AKANKAH INDONESIA KEMBALI KEPELUKAN IBU PERTIWI
Komoditas Tambang Indonesia
Para pejabat dan politikus (tikus) negeri ini sudah tidak punya rasa
nasionalisme untuk menjaga kepentingan nasional. Komuditas tambang
dihambur hambur dalam bentuk barang mentah demi dollar (export), yang
dollar hasil export itu juga tidak sampai ke Indonesia . Kebijakan tolol
ini mirip dengan kebijakan DEVISA BEBAS LEPAS yang dianut oleh para
petinggi keuangan atau teknokrat keuangan negeri ini. Mereka seperti
mati matian mempertahankan kebijakan tolol dan tidak membela kepentingan
nasional ini. Padahal nilai mata uang rupiah sudah terpuruk abis
dipermainkan oleh para spekulan yang membawa ” hot money”. Negeri ini
dibawah kendali elit dan tikus ini memang bisa sebentar lagi karam..
Ini 5 Komoditas Tambang Indonesia yang Paling Vital
Jakarta -Indonesia terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya, namun sebagian besar produksi mineral tambangnya diekspor mentah-mentah.
Ada 5 komoditas mineral tambang yang harus segera diselamatkan Indonesia. Komoditas itu dinilai mampu mencukupi dan menghidupi negara ini secara mandiri.
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM R. Sukhyar mengatakan setidaknya ada 5 komoditas yang harus diselamatkan Indonesia, sehingga mampu mengolah sendiri komoditi tersebut sehingga mendapatkan benefit dan value addict.
"Saya katakan ada lima komoditas yang harus diselamatkan Indonesia, yakni nickel ore (bijih nikel), bauksit, tembaga, iron ore (bijih besi), dan batubara," ujar Sukhyar ditemui di 13th ASEAN Senior Official Meeting on Minerals, Nusa Dua, Bali, Rabu (27/11/2013).
Sukhyar mengungkapkan lima komoditas tambang ini sangat banyak ditemukan di Indonesia, dan dapat menghidupkan industri hilir dan bahkan dapat mencukupi kebutuhan energi listirk untuk menerangi 100% masyarakat Indonesia.
"5 komoditas itu banyak di Indonesia, artinya kalau kita menghidupkan industri hilir kita cukup dari sana, cukup strong kita, makanya itu harus ada hilirisasi. Hilirisasinya harus benar, artinya kita nggak bergantung dari mana-mana karena ada di sini (industri hilirnya), tapi saat ini kita malah menghidupi industri orang lain," katanya.
"Sekarang energi yang sudah siap dari 5 komoditas tersebut adalah batubara. Kalau kita membutuhkan 5.000 megawatt (MW) per tahun untuk mencapai elektrifikasi 100% dan ditambah 9% permintaan listrik per tahun itu sangat cukup hanya mengandalkan batubara, ya bukan berarti energi baru terbarukan tidak ada, tapi lebih cepat dari batubara," tutupnya.
1. Batubara
Sukhyar menyebutkan Indonesia memiliki cadangan batubara mencapai 26 miliar ton.
"Kita punya 26 miliar ton batubara, itu proven atau possible resources, sebagian besar ada berada di underground, tapi underground ini belum banyak terekspose karena sebagian besar saat ini sebagian besar tambang batubara dilakukan melalui open pit (tambang terbuka), sedangkan sekitar 2 miliar ton berada di hutan lindung," kata Sukhyar.
Pemerintah segera memberlakukan pelarangan ekspor mineral mentah pada 12 Januari 2014. Hal ini perlu didukung karena jangan sampai Indonesia kena kutukan negara kaya energi dan sumber daya alam tapi miskin terus.
"Pelarangan ekspor mineral mentah bertujuan untuk mendapatkan value addict (nilai tambah), produksi mineral mentah akan memberikan banyak manfaat jika kita mengolahnya sendiri, tidak mentah-mentah diekspor dan diolah negara lain dan kita sendiri yang impor barang yang sebenarnya dasarnya dari Indonesia," ujar R. Sukhyar.
Sukhyar mengungkapkan, Indonesia baru akan mengolah sendiri mineral mentahnya, negara-negara lain justru sudah sejak lama menerapkan kebijakan ini.
