodologi ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dianggap mutasyabihat. Penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat ini telah diajarkan oleh sahabat dan ulama salaf yang saleh seperti Ibn Abbas, Sufyan al-Tsauri, al-Bukhari, Ahmad bin Hanbal, al-Thabari, Ibn Hibban dan lain-lain. Sementara al-Nabhani dalam kitab al-Syakhshiyyah (1/53) berpandangan, bahwa ta’wil itu sebenarnya berasal dari ahli kalam sejak awal abad keempat Hijriah, bukan dari ulama salaf yang saleh. Sudah barang tentu, pernyataan al-Nabhani ini murni kebohongan dan pemalsuan yang tidak selayaknya dimiliki oleh kaum yang mengklaim bercita-cita mendirikan negara Islam atas nama khilafah. Pantaskah kelompok yang mengklaim menegakkan khilafah Islamiyah berbohong?
Keempat, al-Nabhani dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (1/70) berpandangan bahwa seluruh ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah sejak dulu hingga sekarang telah gagal alias tersesat dan menyesatkan umat dalam menjelaskan persoalan qadha’ dan qadar, sehingga al-Nabhani menilai Ahlussunnah Wal-Jama’ah itu sebenarnya aliran Jabariyah. Pernyataan al-Nabhani yang secara terus terang menohok seluruh ulama panutan umat ini sangat tidak pantas dan tidak layak diikuti. Pernyataan tersebut menggambarkan kesombongan al-Nabhani, yang beranggapan dirinya lebih pandai dan lebih alim daripada seluruh ulama yang ada sebelumnya. Bahkan ia menganggap seluruh ulama telah tersesat. Padahal berdasarkan ijma’ ulama, orang yang berpandangan dengan suatu pendapat yang berimplikasi pada penilaian sesat terhadap seluruh umat adalah kafir secara definitif. Na’udzu billah min dzalik.
Kelima, al-Nabhani (1/74) berpandangan bahwa pemaknaan qadha’ dan qadar seperti yang terdapat dalam seluruh kitab Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah nihil dan dibuat-buat oleh ahli teolog (mutakallimin). Pernyataan al-Nabhani ini termasuk kebohongan murahan, karena para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah memberikan pemaknaan qadha’ dan qadar dalam kitab-kitab mereka didasarkan pada dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Justru pernyataan al-Nabhani yang membebek terhadap Mu’tazilah, yang anti qadha’ dan qadar, telah keluar dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hadits riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, al-Hakim dan lain-lain disebutkan, al-Qadariyyah Majus Hadzihi al-Ummah (kelompok Qadariyah –aliah Mu’tazilah dan HT-, adalah sama dengan penganut Majusi dalam umat ini).
Keenam, al-Nabhani dan petinggi-petinggi HT yang lain, tidak jarang mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial dan melenceng dari ajaran Islam, seperti fatwa bolehnya berjabatan tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan istri dan bukan mahram. Sudah barang tentu fatwa ini tidak akan memudahkan tegaknya syariat Islam, bahkan menjadi jalan mulusnya dekadensi moral pemuda Muslim yang semakin hari memang semakin jauh dari nilai-nilai agama akibat serangan budaya Barat yang menerjang negara-negara Muslim. Bahkan lebih jauh lagi, sebagian petinggi HT ada yang berfatwa bolehnya ciuman laki-laki dengan perempuan bukan istri dan bukan mahram, seperti dalam selebaran yang pernah disebarkan HT di Lebanon pada awal-awal berdirinya HT.
Demikian beberapa contoh pandangan-pandangan kontroversial al-Nabhani dan HT yang berbeda dengan ideologi dan ajaran kaum Muslimin di dunia. Hal tersebut harus menjadi pertimbangan bagi saudara-saudara Muslim yang masih aktif di HTI, agar segera bertaubat, keluar dari HTI dan kembali ke pangkuan ajaran Islam yang benar, agar tidak termasuk, “orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahf:104). A
Organisasi Hizbuttahrir didirikan pada tahun1953 di Jerussalem oleh Taqiyuddin An-Nabhani (penting dicatat, ini bukan Syeh Yusuf Annabhani, ulama’ sunni yang terkenal itu)AQIDAH
Taqiyuddin dibantu para koleganya yang telah memisahkan diri dari organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir. An-Nabhani adalah lulusan Al-Azhar Mesir yang berprofesi sebagai guru sekolah agama dan hakim. Ia berasal dari Ijzim Palestina Utara.
