TENTANG IBNU ARABI DAN KONSEP PEMIKIRANNYA

Siapa yang tak kenal Ibn ‘Arabi? Mistikus besar bergelar al-Syaikh al-Akbar itu mungkin adalah tokoh paling berpengaruhnya dalam perkembangan tasawuf, tidak terkecuali perkembangan tasawuf di Nusantara pada abad 17-18. Banyak  nama yang bisa disebut seperti Hamzah al-Fansuri, Syams al-Din al-Sumatrani, ‘Abd al-Rauf as-Sinkili, Yusuf al-Makassari, dan ‘Abd Shamad al-Palimbani yang disinyalir terpengaruh dengan gagasan Ibn ‘Arabi. Bahkan, konon, Ronggowarsito yang terkenal dengan Ramalan Joyoboyo juga terpengaruh oleh Ibn ‘Arabi.


Islam di Nusantara pernah “digemparkan” wacana wahdatul wujud (kesatuan Eksistensi) atau manunggaling kawula-Gusti dengan tokohnya Syeh Siti Jenar di Jawa (Tengah) dan Hamzah Fansuri di Aceh. Sebuah pandangan yang meyakini bahwa hamba dan Tuhan bisa menyatu secara eksistensial.


Ibnu ‘Arabi Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai, sufi asal Murcia, Spanyol ini lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (Sang Penghidup Agama). Kendati tidak mendirikan tarekat populer—atau agama massa menurut istilah Fazlur Rahman—pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas dengan cepat, melalui murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan terminologi intelektual maupun filosofis.
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla. Di tempat itu, sekali lagi dirinya menjadi pegawai pemerintahan. Ia memiliki status sosial yang tinggi. Buktinya, salah satu adik istrinya, Yahya ibn Yughan, menjadi penguasa kota Tlemcen di Algeria. Fakta yang menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang paman akhirnya menanggalkan segala bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa pemerintahannya dan beralih menjadi seorang sufi dan zahid. Ibn ’Arabi pun menyebutkan dua orang pamannya yang menjadi sufi.

Pada masa mudanya Ibn ‘Arabi bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis bernama Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun 590, Ibn ’Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun 597/1200, sebuah ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun kemudian, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan dengan seorang syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang putri. Pertemuan dengan perempuan ini mengilhami Ibn ’Arabi untuk menyusun Tarjumân al-Asywâq. Di Mekkah pula ia berjumpa dengan Majd al-Din Ishaq, seorang syaikh dari Malatya, yang kelak akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn ’Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi (606-673/1210-1274).
Dalam perjalanan menyertai kepulangan Majd al-Din ke Malatya, Ibn ‘Arabi bermukim sementara waktu di Mosul. Di kota ini, ia ditahbiskan oleh Ibn al-Jami’, seseorang yang memperoleh kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidhr. Selama beberapa tahun Ibn ‘Arabi melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah, Mesir, serta kota suci Mekkah dan Madinah. Pada tahun 608/1211-12 M, ia dikirim ke Bagdad oleh Sultan Kay Kaus I (607-616/1210-19) dari Konya dalam misi yuridis kekhalifahan, kemungkinan ditemani oleh Majd al-Din. Ibn ’Arabi memiliki hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat berisi nasihat praktis. Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik Zhahir (582-615/1186-1218), putra Sultan Saladin (Shalah al-Din) al-Ayyubi.
 
Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn ’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) untuk mengajarkan karya-karyanya yang ditengarai berjumlah 290 buah. Ia pun menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan eksoteris seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan, terutama, hadis.
Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.
“Ibnu Arabi adalah  ulama’ sufi yang terkenal dengan Paham Wahdat al-Wujud  yang bermakna satu kesatuan, maksudnya yaitu antara makhluk dan sang Khalik jika dilihat dari hakekatnya pada dasarnya satu tidak ada perbedaan.  Sang Khalik sebagai wujud yag hakiki, sedangkan makhluk hanyalah bayangan dari sang khalik yang menyimpan sifat-sifat dari Allah SWT.

Konsep ini banyak Banyak menimbulakan pertentangan dari ulama’ sufi mengenai ajaran tersebut. Mereka beranggapan bahwa paham wahdat al-wujud  mulai melenceng jauh dari pemahaman tasawuf pada dasarnya”.