"Untuk value addict sudah menjadi isu global, sepuluh tahun terakhir 20 negara telah memperbaiki undang-undang mereka, semua negara memperbaiki kebijakannya, salah satunya meningkatkan peran state owned company-nya, meningkatkan manfaat tax, ingat Obama (Barack, Presiden Amerika Serikat) saja menerapkan tambahan royalti kok untuk material building non logam, tujuannya bagaimana cara meningkatkan benefit," jelasnya.
Sukhyar menegaskan jangan sampai Indonesia terkena kutukan sebagai negara yang kaya akan hasil sumber daya alam baik minyak, mineral tambang dan lainnya namun tetap miskin.
"Negara yang tidak punya sumber daya alam justru maju, mereka berhasil memanfaatkan bahan dasar dari negara pemilik SDA, mereka olah, kemudian dijual kembali dengan harga yang tentu jauh lebih mahal," ungkapnya.
"Kalau kita tidak punya dana untuk mengolah sendiri mineral mentah, kita undang saja investor negara maju, untuk olah mineral mentah kita tapi tentunya di Indonesia, sehingga ada investasi di Indonesia, ada penyerapan tenaga kerja dan ada transfer ilmu dan teknologi," katanya.
"Kita punya 26 miliar ton batubara, itu proven atau possible resources, sebagian besar ada berada di underground, tapi underground ini belum banyak terekspose karena sebagian besar saat ini sebagian besar tambang batubara dilakukan melalui open pit (tambang terbuka), sedangkan sekitar 2 miliar ton berada di hutan lindung," kata Sukhyar.
Pemerintah segera memberlakukan pelarangan ekspor mineral mentah pada 12 Januari 2014. Hal ini perlu didukung karena jangan sampai Indonesia kena kutukan negara kaya energi dan sumber daya alam tapi miskin terus.
"Pelarangan ekspor mineral mentah bertujuan untuk mendapatkan value addict (nilai tambah), produksi mineral mentah akan memberikan banyak manfaat jika kita mengolahnya sendiri, tidak mentah-mentah diekspor dan diolah negara lain dan kita sendiri yang impor barang yang sebenarnya dasarnya dari Indonesia," ujar R. Sukhyar.
Sukhyar mengungkapkan, Indonesia baru akan mengolah sendiri mineral mentahnya, negara-negara lain justru sudah sejak lama menerapkan kebijakan ini.
"Untuk value addict sudah menjadi isu global, sepuluh tahun terakhir 20 negara telah memperbaiki undang-undang mereka, semua negara memperbaiki kebijakannya, salah satunya meningkatkan peran state owned company-nya, meningkatkan manfaat tax, ingat Obama (Barack, Presiden Amerika Serikat) saja menerapkan tambahan royalti kok untuk material building non logam, tujuannya bagaimana cara meningkatkan benefit," jelasnya.
Sukhyar menegaskan jangan sampai Indonesia terkena kutukan sebagai negara yang kaya akan hasil sumber daya alam baik minyak, mineral tambang dan lainnya namun tetap miskin.
"Negara yang tidak punya sumber daya alam justru maju, mereka berhasil memanfaatkan bahan dasar dari negara pemilik SDA, mereka olah, kemudian dijual kembali dengan harga yang tentu jauh lebih mahal," ungkapnya.
"Kalau kita tidak punya dana untuk mengolah sendiri mineral mentah, kita undang saja investor negara maju, untuk olah mineral mentah kita tapi tentunya di Indonesia, sehingga ada investasi di Indonesia, ada penyerapan tenaga kerja dan ada transfer ilmu dan teknologi," katanya.
2. Tembaga
Indonesia berdasarkan data Badan Geologi Kementerian
ESDM tahun 2012 memiliki tembaga terukur berupa besi sebanyak 6,031
miliar ton dan 32 juta ton berupa logam.
Indonesia saat ini berupaya untuk menerapkan pelarangan ekspor raw materials (mineral mentah), tujuannya agar industri hilir di Indonesia berkembang, diharapkan dengan berkembangnya industri hilir, Indonesia bisa mengolah sendiri mineral tambang mentahnya.
Sukhyar mengungkapkan, pelarangan ekspor mineral mentah merupakan gejala global, banyak negara yang melakukan ketentuan tersebut.