Di bidang akidah, mereka cenderung berpaham Qodariyah, paham yang menganggap manusia bisa menentukan sendiri keinginannya tanpa terikat ketentuan Allah. Berikut beberapa buktinya:
- Dalam kitab As-Syakhshiyah Al-Islamiyah juz I bab Al qadha’ wal qodar (cet. Darul Ummah hal 94-95) Taqiyuddin berkata:
«وهذه الأفعال ـ أي أفعال الإنسان ـ لا دخل لها بالقضاء ولا دخل للقضاء بها، لأن الإنسان هو الذي قام بها بإرادته واختياره، وعلى ذلك فإن الأفعال الاختيارية لا تدخل تحت القضاء» اهـ الشخصية الإسلامية الجزء الأول باب القضاء والقدر: ص94 ـ 95
“Segala perbuatan manusia tidak terkait dengan Qadla (kepastian) Allah. Karena setiap manusia dapat menentukan kemauan dan keinginannya sendiri. Maka semua perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan dan kehendak manusia tidak masuk dalam Qadla.”- Pada As-Syakhshiyah Al-Islamiyah juz I bab Alhuda wad Dlolal (cet. Darul Ummah hal 98) penulis menyatakan
«فتعليق المثوبة أو العقوبة بالهدى والضلال يدل على أن الهداية والضلال هما من فعل الإنسان وليسا من الله» اهـ (الشخصية الإسلامية الجزء الأول : باب الهدى والضلال ص 98)
“Jadi mengaitkan adanya pahala sebagai balasan bagi kebaikan dan siksa sebagai balasan dari kesesatan, menunjukkan bahwa petunjuk dan kesesatan adalah murni perbuatan manusia itu sendiri, bukan berasal dari Allah.”Ini jelas pendapat kaum Qodariyah yang menyimpang dari ajaran ahlussunnah wal jamaah karena bertentangan dengan ayat Al-Qur’an dan Hadits. Allah berfirman
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Allah menciptakan kalian dan Allah menciptakan perbuatan kalian” (QS As Shaffat :96)Ibn Abbas RA berkata :
«إن كلام القدرية كفر»
“Sesungguhnya perkataan kaum Qodariyah adalah kufur”.Bisa juga maksud Ibn Abbas dengan “kufur” di sini sebagai ‘warning’ bahwa hal itu mengarah pada kekafiran. Namun yang jelas mereka adalah ahli bid’ah.
Diriwayatkan pula dari Umar bin Abdul Aziz, Imam Malik bin Anas dan Imam Awza’i :
«انهم يستتابون فإن تابوا وإلا قُتلوا»
“Sesungguhnya mereka (kaum Qodariyah ) diminta untuk bertaubat, jika menolak maka mereka dibunuh.”Ma’mar meriwayatkan dari Towus, dari bapaknya. Bahwa seseorang berkata kepada Ibnu Abbas: “Banyak orang mengatakan perbuatan buruk bukanlah qodar (kepastian) Allah SWT,” maka Ibnu Abbas menjawab: “Yang membedakan aku dan pengikut Qodariyah adalah Ayat ini:
قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ -الأنعام/149
“Katakan! Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat, maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya. “QS.Al-An’am: 149.”Tak cukup itu, HIzbut Tahrir malah menuduh ahlussunnah sama dengan kelompok sesat Jabariyyah, tanpa menyertakan bukti yang memadai. Taqiyuddin menyatakan dalam kitab As-Syakhsiyyah Al-Islamiyah juz 1 hal. 73:
والحقيقة هو ان رأيهم _ اي اهل السنة_ورأي الجبرية واحد فهم جبريون
Pada hakikatnya, pendapat mereka – ahlussunnah wal jama’ah – dan pendapat jabariyah adalah satu, maka mereka adalah termasuk kelompok jabariyah”.SYARIAH
Di bidang syari’ah, HTI tidak mau terikat kepada salah satu dari madzhab empat – Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali – dan lebih mendahulukan ijtihad mereka sendiri, mereka juga tidak mengakui ijma’ sebagai dasar hukum selain ijma’ sahabat. Berikut beberapa contoh fatwa nyleneh mereka.
