SALMAN ALFARISI KEPINTARAN DAN AHLAQ
Dari
Persi datangnya pahlawan kali ini. Dan dari Persi pula Agama Islam
nanti dianut oleh orang-orang Mu’min yang tidak sedikit jumlahnya, dari
kalangan mereka muncul pribadi-pribadi istimewa yang tiada taranya, baik
dalam bidang kedalam ilmu pengetahuan dan ilmuan dan keagamaan, maupun
keduniaan.
Dan
memang, salah satu dari keistimewaan dan kebesaran al-Islam ialah,
setiap ia memasuki suatu negeri dari negeri-negeri Allah, maka dengan
keajaiban luar biasa dibangkitkannya setiap keahlian, digerakkannya
segala kemampuan serta digalinya bakat-bakat terpendam dari warga dan
penduduk negeri itu, hingga bermunculanlah filosof-filosof Islam,
dokter-dokter Islam, ahli-ahli falak Islam, ahli-ahli fiqih Islam,
ahli-ahli ilmu pasti Islam dan penemu-penemu mutiara Islam .
Ternyata
bahwa pentolan-pentolan itu berasal dari setiap penjuru dan muncul dari
setiap bangsa, hingga masa-masa pertama perkembangan Islam penuh dengan
tokoh-tokoh luar biasa dalam segala lapangan, baik cita maupun karsa,
yang berlainan tanah air dan suku bangsanya, tetapi satu Agama. Dan
perkembangan yang penuh berkah dari Agama ini telah lebih dulu
dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan beliau
telah menerima janji yang benar dari Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha
Mengetahui. Pada suatu hari diangkatlah baginya jarak pemisah dari
tempat dan waktu, hingga disaksikannyalah dengan mata kepala panji-panji
Islam berkibar di kota-kota di muka bumi, serta di istana dan
mahligai-mahligai para penduduknya.
Salman Arsitek Strategi Perang Khandaq
Salman
radhiyallahu ‘anhu sendiri turut menvaksikan hal tersebut, karena ia
memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu.
Peristiwa itu terjadi waktu perang Khandaq, yaitu pada tahun kelima
Hijrah. Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekah menghasut
orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu
menghadapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Kaum Muslimin,
serta mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan
vang akan menumbangkan serta mencabut urat akar Agama baru ini.
Siasat
dan taktik perang pun diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan
Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani
Quraidlah (Yahudi) akan menyerang-nya dari dalam — yaitu dari belakang
barisan Kaum Muslimim sehingga mereka akan terjepit dari dua arah,
karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka.
Demikianlah
pada suatu hari Kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan
tentara yang besar mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan
persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan
mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu.
Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:
Ketika
mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala
pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah nakh
sampai kerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap
Allah. (Q.S. 33 al-Ahzab:l0)
Dua
puluh empat ribu orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan
Uyainah bin Hishn menghampiri kota Madinah dengan maksud hendak
mengepung dan melepaskan pukulan menentukan yang akan menghabisi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Agama serta para shahabatnya.
Pasukan
tentara ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga
dari berbagai kabilah atau suku yang menganggap Islam sebagai lawan yang
membahayakan mereka. Dan peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan
menentukan dari fihak musuh-musuh Islam, baik dari perorangan, maupun
dari suku dan golongan.
Kaum
Muslimin menginsafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam-pun mengumpulkan para shahabatnya untuk
bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan
mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan
itu?
Ketika
itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang
yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam Itulah dia Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu!’ Dari tempat
ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah, dan sebagai
telah dikenalnya juga didapatinya kota itu di lingkung gunung dan
bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng juga layaknya. Hanya di
sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang, hingga
dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.
Di
negerinya Persi, Salman radhiyallahu ‘anhu telah mempunyai pengalaman
luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan
liku-likunya. Maka tampillah ia mengajukan suatu usul kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu suatu rencana yang belum pernah
dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini.
Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang
daerah terbuka keliling kota.
Dan
hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin
dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atau usul
Salman radhiyallahu ‘anhu tersebut.
Demi
Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapannya, mereka merasa
terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, hingga tidak kurang
sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena
tidak berdaya menerobos kota.
Dan
akhirnya pada suatu malam Allah Ta’ala mengirim angin topan yang
menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu
Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung
mereka … dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita
kekalahan pahit …
Sewaktu
menggali parit, Salman radhiyallahu ‘anhu tidak ketinggalan bekerja
bersama Kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam ikut membawa tembilang dan membelah batu.