Konsep Tentang Wahdatul Wujud

Dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa Allah adalah “wujud mutlak“ yaitu zat yang mandiri, yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh sesuatu apa pun. di halaman lain dari kitab futuhat dia menulis “ pertama-tama yang harus diketahui bahwa Allah SWT adalah zat yang awal, yang tidak ada sesuatu pun mendahului-Nya tidak ada sesuatupun yang awal bersama-Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak membutuhkan sesuatu selain Dia. Dia adalah Tuhan yang maha Esa, yang tidak berhajat pada alam semesta.
Ibnu ‘Arabi dikenal dengan pembawa ajaran wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu yaitu hanya ada satu wujud yang sejati, yakni Allah SWT (al-Haqq). Sedang alam ini tidak lain adalah sekedar dari manifestasi (tajalliat) dari wujud yang sejati tersebut yang pada dirinya (alam) tidak memilki wujud sejati tau mutlak seperti Tuhan. Hubungan wujud sejati (Tuhan) dengan alam digambarkan lewat wajah dengan gambar, wajah itu muncul dari sejumplah cermin. Ibnu ‘Arabi pernah berkata wajah itu satu tetapi cermin seribu, sehingga wajah yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin, dan karena kaulitas dan posisi cermin berbeda antara satu cermin dengan cermin yang lain, maka pantulan wajah sama dan satu itu pun tampak berbeda-beda. itulah sebabnya. maka sekalipun Tuhan itu esa tetapi pantulannya (yaitu alam semesta) beraneka dan berjenis jenis.
Inti ajaran Tasawuf wahdatul wujud diterangkan Ibnu Arabi dengan menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya bergantung pada Tuhan Sang Pencipta. Yang tampak hanya baying-bayang dari Yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan, yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lain pun tidak ada karena seluruh a lam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanya Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu" wujud, yaitu wujud Tuhan, sedangkan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.
Ibnu ‘Arabi menggambarkan bentuk tajalli dengan simbol wajah dengan cermin, diibaratkan semisal kita ingin melihat wajah kita, kita tidak dapat melihatnya kecuali dalam cermin, yang nantinya kelihatan dalam cermin kelihatan gamblang dan jelas, tetapi kita tahu bahwa satu-satunya wajah yang riel adalah yang ada pada diri kita, bukan yang terpantul dalam cermin. Karena yang ada dalam cermin hanyalah sebuah bayangan.
Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud menjadi nyata oleh karena Tuhan sebagai yang zhahir memperlihatkan dirinya dalam suatu “wadah manifestasi” yakni di dalam kosmos itu sendiri. Tuhan tidak dapat memperlihatkan dirinya sebagai yang batin, karena menurut definisi, Tuhan sebagai yang batin tidak dapat dijangkau dan diketahui di dalam kosmos ini.
Setiap makhluk merupakan wadah manifestasi bagi wujud demikian juga masing-masing adalah bentuk (shurah) dari wujud. tidak ada kosmos dapat memiliki wujud selain berasal dari al-Haqq, sebuah hadits berbunyi “Bahwa Tuhan menciptakan Adam menurut bentuknya sendiri. Ibnu ‘Arabi menunjukkan banyak sekali fakta bahwa hadits menggunakan nama Tuhan-(Allah) yakni nama yang komprehensif yang menjadi rujukan semua nama selain Tuhan. oleh karena itu Manusia diciptakan lengkap dengan kemampuan potensialnya untuk menampilkan Tuhan sebagai Tuhan, yakni Tuhan yang di namai seluruh nama-nya, sementara makhluk lainnya di dalam kosmos hanya mampu menyuguhkan nama Tuhan tertentu saja dan terbatas.
Bagi Ibnu ‘Arabi alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, Tuhan dan alam semesta tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis. kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak seperti dalam uraian al-Qur’an bahwa Tuhan adalah yang tersembunyi (al Bathin) sekaligus yang tampak (al-Dzahir), yang esa (al-Wahid) sekaligus yang banyak (al-Katsir), yang terdaulu (al-Qadim) sekaligus yang baru (al-Hadits) yang ada (al-Wujud) sekaligus yang tiada (al-Adam). Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi realitas adalah satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda: sifat keTuhanan sekaligus sifat kemakhlukkan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen eksistensi sekaligus non eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di alam ini.
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (Khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud Khalik dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu ‘Arabi sebagai berikut:
 “Maha suci Tuhan yang lelah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu”
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid (penyembah) dengan ma 'bud (yang disembah). Bahkan antara yang penyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam. Ibnu ‘Arabi mengemukakan nya Kalau antara Khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu ‘Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu. tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduanya, yakni Dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
Paham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Kemudian diciptakanlah alam sebagai cermin yang merefleksikan gambaran diri-Nya. Setiap kali ingin melihat diri-Nya, Dia melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat aspek al-Haqq. Jadi, walaupun segala benda ini kelihatannya banyak, sebenarnya yang ada hanya satu wujud, yaitu al-Haqq.
Untuk menjelaskan ontologis Tuhan dan alam semesta, Ibnu ‘Arabi menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. simbol ini pertama. untuk menjelaskan sebab penciptaan alam yakni bahwa penciptaan alam ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah harta simpanan (kanz nahfi) yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai hadits Rasul yang menyatakan hal itu. Kedua untuk menjelaskan hubungan yang satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta. yakni Tuhan yang bercermin adalah satu tetapi gambar-nya banyak dan beragam. Dan apa yang tampak dalam cermin adalah dia, sama sekali bukan selainya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.
Penggambaran tersebut sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybih dan tanzih, imanen dan transenden yang digunakan Ibnu ‘Arabi dari segi tasybih Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualisasi sifatsifatnya. Dari segi tanzih Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas Ibnu ‘Arabi menyatakan “huwa la huwa” (Dia bukan Dia-yang kita bayangkan) sedekat dekat Manusia menyatu dengan Tuhan, tetapi tidak akan pernah menyatu dengan Tuhan, ia hanya menyatu dengan asma dan sifat-sifatnya menyatu dengan bayangan-Nya bukan dengan zat-Nya.
Ibnu ‘Arabi membuat keterkaitan yang sangat jelas manifestasi sempurna wujud dalam peran Manusia di dalam kosmos. dengan doktrinya yang terkenal ”manusia sempurna” yakni manusia yang mampu mengaktualisasikan semua potensialitas batinnya sesuai sifat dan asma Tuhan secara lengkap dan total. Di satu pihak dalam Manusia sempurna yang sangat berbeda dengan makluk lain. manusia yang mampu mewujudkan kausalitas yang terpuji. Insan kamil ini menjadi teladan bagi kebijaksanaan, kasih sayang dan segala kebaikan moral serta spiritual manusia. Mereka membibing individu dan masyarakat ke tingkatan tertinggi yakni Tuhan, dan insane kamil bertindak mencerminkan tindakan al-Haqq, dan mengarahkan kepada kebahagiaan tertinggi di alam akhirat, dalam manifastasi manuisawinya Ia seperti Nabi dan para auliya’.