"Ini gejala global, semua negara melakukan itu, tidak hanya Myanmar dan Laos saja, tapi negara-negara di Afrika juga, kan poinnya negara-negara yang kaya resources pasti terbelakang, lalu muncul lah sebutan resources curse (kutukan sumber daya alam), jadi bagaimana semuannya fair business," ucapnya.
Sukhyar mencontohkan saat ini Indonesia mengekspor nickel ore ke China, sementara oleh China diolah menjadi stainless steel.
"Sementara stainless steel-nya kita beli dari China, kenapa bukannya diolah di sini (Indonesia) saja. Ini yang kita harapkan ada kerjasama antara negara-negara ASEAN, mbok China jangan hanya serap nickel ore, mbok dia (China) investasi di Indonesia," tegasnya.
Indonesia saat ini berencana melarang ekspor mineral mentahnya pada 12 Januari 2014 sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Namun rencana pelarangan ekspor ini mendapat tentangan berbagai pihak terutama dari perusahaan mineral tambang yang beroperasi di Indonesia dengan alasan akan mengakibatkan penerimaan negara turun, banyaknya pemutusan tenaga kerja, mengakibatkan dua daerah akan bangkrut dan dampak lainnya lagi.
Indonesia saat ini berupaya untuk menerapkan pelarangan ekspor raw materials (mineral mentah), tujuannya agar industri hilir di Indonesia berkembang, diharapkan dengan berkembangnya industri hilir, Indonesia bisa mengolah sendiri mineral tambang mentahnya.
Sukhyar mengungkapkan, pelarangan ekspor mineral mentah merupakan gejala global, banyak negara yang melakukan ketentuan tersebut.
"Ini gejala global, semua negara melakukan itu, tidak hanya Myanmar dan Laos saja, tapi negara-negara di Afrika juga, kan poinnya negara-negara yang kaya resources pasti terbelakang, lalu muncul lah sebutan resources curse (kutukan sumber daya alam), jadi bagaimana semuannya fair business," ucapnya.
Sukhyar mencontohkan saat ini Indonesia mengekspor nickel ore ke China, sementara oleh China diolah menjadi stainless steel.
"Sementara stainless steel-nya kita beli dari China, kenapa bukannya diolah di sini (Indonesia) saja. Ini yang kita harapkan ada kerjasama antara negara-negara ASEAN, mbok China jangan hanya serap nickel ore, mbok dia (China) investasi di Indonesia," tegasnya.
Indonesia saat ini berencana melarang ekspor mineral mentahnya pada 12 Januari 2014 sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Namun rencana pelarangan ekspor ini mendapat tentangan berbagai pihak terutama dari perusahaan mineral tambang yang beroperasi di Indonesia dengan alasan akan mengakibatkan penerimaan negara turun, banyaknya pemutusan tenaga kerja, mengakibatkan dua daerah akan bangkrut dan dampak lainnya lagi.
3. Bauksit
Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2012 Indonesia memiliki cadangan bauksit terukur berupa biji sebanyak 340 juta ton dan berupa logam sebanyak 161 juta ton.4. Nikel
Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2012 Indonesia mempunya sumber daya berupa nikel mencapai 1,091 miliar ton dalam bentuk bijih dan 15 juta ton berupa logam.
5. Bijih Besi
Salah satu komoditas yang wajib diselamatkan Indonesia adalah pasir besi. Pada 2012 berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM, memiliki pasir besi terukur sebanyak 46 juta ton dalam bentuk bijih dan 9 juta ton dalam bentuk logam.Diperkirakan Indonesia mempunyai potensi pasir besi sebanyak 182 juta ton berupa bijih dan 63 juta ton berupa logam.
Sukhyar mengungkapkan lima komoditas tambang ini sangat banyak ditemukan di Indonesia, dan dapat menghidupkan industri hilir dan bahkan dapat mencukupi kebutuhan energi listirk untuk menerangi 100% masyarakat Indonesia.
"Lima komoditas itu banyak di Indonesia, artinya kalau kita menghidupkan industri hilir kita cukup dari sana, cukup strong kita, makanya itu harus ada hilirisasi. Hilirisasinya harus benar, artinya kita nggak bergantung dari mana-mana karena ada di sini (industri hilirnya), tapi saat ini kita malah menghidupi industri orang lain," katanya.