Kebetulan di tempat penggalian Salman radhiyallahu ‘anhu bersama
kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.
Salman
radhiyallahu ‘anhu seorang yang berperawakan kukuh dan bertenaga besar.
Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan
memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar
ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya
menghasilkan kegagalan belaka.
Salman
radhiyallahu ‘anhu pergi mendapatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan minta idzin mengalihkan jalur parit dari garis semula,
untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pun pergi bersama Salman radhiyallahu ‘anhu
untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi. Dan setelah
menyaksikannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta sebuah
tembilang dan menyuruh para shahabat mundur dan menghindarkan diri dari
pecahan-pecahan batu itu nanti….
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua
tangannya yang mulia yang sedang memegang erat tembilang itu, dan
dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu
terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang
tinggi dan menerangi. “Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran
kota Madinah”, kata Salman radhiyallahu ‘anhu, sementara Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan takbir, sabdanya:
Allah
Maha Besar! Ahu telah dikaruniai hunci-kunci istana negeri Persi, dan
dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan
Hirah begitu pun kota-kota maharaja Persi dan bahwa ummatku akan
menguasai semua itu.
Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat tembilang itu
kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya. Maka tampaklah
seperti semula tadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan lambaian api
yang tinggi dan menerangi, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bertakbir sabdanya:
Allah
Maha Besar! Ahu telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak
nyata olehku istana-istana merahnya, dan bahwa ummatku akan
menguasainya.
Kemudian
dipukulkannya untuk ketiga kali, dan batu besar itu pun menyerah pecah
berderai, sementara sinar yang terpancar daripadanya amat nyala dan
terang temarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengucapkan
la ilaha illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum Muslimin. Lalu
diceritakanlah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau
sekarang melihat istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria maupun
Shan’a, begitu pun di daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan
berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Maka dengan
keimanan penuh Kaum Muslimin pun serentak berseru:
Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya …. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.
Salman
radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang mengajukan saran untuk membuat
parit. Dan dia pulalah penemu batu yang telah memancarkan
rahasia-rahasia dan ramalan-ramalan ghaib, yakni ketika ia meminta
tolong kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Ia berdiri di
samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyaksikan cahaya dan
mendengar berita gembira itu. Dan dia masih hidup ketika ramalan itu
menjadi kenyataan, dilihat bahkan dialami dan dirasakannya sendiri.
Dilihatnya kota-kota di Persi dan Romawi, dan dilihatnya mahligai istana
di Shan’a, di Mesir, di Syria dan di Irak. Pendeknya disaksikan dengan
mata kepalanya bahwa seluruh permukaan bumi seakan berguncang keras,
karena seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak
menara-menara tinggi di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah Allah
….Nah, itulah dia sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang
rindang berdaun rimbun,
Salman Sebagai Pengembara Rohani
di
muka rumahnya di kota Madain; sedang menceriterakan kepada
shahabat-shahabatnya perjuangan berat yang dialaminya demi mencari
kebenaran, dan mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama
nenek moyangnya bangsa Persi, masuk ke dalam agama Nashrani dan dari
sana pindah ke dalam Agama Islam. Betapa ia telah meninggalkan kekayaan
berlimpah dari orang tuanya dan menjatuhkan dirinya ke dalam lembah
kemiskinan demi kebebasan fikiran dan jiwanya .. .! Betapa ia dijual di
pasar budak dalam mencari kebenaran itu, bagaimana ia berjumpa dengan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan iman kepadanya …!
Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya!
“Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama “Ji”. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluq Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.
“Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama “Ji”. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluq Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.
Bapakku
memiliki sebidang tanah, dan pada suatu hari aku disuruhnya ke sana.
Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum
Nashrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, maka aku masuk ke dalam
untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka
sembahyang, dan kataku dalam hati: “Ini lebih baik dari apa yang aku
anut selama ini!” Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari
terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula
kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.
Karena
agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang
Nashrani dari mana asal-usul agama mereka. “Dari Syria”,ujar mereka.
Ketika
telah berada di hadapan bapakku, kukatakan kepadanya: “Aku lewat pada
suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara
mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari
agama kita”. Kami pun bersoal-jawab melakukan diskusi dengan bapakku dan
berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku ….
Kepada
orang-orang Nashrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama
mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syria, supaya aku
diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka
ke sana. Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai. Lalu
meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada rombongan itu
menuju Syria.