Manusia sempurna adalah tujuan Tuhan dalam menciptakan kosmos tatkala disadari melalui insan kamil lah. Dia dapat menampakkan sifat-sifat-Nya secara total, hanya di dalam diri insan kamil saja terbentang kesempatan bagi wujud untuk menggapai kesempurnaan, tidak ada makhluk selain Manusia yang memiliki kesiapan yang dibutuhkan dalam menampilkan sifat Tuhan. jika wujud di dalam esensinya yang tidak tampak, maka ia sepenuhnya bukan fenomenalnya, hanya di dalam diri manusia sempurna (insan kamil) yang sanggup menampilkan setiap nama Tuhan dalam keselarasan dan keseimbangan secara sempurna.
Sebelumnya, di Timur Tengah muncul al-Hallaj dan Ibnu ‘Arabi yang dikenal sebagai peletak dasar paham wahdatul wujud. Kisah hidup mereka begitu legendaris, namun pemikiran mereka tidak banyak dikaji, terutama di pesantren yang lebih getol mengkaji tasawuf al-Ghazali (ihya ulumuddin) dan Ibnu ‘Athaillah (al-hikam) yang mengedepankan tasawuf “menata hati”.

Al-Hallaj dan Ibnu ‘Arabi dianggap sesat karena menyebarkan aliran tasawuf falsafi yang membuat penganutnya meninggalkan syariat, seperti salat, puasa, dll. Siti Jenar ditentang oleh dewan Wali Songo yang saat itu gencar bergerak di ranah fikih dan siyasah (politik).

Konon, Siti Jenar dihukum mati oleh Wali Songo, meski ada juga yang menganggapnya melakukan moksa (pindah alam). Keyakinan bahwa Siti Jenar melakukan moksa ini diperkuat dengan tidak ditemukannya makam Siti Jenar secara pasti.

Dalam konteks masyarakat umum, paham wahdatul wujud rentan menghadirkan kekufuran dan zindiq, karena mereka akan ramai-ramai meninggalkan syariat (ibadah) karena penyatuan diri dengan Tuhan dianggap sebagai puncak spiritualitas.

Pandangan tersebut akhirnya begerak di bawah tanah akibat kekalahan politik dari Islam syariat. Syeh Siti Jenar maupun Hamzah Fansuri mesti menerima hukuman dari ulama penjaga syariat. Pengikutnya banyak yang menutup diri, tidak mau terang-terangan mengaku berpaham wahdatul wujud. Kendati begitu, wahdatul wujud sebagai kajian tasawuf selalu menarik untuk ditelaah dalam dunia akademik.


Padahal dalam tasawuf Islam, mashur sebuah doktrin, bahwa untuk mencapai makrifat, harus menempuh jalan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Artinya, jalan tersebut merupakan rangkaian yang kontinu, tidak bisa dihilangkan salah satunya.

Paham wahdatul wujud tanpa syariat inilah yang mengemuka dalam setiap perdebatan ihwal tasawuf Islam, terlebih yang meyakini kemungkinan terjadi wahdatul wujud.

Lewat analisis yang mendalam, Oman Fathurahman berhasil melacak pandangan sufistik tersebut. Ada 31 versi tentang Ithaf al-Dhaki di dunia, yang menunjukkan betapa kitab ini sangat berpengaruh dalam kajian sufisme Islam. Namun, Oman mengambil salah satu versi dari Istanbul, koleksi Fazil Ahmaed Pasa, karena tahunnya menunjukkan angka paling tua di antara versi lainnya.
Ithaf al-Dhaki adalah karya Ibrahim al-Kurani sebagai jawaban untuk murid-muridnya dari Nusantara (al-Jawiyyin), terutama Hamzah Fansuri. Perlu dicatat meski disebut sebagai ulama al-Jawiyyin, tidak lantas ulama-ulama tersebut berasal dari Jawa. Al-Jawiyyin dipakai untuk menyebut umat Islam di Asia Tenggara (hlm, 47).

Kitab ini awalnya merupakan syarah (penjelasan) kitab al-Tuhfah Mursalah karangan al-Burhanfuri yang menimbulkan salah penafsiran di kalangan Muslim Nusantara. Tetapi lebih dari sekadar komentar, karya ini rupanya mampu berdiri secara otonom, lepas dari pengaruh al-Tuhfah Mursalah.
Karya tersebut diakui merupakan magnum opus dari al-Kurani yang membuka tabir pandangan Ibnu ‘Arabi  tentang wahdatul wujud. Dengan banyak mengutip ayat Alquran dan hadis, al-Kurani menunjukkan dirinya sebagai komentator sufisme yang mumpuni.
Ia lebih banyak berdiri sebagai penengah dari pelbagai aliran yang bertentangan. Dengan demikian, ia bukan pula pembela buta Ibnu ‘Arabi yang pemikirannya dianggap sebagai embrio paham wahdatul wujud.

 Bagi al-Kurani, kondisi kashf (tersingkapnya tanda-tanda dan keajaiban dunia tersembunyi) tidak lantas boleh meninggalkan syariat. Dia mengambil contoh peristiwa isra’ mi’raj, saat Nabi Muhammad Saw. mengalami kondisi kashf, yakni bertemu langsung dengan Jibril, sebelum diperintahkan untuk shalat lima waktu. Pertemuan dengan Jibril adalah kondisi kashf, yang mendahului kondisi syariat.


Maka dapat diambil kesimpulan, bahwa Nabi sebagai patron utama dalam beragama Islam masih menjalankan ritual agama (syariat), padahal Nabi telah dijamin masuk surga. Tidak layak bagi umat Muhammad yang menjalankan laku keberagamaan justru menyimpang dari apa yang dicontohkan oleh nabinya. Dengan begitu, pandangan bahwa tasawuf falsafi dapat menjerumuskan seorang hamba dalam kesesatan adalah keliru besar.