Dalam kitab mereka, At-Tafkir hal. 149
متى أصبح قادرًا على الاستنباط فإنه حينئذ يكون مجتهدًا، ولذلك فإن الاستنباط أو الاجتهاد ممكن لجميع الناس، وميسر لجميع الناس ولا سيما بعد أن أصبح بين أيدي الناس كتب في اللغة العربية والشرع الإسلامي ، – كتاب التفكير ص/149
” Sesungguhnya apabila seseorang mampu menggali hukum dari sumbernya, maka telah menjadi mujtahid. Oleh karenanya, maka menggali hukum atau ijtihad dimungkinkan bagi siapa pun, dan mudah bagi siapa pun, apalagi setelah mempunyai kitab lughot ( tata bahasa arab ) dan fiqh islam.”Perkataan ini mengesankan terbukanya kemungkinan untuk berijtihad meskipun dengan modal pengetahuan yang sedikit.
DIALOG
Pada tanggal 23 – Sya’ban -1428H/ 5 – September – 2007M, beberapa pengurus PCNU kab. Pasuruan dan Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf selaku musytasyar PCNU Kab.Pasuruan berdialog dengan salah satu tokoh DPP HTI mewakili DPP HTI, di PP. Sunniyah Salafiyah Kraton, setelah membuat janji terlebih dahulu dengan DPP HTI. Dalam dialog tersebut jelas sekali perbedaan faham antara ahlussunnah wal jamaah dengan HTI, khususnya terkait masalah qodho’ dan qodar,
Tokoh HTI ini berterus terang mengakui secara lisan bahwa HTI memang tidak mengikuti rumusan Imam Asy’ari dan Imam Maturidi sebagaimana dianut ahlussunnah wal jama’ah. Rekaman dialog terdokumentasi dengan baik di Sunniyah Salafiyah
Alhasil, Hizbut Tahrir nyata-nyata berseberangan dengan Ahlussunnah. Pun demikian ini hanyalah sedikit dari penyimpangan mereka, masih banyak fakta-fakta yang belum terungkap.
Pertama, ideologi dan pola pikir HTI, berbeda dengan ideologi dan pola pikir mayoritas Muslim di Indonesia. Selama ini mayoritas Muslim di negeri ini memperjuangkan dan menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam ideologi dan mengikuti pola pikir bermadzhab dalam amaliyah sehari-hari. Sementara al-Nabhani –pendiri HTI- dalam kitab-kitab yang ditulisnya sebagai rujukan pergerakan HTI, memiliki pandangan yang berbeda. Dalam ideologi tidak menganut Ahlussunnah, dalam furu’ tidak bermadzhab. Perbedaan ideologi dan pola pikir HTI dengan mayoritas Muslim lain di negeri ini sudah barang tentu akan membuat perpecahan baru di kalangan Muslim antara HTI dengan yang lain, sehingga bukan mempermudah tegaknya khilafah dan kesatuan umat, tetapi akan menggerus ukhuwah Islamiyah sesama Muslim. Dengan pola pikir anti madzhab ala HT, akan dapat pula memutus hubungan kaum Muslimin dengan pendahulunya yang bermadzhab pada saat-saat khilafah masih ditegakkan.
Kedua, sejak dulu kala kaum Muslim Indonesia meyakini bahwa rukun iman jumlahnya ada enam. Yaitu mempercayai adanya Allah, Malaikat, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, hari pembalasan dan qadar (kepastian) Allah, yang baik dan yang buruk. Tetapi HTI, sebagaimana ditegaskan oleh al-Nahbani dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (1/43), meyakini bahwa rukun iman seorang Muslim hanya ada lima, yaitu selain qadha’ dan qadar Allah.