Sesampainya
di sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia
adalah uskup pemilik gereja. Maka datanglah aku kepadanya, kuceriterakan
keadaanku. Akhirnya tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan,
melaksanakan ajaran mereka dan belajar, Sayang uskup ini seorang yang
tidak baik beragamanya, karena dikumpulkannya sedekah dari orang-orang
dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya pribadi.
Kemudian uskup itu wafat ….dan mereka mengangkat orang lain sebagai
gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih baik beragamanya dari
uskup baru ini. Aku pun mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku
merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu dari padanya.
Dan
tatkala ajalnya telah dekat, tanyaku padanya: “Sebagai anda maklumi,
telah dekat saat berlakunya taqdir Allah atas diri anda. Maka apakah
yang harus kuperbuat, dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi.
“Anakku!”, ujarnya: “tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama
langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul”.
Lalu
tatkala ia wafat aku pun berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta
yang disebutkannya itu. Kuceriterakan kepadanya pesan dari uskup tadi
dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.
Kemudian
tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang harus
kuturuti. Ditunjukkannyalah orang shalih yang tinggal di Nasibin. Aku
datang kepadanya dan ku ceriterakan perihalku, lalu tinggal bersamanya
selama waktu yang dikehendaki Allah pula.
Tatkala
ia hendak meninggal, kubertanya pula kepadanya. Maka disuruhnya aku
menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di ‘Amuria, suatu kota yang
termasuk wilayah Romawi.
Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya, sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor banyaknya.
Kemudian
dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan padanya kepada siapa aku
dipercayakannya. Ujarnya: “Anakku.’ Tak seorang pun yang kukenal serupa
dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya. Tetapi
sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang
mengikuti agama Ibrahim secara murni. la nanti akan hijrah he suatu
tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah
berbatu-batu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia,
la mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan
shadaqah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap
kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya’:
Kebetulan
pada suatu hari lewatlah suatu rombongan berkendaraan, lalu kutanyakan
dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab,
maka kataku kepada mereka: “Maukah kalian membawaku ke negeri kalian,
dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan
kambing-kambingku ini?” “Baiklah”, ujar mereka.
Demikianlah
mereka membawaku serta dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri
yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka
menjualku kepada seorang yahudi. Ketika tampak olehku banyak pohon
kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku
dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata
dugaanku meleset.
Mulai
saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu
hari datang seorang yahudi Bani Quraizhah yang membeliku pula
daripadanya. Aku dibawanya ke Madinah, dan demi Allah baru saja kulihat
negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.
Aku
tinggal bersama yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani
Quraizhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam yang datang ke Madinah dan singgah pada Bani ‘Amar bin
‘Auf di Quba.
Pada
suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sedang majikanku
lagi duduk di bawahnya, tiba-tiba datang seorang yahudi saudara
sepupunya yang mengatakan padanya:
“Bani
Qilah celaka! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba
yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai Nabi Demi Allah, baru saja ia
mengucapkan kata-kata itu, tubuhku-pun bergetar keras hingga pohon
kurma itu bagai bergoncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku.
Aku segera turun dan kataku kepada orang tadi: “Apa kata anda?” Ada
berita apakah?” Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya,
serta bentaknya: “Apa urusanmu dengan ini, ayoh kembali ke pekerjaanmu!”
Maka aku pun kembalilah bekerja …
Setelah
hari petang, kukumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar dan pergi
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Quba. Aku masuk
kepadanya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota
rombongan. Lalu kataku kepadanya: “Tuan-tuan adalah perantau yang sedang
dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah
kujanjikan untuk sedeqah. Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, maka
menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan
itu kubawa ke sini”. Lalu makanan itu kutaruh di hadapannya.
“Makanlah
dengan nama Allah”. sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
kepada para shahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan
tangannya menjamah makanan itu. “Nah, demi Allah!” kataku dalam hati,
inilah satu dari tanda-tandanya … bahwa ia tah mau memakan harta
sedeqah’:
Aku
kembali pulang, tetapi pagi-pagi keesokan harinya aku kembali menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil membawa makanan, serta
kataku kepadanya: “Kulihat tuan tak hendak makan sedeqah, tetapi aku
mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah”,
lalu kutaruh makanan di hadapannya. Maka sabdanya kepada shahabatnya:
‘Makanlah dengan menyebut nama Allah ! ‘ Dan beliaupun turut makan
bersama mereka. “Demi Allah’: kataku dalam hati, inilah tanda yang
kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah ‘:
Aku
kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian kupergi
mencari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kutemui beliau di
Baqi’, sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh
shahabat-shahabatnya. Ia memakai dua lembar kain lebar, yang satu
dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.
