PERANGI TEROR DENGAN MENCIPTAKAN TEROR TANDINGAN

Dalam protocol of zion pada salah satu butirnya dengan sangat jelas dicantumkan bahwasannya penguasaan media merupakan saah satu agenda Zionisme, sehingga berbagai berita yang mereka inginkn bisalah dengan leluasa mereka sebarkan, kemudian dalam kajian islamic eschatology media itu sendiri ditakwil sebagai ' pohon ghorqod' tempat zionis israel itu bersembunyi yang nayaman sehingga 'nisbi" samar tidak terlihat fitnah mereka melalui media tersebut.
Governments should be safeguarding the digital privacy and security of their citizens. But these alleged actions by the CIA do just the opposite. Weaponising everyday products such as TVs and smartphones -and failing to disclose vulnerabilities to manufacturers- is dangerous and short-sighted.” — Craig Fagan, policy director for the World Wide Web Foundation
Apa motif dan tujuan CIA dan komunitas telik sandi Amerika, melancarkan mass surveillance dan population-centric operations? Bagian pertama dari artikel ini, sudah mengurainya.

Tapi, untuk lebih mudah memahami alasan, serta yang ingin dicapai di balik mass surveillance dan population-centric operations tersebut, buku berjudul The Pentagon’s New Map: War and Peace in the Twenty-First Century perlu dibaca ulang.

Buku hebat karya Doktor Thomas Bernett ini, berisi semacam new operating theory. Landasan fikir, atas segala operasi intelijen, penyusunan taktik-strategi, rencana operasi, hingga prosedur tindakan lapangan. Yang dianggap perlu dilakukan, demi menyikapi dinamika peristiwa dan kejadian di seluruh dunia.

Tak heran, karena kontennya yang komprehensif, buku ini, sampai sekarang, masih menjadi bacaan wajib bagi seluruh aparat militer Amerika; termasuk para pejabat senior Pentagon; dan utamanya, para komandan combatant, yang gugus tempurnya sedang bertugas di berbagai kawasan konflik atau rawan “kejadian”.

Two Realms: The Core versus The Gap

Inti pembahasan buku tersebut adalah ini: Dunia hanya dibagi menjadi dua kutub kekuatan. Yang pertama diistilahkan the Core. Yakni sebutan bagi kelompok Negara maju dan industrialis. Pemegang kendali jalannya globalisasi ekonomi (termasuk Amerika, Kanada, Inggris, Eropa, dan Jepang). Pun juga meliputi kelompok Negara sedang berkembang. Atau Negara yang sedang menuju dan atau sudah sejahtera (lazim disebut dengan akronim BRIC: Brazil, Russia, India, China).
Sementara sisa Negara lain di seluruh dunia, di luar kelompok the Core tadi, dilabeli sebutan the Gap.

Di mata para strategist Amerika, kerawanan yang berpotensi mengancam negeri Paman Sam tersebut, adalah jika kesenjangan yang timbul antara kelompok the Core dan the Gap, terlalu menganga lebar. Misalnya karena terdampak krisis ekonomi, efek perubahan iklim, serta tekanan demografik. Pun sebab terdampak kelangkaan sumberdaya, konflik perebutan wilayah, ekses pilkada, atau potensi bentrok horizontal.

Gara-gara ketidak-becusan kepemimpinan setempat, berbagai potensi kerawanan tadi, bisa berdampak melemahkan sistem pemerintahan. Bahkan bisa menjadikannya gagal berfungsi. Jika ini dibiarkan terjadi, maka gap antara the Core dan the Gap, akan melebar. Ketika gap menganga, kepentingan Amerika berpotensi dijadikan target serangan para aggressor dan insurgent.

Leviathan Or System Administrator: Peace Mission or Military Invasion

Agar potensi kerawanan tersebut bisa dikontrol, aparat Amerika merasa, tugas mereka adalah harus “mempersempit” dan “mendekatkan” kesenjangan yang menganga lebar di antara the Core dan the Gap.