Menurut al-Kurani, wahdatul wujud merupakan keyakinan tawhid al- wujud (keesaan Eksistensi), iman bahwa Allah adalah Tuhan yang wajib disembah dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Dan acuan utama dalam tasawuf adalah al-Ash’ari, tokoh peletak teologi Ash’ariyah. Ash’ari percaya dengan ayat-ayat mutasyabihat (mengandung makna tersirat) sekaligus mengimani sifat Transenden Allah. Sebuah teologi yang menolak pandangan antropormofisme (mujassimah), yakni teologi yang percaya bahwa Allah punya jism (fisik).

Landasan utama dalam hakikat adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Oleh sebab itu semua pendapat ulama yang betentangan dengan dua sumber utama hukum Islam itu patut diragukan otentisitasnya. Kendati al-Kurani juga menyebutkan bahwa al-Qur’an punya dua sisi makna, yang tersurat dan tersirat. Memaknai ayat al-Qur’an dengan menggali makna tersirat inilah yang rawan memunculkan tafsir yang beragam.


Buku ini tampil lengkap dengan mencantumkan naskah asli Ithaf al-Dhaki dalam bahasa Arab sehingga mempermudah pembaca yang ingin membandingkan hasil pembacaan karya asli dengan terjemahan penulis atas naskah tersebut. Karenanya, pemaknaan dan penafsiran terhadap Ithaf al-Dhaki masih terbuka lebar.
Selain itu, dalam aspek historis, buku ini berhasil mengungkap jaringan ulama Nusantara yang telah menjalin komunikasi dengan ulama di Timur Tengah. Ini semakin menegaskan bahwa Islam di Nusantara bukan Islam yang “kuper”, suatu corak Islam yang berdialektika dengan kekayaan kultur Nusantara di masa lampau.
Al-Kurani memberi pukulan telak bagi pelaku tasawuf yang masih meyakini bahwa makrifat dan kondisi kashf secara otomatis membolehkan penganutnya untuk meninggalkan syariat. Dengan menyitir pendapat Ibnu ‘Arabi, dia berkesimpulan bahwa ulama itu tidak mengajak “pengikutnya” untuk meninggalkan syariat.
Akhirnya, bertasawuf merupakan jalan bagi hamba untuk mencapai derajat (maqam) tertinggi di hadapan Allah Swt. Beragama Islam bukan hanya berorientasi syariat, tapi juga mengolah batin, untuk merasakan lezatnya iman dan Islam. Dengan begitu, Islam yang holistik (mencakup syariat dan tasawuf) bisa menjadi solusi untuk mendialogkan kemajemukan Indonesia.



Salah satu pengkaji Ibn ‘Arabi di Indonesia adalah Prof. Kautsar Azhari Noer, Guru Besar Perbandingan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini beliau adalah salah seorang Honorary Fellows di Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society (biasanya disingkat Ibn ‘Arabi Society), sebuah organisasi yang konsen terhadap upaya mempromosikan pemikiran Ibn ‘Arabi. Dalam Ibn ‘Arabi Society ia menyusul sarjana-sarjana lain yang telah lebih dahulu diangkat menjadi Honorary Fellows seperti Sayyed Hossein Nasr, William W. Chittick, Ralph Austin, Pablo Beneito, James Morris, Michel Chodkiewicz dan Claude Addas. Sebelum menjadi Honorary Fellow di Ibn Arabi Society, pada 2004 ia diundang untuk mengikuti Six-Month Course oleh Beshara School, sebuah lembaga pendidikan esoterik yang menjadikan ajaran Ibn ‘Arabi sebagai pegangan utama, di sebuah desa dekat Hawick, Skotlandia.

Karena saya menulis disertasi tentang Ibn ‘Arabi saya diundang oleh Beshara pada 2000 mengikuti Nine-Day Course yang diadakan di Jakarta.  Pada 2004 saya diundang ke Skotlandia untuk mengikuti Six-Month Course. Dalam Six-Month Course itu kami mengkaji Fushush alHikam dan kami juga mengkaji bagian-bagian pilihan karya-karya Rumi, Bhagavad Gita (kitab suci Agama Hindu).  Bhagavad Gita adalah bagian dari Weda,” jelas Kautsar.

Kautsar diangkat menjadi Honorary Fellow di Ibn ‘Arabi Society setelah selesai mempresentasikan makalahnya yang berjudul “The Encompassing Heart: Unified Vision for a Unified World” pada Twenty-fourth Annual Symposium of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society, dengan bertema “Unified Vision – Unified World?“, yang diadakan di Oxford, pada 28–29 April 2007.

Konsep-konsep Ibn ‘Arabi  sampai sekarang menjadi panutan, menjadi rujukan. Dan (hampir) tak ada konsep baru tentang tasawuf setelahnya,” jelas Kautsar saat mengomentari betapa besarnya pengaruh pemikiran yang dibangun oleh ulama sufi ini. Sebut saja konsep seperti wahdat al-wujud, insan kamil, tajalli, hakikat Muhammad, dan a’yan tsabitah, semuanya dibangun oleh Ibn ‘Arabi. Kalaupun ada yang baru, menurut Kautsar yang dinukil dari Chittick, adalah pemikiran ‘Abd al-Karim al-Jilli, itu pun hanya modifikasi. Al-Jilli  termasuk ulama yang dipengaruhi Ibn ‘Arabi.
Ibn ‘Arabi memiliki nama lengkap Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Arabi al-Tha’i al-Hatimi. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Ibn ‘Arabi dan ia diberi gelar Muhyi ad-Din (Penghidup Agama) sehingga tak jarang dipanggil Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Oleh pengagumnya, ia mendapatkan julukan Al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus), julukan ini sampai sekarang masih dipakai untuk menyebut namanya.

Ibn ‘Arabi adalah ladang kontroversi yang tak pernah habis untuk dibahas dan didiskusikan. Ia serupa dengan samudera yang bisa direnangi oleh siapa saja, oleh yang menuduhnya kafir atau oleh yang mengaguminya karena keluasan ilmunya.