"Sekarang energi yang sudah siap dari 5 komoditas tersebut adalah batubara. Kalau kita membutuhkan 5.000 megawatt (MW) per tahun untuk mencapai elektrifikasi 100% dan ditambah 9% permintaan listrik per tahun itu sangat cukup hanya mengandalkan batubara, ya bukan berarti energi baru terbarukan tidak ada, tapi lebih cepat dari batubara," tutupnya.
Sunber:
Ini 5 Komoditas Tambang Indonesia yang Paling Vital
50 Tahun Disedot Asing, Akhirnya Blok Minyak Ini ke Pelukan Pertamina
Nusa Dua -Kementerian ESDM telah memutuskan memberikan 2 blok minyak di Indonesia kepada PT Pertamina (Persero). Dua blok minyak telah habis masa kontraknya pada 27 November 2013.
Satu dari dua blok minyak ini telah digarap oleh perusahaan asing selama 50 tahun.
"Tepat tadi malam pukul 00.00 WIB, 2 blok minyak kontraknya berakhir, pertama Blok Siak yang dikelola oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) selama 50 tahun, dan Blok Kampar yang dikelola PT Medco Energy," kata Jero ditemui pada acara 4th ASEAN Ministerial Meeting On Minerals (AMMIN) and Associated Meetings, Nusa Dua, Bali, Kamis (28/11/2013).
Jero mengatakkan, setelah dilakukan evaluasi dan berdiskusi dengan SKK Migas, Pertamina, Chevron, serta Medco, akhirnya diputuskan kedua blok tersebut tidak diperpanjang.
"Setelah kita diskusi dengan SKK Migas, ada Pertamina juga, ada Medco juga dan ada Chevron, diambil keputusan pengelolaan blok tersebut tidak diperpanjang, kedua blok minyak tersebut diserahkan kepada PT Pertamina," tegasnya.
Namun karena Pertamina sendiri tidak bisa langsung otomatis mengoperasikan kedua blok tersebut, diputuskan untuk sementara kedua blok tersebut tetap dioperasikan oleh perusahaan sebelumnya, sambil menunggu masa transisi.
"Tidak mungkin langsung dikelola Pertamina, Pertamina juga mengakui itu, makanya ada masa transisi, maksimum 6 bulan, kalau bisa lebih cepat 3 bulan ya nggak masalah. Masa transisi ini penting karena jika langsung mendadak akan mengancam produksi minyak dari Blok Siak sebesar 4.000 barel per hari dan Blok Kampar sebesar 3.000 barel per hari," ungkapnya
Jero juga mengatakan, khusus untuk pengelolaan Blok Kampar, Medco akan
mendapatkan komisi atau imbalan dari pengelolaan blok untuk sementara,
selama menunggu masa transisi.
"Medco inikan lebih gampang, dia juga perusahaan nasional, jadi dia nanti dapat fee (imbalan) untuk mengoperasikan sementara waktu blok tersebut, dalam fee tersebut Medco juga bisa mengandeng pihak swasta dan daerah," katanya.
Pemutusan kontrak Blok Siak yang sudah dioperasikan pihak Chevron selama 50 tahun ini telah dibicarakan dengan baik-baik.
"Kita sudah bicara baik-baik dengan Chevron, nggak boleh jelek, kita tetap ingin kerjasama terus, apalagi kan Chevron juga masih ada ladang minyak yang lain, ini seperti suami-istri kerjasama selama 50 tahun kemudian berpisah, tentu harus baik-baik," kata Jero.
"Medco inikan lebih gampang, dia juga perusahaan nasional, jadi dia nanti dapat fee (imbalan) untuk mengoperasikan sementara waktu blok tersebut, dalam fee tersebut Medco juga bisa mengandeng pihak swasta dan daerah," katanya.
Pemutusan kontrak Blok Siak yang sudah dioperasikan pihak Chevron selama 50 tahun ini telah dibicarakan dengan baik-baik.
"Kita sudah bicara baik-baik dengan Chevron, nggak boleh jelek, kita tetap ingin kerjasama terus, apalagi kan Chevron juga masih ada ladang minyak yang lain, ini seperti suami-istri kerjasama selama 50 tahun kemudian berpisah, tentu harus baik-baik," kata Jero.