Ada dua metoda untuk mewujudkannya. Yang pertama, dijalankan secara diplomatik, cara-cara damai, dan didasarkan hukum sipil. Kebijakan ini diistilahkan System Administrator.
Sementara cara kedua, dinamai Leviathan. Berupa pengerahan kekuatan militer. Baik berupa invasi atau koersi. Termasuk dengan kamuflase sebagai misi global peningkatan keamanan dan ketertiban.
Tujuan akhirnya, bukan “rebuilding”. Bukan membangun kembali. Atau merestorasi. Melainkan untuk melakukan rekonstruksi. Mewujudkan “new nation”. Dengan tatanan yang sesuai dengan kemauan the Core.

Berbagai operasi militer yang dicapai dengan kombinasi dua metoda di atas, misalnya ini: Operation Odyssey Dawn serta Operation Unified Protector di Libya. Kampanye Global War on Terrorism, serta Operation Iraqi Freedom. Lantas Operation Enduring Freedom di Afganistan. Misi Allied Forces & Joint Guardian di Kosovo. Operation Desert Shield dan Desert Storm, di Kuwait. Juga Desert Fox di Irak. Serta penyerbuan militer Amerika ke Panama, dengan kode operasi Just Cause.

Areas to launch attacks on the US Homeland

Total, ada tak kurang dari 24 negara, yang dipilih sebagai medan utama operasi penyadapan dan intelijen CIA dan segenap mitranya. Termasuk di antaranya adalah kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara (sayangnya tak dirinci Negara mana saja). Pun Negara-negara tertentu di kawasan Afrika Utara dan Barat. Serta Amerika Selatan serta Timur Tengah.

Di kawasan-kawasan tadi, populasi masyarakatnya dianggap berpotensi menimbulkan ancaman counterinsurgency. “..kawasan-kawasan tadi, berpotensi dijadikan sarang kaum pemberontak dan aggressor. Untuk merekrut simpatisan, mengakumulasi pendanaan operasi, sebagai pos logistik untuk supply operasi. Bahkan basis untuk melancarkan serangan ke daratan Amerika,” imbuh Jefrrey Cooper, dalam paper-nya tentang Cyber Deterrence tersebut.

Tapi tak terbatas hadir bercokol di berbagai Negara di kawasan tadi, paper Cooper juga memastikan, “kepentingan Amerika” akan semakin “hadir” di banyak lokasi strategis lainnya. Misalnya termasuk di Uzbekistan, Djibouti, Azerbaijan, Barat Laut Afrika, kawasan sekitar Afrika Selatan serta di Amerika Selatan.

Jika diakumulasi, perang informasi, perception management, dan content manipulation tadi, sedang digencarkan di 99-an Negara sedunia.

Di kawasan-kawasan yang dinamis tadi, setiap kapasitas sumberdaya dan potensi terjadinya “peristiwa”, dimanfaatkan secara optimal. Jika perlu, mereka akan “create momentum of event”. Sengaja membuat kejadian. Yang diharapkan bisa mengkondusifkan situasi-kondisi domestik. Agar dampaknya tak saja terasa di skala lokal dan domestic, tapi bahkan sampai kawasan regional.

War on Terror for Global Control Revolution

Nah, yang menarik, ada disebut di sana, yang diistilah sebagai konsep “war on terror”.
Maksudnya ternyata begini: bagai para strategist ini, terror hanya bisa diatasi dengan terror. Perang berbasis jaringan, hanya bisa ditumpas dengan memiliki jaringan pula.
Makanya ada disebut konsep networked-deterrence.