Menembus Batas

Dalam dunia persulukan menembus batas dunia yang jauh di belakang atau  di depan bukanlah hal yang aneh atau mustahil. Para salik mempercayai sesuatu yang sering dianggap tidak masuk akal yang diperoleh hanya oleh manusia pilihan Tuhan yang disebut wali. Menembus batas ini juga dialami oleh Ibn ‘Arabi. Dikatakan oleh Kautsar bahwa Ibn ‘Arabi bertemu dan berkomunikasi dengan para nabi, yang berbeda masa hidup dengannya. Dalam bahasa sederhananya, Ibn ‘Arabi menembus batas-batas ruang dan waktu untuk bertemu dengan orang-orang yang hidup pada masa sebelumnya.

Kautsar lalu mengambil pengalaman menembus batas itu dengan mengutip perkataan Ibn ‘Arabi dalam Mukaddimah kitab Fushush al-Hikam. Dalam kitab itu Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa ia bertemu dengan Nabi Muhammad dan becakap-cakap dengan beliau. Aku melihat Rasulullah dalam suatu kunjungan kepadaku pada akhir Muharram 627, di kota Damaskus. Dia memegang sebuah kitab dan berkata kepadaku: Ini adalah kitab Fushush al-Hikam; ambil dan sampaikan kepada manusia agar mereka bisa mengambil manfaat darinya. Aku menjawab, Segenap ketundukan selayaknya dipersembahkan ke hadirat Allah dan rasul-Nya; ketundukan ini seharusnya dilaksanakan sebagaimana kita diperintahkan. Oleh karena itu, aku melaksanakan keinginanku, memurnikan niat, dan mencurahkan maksudku untuk menerbitkan kitab ini seperti diperintahkan sang Rasul, tidak ada tambahan ataupun pengurangan di dalamnya. Begitu tulis Ibn ‘Arabi.
Jika melihat apa yang ditulis Ibn ‘Arabi dalam Mukaddimah kitab Fushush al-Hikam itu, Kautsar berpendapat bahwa sebenarnya Fushush al-Hikam bukanlah karya Ibn Arabi tapi karya (yang) di atas, yang dianugerahkan kepadanya melalui Rasulullah. Ibn ‘Arabi tidak menambah atau menguranginya.
Ibn ‘Arabi bertemu tidak hanya dengan Nabi Muhammad, tetapi ia juga dengan nabi-nabi lain. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa dirinya bertobat melalui (dibimbing oleh) Nabi Isa. Pertobatan itu menurut Kautsar, dinarasikan oleh Ibn ‘Arabi dengan kalimat tubtu biyadihi (Aku bertobat melalui tangan Nabi Isa). Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Ibn ‘Arabi bahwa Nabi Isa merupakan guru pertamanya, sebagaimana tertuang dalam kitabnya al-Futuhat alMakkiyah. Dan pada kesempatan lain, Ibn ‘Arabi juga mengatakan bahwa ia bertemu tiga kali dengan Nabi Khidir dan menerima khirqah (jubah bertambal sebagai simbol penempuh Jalan Spiritual) Nabi Khidir tiga kali melalui ‘Abd al-Rahman ibn ‘Ali al-Qasthallani, Muhammad ibn Qasim al-Tamimi, dan ‘Ali ibn Jami‘.
Selama ini kita mengetahui bahwa Khatam al-Nabiyyin itu Muhammad Saw. dan Khatam al-Awliya ’ al-Amm adalah Isa As. Ibn ‘Arabi mengklaim bahwa ia sendiri adalah  Khatam al-Auliya’al-Muhammadi, khusus dalam lingkungan Nabi Muhammad. Posisinya sabagai Khatam al-Auliya’al-Muhammadi berarti bahwa kewaliannya adalah manifestasi komprehensif dan integral al-walayah al-muhammadiyyah (kewalian Muhamad), yang merupakan sumber tertinggi setiap bentuk lain kewalian. William Chittick mengatakan bahwa klaim Ibn al-‘Arabi bahwa ia adalah Penutup Para Wali Muhammad (Khatam al-Awliyā’ al-Muhammadiyyīn) menunjukkan secara tidak langsung bahwa ajaran-ajarannya meliputi semua ajaran Islam. Dalam kenyataan, kata Chittick, secara praktis setiap formulasi intelektual tasawuf setelah Ibn ‘Arabi berasal secara langsung atau tidak langsung dari karya-karyanya sendiri atau karya-karya para pengikutnya. Dalam hal ini, paling tidak, sulit untuk menolak klaim ini.

Pernyataan-Pernyataan yang Paradoks

Tidak kurang dari tiga ratus karya yang ditulis Ibn ‘Arabi, hingga saat ini karya-karyanya masih terus dikaji, diantaranya adalah Fushush al-Hikam, Futuhat al-Makkiyyah, dan Tarjuman al-Asywaq. Tidak sedikit pengkaji Ibn ‘Arabi merasa kesulitan saat menelaah karya-karyanya. Hal ini dikarenakan ia sangat ‘luwes’ menggunakan pernyataan-pernyataan yang paradoks dan kosakata-kosakata yang memiliki makna berlapis dan dalam. Karena kegemarannya ini tak jarang para pengkajinya kesulitan memahaminya atau karena tak bisa menjangkau makna sesungguhnya menjadi marah pada Ibn ‘Arabi, bahkan menuduhnya sesat. Menyinggung soal kegemaran Ibn ‘Arabi ini, Kautsar mengatakan, Ibn ‘Arabi tidak berkeinginan menyampaikan atau memiliki pesan khusus apa pun dan pada siapa pun. Dia menyampaikan pesan-pesan yang diinginkan oleh Allah melalui bimbingan-Nya.
Menurut Kautsar, pengalaman spiritual tidaklah mudah untuk diungkapkan dalam sebuah bahasa atau kalimat. Pengalaman spiritual adalah ruang yang sangat personal dan tak bisa dijangkau oleh selain yang mengalami. Ibn ‘Arabi banyak menggunakan pernyataan-pernyataan yang paradoks.Bila ada yang mengajukan pertanyaan ‘Pesan apa yang hendak disampaikan oleh Ibn ‘Arabi dengan pemilihan diksi itu,’ maka jawaban yang tepat adalah: pertanyaan ini sediri kurang tepat. Mengapa? Karena tidak bisa dikatakan bahwa Ibn ‘Arabi hendak menyampaikan pesan dengan memilih diksi, tetapi Tuhanlah yang menghendaki dan  memilih pesan-pesan dan diksi-diksi agar disampaikannya kepada manusia.” Jelas Kautsar.

