ISLAM MEMBERIKAN KELELUASAAN DAN TIDAK MEMBATASI AKAL UNTUK MENGKAJI AGUNG CIPTA ILAHI

IBRAHIMPUN HANIF, KETIKA DITATAPNYA MATAHARI...'BUKAN"..LALU DILIHATNYA BULAN.."BUKAN"..SIANG..JUGA .MALAM..."BUKAN" "TIDAK TUHAN KU TIDAK MUNGKIN BISA TERGANTIKAN.."
MUHAMMAD SHOLALLAHU ALAIHI WASALLAM, UZLAH: menyendiri TADABUR: observasi TAFAKUR: merenung, kontemplasi DI GUA HIRA..
"Iqra' bismi rabbikal ladzi khalaq"
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.
[Q.S. Ali 'Imran: Ayat 190-191]


Kata "akal" berasal dari bahasa Arab: aqala, ya'qilu, aqlan.Sementara pakar berpendapat bahwa rangkaian ketiga huruf di atas berkisar maknanya pada “menghalangi” dan (dari sana) lahir kata ‘iqal yang berarti "tali". Mengapa "menghalangi" dan "tali"?

Tali yang biasanya berwarna hitam yang melilit kain yang menyelubungi kepala pria dalam pakaian Arab Saudi dinamai ‘iqal karena "tali" itu menghalangi" kain tersebut diterbangkan angin atau terjatuh. Demikian juga tali yang mengikat binatang agar tidak lepas/kabur.

Makna-makna lain yang ditemukan dalam bahasa Arab untuk kata tersebut, antara lain:

Pertama, (pem)paham(an)/ilmu. Dengan pemahaman dan ilmu seseorang bagaikan memiliki tali yang menghalanginya melakukan kesalahan atau keburukan. Makanya, dalam Qur'an, sinonim kata aqla adalah annuha yang seakar dengan kata yanha yang berarti "melarang" (Q.S. Thaha ayat 128) dan kata hijr yang berarti "kamar" yang antara lain berfungsi menghalangi.

Kedua, menghafal. Siapa yang menghafal bagaikan mengikat pengetahuannya sehingga tidak tercecer/terlupakan olehnya.

Ketiga, benteng/tempat berlindung, penjara. Tempat-tempat semacam itu menghalangi seseorang dari bahaya atau menghalanginya keluar agar tidak mengulangi kejahatannya.

Keempat, kehati-hatian. Sikap kehati-hatian membuat seseorang dapat terhalang/tenghindar dari apa yang tidak berkenan baginya.

Kelima, istri. Dinamai aqilah karena seorang istri telah terikat dalam perkawinan dengan seorang suami sehingga terhalangi untuk menikah dengan pria lain selama ia dalam status perkawinan itu.

Pakar bahasa Arab, al-Khalil bin Ahmad (718-788 M) berpendapat bahwa istri dinamai aqilah karena ia ditahan di rumah/tidak diperkenankan keluar. Pandangan ini tidak sejalan dengan semangat tuntunan al-Qur'an yang membolehkan istri keluar rumah secara terhormat. Di sisi lain, al-Qur'an menetapkan hukuman larangan keluar rumah bagi perempuan hanya kepada mereka yang melakukan fahisyah atau pelanggaran berat (Q.S. an-Nisa ayat 15)

Keenam, diyah/saksi yang berupa “ganti rugi” atas pembunuhan yang diserahkan atas nama pembunuh kepada keluarga terbunuh karena dengan diyah tersebut maka gugur dan terhalangilah keluarga terbunuh untuk menuntut balas/qishash terhadap pembunuh.

Benang merah yang menghimpun makna-makna di atas tidak keluar dari hakikat keterhalangan/keterhindaran.

Secara umum, makna kata ‘aqal dalam konteks potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia adalah potensi yang mendorong pada lahirnya budi pekerti luhur atau menghalangi seseorang melakukan keburukan. Makna ini, menurut pakar Mesir kenamaan, Abbas Mahmud al-Aqqad, sejalan dengan kata mind dalam bahasa-bahasa Indo-Germania yang juga mengandung arti “keterhindaran dan kehati-hatian” serta digunakan untuk mengingatkan seseorang agar berhati-hati. Memang, akal berfungsi mendorong ke arah kebaikan dan menghalangi/mengingatkan seseorang menyangkut dampak keburukan agar berhati-hati sehingga tidak terjerumus dalam bahaya/sesuatu yang tidak diinginkan.

Akal dalam al-Qur’an 

Dalam al-Qur’an al-Karim tidak ditemukan kata ‘aqala yang menunjuk potensi manusiawi itu. Yang ditemukan adalah kata kerjanya dalm bentuk ya’qilun dan ta’qilun. Masing-masing muncul dalam al-Qur'an sebanyak 22 dan 24 kali. Di samping itu, ada juga kata na’qilu dan qi’luha serta ‘aqaluhu yang masing-masing disebut sekali dalam al-Qur'an.

