KONTROL PERSEPSI PUBLIK MELALUI MEDIA SOSIAL


Bocoran Vault 7 WikiLeaks: Kunci Unggul adalah Mengontrol Persepsi Publik via Socmed

The CIA’s malware arsenal, and dozens of ‘zero day’ weaponized, exploits against and allows it to hack into a wide range of US and European company products, including Apple’s iPhones, Google’ Android and Microsoft’s Window and even Samsung TVs, which are turned into covert microphones.” WikiLeaks’s official release.
Ini pesan penting bagi para Jenderal dan komandan pasukan. Sekadar kekuatan militer konvensional saja, tak lagi bisa menggaransi kemenangan perang yang gemilang. Ketika perang semakin berkecamuk, tak cuma sebatas di matra darat-laut dan udara, tapi juga marak hingga ke antariksa dan jejaring Internet, maka penentu kemenangan, adalah population control. Yakni kemampuan mengelola, memanipulasi dan mengendalikan persepsi warga masyarakat. Salah satu caranya, dengan mengandalkan media social, mamanfaatkan Internet of Things, web tools, serta cloud technology.

“Internet dan jejaring social media, adalah sumber kritikal untuk memungkinkan aparat intelijen Amerika melakukan social network analysis data,” ujar WikiLeaks, mengutip sumber anonym dari kalangan komunitas intelijen Amerika. Termasuk yang dilakukan, katanya, adalah dengan me-monitor blogosphere, serta seluruh jejaring media, forum, sampai social media network. Itu mereka lakukan non-stop, di seluruh penjuru dunia. “…operasinya bersifat lintas negara, bangsa, budaya, dan bahasa yang saling berbeda,” tandas sumber tadi.

Itu tadi bocoran dari Vault 7. Kode sebutan untuk 8.761 file dan dokumen rahasia dinas intelijen AS, CIA, yang 7 Maret 2017 silam, dibocorkan ke publik oleh WikiLeaks.

Yang dibocorkan WikiLeaks tersebut, diklasifikasikan sebagai dokumen sangat sensitif. Di dalamnya, tercantum ribuan nama pejabat penting di berbagai Negara – yang sengaja dirahasiakan jati-dirinya. Mereka ini adalah target operasi CIA. Maupun yang “diperalat” CIA. Digunakan sebagai senjata penyerang Negara masing-masing.

Selama ini dokumen peka tersebut disimpan di lokasi tersembunyi. Di markas divisi khusus, yang berada di bawah naungan lembaga pusat intelijen AS, CIA. Divisi rahasia tersebut, dikenal dengan sebutan Center for Cyber Intelligence. Spesialisasi tugasnya adalah perang cyber. Khususnya melakukan operasi hacking, surveillance, serta penerobosan jaringan keamanan antar-negara.
Julian Assange, pendiri WikiLeaks bilang, ini baru bocoran data “gelombang pertama”. Yang dibocorkan pun baru 1% saja. Tapi analis menyebut, bahwa ini adalah pembocoran dokumen intelijen berskala terbesar, dalam sejarah modern.

Pembandingnya, adalah pembocoran data serupa pada tiga tahun silam. Saat itu, Edward Snowden, kontraktor lembaga intel pengamanan nasional AS, NSA, melakukan pembocoran data operasi mata-mata NSA, di seluruh dunia.

Operasi penyadapan, pengintaian, dan mata-mata, memang tak cuma dilakukan CIA. Seperti yang disebut dalam bocoran Snowden, operasi intelijen berskala global, juga melibatkan lembaga intelijen Inggris, Kanada, Australia, New Zealand (empat Negara ini, bersama AS, berhimpun dalam kelompok yang menyebut dirinya the Five Eyes), serta Jerman, dan Israel. Makanya jaringan operasi spionasenya diistilahkan sebagai transnational surveillance systems.

Selengkapnya, link press release dari WikiLeaks tentang skandal Vault 7, bisa ditinjau di sini.

Mass Surveillance is About Population Control. Because Knowledge is Power

Di mata para penyusun strategi perang Amerika, negeri Adi Kuasa itu, sedang menghadapi jenis perang baru. Mereka menyebutnya irregular war. Dalam jenis perang yang “tak lazim” tersebut, sekadar kekuatan senjata dan besarnya jumlah pasukan, dianggap tak lagi jaminan bisa unggul. Yang justru jadi andalannya: kontrol informasi. Strategi pengelolaan isu. Serta manajemen persepsi.
Maka, untuk mengantisipasinya Amerika kemudian menyusun yang diistilahkan Force 2025 Tranformation Initiatives. Fondasi inisiatif ini, adalah kolaborasi angkatan bersenjata, industry dan perusahaan teknologi terkemuka. Sebutannya: military-industrial complex.