Kautsar kemudian memberikan contoh ‘permainan’ kata Ibn ‘Arabi dalam kalimat yang paradoks seperti kalimat: ya‘buduni wa a‘buduhu. Kalimat tersebut menurut Kautsar rawan sekali untuk disalahpahami, dan memicu kemarahan banyak orang. Karena bagaimana mungkin Tuhan menyembah manusia? Bukankah manusia yang menyembah Tuhan? Padahal, menurut Kautsar, kalimat ya‘buduni wa a‘buduhu itu mempunyai makna yang sangat dalam, kata ya‘budu sendiri memiliki makna menyembah, mengabdi, atau melayani. Menurut Kautsar, makna kata ya‘budu (menyembah) itu adalah mengabdi atau melayani. Jadi arti kalimat ya‘buduni wa a‘buduhu itu adalah ‘Dia mengabdi padaku dan aku mengabdi pada-Nya,’ atau ‘Dia melayaniku dan aku melayani-Nya’.
Makna kalimat ya‘buduni wa a‘buduhu bisa dipahami dengan sebuah pertanyaan awal, mengapa manusia harus “melayani” Tuhan? Karena pada dasarnya sebelum manusia bisa melayani Tuhan dengan ibadahnya, pengabdianya, pelayananannya, Tuhan telah terlebih dahulu melayani manusia, bahkan saat manusia belum bisa melayani diri-Nya. Pelayanan Tuhan pada manusia itu dalam bentuk jasad, jiwa, roh, napas, pendengaran, penglihatan, rizki, dan semua nikmat yang tak mungkin dihitung jumlahnya. Maka kalimat ya‘buduni wa a‘buduhu (Dia melayaniku dan aku melayani-Nya) adalah kalimat yang menjelaskan Tuhan sejatinya adalah ‘pelayan’ manusia, bahkan Tuhan telah melayani manusia semenjak manusia itu belum bisa melayani Tuhan. Sehingga bisa dikatakan bahwa sesungguhnya manusia dan Tuhan itu saling melayani.
Satu contoh kalimat di atas bila tak dipahami dengan baik pasti akan menimbulkan kemarahan atau kebencian pada Ibn ‘Arabi. Pernyataan-pernyataan yang paradoks seperti itu bertebaran dalam karya-karya Ibn ‘Arabi. Karena tidak mampu memahami pernyataan-pernyataan paradoks yang (di)pilih(k)an oleh Tuhan dalam karya-karya Ibn ‘Arabi, menurut Kautsar, orang seringkali menuduhnya kafir, sesat, atau menyimpang. Bahkan tuduhan itu juga datang dari ulama besar sekaliber Ibn Taimiyyah.

Doktrin Wahdat al-Wujud: Sering Disalahpahami

Saat membincang doktrin wahdat alwujud tidak sedikit orang yang salah paham dengan Ibn ‘Arabi, sehingga dengan mudah menuduhnya kafir atau sesat. Tuduhan itu muncul karena menganggap Ibn ‘Arabi mengidentikkan Tuhan dengan alam.

Banyak orang yang salah paham terhadap doktrin wahdat alwujud Ibn ‘Arabi karena mereka menekankan hanya sifat tanzih (sifat transenden atau tidak bisa dibandingkan dengan alam) Tuhan, dan mengabaikan sifat tasybih (sifat imanen atau ada keserupaan dengan alam) Tuhan “…jika hanya itu (sifat tanzih atau transenden) yang ditekankan, maka itu salah paham tentang wahdat al-wujud – karena menggunakan penalaran akal dan itu tidak sampai pada pemahaman yang benar,papar Kautsar.

Menjelaskan wahdat alwujud ini, Kautsar mengajak untuk melihat Tuhan dari dua sisi. Pertama, melihat Tuhan dari segi Tuhan itu sendiri atau God in Him self (Tuhan sebagaimana adanya, sebagai diri-Nya sendiri). Tuhan dari segi ini tidak bisa dilukiskan; Dia adalah transenden, sama sekali berbeda dengan alam . Kedua, melihat Tuhan dari segi tajalli-Nya, penampakan diri-Nya, nama-nama-Nya, relasi-Nya dengan alam. Tuhan dari segi ini serupa dengan alam; Dia adalah imanen, dekat dengan dan di dalam alam, serupa dengan alam. Tuhan dapat diketahui dari segi nama-nama-Nya, bukan dari segi zat-Nya.

Tuhan, jelas Kautsar, bukan hanya munazzah tapi juga musyabbah. Kenapa ada keserupaan antara Tuhan dengan alam, karena alam adalah tempat penampakkan diri Tuhan, karena alam adalah gambar Tuhan, karena alam ini adalah cermin Tuhan. Tetapi jika dilihat dari segi dzat-Nya, Tuhan sama sekali berbeda dengan alam.