Terulangnya kata "akal" dan aneka bentuknya dalam jumlah yang sedemikian banyak mengisyaratkan pentingnya peranan akal. Bahkan kedudukan itu diperkuat oleh ketetapan al-Qur’an tentang pencabutan/pembatasan wewenang mengelola dan membelanjakan harta-walau milik seseorang bagi yang tidak memiliki akal/pengetahuan (Q.S. An-Nisa ayat 5). Bahkan pengabaian akal berpotensi mengantar seseorang tersiksa di dalam neraka (Q.S. Al-Mulk ayat 11).

Melalui akal, lahir kemampuan menjangkau pemahaman sesuatu yang pada gilirannya mengantar pada dorongan berakhlak luhur. Ini dapat dinamai al-‘aql al-wazi’, yakni akal pendorong.

Akal juga digunakan untuk memperhatikan dan menganalisis sesuatu guna mengetahui rahasia-rahasia yang terpendam untuk memperoleh kesimpulan ilmiah dan hikmah yang dapat ditarik dari analisis tersebut. Kerja akal di sini membuahkan ilmu pengetahuan sekaligus perolehan hikmah yang mengantar pemiliknya mengetahui dan mengamalkan apa yang diketahuinya. Ini dinamai al’aql al-mudrik, yakni akal penjangkau (pengetahuan).

Di samping kedua fungsi di atas, masih ada lagi yang melebihi keduanya, yaitu yang mencakup keduanya, tapi dalam bentuk yang sempurna dan matang sehingga tidak ada lagi kekurangan atau kekeruhan. Memang, bisa saja ada akal yang menghasilkan pengetahuan, tetapi (masih berpotensi mengandung) kekurangan hikmah. Demikian juga bisa jadi ada hikmah yang dilahirkan oleh mereka yang tidak berpengetahuan.

Banyak ayat al-Qur’an membicarakan ketiga fungsi di atas. Ambillah misalnya Q.S. Al-Baqarah ayat 165 yang menyatakan:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera-bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan (suburkan) bumi sesudah mati (kering)-Nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; (pada semua itu) sungguh terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berakal."

Ayat di atas merupakan salah satu dari puluhan ayat yang mengajak untuk menggunakan akal untuk memperhatikan fenomena alam dalam rangka meraih pengetahuan.

Firman-Nya dalam Q.S. Yusuf ayat 109: "Kami tidak mengutus sebelummu, melainkan orang laki-laki yang kami wahyukan kepada mereka di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka berpergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka dan sesungguhnya negeri akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu berakal?"

Ayat di atas merupakan salah satu ayat memerintahkan menggunakan akal dengan tujuan mendorong meraih pengetahuan dan hikmah guna menghindari hal-hal buruk di atas. Demikian juga firman-Nya dalam QS. Al-Hasyr ayat 14:

Mereka tiada akan menyerang kamu dalam keadaan padu, kecuali di dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok-tembok. Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Engkau mengira mereka bersatu padahal hati mereka berpecah belah. Itu disebabkan karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak berakal. Yakni tidak menggunakan akalnya untuk meraih pengetahuan dan hikmah.

Ada juga ayat-ayat yang berbicara tentang Ulu al-Albab atau ar-Rasikhun fi al-Ilm. Dua  istilah itu merujuk orang-orang yang demikian mantap pengetahuan dan pengamalan ilmi dan hikmah yang diraihnya. Mereka itu dinamai orang-orang yang memiliki rusyd.

Perhatikanlah firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 7:

Dan ketahuilah oleh kamu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Jika seandainya dia menuruti (kemauan sebagian) kamu (yang lemah imannya) dalam banyak urusan, tentu kamu benar-benar akan mendapat kesulitan (dan kebinasaan), tetapi Allah telah menjadikan kamu (para sahabat Rasulullah) yang setia, cinta kepada keimanan dan menjadikannya indah dalam hati kamu serta menjadikan kamu membenci kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah ar-rasyidin (orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus).

Demikian juga QS. Ali-Imran ayat 7:

Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad SAW). Di antara ayat-ayat(nya) ada yang mukhamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an, dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan kepada kesesatan, maka mereka mengikuti dengan sungguh-sungguh apa (ayat-ayat) yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah (kekacauan dan kerancuan berpikir serta keraguan di kalangan orang-orang beriman) dan untuk mencari-cari ta’wilnya (yang sesuai dengan kesesatan mereka), padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: 'Kami beriman dengannya (al-Qur’an), semua dari sisi Tuhan Pemelihara kami'. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan Uli al-Albab."