Kuucapkan
salam kepadanya dan kutolehkan pandangan hendak melihatnya. Rupanya ia
mengerti akan maksudku, maka disingkapkannya kain burdah dari lehernya
hingga nampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap henabian
sebagai disebutkan oleh pendeta dulu.
Melihat
itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil
menghadap oleh Rasulullah. Aku duduk di hadapannya, lalu kuceriterakan
kisahku kepadanya sebagai yang telah kuceriterakan tadi.
Kemudian
aku masuk Islam, dan perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk
menyertai perang Badar dan Uhud. Lalu pada suatu hari Rasulullah
menitahkan padaku:’Mintalah pada majihanmu agar ia bersedia
membebashanmu dengan menerima uang tebusan.”
Maka
kumintalah kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah,
sementara Rasulullah menyuruh para shahabat untuk membantuku dalam soal
keuangan.
Demikianlah
aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang
bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam perang
Khandaq dan peperangan lainnya.
Dengan
kalimat-kalimat yang jelas dan manis, Salman radhiyallahu ‘anhu
menceriterakan kepada kita usaha keras dan perjuangan besar serta mulia
untuk mencari hakikat keagamaan, yang akhirnya dapat sampai kepada Allah
Ta’ala dan membekas sebagai jalan hidup yang harus ditempuhnya ….
Corak
manusia ulung manakah orang ini? Dan keunggulan besar manakah yang
mendesak jiwanya yang agung dan melecut kemauannya yang keras untuk
mengatasi segala kesulitan dan membuatnya mungkin barang yang kelihatan
mustahil? Kehausan dan kegandrungan terhadap kebenaran manakah yang
telah menyebabkan pemiliknya rela meninggalkan kampung halaman berikut
harta benda dan segala macam kesenangan, lalu pergi menempuh daerah yang
belum dikenal — dengan segala halangan dan beban penderitaan — pindah
dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negeri ke negeri lain, tak
kenal letih atau lelah, di samping tak lupa beribadah secara tekun …?
Sementara
pandangannya yang tajam selalu mengawasi manusia, menyelidiki kehidupan
dan aliran mereka yang berbeda, sedang tujuannya yang utama tak pernah
beranjak dari semula, yang tiada lain hanya mencari kebenaran. Begitu
pun pengurbanan mulia yang dibaktikannya demi mencapai hidayah Allah,
sampai ia diperjual belikan sebagai budak belian …Dan akhirnya ia diberi
Allah ganjaran setimpal hingga dipertemukan dengan al-Haq dan
dipersuakan dengan Rasul-Nya, lalu dikaruniai usia lanjut, hingga ia
dapat menyaksikan dengan kedua matanya bagaimana panji-panji Allah
berkibaran di seluruh pelosok dunia, sementara ummat Islam mengisi
ruangan dan sudut-sudutnya dengan hidayah dan petunjuk Allah, dengan
kemakmuran dan keadilan.. .!
Bagaimana
akhir kesudahan yang dapat kita harapkan dari seorang tokoh yang tulus
hati dan keras kemauannya demikian rupa? Sungguh, keislaman Salman
radhiyallahu ‘anhu adalah keislamannya orang-orang utama dan taqwa. Dan
dalam kecerdasan, kesahajaan dan kebebasan dari pengaruh dunia, maka
keadaannya mirip sekali dengan Umar bin Khatthab.
Ia
pernah tinggal bersama Abu Darda di sebuah rumah beberapa hari lamanya.
Sedang kebiasaan Abu Darda beribadah di waktu malam dan shaum di waktu
siang. Salman radhiyallahu ‘anhu melarangnya berlebih-lebihan dalam
beribadah seperti itu.
Pada
suatu hari Salman radhiyallahu ‘anhu bermaksud hendak mematahkan niat
Abu Darda untuk shaum sunnat esok hari. Dia menyalahkannya: “Apakah
engkau hendak melarangku shaum dan shalat karena Allah?” Maka jawab
Salman radhiyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas
dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Di samping
engkau shaum, berbukalah; dan di samping melakukan shalat, tidurlah!”
Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah, maka sabdanya: Sungguh Salman radhiyallahu ‘anhu telah dipenuhi dengan ilmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri sering memuji kecerdasan Salman radhiyallahu ‘anhu serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji Agama dan budi pekertinya yang luhur. Di waktu perang Khandaq, kaum Anshar sama berdiri dan berkata: “Salman radhiyallahu ‘anhu dari golongan kami”. Bangkitlah pula kaum Muhajirin, kata mereka: “Tidak, ia dari golongan kami!” Mereka pun dipanggil oleh Rasurullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sabdanya: Salman adalah golongan kami, ahlul Bait.
Dan memang selayaknyalah jika Salman radhiyallahu ‘anhu mendapat kehormatan seperti itu …!
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menggelari Salman radhiyallahu ‘anhu dengan “Luqmanul Hakim”. Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya: “Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering”.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menggelari Salman radhiyallahu ‘anhu dengan “Luqmanul Hakim”. Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya: “Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering”.
Dalam
kalbu para shahabat umumnya, pribadii Salman radhiyallahu ‘anhu telah
mendapat kedudukan mulia dan derajat utama. Di masa pemerintahan
Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu ia datang berkunjung ke Madinah. Maka
Umar melakukan penyambutan yang setahu kita belum penah dilakukannya
kepada siapa pun juga. Dikumpulkannya para shahabat dan mengajak mereka:
“Marilah kita pergi menyambut Salman radhiyallahu ‘anhu!” Lalu ia
keluar bersama mereka menuju pinggiran kota Madinah untuk menyambutnya …
Semenjak
bertemu dengan Rasulullah dan iman kepadanya, Salman radhiyallahu ‘anhu
hidup sebagai seorang Muslim yang merdeka, sebagai pejuang dan selalu
berbakti. Ia pun mengalami kehidupan masa Khalifah Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu; kemudian di masa Amirul Mu’minin Umar radhiyallahu
‘anhu; lalu di masa Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu, di waktu mana ia
kembali ke hadlirat Tuhannya.
Di
tahun-tahun kejayaan ummat Islam, panji-panji Islam telah berkibar di
seluruh penjuru, harta benda yang tak sedikit jumlahnya mengalir ke
Madinah sebagai pusat pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak
untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam, hingga
negara mampu memberikan gaji dan tunjangan tetap. Sebagai akibatnya
banyaklah timbul masalah pertanggungjawaban secara hukum mengenai
perimbangan dan cara pembagian itu, hingga pekerjaan pun bertumpuk dan
jabatan tambah meningkat.
Maka
dalam gundukan harta negara yang berlimpah ruah itu, di manakah kita
dapat menemukan Salman radhiyallahu ‘anhu? Di manakah kita dapat
menjumpainya di saat kekayaan dan kejayaan, kesenangan dan kemakmuran
itu …?
Bukalah
mata anda dengan baik! Tampaklah oleh anda seorang tua berwibawa duduk
di sana di bawah naungan pohon, sedang asyik memanfaatkan sisa waktunya
di samping berbakti untuk negara, menganyam dan menjalin daun kurma
untuk dijadikan bakul atau keranjang.
Nah,
itulah dia Salman radhiyallahu ‘anhu Perhatikanlah lagi dengan cermat!
Lihatlah kainnya yang pendek, karena amat pendeknya sampai terbuka kedua
lututnya. Padahal ia seorang tua yang berwibawa, mampu dan tidak
berkekurangan. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat
sampai enam ribu setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis, satu
dirham pun tak diambil untuk dirinya. Katanya: “Untuk bahannya kubeli
daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham.
Yang
satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah
keluargaku, sedang satu dirham sisanya untuk shadaqah. Seandainya Umar
bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu melarangku berbuat demikian, sekali-kali
tiadalah akan kuhentikan!”
Lalu
bagaimana wahai ummat Rasulullah? Betapa wahai peri kemanusiaan, di
mana saja dan kapan saja? Ketika mendengar sebagian shahabat dan
kehidupannya yang amat bersahaja, seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar
radhiyallahu ‘anhum dan lain-lain; sebagian kita menyangka bahwa itu
disebabkan suasana lingkungan padang pasir, di mana seorang Arab hanya
dapat menutupi keperluan dirinya secara bersahaja.
Tetapi
sekarang kita berhadapan dengan seorang putera Persi, suatu negeri yang
terkenal dengan kemewahan dan kesenangan serta hidup boros, sedang ia
bukan dari golongan miskin atau bawahan, tapi dari golongan berpunya dan
kelas tinggi. Kenapa ia sekarang menolak harta, kekayaan dan
kesenangan; bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu
dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri..
.? kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia menerimanya?
Katanya:
“Seandainya kamu masih mampu makan tanah asal tak membawahi dua orang
manusia –, maka lakukanlah!” Kenapa ia menolak pangkat dan jabatan,
kecuali jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan
perang? Atau dalam suasana tiada seorang pun yang mampu memikul tanggung
jawab kecuali dia, hingga terpaksa ia melakukannya dengan hati murung
dan jiwa merintih? Lalu kenapa ketika memegang jabatan yang mesti
dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan padanya
secara halal?
Diriwayatkan
eleh Hisyam bin Hisan dari Hasan: “Tunjangan Salman radhiyallahu ‘anhu
sebanyak lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaannya) ketika ia
berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya (aba’ah)
dijadikan alas duduknya dan separoh lagi menutupi badannya. Jika
tunjangan keluar, maka dibagi-bagikannya sampai habis, sedang untuk
nafqahnya dari hasil usaha kedua tangannya”.
Kenapa
ia melakukan perbuatan seperti itu dan amat zuhud kepada dunia, padahal
ia seorang putera Persi yang biasa tenggelam dalam kesenangan dan
dipengaruhi arus kemajuan? Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya
ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu ruhnya
yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha
Tinggi lagi Maha Pengasih.
Sa’ad
bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu Salman radhiyallahu ‘anhu
menangis. “Apa yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah”,’) tanya Sa’ad,
“padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dalam keadaan
ridla kepada anda?” “Demi Allah, ujar Salman radhiyallahu ‘anhu, “daku
menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia,
hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya:
Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya”
Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya”
Kata
Sa’ad: “Saya perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali
satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya: “Wahai Abu Abdillah,
berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!” Maka
ujamya: “Wahai Sa’ad!
Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita.
Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi.
Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian”.
Rupanya
inilah yang telah mengisi kalbu Salman radhiyallahu ‘anhu mengenai
kekayaan dan kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia
dan segala harta, pangkat dengan pengaruhnya; yaitu pesan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya dan kepada semua shahabatnya,
agar mereha tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil bagian
daripadanya, kecuali sekedar bekal seorang pengendara.
Salman
radhiyallahu ‘anhu telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air
matanya masih jatuh berderai ketika ruhnya telah siap untuk berangkat;
khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang ditetapkan. Tak
terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan sebuah
baskom untuk tempat minum dan wudlu .:., tetapi walau demikian ia
menganggap dirinya telah berlaku boros …. Nah, bukankah telah kami
ceritakan kepada anda bahwa ia mirip sekali dengan Umar?
Pada
hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau kepala daerah di Madain,
keadaannya tak sedikit pun berubah. Sebagai telah kita ketahui, ia
menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia
tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedang
pakaiannya tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan
kesahajaannya tak berbeda dengan baju usangnya.
Pada
suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan raya, ia didatangi
seorang laki-laki dari Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma.
Rupanya beban itu amat berat, hingga melelahkannya. Demi dilihat olehnya
seorang laki-laki yang tampak sebagai orang biasa dan dari golongan tak
berpunya, terpikirlah hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan
dengan diberi imbalan atas jerih payahnya bila telah sampai ke tempat
tujuan. Ia memberi isyarat supaya datang kepadanya, dan Salman
radhiyallahu ‘anhu menurut dengan patuh. “Tolong bawakan barangku ini!”,
kata orang dari Syria itu. Maka barang itu pun dipikullah oleh Salman
radhiyallahu ‘anhu, lalu berdua mereka berjalan bersama-sama.
Di
tengah perjalanan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Salman
radhiyallahu ‘anhu memberi salam kepada mereka, yang dijawabnya sambil
berhenti: “Juga kepada amir, kami ucapkan salam” “Juga kepada amir?”
Amir mana yang mereka maksudkan?” tanya orang Syria itu dalam hati.
Keheranannya kian bertambah ketika dilihatnya sebagian dari anggota
rombongan segera menuju beban yang dipikul oleh Salman radhiyallahu
‘anhu dengan maksud hendak menggantikannya, kata mereka: “Berikanlah
kepada kami wahai amir!”
Sekarang
mengertilah orang Syria itu bahwa kulinya tiada lain Salman al-Farisi
radhiyallahu ‘anhu, amir dari kota Madain. Orang itu pun menjadi gugup,
kata-kata penyesalan dan permintaan maaf bagai mengalir dari bibirnya.