Alam semesta beserta isinya, termasuk manusia, adalah tempat tajalli, teofani, ekspresi, atau penampakan diri Tuhan. Sebagian sufi menyebut alam sebagai dzilullah  atau bayangan Allah. Maka, jika demikian hanya ada satu wujud hakiki, yakni Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan tidak ‘memiliki’ wujud. Dalam bahasa Ibn ‘Arabi, segala sesuatu selain Tuhan hanya memiliki wujud pinjaman (wujud musta‘ar). Menurut Kautsar, doktrin Ibn ‘Arabi tentang wahdat alwujud ini adalah semurni-murninya Tauhid, karena  tidak ada sesuatu pun yang mempunyai wujud kecuali Tuhan. Wujud hanya satu, yaitu wujud Tuhan.

Seperti inilah Kautsar menjelaskan tentang wujud yang satu “Wujud hanya satu, jangan dikatakan ada dua wujud lalu bersatu, bukan (seperti itu). Wujud hakiki hanya satu, yaitu Tuhan; selain dari Tuhan tidak mempunyai wujud kecuali dalam arti metafor.” Meyakini ada dua wujud yang berbeda, wujud Tuhan dan wujud alam, bisa berarti ketidaksempurnaan tauhid secara ontologis.

Manusia sebagai Cermin Tuhan

Alam dan semua yang terjadi di alam ini adalah tajalli Tuhan, alam semesta dan isinya adalah tempat tajalli Tuhan, tidak lebih dari itu. Tajalli Tuhan yang paling sempurna terlihat pada manusia. Manusia adalah cermin Tuhan paling sempurna.  Pada setiap ciptaan ada tajalli atau manifestasi Tuhan, pun pada binatang, tumbuhan, mineral, dan lainnya. Namun, sekali lagi menurut Kautsar, tajalli Tuhan yang paling sempurna ada pada manusia. Semua nama Tuhan ada pada manusia, namun dengan catatan: manusia yang bisa menjadi cermin Tuhan yang sempurna adalah manusia yang memiliki kesiapan atau isti’dad yang sempurna. Dalam hal ini, kita bisa mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah  ciptaan yang mencerminkan pada dirinya nama-nama Tuhan secara penuh dan seimbang; beliau adalah  Manusia Sempurna (insan kamil), manusia yang berakhlak dengan nama-nama Allah.
Tuhan melimpahkan tajalli-Nya pada manusia sesuai dengan kesiapan yang dimilikinya. Contoh yang diambil oleh Kautsar tentang kesiapan ini adalah sebuah gelas yang dialiri air. Jika gelas itu berada pada posisi miring, atau berisi benda-benda lain, maka air yang dapat ditampung takkan sebanyak gelas yang berada posisi tegak, atau gelas yang kosong. Begitu pula dengan alam semesta dan manusia, masing-masing menerima penampakan diri (tajalli) Tuhan sesuai dengan kesiapannya. Termasuk juga limpahan pengetahuan kepada manusia hanya diberikan sesuai dengan kesiapan si penerima atau qabil. Bagi yang memiliki hanya sedikit kesiapan, maka ia menerima hanya sedikit limpahan pengetahuan dari Tuhan.

Ibn ‘Arabi sendiri, menurut Kautsar, memiliki doa untuk meminta kesiapan menerima manisfestasi Tuhan. Berikut adalah potongan doa Ibn ‘Arabi yang dituturkan oleh Kautsar: Rabī hablī isti‘dādan kāmilan liqabūli faydlika alaqdas (Ya Tuhan, berilah aku kesiapan yang sempurna untuk menerima limpahan-Mu yang paling suci).

(Mungkin) Dipilihkan oleh Tuhan 

Kalau ditanya mengapa atau karena apa saya menulis disertasi tentang wahdat al-wujud Ibn’Arabi? Saya susah menjawabnya. Kadang-kadang pertanyaan kenapa itu tidak relevan. Kalau ada pertanyaan kenapa harus Nabi Muhammad yang dipilih Tuhan untuk menjadi nabi dan rasul-Nya? Pertanyaan itu tidak relevan, karena Tuhan yang memilih (kok), dan kenapa tidak saya (yang dipilih?).  Saya tidak (sedang) menyebut ini fatalisme,papar Kautsar. Pertanyaan kenapa dan mengapa pada kasus-kasus tertentu baginya adalah pertanyaan yang tidak relevan dan tidak bisa dijelaskan.

Awal mulanya, sebelum mengkaji Ibn ‘Arabi secara serius, Kautsar mengajukan dua proposal disertasi, tetapi kedua-duanya ditolak oleh Prof. Harun Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pascasarjan IAIN Jakarta. Proposal pertamanya membahas penjajahan Spanyol dan Islam di Filipina. Proposal keduanya membahas tentang konsep manusia menurut Ali Syariati. Dua proposal itu ditolak karena referensi utama kajian itu dalam bahasa  Spanyol (untuk penelitian pertama) dan dalam bahasa Persia (untuk penelitian kedua) tak dikuasi oleh Kautsar. Proposal ketiga yang diajukan oleh Kautsar adalah tentang tasawuf dan panteisme: sebuah kajian atas pemikiran al-Hallaj, Abu Yazid al-Bustami, Ibn ‘Arabi, ‘Abd al-Karim al-Jili, dan Hamzah Fansuri. Namun, oleh Prof. Harun Nasution, disarankan agar Kautsar memilih salah satu dari lima tokoh ini, dan beliau merekomendasikan agar ia memilih Ibn ‘Arabi.

Akhirnya Kautsar berketetapan hati menulis disertasi yang berjudul “Wahdat al-Wujūd Ibn al-‘Arabi dan Panteisme,” untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Agama Islam. Mungkin pertanyaan “mengapa memilih” menulis disertasi tentang doktrin wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi tidak relevan. Mengapa tidak relevan? Kautsar meyakini bahwa perjalanan hidupnya, sebagaimana juga perjalanan hidup semua manusia lain, diatur oleh Yang Maha Pengatur, atau dirancang oleh Yang Maha Perancang. Ia mengatakan, “Mungkin saya dipilihkan oleh Tuhan agar menulis disertasi tentang wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi.”