Ketiga, Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini dan mengikuti metodologi ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dianggap mutasyabihat. Penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat ini telah diajarkan oleh sahabat dan ulama salaf yang saleh seperti Ibn Abbas, Sufyan al-Tsauri, al-Bukhari, Ahmad bin Hanbal, al-Thabari, Ibn Hibban dan lain-lain. Sementara al-Nabhani dalam kitab al-Syakhshiyyah (1/53) berpandangan, bahwa ta’wil itu sebenarnya berasal dari ahli kalam sejak awal abad keempat Hijriah, bukan dari ulama salaf yang saleh. Sudah barang tentu, pernyataan al-Nabhani ini murni kebohongan dan pemalsuan yang tidak selayaknya dimiliki oleh kaum yang mengklaim bercita-cita mendirikan negara Islam atas nama khilafah. Pantaskah kelompok yang mengklaim menegakkan khilafah Islamiyah berbohong?
Keempat, al-Nabhani dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (1/70) berpandangan bahwa seluruh ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah sejak dulu hingga sekarang telah gagal alias tersesat dan menyesatkan umat dalam menjelaskan persoalan qadha’ dan qadar, sehingga al-Nabhani menilai Ahlussunnah Wal-Jama’ah itu sebenarnya aliran Jabariyah. Pernyataan al-Nabhani yang secara terus terang menohok seluruh ulama panutan umat ini sangat tidak pantas dan tidak layak diikuti. Pernyataan tersebut menggambarkan kesombongan al-Nabhani, yang beranggapan dirinya lebih pandai dan lebih alim daripada seluruh ulama yang ada sebelumnya. Bahkan ia menganggap seluruh ulama telah tersesat. Padahal berdasarkan ijma’ ulama, orang yang berpandangan dengan suatu pendapat yang berimplikasi pada penilaian sesat terhadap seluruh umat adalah kafir secara definitif. Na’udzu billah min dzalik.
Kelima, al-Nabhani (1/74) berpandangan bahwa pemaknaan qadha’ dan qadar seperti yang terdapat dalam seluruh kitab Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah nihil dan dibuat-buat oleh ahli teolog (mutakallimin). Pernyataan al-Nabhani ini termasuk kebohongan murahan, karena para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah memberikan pemaknaan qadha’ dan qadar dalam kitab-kitab mereka didasarkan pada dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Justru pernyataan al-Nabhani yang membebek terhadap Mu’tazilah, yang anti qadha’ dan qadar, telah keluar dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hadits riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, al-Hakim dan lain-lain disebutkan, al-Qadariyyah Majus Hadzihi al-Ummah (kelompok Qadariyah –aliah Mu’tazilah dan HT-, adalah sama dengan penganut Majusi dalam umat ini).
Keenam, al-Nabhani dan petinggi-petinggi HT yang lain, tidak jarang mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial dan melenceng dari ajaran Islam, seperti fatwa bolehnya berjabatan tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan istri dan bukan mahram. Sudah barang tentu fatwa ini tidak akan memudahkan tegaknya syariat Islam, bahkan menjadi jalan mulusnya dekadensi moral pemuda Muslim yang semakin hari memang semakin jauh dari nilai-nilai agama akibat serangan budaya Barat yang menerjang negara-negara Muslim. Bahkan lebih jauh lagi, sebagian petinggi HT ada yang berfatwa bolehnya ciuman laki-laki dengan perempuan bukan istri dan bukan mahram, seperti dalam selebaran yang pernah disebarkan HT di Lebanon pada awal-awal berdirinya HT.
Demikian beberapa contoh pandangan-pandangan kontroversial al-Nabhani dan HT yang berbeda dengan ideologi dan ajaran kaum Muslimin di dunia. Hal tersebut harus menjadi pertimbangan bagi saudara-saudara Muslim yang masih aktif di HTI, agar segera bertaubat, keluar dari HTI dan kembali ke pangkuan ajaran Islam yang benar, agar tidak termasuk, “orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahf:104). A
Post a Comment