Ia mendekat hendak menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman
radhiyallahu ‘anhu menolak, dan berkata sambil menggelengkan kepala:
“Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu!
Suatu
ketika Salman radhiyallahu ‘anhu pernah ditanyai orang: Apa sebabnya
anda tidak menyukai jabatan sebagai amir? Jawabnya: “Karena manis wahtu
memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya!”
Pada
waktu yang lain, seorang shahabat memasuki rumah Salman radhiyallahu
‘anhu, didapatinya ia sedang duduk menggodok tepung, maka tanya shahabat
itu: Ke mana pelayan? Ujarnya: “Saya suruh untuk suatu keperluan, maka
saya tak ingin ia harus melakukan dua pekerjaan sekaligus”
Apa
sebenarnya yang kita sebut “rumah” itu? Baiklah kita ceritakan
bagaimana keadaan rumah itu yang sebenamya. Ketika hendak mendirikan
bangunan yang berlebihan disebut sebagai “rumah” itu, Salman
radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada tukangnya: “Bagaimana corak rumah
yang hendak anda dirikan?” Kebetulan tukang bangunan ini seorang ‘arif
bijaksana, mengetahui kesederhanaan Salman radhiyallahu ‘anhu dan
sifatnya yang tak suka bermewah mewah. Maka ujarnya: “Jangan anda
khawatir! rumah itu merupakan bangunan yang dapat digunakan bernaung di
waktu panas dan tempat berteduh di waktu hujan. Andainya anda berdiri,
maka kepala anda akan sampai pada langit-langitnya; dan jika anda
berbaring, maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya”. “Benar”, ujar
Salman radhiyallahu ‘anhu, “seperti itulah seharusnya rumah yang akan
anda bangun!”
Tak
satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau
diutamakan oleh Salman radhiyallahu ‘anhu sedikit pun, kecuali suatu
barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkannya, bahkan telah
dititipkan kepada isterinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi
dan aman.
Ketika
dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya,
dipanggillah isterinya untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya
hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula
dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari
wafatnya. Kemudian sang isteri disuruhnya mengambil secangkir air,
ditaburinya dengan kesturi yang dikacau dengan tangannya, lalu kata
Salman radhiyallahu ‘anhu kepada isterinya: “Percikkanlah air ini ke
sekelilingku … Sekarang telah hadir di hadapanku makhluq Allah’) yang
tiada dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian Setelah selesai, ia
berkata kepada isterinya: “Tutupkanlah pintu dan turunlah!” Perintah itu
pun diturut oleh isterinya.
Dan
tak lama antaranya isterinya kembali masuk, didapatinya ruh yang
beroleh barkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya … Ia
telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan; rindu
memenuhi janjinya, untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam dan dengan kedua shahabatnya Abu Bakar dan
Umar, serta tokoh-tolroh mulia lainnya dari golongan syuhada dan
orang-orang utama ….
Salman
radhiyallahu ‘anhu …. Lamalah sudah terobati hati rindunya Terasa puas,
hapus haus hilang dahaga. Semoga Ridla dan Rahmat Allah menyertainya.
*yang dimaksud makhluq Allah di sini, Malaikat.
PEJABAT negara, entah dia presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota atau wali kota yang ngotot meminta rumah dinas, pantas malu dengan pencetus strategi membangun parit pada Perang Khandak, Salman Alfarisi.
Sebab, sebagai amir/gubernur Madain, tiadalah sahabat mulia dari tanah Persia ini memiliki rumah dinas. Ia sebenarnya memang punya “rumah dinas”. Hebatnya pula ia minta seorang arsitek membikin denah-denah rumahnya. Kita simak bagaimana rupa rumah dinas itu. Rumah dinas kepunyaan Salman adalah jika Salman berdiri, kepalanya akan menyentuh langit-langit rumah. Dan, jika Salman tidur, kakinya pasti terantuk pada dindingnya.
Kesederhanaan Salman juga tecermin dari perangkat piring dan baskom sebagai wadah minum dan wudunya. Tidak lebih tidak kurang. Oh ya masih ada satu lagi, Salman memiliki seikat kesturi saat pembebasan Jalula dulu. Nanti, saat Salman sakit dan menjelang ajal, ia meminta istrinya menaburi kesturi dalam air untuk dipercikkan di sekitar tempat tidur sahabat yang mulia itu.