Sumber:
50 Tahun Disedot Asing, Akhirnya Blok Minyak Ini ke Pelukan Pertamina
Jero: Kalau Kita Punya 3 Kilang Minyak Baru, Tak Ada Lagi Impor
Nusa Dua -Neraca perdagangan Indonesia mengalami
defisit yang salah satunya dipicu tingginya impor minyak. Bila saja
Indonesia mempunyai 3 kilang minyak baru, maka tidak akan ada lagi impor
minyak.
Hal tersebut seperti diungkapkan Menteri ESDM Jero Wacik ditemui pada acara 4th ASEAN Ministerial Meeting on Minerals (AMMIN) and Associated Meetings di Nusa Dua, Bali, Kamis (28/11/2013).
"Kita itu sudah punya rencana bangun kilang minyak sebanyak 3 kilang, kapasitasnya 300.000 barel per hari, jadi kalau ada 3 x 300.000 barel per hari, maka kita akan punya tambahan produksi BBM sebanyak 900.000 barel per hari," ujar Jero.
Rencana awal 3 kilang tersebut harusnya selesai pada 2018, namun hingga saat ini belum ada satupun kilang yang dibangun.
"Kalau selesainya 2018 itu Menteri ESDM-nya pasti ongkang-ongkang kaki, tenang dia, karena nggak ada lagi kita impor-impor minyak," ucapnya.
Jero sendiri tidak mengerti mengapa pembangunan kilang di Indonesia banyak sekali hambatannya.
"Kita itu terlalu banyak berdebat, kalau saya yang, sudah dari kemarin bikin kilang, kalau urusannya tax holiday dan lainnya itu bukan urusan saya, saya sebagai Menteri ESDM sudah setuju bangun kilang, kita itu terlalu banyak dibahas," ujar Jero.
Hal tersebut seperti diungkapkan Menteri ESDM Jero Wacik ditemui pada acara 4th ASEAN Ministerial Meeting on Minerals (AMMIN) and Associated Meetings di Nusa Dua, Bali, Kamis (28/11/2013).
"Kita itu sudah punya rencana bangun kilang minyak sebanyak 3 kilang, kapasitasnya 300.000 barel per hari, jadi kalau ada 3 x 300.000 barel per hari, maka kita akan punya tambahan produksi BBM sebanyak 900.000 barel per hari," ujar Jero.
Rencana awal 3 kilang tersebut harusnya selesai pada 2018, namun hingga saat ini belum ada satupun kilang yang dibangun.
"Kalau selesainya 2018 itu Menteri ESDM-nya pasti ongkang-ongkang kaki, tenang dia, karena nggak ada lagi kita impor-impor minyak," ucapnya.
Jero sendiri tidak mengerti mengapa pembangunan kilang di Indonesia banyak sekali hambatannya.
"Kita itu terlalu banyak berdebat, kalau saya yang, sudah dari kemarin bikin kilang, kalau urusannya tax holiday dan lainnya itu bukan urusan saya, saya sebagai Menteri ESDM sudah setuju bangun kilang, kita itu terlalu banyak dibahas," ujar Jero.
Sumber:
Jero: Kalau Kita Punya 3 Kilang Minyak Baru, Tak Ada Lagi Impor
Publikasi Laporan EITI Indonesia: Langkah Keterbukaan di Sektor Ekstraktif Migas dan Tambang
Laporan Pertama Transparansi Penerimaan
Industri Ekstraktif (Extractive Industries Transparency Initiative/EITI)
Indonesia telah resmi dipublikasi pada bulan April 2013 lalu.
Transparansi penerimaan sektor pertambangan dan migas merupakan salah
satu rencana aksi OGP Indonesia di subsektor lingkungan dan sumberdaya
alam. Laporan ini menghadirkan rekonsiliasi antara data-data penerimaan
negara yang disetorkan oleh entitas perusahaan migas dan pertambangan,
dengan data-data penerimaan negara yang diterima oleh entitas
Pemerintah. Data Penerimaan tersebut baik berupa pajak maupun non pajak
serta dana transfer ke Pemerintah Daerah.
