KETIKA KH NOER MUHAMMAD ISKANDAR DITUDUH SYIAH
Perjuangan membangun masyarakat memang memerlukan ketabahan yang
tinggi. Pada saat Asshiddiqiyah mulai mendapat kepercayaan masyarakat,
saya justru dituduh sebagai agen Syiah. Propaganda mereka menyebar ke
mana-mana, sampai-sampai semua jamaah saya, bahkan orang tua murid yang
menitipkan anaknya belajar di Asshiddiqiyah merasa gelisah. Ada yang
bertanya langsung kepada saya, ada juga yang langsung termakan isu dan
memutuskan jalannya sendiri. Saya sadar, ini adalah praktik yang
dilakukan oleh orang-orang pengecut…
Kisahnya berawal dari masa Revolusi Islam Iran. Sekitar tahun 1980-an, siapa yang tidak mendengar nama Ayatullah Khomeini, pejuang Revolusi Islam Iran. Gambarnya terpasang di mana-mana. Kaset pidatonya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan didengar jutaan bangsa. Jangankan anak muda, orang tua dan anak-anak pun terbakar semangatnya mendengar perjuangan ayatullah.
Sebagai anak muda saat itu, saya adalah seorang dari jutaan pemuda Islam yang mengaguminya. Sebagai penceramah, kekaguman saya terbawa ke dalam setiap pidato dan ceramah di tengah masyarakat. Kekaguman saya kepada tokoh ini antara lain karena ia mampu menggerakkan masyarakat Iran dari tempat pengasingannya di luar negeri. Dengan komandonya yang berjarak ribuan mil itu, masyarakat Islam Iran bisa bersatu pada mempertaruhkan harta dan jiwa menumbangkan kezaliman, kemungkaran, kemunafikan dan keangkuhan sebuah tiran yang berkuasa…
Saya memang tidak sebatas mengaguminya. Saya mencoba mencari tahu siapa sesungguhnya Ayatullah Khomeini. Melalui berbagai literatur, saya mencoba mengenalnya lebih dekat. Setiap ada sesuatu yang baru dari proses pengenalan saya, saya tidak bisa memendamnya sendiri. Seringkali tercetus dalam setiap kesempatan saya berceramah di tengah masyarakat. Dari fenomena ini ada dua kepentingan yang bisa bermain di balik itu.
Pertama, bagi mereka yang tidak suka dengan perjalanan dakwah saya, kekaguman saya ini dijadikan kesempatan emas untuk bisa memukul saya sendiri. Mereka mengeksploitasi ungkapa saya tentang Khomeini dan secara sepihak menyimpulkan saya sebagai agen perjuangan Revolusi Islam Iran. Mereka menuding saya sebagai agen Syiah di Indonesia. Tidak sebatas menuduh dengan lisan, mereka menyebarkan selebaran. Maka dalam tempo singkat, tersiar kabar buruk bahwa saya adalah agen Syiah.
Kedua, dari pihak Iran. Mereka tentu merasa senang dengan kekaguman saya pada Khomeini. Saya dianggap sebagai anak muda, mubalig atau penceramah yang memberi perhatian pada perjuangan rakyat Iran. Rasa senang mereka tentunya diwujudkan dalam bentuk jalinan silaturahmi. Mulanya saya diundang berceramah di rumah tinggal duta besar Iran di Jakarta. Secara objektif saya menyebut banyak keunggulan Khomeini yang saya tahu…
“Wong mereka minta bersilaturahmi, mengapa saya harus tolak. Saya biarka saja. Apalagi mereka juga mengundang Gus Dur saat itu untuk bersama-sama datang di tempat saya,” kata saya ketika beberapa pemimpin pondok pesantren datang meminta penjelasan saya seputar tuduhan itu… jalinan yang terbangun terus berlanjut, sampai akhirnya pada tahun 1989 saya mendapat undangan dari presiden Iran untuk menghadiri peringatan kemenangan Revolusi Islam Iran. Saya mendapat kehormatan untuk memberikan sambutan di tengah jutaan pengikut Khomeini.
Apakah saya marah? Kalau saya marah, berarti saya terjebak dalam permainan mereka. Karenanya saya memilih diam. Bahkan menjawab pun tidak saya lakukan dalam situasi yang masih panas saat itu. Meski semakin gencar serangan itu, saya tetap diam. Namun, saya yakin akan apa yang saya lakukan. Bahkan mereka yang menyerang saya, sebetulanya tidak tahu apa-apa tentang Khomeini bahkan tentang Syiah. Jadi mengapa harus saya layani? Di sisi lain, siapa sih yang tidak mendengar nama Khomeini pada dekade 1980-an? Artinya, kekaguman saya tentu tidak sendirian. Tapi kalau hanya saya yang diobok-obok dna diserang dengan tuduhan sebagai agen Syiah, berarti mereka memang berniat memukul pribadi saya, bukan sikap saya terhadap Khomeini…
Sumber: KH. Noer Muhammad Iskandar SQ. Pergulatan Membangun Pondok Pesantren © Asshiddiqiyah Press dan PT. Mencari Ridho Gusti.