Untuk meraih hal-hal di atas, maka akal harus difungsikan. Dalam konteks memfungsikannya, al-Qur’an sekali menggunakan kata yatafakkarun. Kali lain menggunakan ya’qilun. Kali ketiga memakai yatadabbarun, selanjutnya yatadzakkarun, dan lain-lain. Semuanya mengarah pada upaya memfungsikan akal guna meraih pengetahuan atau pengetahuan dan hikmah, bahkan guna meraih rusyd yang menjadikan peraihnya dinamai Ulu al-Albab atau ar-Rasikhun fi al-Ilm (orang yang mantap dalam pengetahuannya).

al-Qur’an tidak saja mengajurkan penggunaan akal, tetapi juga mengecam yang tidak menggunakannya untuk meraih ilmu dan hikmah. Ini antara lain terbaca dalam firman-Nya pada QS. Az-Zumar ayat 9:

"Apakah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dalam keadaan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: 'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?' Sesungguhnya orang yang dapat menarik pelajaran adalah Ulu al-Albab."

Demikian juga firman-Nya dalam Q.S. Al-Araf ayat 179:

"Sungguh Kami telah ciptakan untuk Jahannam banyak dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak mereka gunakan memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan melihat dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."

Di samping itu, al-Qur’an menggarisbawahi perlunya menghindari hal-hal yang dapat menghambat akal untuk berpikir lebih jernih dan beramal lebih baik. Kecaman al-Qur’an terhadap mereka yang mengikuti tradisi leluhur tanpa dasar ilmu merupakan salah satu contoh dari penekanan kitab suci ini menyangkut pentingnya penggunaan akal.

Memang, kaum muslim dituntut untuk percaya, tetapi kepercayaan yang harus didukung oleh ilmu dan dikukuhkan oleh hati yang suci, bukan sekadar percaya atas dasar pengamalan dan pengamalan leluhur. Bertebaran ayat yang mengandung makna ini, antara lain Q.S. Al-Baqarah ayat 170:

Apabila dikatakan kepada mereka (oleh siapa pun): 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab: '(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami.'

Tuntunan Sunnah tentang Akal

Sikap Nabi SAW, bahkan ucapan-ucapan beliau pun, menunjukkan kedudukan akal yang sangat penting. Perhatikanlah, antara lain dialog beliau dengan Mu’adz bin Jabal RA, yang beliau tugaskan ke Yaman untuk menangani urusan kaum Muslim di sana.

Nabi bertanya kepadanya: “Atas dasar apa engkau memutuskan perkara jika engkau harus memutuskan?”

Mu’adz menjawab: “Aku memutuskan berdasarkan apa yang terdapat dalam kitab Allah/ al-Qur’an.”

Nabi kembali bertanya: “Kalau engkau tidak menemukan di sana?”

“Dengan Sunnah Nabi SAW,“ jawab Mu’adz.

“Kalau di Sunnah Nabi pun engkau tidak temukan?” tanya Nabi lagi.

Mu’adz menjawab: “Aku berijtihad/berusaha dengan sungguh menggunakan akalku tidak berlebih (dalam berijtihad).”

Mendengar jawabannya, Nabi SAW mengetuk dengan telapak tangan beliau ke dada Mu’adz pertanda memberi persetujuan beliau. Lalu Nabi bersabda:

Segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah menuju apa yang diridai Rasulullah (HR. Ahmad, Abu Daud. Dan at-Tirmidzy).

Memang, ada sementara ulama hadis yang menolak secara langsung semua hadis yang berbicara tentang akal. Itu mereka nyatakan tanpa merinci alasan-alasan ilmiah yang biasa digunakan ulama hadis ketika menilai kesahihan hadis. Ibnu al-Qayyim, Ibnu al-Jauzy, dan lain-lain menegaskan bahwa semua hadis yang berbicara tentang akal adalah palsu.

Al-Imam ad-Daraquthny menyebut empat nama yang merupakan sumber utama hadis-hadis itu dan yang dinilainya sebagai pembohong-pembohong. Dari satu sisi harus diakui bahwa memang ada hadis-hadis Nabi yang bila terhadapnya dapat dilakukan kritik sanad (rentetan perawinya), matan (kandungannya) yang harus ditolak, tetapi itu bukan menolak keseluruhannya, lalu atas dasar itu menolak penggunaaan akal.