Laporan EITI ini lahir setelah melalui
proses panjang dalam pengambilan keputusan secara multipihak antara
unsur pemerintah, perusahaan dan masyarakat sipil dalam penentuan
cakupan dan format yang sesuai standar EITI, sehingga proses pelaporan
dan rekonsiliasi berlangsung. Laporan EITI ini menyajikan rekonsiliasi
angka penerimaan Pemerintah Pusat dengan angka setoran perusahaan minyak
dan gas bumi serta pertambangan mineral dan batubara di Indonesia,
dengan nilai perbandingan sepadan dengan catatan penerimaan negara dari
sektor migas dan pertambangan untuk pajak dan bukan-pajak di tahun
kalender 2009 sebesar Rp251.7 trilyun. Laporan EITI ini menunjukkan
rincian kontribusi dari setiap perusahaan migas dan perusahaan
pertambangan besar dan kecil, termasuk perusahaan yang memiliki ijin
lokal.
Laporan EITI ini memberikan satu alat
kontrol kepada masyarakat untuk mengetahui pembayaran kewajiban yang
dilakukan oleh setiap perusahaan migas atau pertambangan kepada setiap
instansi pemerintahan yang berwenang. Hal ini tentunya adalah sebuah
pencapaian yang signifikan dalam transparansi pemerintahan. Untuk
pertama kalinya, jumlah rincian atas pajak penghasilan dan kontribusi
royalti dari sektor pertambangan mineral dan batubara dibuka secara
rinci kepada publik, berdasarkan wilayah operasi atau satuan unit
produksi/kontraknya. Sebelum implementasi EITI, kontribusi total tanpa
rincian atas royalti yang dibayarkan seluruh perusahaan pertambangan
merupaka satu-satunya data yang tersedia bagi publik.
Laporan EITI Indonesia menunjukkan bahwa
perusahaan-perusahaan pertambangan mineral (emas, tembaga, nikel, timah
dan bauksit) ini memberikan kontribusi sebesar Rp12.5 trilyun pajak
penghasilan dan Rp12.5 trilyun royalti, sementara perusahaan-perusahaan
pertambangan batubara dalam laporan ini memberikan kontribusi sekitar
Rp10.4 trilyun pajak penghasilan dan Rp13.5 trilyun royalti. Angka
tersebut berasal dari rincian yang dilaporkan oleh perusahaan yang
kriteria materialitas. Angka kontribusi total secara riil memiliki
kemungkinan lebih besar, dikarenakan Laporan EITI ini belum mencakup
semua perusahaan pertambangan kecil serta beberapa perusahaan menengah
dan besar yang angka setoran pajaknya tidak dapat disampaikan oleh
Ditjen Pajak terkait dengan pemenuhan ketentuan UU Pajak mengenai
pengungkapan data wajib pajak.
Laporan EITI Indonesia pertama ini juga
membantu masyarakat untuk mengetahui jumlah pembayaran setiap perusahaan
yang menjadi hak daerah berdasarkan prinsip derivasi dan realisasi.
Informasi tersebut belum mendapatkan perhatian publik, karena informasi
rincian kontribusi dari setiap perusahaan ekstraktif kepada pemerintah
daerah tidak berada dalam satu laporan bersamaan dengan total yang
disetorkan kepada Pemerintah Pusat. Kini, informasi seperti ini telah
diinisiasi dalam laporan EITI Indonesia Pertama tahun 2009, yaitu
meliputi berapa kontribusi dari perusahaan ekstraktif yang
dibagihasilkan di setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Saat ini, public Indonesia di daerah
kaya sumber daya alam akan menerima jawaban tidak hanya tentang
penerimaan Negara dari perusahaan migas dan pertambangan, tetapi juga
yang lebih penting dari perspektif otonomi daerah, berapa jumlah
penerimaan dari setiap perusahaan yang mengalir kepada propinsi dan
kabupaten. Ini yang menjadikan laporan ini sebuah alat bagi public untuk
mengejar pertanggungjawaban dari pemerintahnya melalui transparansi
informasi penerimaan Negara. (*)
Sumber:
Publikasi Laporan EITI Indonesia: Langkah Keterbukaan di Sektor Ekstraktif Migas dan Tambang
Post a Comment