Penulis: Amin Idris.
Kisahnya berawal dari masa Revolusi Islam Iran. Sekitar tahun 1980-an, siapa yang tidak mendengar nama Ayatullah Khomeini, pejuang Revolusi Islam Iran. Gambarnya terpasang di mana-mana. Kaset pidatonya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan didengar jutaan bangsa. Jangankan anak muda, orang tua dan anak-anak pun terbakar semangatnya mendengar perjuangan ayatullah.
Sebagai anak muda saat itu, saya adalah seorang dari jutaan pemuda Islam yang mengaguminya. Sebagai penceramah, kekaguman saya terbawa ke dalam setiap pidato dan ceramah di tengah masyarakat. Kekaguman saya kepada tokoh ini antara lain karena ia mampu menggerakkan masyarakat Iran dari tempat pengasingannya di luar negeri. Dengan komandonya yang berjarak ribuan mil itu, masyarakat Islam Iran bisa bersatu pada mempertaruhkan harta dan jiwa menumbangkan kezaliman, kemungkaran, kemunafikan dan keangkuhan sebuah tiran yang berkuasa…
Saya memang tidak sebatas mengaguminya. Saya mencoba mencari tahu siapa sesungguhnya Ayatullah Khomeini. Melalui berbagai literatur, saya mencoba mengenalnya lebih dekat. Setiap ada sesuatu yang baru dari proses pengenalan saya, saya tidak bisa memendamnya sendiri. Seringkali tercetus dalam setiap kesempatan saya berceramah di tengah masyarakat. Dari fenomena ini ada dua kepentingan yang bisa bermain di balik itu.
Pertama, bagi mereka yang tidak suka dengan perjalanan dakwah saya, kekaguman saya ini dijadikan kesempatan emas untuk bisa memukul saya sendiri. Mereka mengeksploitasi ungkapa saya tentang Khomeini dan secara sepihak menyimpulkan saya sebagai agen perjuangan Revolusi Islam Iran. Mereka menuding saya sebagai agen Syiah di Indonesia. Tidak sebatas menuduh dengan lisan, mereka menyebarkan selebaran. Maka dalam tempo singkat, tersiar kabar buruk bahwa saya adalah agen Syiah.
Kedua, dari pihak Iran. Mereka tentu merasa senang dengan kekaguman saya pada Khomeini. Saya dianggap sebagai anak muda, mubalig atau penceramah yang memberi perhatian pada perjuangan rakyat Iran. Rasa senang mereka tentunya diwujudkan dalam bentuk jalinan silaturahmi. Mulanya saya diundang berceramah di rumah tinggal duta besar Iran di Jakarta. Secara objektif saya menyebut banyak keunggulan Khomeini yang saya tahu…
“Wong mereka minta bersilaturahmi, mengapa saya harus tolak. Saya biarka saja. Apalagi mereka juga mengundang Gus Dur saat itu untuk bersama-sama datang di tempat saya,” kata saya ketika beberapa pemimpin pondok pesantren datang meminta penjelasan saya seputar tuduhan itu… jalinan yang terbangun terus berlanjut, sampai akhirnya pada tahun 1989 saya mendapat undangan dari presiden Iran untuk menghadiri peringatan kemenangan Revolusi Islam Iran. Saya mendapat kehormatan untuk memberikan sambutan di tengah jutaan pengikut Khomeini.
Sejak saat itulah saya dihantam dengan tuduhan sebagai agen Syiah yang akan memasukkan paham Syiah ke Indonesia. Tidak sampai disitu, yang membuat beberapa pejabat pemerintah dan pejabat militer merah kuping ketika mendengar tuduhan bahwa saya dianggap akan memasukkan pemikiran radikal seperti radikalnya perjuangan rakyat Iran melawan pemerintahan yang lalim. Tudingan itu terus direkayasa dan disebarkan door-to-door kepada kiai-kiai.
Apakah saya marah? Kalau saya marah, berarti saya terjebak dalam permainan mereka. Karenanya saya memilih diam. Bahkan menjawab pun tidak saya lakukan dalam situasi yang masih panas saat itu. Meski semakin gencar serangan itu, saya tetap diam. Namun, saya yakin akan apa yang saya lakukan. Bahkan mereka yang menyerang saya, sebetulanya tidak tahu apa-apa tentang Khomeini bahkan tentang Syiah. Jadi mengapa harus saya layani? Di sisi lain, siapa sih yang tidak mendengar nama Khomeini pada dekade 1980-an? Artinya, kekaguman saya tentu tidak sendirian. Tapi kalau hanya saya yang diobok-obok dna diserang dengan tuduhan sebagai agen Syiah, berarti mereka memang berniat memukul pribadi saya, bukan sikap saya terhadap Khomeini…
Sumber: KH. Noer Muhammad Iskandar SQ. Pergulatan Membangun Pondok Pesantren © Asshiddiqiyah Press dan PT. Mencari Ridho Gusti.
Penulis: Amin Idris.
Post a Comment