Ibnu Taimiyah yang juga berbicara tentang akal dan terkesan menilai hadis-hadis tentang ini lemah, dia pun sama sekali tidak menolak penggunaan akal. Bahkan beliau menggunakannya dalam sekian banyak persoalan. Penolakannya itu lebih terarah (sebagai kritik) terhadap akal yang dipahami dan digunakan oleh fislsuf-filsuf Yunani dan pemikir-pemikir Muslim yang menggunakannya serta terkagum-kagum dengan mereka.Dengan uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa akal yang dimaksud oleh al-Qur’an adalah akal yang mengantar manusia meraih pengetahuan dan hikmah serta mengantarnya menuju akhlak luhur serta pemeliharaan kesucian nurani.Akal dan agama -yang merupakan dua anugrah Tuhan yang di berikan kepada manusia- ibarat dua sayap yang dengannya manusia bisa naik ke derajat yang sangat tinggi. Keduanya saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Ketika manusia hanya berpegang kepada salah satunya dan menyepelekan yang lain, dia akan terjerumus kepada kehancuran yang sulit diobati. Orang yang hanya berpegang kepada akal dengan meninggalkan agama, ia akan kehilangan jati dirinya dan akan hidup dalam kekeringan jiwa. Selain itu, ia juga akan mengalami kegelisahan jiwa karena banyak hal yang selalu muncul dalam jiwanya tentang arti dari kehidupan dimana ia tidak menemukan jawabannya. Seperti yang dialami oleh kebanyakan orang di abad sekarang ini, sehingga sebagian ilmuan barat seperti Franklin L. Baumer menyebut abad ini sebagai abad kegelisahan (Age of Anxiety). Di sisi lain ketika seseorang hanya berpegang kepada agama tanpa menggunakan akalnya, ia akan terjerumus kepada jurang kejumudan, penyimpangan-penyimpangan dan fanatisme buta.  Oleh karena itu, keduanya harus dipadukan dengan menjadikan akal sebagai alat untuk memilih, mebuktikan dan membela agama.
 