Salman juga bukan tipikal pemimpin yang minta dilayani. Pernah seorang sahabat bersilaturahmi ke rumah Salman. Ia mendapati Sang Gubernur tengah sibuk menggodok tepung untuk makanan. Kata sang tamu, “Ke mana pelayanmu.”
Salman menjawab, “Dia sedang kusuruh sesuatu. Tidak mungkin kan dia mengerjakan dua pekerjaan sekaligus.”
Jabatan dalam filosofi hidup Salman bukanlah keberkahan. Salman amat tidak menyenangi jabatannya sebagai amir. Namun, bukan berarti dia tidak bekerja secara maksimal sebagai seorang amir.
Sikap itu hanya menunjukkan kalau Salman bukanlah orang yang punya tabiat rakus jabatan. Pernah dia ditanya kenapa tidak menyukai jabatan sebagai amir. Salman lantas menjawab, “Jabatan itu manis saat dipegang, tetapi pahit saat dilepaskan.”
Sebab, sebagai amir/gubernur Madain, tiadalah sahabat mulia dari tanah Persia ini memiliki rumah dinas. Ia sebenarnya memang punya “rumah dinas”. Hebatnya pula ia minta seorang arsitek membikin denah-denah rumahnya. Kita simak bagaimana rupa rumah dinas itu. Rumah dinas kepunyaan Salman adalah jika Salman berdiri, kepalanya akan menyentuh langit-langit rumah. Dan, jika Salman tidur, kakinya pasti terantuk pada dindingnya.
Kesederhanaan Salman juga tecermin dari perangkat piring dan baskom sebagai wadah minum dan wudunya. Tidak lebih tidak kurang. Oh ya masih ada satu lagi, Salman memiliki seikat kesturi saat pembebasan Jalula dulu. Nanti, saat Salman sakit dan menjelang ajal, ia meminta istrinya menaburi kesturi dalam air untuk dipercikkan di sekitar tempat tidur sahabat yang mulia itu.
Salman juga bukan tipikal pemimpin yang minta dilayani. Pernah seorang sahabat bersilaturahmi ke rumah Salman. Ia mendapati Sang Gubernur tengah sibuk menggodok tepung untuk makanan. Kata sang tamu, “Ke mana pelayanmu.”
Salman menjawab, “Dia sedang kusuruh sesuatu. Tidak mungkin kan dia mengerjakan dua pekerjaan sekaligus.”
Jabatan dalam filosofi hidup Salman bukanlah keberkahan. Salman amat tidak menyenangi jabatannya sebagai amir. Namun, bukan berarti dia tidak bekerja secara maksimal sebagai seorang amir.
Sikap itu hanya menunjukkan kalau Salman bukanlah orang yang punya tabiat rakus jabatan. Pernah dia ditanya kenapa tidak menyukai jabatan sebagai amir. Salman lantas menjawab, “Jabatan itu manis saat dipegang, tetapi pahit saat dilepaskan.”
Lamaran Pernikahan menjadi saksi pernikahan persahabatan
madinahSalman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci. Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat,
rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamarseorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorangpendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicarauntuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah keinginan hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.
“Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup,beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
“Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda´ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
“Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, “Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
“Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. “Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman.
Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
“Allahu Akbar!”, seru Salman, “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda´, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar -untuk tidak mengatakan ‘merasa dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada
Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah. Sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan...Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Kata orang Jawa, “Milik nggendhong lali”. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Inilah sulitnya. Tak seperti seorang tukang parkir
yang hanya dititipi, kita diberi bekal oleh Allah untuk mengayakan nilai guna karuniaNya. Maka rasa memiliki kadang menjadi sulit ditepis..
Source: buku baru Salim A. Fillah: Jalan Cinta Para Pejuang/Gairah/Sergapan
Rasa Memiliki, by Pro-U Media 2008
madinahSalman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci. Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat,
rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamarseorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorangpendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicarauntuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah keinginan hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.
“Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup,beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
“Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda´ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
“Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, “Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
“Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. “Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman.
Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
“Allahu Akbar!”, seru Salman, “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda´, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar -untuk tidak mengatakan ‘merasa dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada
Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah. Sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan...Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Kata orang Jawa, “Milik nggendhong lali”. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Inilah sulitnya. Tak seperti seorang tukang parkir
yang hanya dititipi, kita diberi bekal oleh Allah untuk mengayakan nilai guna karuniaNya. Maka rasa memiliki kadang menjadi sulit ditepis..
Source: buku baru Salim A. Fillah: Jalan Cinta Para Pejuang/Gairah/Sergapan
Rasa Memiliki, by Pro-U Media 2008
Post a Comment