Termasuk yang diurai di dalam arahan strategi perang Amerika ke depan tadi, adalah tentang yang disebut information warfare, perception control, serta strategi countering terror with pseudo-terror. Yang jadi backing-nya, konsep networked deterrence. Itu dibangun di atas strategic integrated platform. Demi bisa memenuhi yang mereka istilahkan a permanent state of global war.
Dalam hal ini, jejaring media social seperti Facebook, Google, dan lainnya, didayagunakan sebagai piranti andalan. Sekaligus kunci infrastruktur utama dari global surveillance apparatus.
Data yang mereka tambang via jejaring social media dan jaringan administrasi sistem kependudukan, tak cuma sebatas profiling populasi.

Tak sekadar karakterisasi persona dari habit khalayak. Pun bukan cuma memantau pola transaksi dan aliran uang. Tapi bahkan berupa pengumpulan data biometric authentication. Meliputi data retina mata seluruh masyarakat, sidik jari, bahkan sample DNA. Semacam yang di-­collect via pengurusan e-KTP yang kini sedang heboh.

Surveillance to Identify Active, Hypothetical & Future Threats

Dengan mengoptimalkan sistem analisis jejaring sosial, mereka juga bisa mengenali siapa berkerumun dengan siapa. Memanfaatkan cognitive and behavioural science, pola sosial dalam kerumunan, juga mereka pelajari. Pola cluster-nya dikenali. Seberapa kadar closeness dan betweeness antar aktor yang mereka target, juga dipetakan. Tujuannya untuk mengidentifikasi mana opinion leader-nya. Siapa yang bertindak sebagai vector. Medianya apa. Yang mana pengumpannya. Eksekutornya siapa.

Dengan melakukan pendataan, pengintaian, penyadapan dan pelacakan secara ekstensif, maka Amerika berharap bisa lebih dulu mengidentifikasi potensi kerawanan. Bisa duluan tahu, mana kawan, mana lawan. Agar bisa melokalisir pergerakannya. Sekaligus mengestimasi potensi dan konsekuensi ancaman yang bisa ditimbulkannya.

Data hasil penggalian via media sosial tadi, lantas diolah, dianalisis, dan diperkaya data update intelijen lapangan. Kemudian dibagikan. Untuk “mempersenjatai” (mereka menyebutnya: ) para American warfighter. Agar para operator lapangan ini bisa mendapat panduan akurat. Saat beraksi melancarkan serangan telak: membasmi potensi ancaman lebih dulu. Sebelum “ancaman” tersebut, sempat berwujud nyata.

Prinsipnya: daripada Amerika kalah karena keduluan diserang; bagi mereka, lebih baik Amerika yang mendahului (diistilahkan melancarkan pre-emptive strike). Demi bisa menumpas lawan atau yang –berdasar analisis jejaring sosial, dinilai–  berpotensi menjadi ancaman.

Pre-emptive War is the Only Way to Achieve Supremacy

Dari bocoran Vault 7, kini kita jadi paham, kenapa CIA, NSA dan komunitas intelijen negeri Paman Sam, harus repot-repot, menyokong, mendanai, menginkubasi dan mengelola perusahaan-perusahaan raksasa teknologi informasi, dan piranti “rapid acquisition cell”-nya. Kita juga jadi lebih paham, kenapa mereka bertahun-tahun sibuk melakukan operasi mass surveillance berbasis web, apps, dan cloud. 

Rupanya, itu bagian dari persiapan mereka menyongsong the NetWar. Secara intelijen, aktivitasnya dikategorikan sebagai population-centric clandestine operations.

Menariknya, aktivitas mass surveillance tadi, tak cuma mereka lancarkan di negara-negara yang dianggap penyokong terorisme saja. Tapi bahkan juga dilakukan terhadap warganegara Amerika sendiri. Termasuk menyasar tokoh dan pejabat, di dalam negeri Amerika sendiri.
Sebab, bagi aparat telik sandi ini, berdasar principles of information warfare, yang perlu diwaspadai bukan hanya para teroris betulan. Tapi juga para “terduga teroris”. Pun siapa saja yang dianggap layak dicurigai. Dan atau dianggap berpotensi bisa melancarkan aksi terorisme. Yang berpotensi bisa mengganggu kepentingan nasional Amerika, di seluruh dunia. Mereka menyebut bahaya laten ancaman tadi, sebagai hypothetical populist insurgencies.

Ternyata, strategi untuk “mencurigai semua orang” tadi, terkait prinsip yang sangat mereka yakini. Yakni, bahwa pre-emptive war, dianggap adalah satu-satunya cara, untuk mewujudkan rasa aman bagi kepentingan Amerika di mana saja.