Definisi Akal
Akal dalam bahasa diartikan; al-habsu (penahan), al-man’u (penghalang) atau al-imsak (pencegah).  Ketika di terapkan pada manusia, ia berarti pengontrol hawa nafsu. Orang yang menjaga lisannya di sebut  aqala  lisanahu. Akal juga terkadang diartikan at-tadabbur, husnul-fahmi, atau al-idrâk. Maka akal menurut bahasa adalah pengontrol hawa nafsu sehingga manusia  bisa membedakan yang hak dan yang batil dan bisa sampai kepada pemahaman yang benar
Akal dalam istilah Filsafat, memiliki dua sudut pandang, pertama dari sudut pandang ontologi, yaitu salah satu dari tingkatan wujud (alam uqul / aql jauhari), merupakan alam yang berada antara alam ilahi dengan alam mitsâli menutut pandangan isyrâqi (Iluminasionis) dan hikmah muta’aliyah (Theosopi Trasendental), atau alam yang berada di antara alam ilahi dengan alam materi menurut madzhab Peripatetik (Masysya’i ,karena mereka tidak meyakini keberadaan alam mitsâli).  Dan kedua dari sudut pandang Epistemologi, dibagi menjadi dua bagian :
Pertama : al-aql an-nadzari (akal teoritis) sebagai lawan dari alaql al-‘amali, yaitu salah satu kekuatan yang ada dalam nafs. Yang memiliki kekuatan menalar wujud dan fenomena yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Aql nadzari memiliki empat tingkatan : aql hayula (hyle), aql bil-malak, aql bil-fi’il dan aql al-mustafad. Aql nadzari memiliki kemampuan berargumentasi, beristinbath (inferensi), mendefinisan sesuatu serta mengindra hal-hal yang kulli (universal) baik berupa tashawwur (gambaran) ataupun tashdiq (penegasan). Selain itu juga ia berperan  mencocokkan konsep dengan mishdaq-nya, menerapkan mayor terhadap yang minor, membagi dan menganalisa.
Kedua : Al-aql Al-‘amali adalah kekuatan dalam nafs manusia yang berperan menalar hal-hal yang wajib dilakukan serta fenomena-fenomena yang bersangkutan dengan perbuatan manusia.
 Para teolog mendefinisikan akal sebagai masyhurât; proposisi yang diterima oleh semua atau kebanyakan manusia atau proposisi-proposisi yang lazim diterima. Terkadang yang dimaksud dengan akal adalah otak yang berfungsi mengatur anggota badan untuk sampai kepada satu tujuan.
Yang menjadi pembahasan dalam hubungan akal dan agama, adalah akal dalam pengertian sebuah kekuatan berargumentasi (aql nadzari/akal teoritis)
Definisi Agama
Telah banyak perdebatan mengenai definisi agama yang terjadi di kalangan ulama baik muslim atau non-muslim. Bahkan sebagian berpendapat, kita sulit mendapatkan definisi yang bersifat jami’ wa mani’. Akan tetapi kita bisa mengambil benang-merah dari beberapa definisi yang disampaikan oleh para ilmuan.
Agama adalah serangkain aturan yang diturunkan oleh Tuhan lewat para nabi berupa wahyu yang bertujuan memberi hidayah kepada manusia. Kandungan agama ada yang bersifat ikhbâri (deskriptif) yaitu kabar tentang hakikat luar, ada atau tidak adanya, yang lain bersifat insyâ’i (imperatif) yaitu hakikat yang bersifat perintah atau larangan.
Sejarah Perjalanan Hubungan Akal dan Agama
A. Akal dan Agama di Dunia Barat
Di kalangan filosof barat terjadi pergolakan seru bersangkutan dengan hubungan antara akal dan agama. Kalangan filosof di abad pertengahan (medieval) berkeyakinan bahwa akal sebagai makhluk Tuhan selalu berjalan sejalan dengan agama. Tidak ada pertentangan antara akal dan agama.
Sebagian filosof masehi berkeyakinan bahwa wahyu ( agama ) telah memenuhi semua kebutuhan pengetahuan manusia, baik pengetahuan yang bersifat experimental, moral ataupun supra-natural. Berdasarkan pendapat ini akal dan filsafat sama sekali tidak memiliki tempat. Ketika Tuhan semuanya sudah memenuhi kebutuhan ini maka berfikir menjadi sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna.
Kelompok lain yang disponsori oleh Agustine dan Anselm, berkeyakinan bahwa untuk sampai kepada hakikat, tidak dimulai dari keyakinan akal kemudian iman, akan tetapi sebaliknya; langkah pertama adalah iman, dari wahyu dulu kemudian ke akal.
Para ilmuan abad pertengahan dengan mengikuti pendapat Plato membagi akal menjadi dua; akal partikular atau akal eksak dan akal universal. Adapun akal eksak dan pandang dunia matematis yang kemudian menjadi  trend di kalangan para ilmuan abad selanjutnya seperti Galileo, Newton dan Descartes.
Menurut pendapat mereka, akal memiliki kekuasaan mutlak dan di luar dari batasan wahyu. Sehingga berakibat larinya mereka dari agama Ilahi menuju agama natural dan menganut aliran Deisme. Akan tetapi kita menyaksikan adanya perkembangan di kalangan ilmuan dan menjadi tiga kelompok; kelompok pertama menerima keduanya (agama Ilahi dan agama natural ) dan berkeyakinan bahwa lewat wahyu dan aturan alami bisa menyampaikan manusia kepada Tuhan. Kelompok kedua, para pengikut agama natural yang cenderung bersikap apresiatif terhadap agama. Kelompok terakhir, terdiri dari ilmuan yang bersikap apresiatif terhadap keduanya, dan hanya mengakui kemampuan akal dalam menyelesaikan masalah ilmu pengetahuan dan agama.