Dalam konteks ini, agar kepentingan mereka lebih mudah tercapai, maka informasi dan pesan berita, pun didaya-gunakan sebagai senjata perang. Menjadi bagian dari global control revolution. Salah satu tujuannya adalah mengontrol global policy debates. Yakni untuk men-drive arah kebijakan pol-ek-sos-bud-han-kam di berbagai Negara, agar sesuai dengan kepentingan nasional Amerika.
Demi tujuan itulah, “the global information infrastructure” serta “social media”, pun didayagunakan secara optimal. Karena dinilai bisa lebih mempercepat pematangkan sikon, meningkatkan intensitas, serta menciptakan momentum. Untuk berlangsungnya “kejadian”, yang efeknya berdaya dampak secara regional.

Dalam perang informasi tersebut, yang dibidik bukan cuma lawan, tapi juga kawan dan mitra sendiri. Makanya dalam bocoran WikiLeaks ada ribuan nama pejabat dan tokoh politik berbagai Negara.
Mereka ini ada yang jadi target CIA. Ada juga yang diperalat sebagai mata-mata. Atau digarap –walau yang bersangkutan tak merasa— didikte, untuk memutuskan kebijakan yang sesuai kepentingan tertentu.

Yang dikategorikan “lawan”, dibidik via manipulasi, distorsi dan penyesatan informasi. Agar bisa diketahui kelemahannya – sehingga bisa digunakan untuk mengalahkan. Tapi mitra potensial Amerika di seluruh dunia juga digarap. Tujuannya, agar Negara-negara partner ini mau memberi sokongan. Minimal, secara politik-diplomatik, tak bersikap menentang.
Begitu pun para pemimpin, politisi dan tokoh pemerintahannya. Termasuk juga khalayak masyarakat awam.

Mereka ini ikut disasar. Demi bisa dipengaruhi: agar timbulnya kerugian harta benda bahkan korban jiwa, bisa dianggap sebagai konsekuensi yang tak bisa dielakkan. Dianggap sebagai ongkos yang memang harus dibayar secara sosial. Karena kepentingan kaum ini, tak sejalan dengan kemauan the Core.

America as Global Cop Creates Security & Stability

Ada satu paragraf menarik di the Pentagon’s New Map tadi, yang bisa memudahkan kita lebih memahami dasar logika dari strategi tersebut di atas:
America as global cop creates security. Security creates common rules. Rules attract foreign investment. Investment creates infrastructure. Infrastructure creates access to natural resources. Resources create economic growth. Growth creates stability. Stability creates markets. And once you’re a growing, stable part of the global market, you’re part of the Core. Mission accomplished.”
Masalahnya, tak semua Negara, setuju dengan paradigma tersebut. Njomplang-nya ekses globalisasi harus menjadi renungan. Apalagi ketika globalisasi dimaknai sebagai legitimasi untuk melakukan penjarahan sumber-daya.

Konsep kesenjangan the Core dan the Gap, dalam konteks pelaksanaan War on Terror juga bisa dimaknai ganda.

Misalnya ketika terungkap adanya kampanye fake news dan hoax; terkait tudingan terrorisme; yang lantas disalah-gunakan sebagai dalih, untuk melancarkan invasi militer ke Irak. Pun penggulingan rezim Taliban di Afganistan. Begitu juga yang terkait operasi membidik Al Qaida.
Konsep ‘networked warfare,’ ‘networked deterrence,’ ‘information warfare,’ juga bisa dimaknai berbeda. Ketika ternyata asumsi “a permanent state of global war on terror”, disalah-gunakan sebagai konsep pelegitimasi aksi sepihak.

Apalagi, kebijakan pseudo-terrorism ternyata dianggap strategi yang legitimate: cara Amerika mengatasi terroris, adalah dengan “memelihara”, dan “menciptakan terroris tandingan”.
Pertanyaan kritisnya, dalam perspektif sebagai konsumen dan warga masyarakat awam, seberapa amankah yang disebut jaminan rasa aman, yang dijamin pemerintah, dan menjadi hak khalayak? Ketika rasa tidak aman dan terancam, (ternyata justru) sengaja diciptakan kelompok-kelompok kepentingan. Demi alasan financial dan komersial. Pun agar kepentingan pihak penyedia keamanan, bisa tetap relevan?

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.