Masalahnya adalah, karena yang mereka bidik sifatnya indiksriminatif dan dilakukan kepada sembarang orang, maka semua warga masyarakat harus menanggung akibatnya: aktivitasnya disadap, dikuping, dilacak, diendus jejaknya dan dimata-matai. Tak cuma pola kegiatan hariannya. Tapi juga fikiran, lesan, tulisan. Pun tindakan dan rekam-jejak perbuatannya.
Alat sadapnya: perlengkapan apa saja yang sehari-hari digunakan khalayak. Pokoknya, yang fungsinya terhubung ke Internet. Bisa berupa apa saja, asal benda tersebut bisa dipasangi chip. Segala piranti yang punya fitur pelacak, perekam suara, maupun kamera dan video. Termasuk gadget, perabotan rumah tangga, wearing-devices. Perlengkapan penunjang kebugaran, hingga peralatan elektronik. Termasuk smart TV merek Samsung.

Cyber Deterrence and Global Control Revolution

Terkait topik tadi, ada paper menarik. Judulnya New Approach to Cyber Deterrence. Ditulis oleh Jefrrey Cooper.

Dengan menyimak paper ini, kita menjadi semakin paham, bahwa demi melindungi kepentingannya di seluruh dunia, Amerika perlu menyusun siasat digital information system. Tujuannya, demi bisa memahami secara mendalam, seluk beluk tentang Negara-negara yang dianggap musuh Amerika. Maupupun yang dianggap potensial menjadi lawan
Dari paper tadi, kita juga menjadi lebih paham kenapa Amerika perlu membangun networked deterrence.

Rupanya Amerika membayangkan skenario ini: dalam konflik global, mereka bakal dikeroyok banyak musuh dan perusuh. Jika menghadapinya sendirian, mereka akan berisiko menderita kehilangan banyak asset dan sumberdaya penting. Tapi dengan bisa mendayagunakan sistem penangkal berjaringan –termasuk melibatkan perusahaan start-up, raksasa teknologi, kalangan industri, kontraktor sistem pertahanan, serta negara-negara sejawat yang sekepentingan, maka perlawanan akan bisa lebih mudah diatasi.

Paradigma Cyber Deterrence juga digunakan Amerika dalam menyongsong Netwar. Mereka membayangkan, kecamuk perang di ranah jaringan Internet, skalanya akan meluas dan melebar ke-mana-mana. Maka operasi mass surveillance, aktivitas big data mining, dan siasat strategic communication operations, perlu dikelola dalam jaringan platform yang integrated.
Sebagai bagian strategi penangkalan berjaringan itulah, jawatan telik sandi Amerika melakukan aktivitas untuk mengontrol persepsi publik. Termasuk di antaranya, dengan mengobarkan agitasi dan propaganda. Mengabarkan fake news dan hoax. Pun mengibarkan false intelligence information. Demi mengaburkan fakta sebenarnya. Sekaligus mengubur suara pendapat dan sikap pihak yang tidak setuju.

Efek yang ingin didapat, diistilahkan global control revolution. Termasuk di dalamnya, menyetir arah, mengendalikan konten, dan menggiring perdebatan di media dan ruang-ruang publik. Utamanya yang menyangkut arah kebijakan global di suatu Negara.

Countering Terror with Pseudo-Terror Strategy

Sayangnya, versi komplet dari paper menarik Cyber Deterrence tadi sudah dihapus dari website resminya. Tapi pemikiran Cooper berjudul New Approaches to Cyber-Deterrence: Initial Thoughts on a New Framework, masih bisa diakses di sini.
Di posting bagian ke-2, kita akan bahas kaitan framework tadi, dengan konsep ‘networked warfare,’ ‘networked deterrence,’ serta ‘information warfare’. Yang merupakan bagian dari asumsi “a permanent state of global war on terror”.
Keterkaitannya perlu kita pelajari dan pahami. Sebab, kajian akademik menemukan ada makna ganda dari berbagai konsep tersebut.

Salah satunya, mencurigai itu sebagai strategi pelegitimasi. Menjadi dasar jastifikasi. Pembenaran sepihak atas aksi Amerika. Misalnya secara apriori memutuskan untuk melancarkan invasi militer ke suatau negara/kawasan. Maupun mengambil tindakan koersi, bahkan represi.
Topik tersebut perlu dikritisi. Sebab Amerika seakan melegalkan kebijakan pseudo-terrorism: bahwa cara Amerika mengatasi terroris, adalah dengan “memelihara”, dan “menciptakan terroris tandingan”. Sehingga masyarakat merasa terancam. Merasa tak aman. Situasi itulah kemudian yang dimanfaatkan sebagai pembenaran aksi.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.