ANTARA ISLAM DAN NEGARA MENURUT PAK KARNO
Sebenarnya perdebatan mengenai dasar
negara diawali pada masa kolonial, dengan adanya polemik Soekarno dengan
M Natsir yang masing-masing dianggap mewakili pandangan golongan
kebangsaan dengan golongan Islam, Di mana polemik semacam itu
berkelanjutan setelah Indonesia Merdeka hinggga pada masa-masa awal Orde
Baru.
Ketika ada pandangan yang menginginkan
dasar negara Indonesia berdasarkan Islam pada masa menjelang Perang
Pasifik, Soekarno memberi reaksi. Sambil menunjukan keberhasilan Turki
di bawah Kemal Attartuk, ia menginginkan suatu negara yang terpisah dari
urusan agama. Urusan agama adalah urusan agama, urusan negara adalah
urusan negara, katanya. Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip
pendapat ulama Mesir, Ali Abd Al-Raziq dalam bukunya, Al-Islam wa Usul
Al-Hukum (1925), yang mencoba membuktikan bahwa tugas Nabi Muhammad
ialah menegakkan agama, tanpa berminat mendirikan negara, suatu
pemerintahan dunia, tanpa membentuk khafilah atau pengangkatan seorang
kepala suatu masyarakat politik.
Melalui artikel,” Apa Sebab Turki
Memisahkan Agama dari Negara,” Pandji Islam (1940), sebenarnya ia
menginginkan agar di suatu perwakilan rakyat sebagai ciri-ciri demokrasi
suatu negara, di mana di tempat itulah golongan Islam mempunyai
kesempatan untuk mewarnai undang-undang negara, asalkan golongan Islam
iti mempunyai suara mayoritas dalam parlemen, hal ini tentunya
tergantung suara yang diperoleh golongan Islam dalam Pemilihan Umum.
Soekarno menambahkan bahwa pemikiran inilah yang terdapat pada kalangan
pemimpin Turki ketika mereka memisahkan agama dengan negara.
Di kalangan umat Islam sampai sekarang
terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan.
Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam
pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan
Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan yang
lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk
kehidupan bernegara.
didalam kalangan umat Islam, sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan Ketatanegaraan. aliran pertama berpendirian
bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian barat, yaitu
hanya menyangkut hubungan antara manusisa dengan Tuhan. sebaliknya,
Islam adalah suatau agama yang sempurna dan yang lengkap dengan
pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan
bernegara.
Aliran kedua, berpendirian bahwa
Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya
dengan utusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad SAW hanyalah
seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas
tunggal mengajakmanusia kembali pada kehidupan yang mulia dengan
menjunjung tinggi budi pekerti luhur; dan Nabi tidak pernah dimaksudkan
untuk menidirikan dan mengepalai satunegara.
Aliran ini ketiga, menolak pendapat
bahwa Islam adalah agama yang serbalengkap dan bahwa dalam Islam
terdapat ssistem ketatanegaraan. Namun, aliran ini juga menolak anggapan
bahwa Islam adalh agama dalam pengertian Barat yang mengatur hubungan
antaramanusia dan Maha Pencipta. Aliran ini berpendirian bahwa dalam
Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, yang trdapat seperangkat
tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Begitu kata Munawir Sjadzali
dalam Islam dan Tata Negara (1990).
Piagam Jakarta
Pada 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan
pemikirannya tentang Pancasila, yaitu lima dasar negara Indonesia yang
diusulkan berkenaan dengan permasalahan sekitar dasar negara Indonesia
Merdeka. Sebagai sila pertama dari dasar negara, ia mengajukan dasar
kebangsaan. Ia jelas terlihat menolak Islam sebagai suatu dasar negara,
tetapi bukan berarti ia tidak mengindahkan aspirasi golongan Islam. Hal
ini terlihat ketika ia mencoba menampung aspirasi golongan Islam. Hal
ini terlihat ketika ia mencoba menampung aspirasi umat Islam. “Inilah
tempat kita mengemukakan tuntutan-tuntutan umat Islam …. Jikalau memang
kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya
sebagaian terbesar kursi-kursi Dewan Perwakilan Rakyat yang kita adakan
diduduki oleh utusan-utusan Islam …. Dengan sendirinya hukum-hukum yang
keluar dari Dewan Perwakilan Rakyat itu, hukum Islam pula … “
Dasar negara Pancasila Soekarno, kata
Muhammad Ridwan Lubis, merupakan perwujudan pandangan Soekarno yang
memisahan agama dan negara. Pemisahan agama dari negara ini sejalan
dengan pendiriannya bahwa setiap masalah yang tidak dinyatakan secara
tegas dalam al Quran dan Hadits, harus diartikan bahwa umat Islam diberi
kesempatan untuk merumuskannya sesuai dengan kondisi sosial mereka,
asalkan tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Masalah tersebut
dikembangkan Soekarno pada pembicaraan yang cukup hangat waktu itu,
yaitu soal negara Islam. Menurut Soekarno sebutan negara Islam hanyalah
rumusan para ulama dan intelektual muslim tanpa ada dasar yang tegas
dari sumber ajaran Islam. Oleh sebab itu, tidak ada keharusan untuk
mendirikan negara Islam, yang dituntut dari umat Islam adalah
diterapkannya etika Islam dalam negara yang didirikan itu. Hal ini dapat
diperoleh apabila masing-masing umat Islam menyadari adanya
tanggungjawab bersama terhadap perwujudan cita-cita Islam dalam negara
kebangsaan. Tumbuhnya rasa tanggungjawab bersama ini adalah hasil dari
proses sosialisasi Islam dalam kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, dibentuk panitia kecil yang
terdiri dari sembilan orang, yaitu Soekarno, Moh. Hatta, Moh Yamin,
Achmad Soebardjo, A.A Maramis, Abd. Kahar Moedzakir, Wachid Hasyim, Abi
Kusno Djokrosoyoso dan Agus Salim. Pertama sampai kelima adalah mewakili
pandangan golongan kebangsaan dan selebihnya mewakii pandangan golongan
Islam. Akhirnya terjadi kesepakatan diantara kedua pihak, yang
selanjutnya disepakati sidang dan dicantumkan di dalam Preambule. Disitu tercantum aspirasi umat Islam “Suatu
hukum dasar negara Indonesia … Dengan berdasarkan kepada Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syari’at agama Islam bagi
pemeluk-pemeluknya …” Rumusan ini dikenal masyarakat luas sebagai Piagam Jakarta.
Mengapa golongan Islam yang mayoritas
dalam BPUPKI dapat berkompromi dengan golongan kebangsaaan ? Hal ini
mungkin tercantumnya “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya …”
dalam Preambule UUD 1945 dan juga dalam pasan 29 ayat 1. Untuk
sementara, kompromi ini melegakan kedua belah pihak, walaupun disertai
perasaan berat dari kalangan Kristen.
Berkat perjuangan Soekarno, Piagam
Jakarta dengan konstitusinya dapat lolos, dengan alasan yang sama, bahwa
Piagam Jakarta tersebut merupakan kompromi antara dua gologan. Dalam
hal ini Soekarno tampil menjadi penengah dan pemersatu bangsa.
Post a Comment