Terjadi perbedaan menonjol antara kalangan filosof Rasionalisme abad 16-17 dengan para filosof Rasionalism abad 18-19. Para filosof Rasionalism abad 16-17  sebagai lawan dari kaum Empiris, sangat membela ajaran-ajaran Kristen. Seperti Descartes yang berpendapat bahwa mafhum (konsep) Tuhan tergolong kepada mafâhim fitri, atau Leibniz dan Malberns yang membuktikan wujud Tuhan dengan argumentasi-argumentasi akal. Sementara para filosof Rasionalism abad 18-19 meyakini bahwa keimanan akan keberadaan Tuhan tidak bisa dibuktikan lewat argumentasi-argumnetasi akal, melainkan lewat seliannya seperti lewat Psikologi, Sosiologi, Fideisme, pengalaman keagamaan (religious experience) dll. Seperti David Hume – filosof Inggris abad 18- dengan menolak hukum kausalitas beranggapan bahhwa pembelaan terhadap Kristen tidak mungkin bisa lewat argumentasi akal. Atau Kant serta para filosof Jerman seperti Kierkegaard, Hegel dan Husserl sehingga muncul faham-faham seperti Phenomenologi, Eksistensialism, Positivism Logic serta Language Analitic.
B.   Akal dan Agama di Dunia Islam
Islam adalah agama yang sangat menganjurkan umatnya untuk selalu berfikir dan menggunakan akalnya. Akal -sebagai mahkluk yang paling dicintai Tuhan dan merupakan hujjah dan rasul batin manusia- memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam. Terdapat kelompok yang anti akal. Kelompok lainnya sangat memuja akal sehingga mereka lebih mengedepankan akal dari pada wahyu. Kelompok ketiga adalah kelompok tengah yang memadukan keduanya; baik di kalangan fuqaha, mutakallimin (teolog) ataupun kalangan filosof.
Kaum agamawan pada masa hidup nabi-nabi mereka -khususnya nabi Islam-tidak begitu banyak memperhatikan masalah akal, karena semua masalah keagamaan bisa langsung ditanyakan kepada para nabi. Berbeda halnya pada masa setelah wafat beliau.  Sebagian kaum agamawan ada juga yang menentang adanya campur tangan akal dan argumentasi akal dalam agama dan memperingatkan masyarakat agar tidak mempelajari Logika, Filsafat atau Ilmu Kalam. Ibnu Taimiyah menganggap bahwa dengan menghindar dari akal dan argumentasi akal, akan mendekatkan manusia kepada kebenaran.
Di kalangan teolog Islam pun mengalami perbedaan pendapat ketika berbicara masalah keadilan Tuhan, kebaikan dan keburukan aqli
Perbedaan ini pun kita bisa saksikan terjadi di kalangan filosof. Seperti Al-Kindi berkeyakinan, jika filsafat adalah ilmu tentang hakikat sesuatu, maka pengingkaran terhadap filsafat berarti pengingkaran terhadap kenyataan/hakikat yang pada akhirnya bisa terjerumus kepada kekufuran.  Ia beranggapan bahwa antara agama dan filsafat adalah satu, ketika terjadi ta’arudl (kontradiksi) antara Filsafat dengan teks-teks agama, maka jalan keluarnya adalah lewat takwil ayat. Pendapat ini pun di ikuti oleh para filosof selanjutnya seperti Al-Farabi. Kecendrungan filosofis pun terus berlanjut, sehingga Al-Ghazali pun merasa terusik dan terpanggil untuk menyusun buku “ Tahafut Al-falasifah “, akan tetapi mendapat perlawanan dari Ibnu Rusyd dengan menulis tandingannya “ Tahafut at-tahafut”  sebagai jawaban dari buku Ghazali.
Pada masa-masa selanjutnya kita bisa menyaksikan para filosof yang tercerahkan mereka berhasil   membela ajaran wahyu lewat  argumentasi-argumentasi filosofis. Berhasil menciptakan tatanan filsafat yang pondasinya bersumber dari teks-teks agama.
Beberapa Faham Tentang Hubungan Akal dan Agama
Ada empat kelompok dalam menyikapi hubungan antara akal dan agama ;
Pertama, kelompok  Radical Rationalism. Menurut faham ini, seluruh doktrin-doktrin agama tanpa terkecuali bisa dibuktikan oleh akal. Dan syarat dari keimanan adalah dengan pembuktian ini. Akan tetapi faham ini memiliki dua kelemahan; banyak dari manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk membuktikan semua doktrin yang ada dalam agama, terus bagaimana nasib orang-orang seperti ini? Kelemahan lain dari faham ini, mereka lupa bahwa ada hal-hal dalam agama yang sama sekali akal tidak sampai kesana (bukan bertentangan dengan akal). Mungkin bebebapa hal dalam agama seperti pembuktian pokok-pokok dari agama (tauhid, ma’ad, kenabian, dll) akal bisa membuktikannya,  akan tetapi masalah-masalah partikular (juz’i) akal tidak sampai kepadanya.
Kedua,  kelompok Fideism. Faham ini meyakini bahwa semua doktrin agama tidak membutuhkan kepada pembuktian dan analisa akal, keimanan bisa muncul tanpa perlu argumentasi dan penelitian akal. Satu agama bisa diterima tidak perlu kepada standart apapun. pendapat ini tidak bisa diterima karena pada masalah pokok-pokok agama (ushuluddin) tidak mungkin bisa diyakini tanpa terlebih dahulu ada pembuktian akal.