Kautsar bukan hanya tertarik mengkaji tasawuf Ibn ‘Arabi, tetapi juga belajar menjadikannya sebagai jalan hidup spiritual. Baginya, menekuni kajian perbandingan agama sebagai bidang studi akademik formalnya sampai hari ini, dan juga gemar belajar filsafat dan ilmu kalam, harus diimbangi dengan kajian tasawuf. Pengetahuan konseptual harus diimbagi dengan pengetahuan spiritual, itulah yang pas baginya.

Penulisan disertasi Pak Kausar ternyata membutuhkan waktu cukup lama karena kurangnya bahan-bahan yang dibutuhkan. Atas rekomendasi Prof. Harun Nasution, Kautsar akhirnya diberangkatkan ke McGill University di Kanada untuk mencari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk penulisan disertasinya dan mengkaji lebih dalam tasawuf bersama dengan Prof. Hermann Landolt, seorang sarjana Kajian Islam asal Swiss. Sebelum berangkat ke Kanada, Prof. Charles Adams, seorang sarjana Kajian Islam dan pernah menjabat Direktur The Institute of Islamic Studies di McGill University, merekomendasikan agar Kautsar membaca buku Toshihiko Izutsu yang berjudul Sufism and Taoism untuk memahami Ibn ‘Arabi.

 mengikuti rekomendasi itu, dan ternyata benar. Dan itu (buku Sufism dan Taoism) sangat membantu saya dalam memahami Ibn ‘Arabi,” tegas Kautsar saat ditanya seberapa penting karya Toshihiko Izutsu itu dalam memahami Ibn ‘Arabi. Kautsar mengakui bahwa dua karya yang memberikan kontribusi sangat besar baginya dalam memhami Ibn ‘Arabi sehingga ia bisa menyelesaikan tugas akhirnya, yaitu Sufism and Taoism oleh Toshihiko Izutsu dan The Sufi Path of Knowledge oleh William C Chittick.

Toshihiko Membantu Memahami Ibn ‘Arabi
 
Memahami teks-teks Ibn ‘Arabi tidaklah mudah, butuh waktu panjang dan kejernihan hati dalam memahami makna setiap kata yang tertuang dalam teks-teks itu. Ada satu cerita ketika Kautsar mendengarkan pengakuan yang jujur tentang betapa sulitnya memahami teks Ibn ‘Arabi dari seorang mahasiswa doktoral (S-3) di The Institute of Islamic Studies di McGill University yang berkebangsaan Sudan. Mahasiswa itu menceritakan pada Kautsar seraya berkata: “Bahasa ibu saya adalah bahasa Arab, tapi saya tidak paham Fushush al-Hikam.”

Toshihiko Izutsu dalam kacamata Kautsar adalah sarjana yang hebat yang mampu memahami Ibn ‘Arabi. Meskipun bahasa Arab bukan bahasa kesehariannya, ia mampu memahami dengan baik teks-teks Ibn ‘Arabi yang sangat sulit. Bahkan mampu menuliskan ulang dan menjelaskan pemikiran Ibn ‘Arabi. Toshihiko sendiri adalah professor Emiritus Universitas Keio di Jepang yang mengusai setidaknya tiga puluh bahasa mulai dari Arab, Persia, Pali, Cina, Jepang, Rusia, sampai Yunani.
Bagi Kautsar, saat ini, buku Sufism and Taoism karya Toshihiko telah menjadi karya klasik, dalam arti bahwa karya itu telah menjadi rujukan dalam mengkaji Ibn ‘Arabi dan sering didiskusikan. Sufism dan Taoism, menurut Kautsar, sangat menarik dan membantu memahami tasawuf Ibn ‘Arabi, karena disusun dengan sangat sistematis, pada setiap permulaan pembahasan, kecuali pembahasan pertama, selalu diawali dengan rangkuman penjelasan pembahasan sebelumnya, sehingga memudahkan pemahaman bagi para pembacanya. Sebuah fakta yang menarik perhatian adalah Sufism and Taoism ditulis oleh Toshihiko dengan merujuk Fushush alHikam Ibn ‘Arabi melalui syarah  Qasyani, yang di dalamnya terkandung syarah Bali Affandi.

Meski Toshihiko tidak merujuk pada al-Futuhat alMakkiyah dalam penulisan Sufism and Taoism, menurut Kautsar, Toshihiko telah melahirkan karya yang luar biasa. Hal ini ditegaskan Kautsar hanya sedikit orang yang mampu memahami Fushush alHikam.Toshihiko tidak pernah mengutip al-Futuhat. Meski hanya merujuk pada Fushush , karya Toshihiko itu luar biasa. Mengapa? (Maaf) banyak orang yang baca Fushush tapi tidak memahaminya, sedangkan Toshihiko bisa memahami Fushush  dengan baik,ujar Kautsar.

“Saya juga termasuk orang yang merekomendasikan bagi siapa pun yang mau mengkaji Ibn ‘Arabi untuk membaca karya Toshihiko Izutsu itu, karena karya itu sangat baik dan sangat membantu,” saran Kautsar. Saat ini buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Musa Kazhim dan diterbitkan oleh Penerbit Mizan menjadi dua buku. Buku pertama berjudul Sufisme: Samudera Makrifat Ibn ‘Arabi, sedangkan buku kedua berjudul Toisme: Konsep-konsep Filosofis Lao-Tzu dan Chuang Tzu serta Perbandingannya dengan Sufisme Ibn ‘Arabi.  (Nur Hayati Aida)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.