Ketiga, kelompok Critical Rationalism.  Dengan tidak menerima dua kelompok di atas, faham ini selain meyakini bahwa kemungkinan melakukan kritik dan penelitian terhadap agama juga menganggap bahwa tidak satupun dari ajaran agama yang kebenarannya definitif (qath’i) dan mutlak. Faham ini jelas tidak bisa diterima, dengan alasan bahwa sebagian dari doktrin-doktrin agama sesuai dengan hukum pertama akal, dan sudah dibuktikan oleh akal.
Keempat, kelompok Rasionalisme yang seimbang (Moderat Rationalism). Doktrin agama dibagi menjadi tiga kelompok; pertama ada yang sejalan dengan akal (dapat diterima oleh akal) seperti ushuluddin, konsep-konsep umum moral dan lain-lain. kedua ajaran agama yang di luar (bukan bertentangan ) dari jangkauan akal sepeti jumlah rakaat dalam shalat,  ketiga doktrin agama yang bertentangan dengan hukum akal seperti trinitas dalam Kristen, hal-hal ini tidak hanya bertentangan dengan akal bahkan dapat digugurkan oleh akal.
Sesuai dengan faham ini, sebagian dari pokok agama menjadi objek penelitian,  setelah memahami dengan betul, kita mencari premis-premis argument dengan bersandar kepada badihiyyât (hal-hal yang gamblang, aksioma) dalam rangka membuktikan masalah tersebut.
Setelah kita melihat kelemahan-kelemahan yang ada pada faham pertama, kedua dan ketiga, maka yang bisa kita terima adalah pendapat yang terakhir. 
 katan antara akal dan agama adalah pembahasan yang cukup mendetail dalam sejarah pemikiran manusia. Banyak cabang pembahasan yang dibahas di dalamnya, di antaranya: bagaimana ikatan antara akal dan iman (dalam pandangan dunia Barat dan Islam)? Masalah yang perlu dilontarkan ikatan antara akal dan iman; keduanya menyangkut tentang keyakinan kita terhadap Allah Swt. Apakah keimanan atau kepercayaan terhadap sesuatu harus dijelaskan melalui dalil akal dan akal memberikan peran penting di dalamnya? Ataukah sudah merupakan hal yang jelas sehingga tidak butuh lagi oleh penjelasan dalil akal. Atau keimanan berdiri di luar garis tatanan akal dan tidak saling terkait? Bagaimana hubungan antara akal dan syariat?
Akal dan Iman
Salah satu pentingnya masalah dalam filsafat agama hubungan antara iman dan akal. Dalam masalah ini pertanyaan-pertanyaan telah diutarakan sebelumnya. Apakah keyakinan beragama yang berasaskan iman merupakan hal yang rasionalitas, perbuatan yang selain itu bertentangan dengan rasio. Jika apa yang kita sajikan tersebut tidak mampu mengklaim atau tidak mampu menetapkan keyakinan agama sesuai dengan akal, apakah itu benar. Sebagai contoh: untuk menetapkan adanya wujud Tuhan melalui sesuatu dalil, dengan itu kita yakin wujud Tuhan sesuatu yang bisa diterima oleh akal? Dalam pandangan agama Nasrani, pembahasan antara hubungan antara iman dan akal, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan. Pertama, kesesuaian antara keyakinan-keyakinan agama dengan akal, contohnya; iman terhadap Tuhan sesuatu yang diterima secara akal (Rasionalisme) Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas (1224-1273) berpendapat bahwa keimanan melalui pengajaran oleh kitab suci dan keseluruhan ajaran atau peraturan yang ada di dalamnya, adalah Tuhan langsung sebagai pengajarnya. Juga tidak diragukan sebagai kitab suci (perkataan Tuhan) yang diyakini adalah sudah merupakan hal-hal yang bersifat rasionalitas. Pendapat kedua, keyakinan-keyakinan agama tidak sesuai dengan akal (Fideisme). Di antara tokohnya adalah Alvin Plantinga (1932-) yang menyerupai fitrah pada diri manusia, dengan mengatakan keyakinan manusia terhadap Tuhan terdapat dalam jiwa manusia tanpa memerlukan dalil akal. Banyak lagi tokoh-tokoh yang mengatas namakan kedua kelompok di atas, juga terdapat pro dan kontra terhadap pendapat-pendapat di atas. Lain lagi yang berpendapat bahwa akal dapat mengganggu ketenangan iman, oleh karenanya tidak ada hubungan antara akal dan iman. Artinya iman akan di putar balikkan melalui dalil akal, sehingga dalil akal akan membahayakan keimanan bagi khalayak awam. Namun, sama-sama kita mengetahui bahwa salah satu kelebihan yang ada pada manusia dibanding dengan makhluk lainnya, jika manusia mengfungsikan akalnya. Banyak persoalan yang ada dalam konsep keagamaan diselesaikan melalui dalil akal. Di sini akal terus berjuang mempertahankan haknya. Dan dalam persoalan syariatpun, dalil akal untuk menopang kesempurnaannya.
Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.” [1] Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin. Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal. Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an, sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

Akal dan Syariat
Dalam Islam kita lihat bahwa ada sebagian hukum-hukum syariat yang secara rasional tidak bisa kita jelaskan, seperti: mengapa shalat zuhur empat rakaat dan shalat subuh dua rakaat. Dan dalam kategori lain sebagian hukum-hukum syariat dengan dijelaskan alasan dan tujuan dari hukum-hukum tadi berdasarkan dalil akal, contohnya: berdusta adalah perbuatan yang jelek(dalil akal), dikarenakan merugikan orang lain, riba dianggap sebagai perbuatan yang jelek dikarenakan tidak menjaga maslahat kaum miskin, dan penguasaan kekayaan hanya berputar pada orang-orang kaya, membantu orang lain dianggap sebagai perbuatan baik karena memberikan manfaat. Seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hukum akal, ketika hukum tersebut tidak kita temukan di dalam al-qur’an dan hadist serta ijma’. Melalui jalan ini dalil khusus tidaklah diketahui, juga dalil yang berasal dari nash yang sahih tidak dapat menetapkan (tidak ada nash). Akal memberikan hukumnya dalam bentuk ikhtiyat(kehati-hatian), bara’ah (berlepas), pemilihan, memberikan fatwa penafian segala bentuk yang berbahaya, dan lain-lain.Namun, kita percaya bahwa semua perbuatan pasti mempunyai tujuan, dan manfaat tersebut akan kembali pada manusia. Dalam syariat pun berlaku demikian. Kita berkeyakinan bahwa semua hukum-Nya (termasuk hukum-hukum yang tidak diketahui manfaat dan tujuan oleh kita) memiliki tujuan dan bermanfaat bagi manusia. Bukan hanya tugas seorang ulama yang menemukan dengan melalui hasil ijtihadnya untuk menjelaskan hukum-hukum syariat tadi, juga tugas dari para pakar sains dan ilmuwan untuk menyingkap tujuan dari hukum-hukum tersebut. Para mujtahid bekerja sama dalam menyingkap hukum berdasarkan dalil-dalil yang didapat dari alqur’an dan hadist. Di sini Islam menentang adanya penafsiran hukum-hukum syariat berdasarkan pendapat sendiri.
Batasan-batasan Akal
Ahli Ma’rifat mengatakan: akal untuk mengenal agama, adalah sesuatu yang lazim, akan tetapi itu tidaklah cukup. Karena apa yang akan dipahami, melebihi atas pemahaman ilmu usuli, apa yang disebut dengan penyaksian (syuhudi), yakni di luar apa yang dipahami oleh akal. Begitu juga apa yang dapat kita rasakan langsung melalui perantara panca indera , setelah melalui proses uji coba, tidaklah memerlukan dalil akal (burhan), akal hanya memberikan hukum general (kulli) terhadap permasalahan tersebut.
Pembelaan Akal terhadap Agama
Jika ditanyakan bahwa apakah permasalahan general(kulli) dan partikular(juz’i) adanya pembelaan akal terhadap agama? Jawabannya adalah: terhadap masalah-masalah partikular, akal tidak berperan di dalamnya, dan tidak memerlukan dalil akal (argumentasi) , juga terhadap masalah partikular alam, partikular syariat. Adapun sebaliknya terhadap masalah-masalah general alam dan syariat, adalah jalan untuk menggunakan dalil akal. Oleh karena itu, akal berperan penting dalam menggariskan hukum-hukum general agama dan syariat, juga hukum-hukum general alam , yakni setelah keberadaan Allah Swt kita yakini, dan Allah Swt dengan ilmu, kehendak, dan hikmah dan semua sifat kebaikan-Nya telah kita kenali, sehingga dapat dipahami bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mempunyai tujuan dalam ciptaan-Nya. Dengan kata lain, oleh karena segala perkara, tujuan alam tidak dapat diketahui. Dan dikarenakan alam adalah ciptaan Allah Swt. Pastilah dalam ciptaan-Nya pun mempunyai tujuan dan maksud. Namun perlu diketahui bahwa semua tujuan dan manfaat tersebut kembali pada manusia . Dapat disimpulkan bahwa:
1. Agama bersifat general (kulli), mendapatkan pembelaan akal secara langsung.
2. Partikular agama secara langsung dan tanpa perantara tidak bisa dibuktikan melalui dalil akal, akan tetapi secara tidak langsung dan melalui perantara dengan menggunakan dalil akal.
3. Tidak adanya pembelaan secara akal, tanpa perantara atas partikular agama dikarenakan terbatasnya akal dalam perkara-perkara secara partikular.
4. Setelah merasakan penyaksian kebenaran perkara-perkara partikular, mampu untuk diterangkan melalui dalil akal.
5. Akal dalam menegakkan dalil untuk masalah-masalah partikular sangatlah terbatas dan ukuran kebenaran atasnya tidaklah bisa dipertahankan.
Kebenaran Iman
Beberapa contoh tentang beberapa kemungkinan rasionalitas iman dan tidak mungkinnya rasionalitas iman:
1. Jika yang dimaksud dengan iman di sini adalah perkara-perkara partikular, yang memiliki realitas di luar. Maka di sini akal tidak mampu menerima perkara partikular, dan keimanan tidak dapat diuraikan dengan dalil akal. Contohnya: wujud adanya surga, yang merupakan wujud realitas di luar, dengan dalil akal tidak dapat membuktikannya. Namun apabila surga dengan pemahaman general sebagai sebuah tempat pahala yang akan diterima dari perbuatan baik atau sebagai bentuk luar (misdaq) dari perbuatan pahala perbuatan.
2. Jika yang dimaksud dengan iman adalah hasil dari pengalaman spiritual atau sebuah pengalaman spiritual pribadi yang tertentu, maka dalil akal tidak dapat membuktikannya. Karena dengan pengalaman spiritual pribadi akan mengakibatkan berbagai macam interpretasi dari bentuk keimanan. Oleh karenanya para nabi mengajak kaumnya kepada keimanan dengan dalil akal dan ditopang oleh wahyu dan tidaklah dengan menerangkan hasil dari pengalaman pribadinya tanpa melalui penerangan wahyu.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.