ISU AGAMA KEMBALI DIPAKAI MENYERANG CHINA

 Sebetulnya jika melihat perlawanan China pada hegemoni Amerika dan sekutunya sangatlah mudah diprediksi bahwasannya upaya upaya pelemahan pada Beijing akan terus berjalan, berbagai Isupun akan terus dipakai guna menyerang China, Huawei, Uyghur dan lain lainnya, masalah uyghur memang klasik dan kembali, seperti permasalahan yang terjadi seperti di Syria, Libiya, Yemen dan lain lainnya, isu agamalah sebagai komoditasnya.

China memang punya masalah internal panjang, terkait sejarah soal uyghur, terkait sejarah yang harus didalami lebih jauh lagi, namun pantaskah jika Mamarika dan sekutunya itu ikut campur urusan dalam negeri China ..??? gak di Libya, gak di Venezuela, dia selalu ingin jadi yang berkuasa, beruntung masalah Venezuela Islam bukanlah mayoritas, atau dominan atau tidak sebanyak di China, bisa dibayangkan jika kondisi caracas sama dengan China, mungkin gak jauh jauh Isu agama itulah yang akan dipakai, seperti pada Brazil dengan isu komunis guna menaikan bonekanya Jair Bolsonaro.


Para Duta Besar (Dubes) dari 37 negara ramai-ramai membela perlakuan otoritas China terhadap warga Uighur dan minoritas lainnya di wilayah Xinjiang. Pembelaan yang disampaikan dalam sebuah surat ini, merupakan respons langsung atas kritikan negara-negara Barat sebelumnya.

Sebelumnya, para Dubes dari 22 negara, termasuk Uni Eropa, Australia, Jepang dan Selandia Baru telah menandatangani sebuah surat yang isinya mengecam perlakuan otoritas China terhadap warga Uighur di Xinjiang.

Pada Jumat (12/7) waktu setempat, giliran 37 negara -- termasuk Rusia, Arab Saudi, Nigeria, Aljazair dan Korea Utara -- merespons kritikan tersebut.

"Kami memuji prestasi luar biasa China di bidang hak asasi manusia," demikian bunyi surat tersebut yang juga ditandatangani oleh Myanmar, Filipina, Zimbabwe dan lainnya.
"Kami mencatat bahwa terorisme, separatisme, dan ekstremisme agama telah menyebabkan kerusakan besar pada orang-orang dari semua kelompok etnis di Xinjiang," imbuh surat tersebut seperti dilansir kantor berita AFP, Sabtu (13/7/2019).

"Sekarang keselamatan dan keamanan telah kembali ke Xinjiang," demikian isi surat tersebut.

China dilaporkan menahan 1 juta orang yang kebanyakan etnis Uighur di kamp-kamp pengasingan di Xinjiang. Kelompok-kelompok HAM dan mantan tahanan di Xinjiang menyebut kamp itu sebagai 'kamp konsentrasi' di mana kebanyakan warga Uighur dan warga minoritas lainnya dipaksa berasimilasi atau menyesuaikan diri dengan etnis mayoritas Han di China.

Para Dubes PBB dari 22 negara menyatakan kekhawatiran atas tindakan otoritas China terhadap warga minoritas di Xinjiang.

"Kekhawatiran tentang laporan-laporan kredibel soal penahanan sewenang-wenang... juga meluasnya pengawasan dan pembatasan, khususnya yang menargetkan warga Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang," demikian kutipan surat tersebut.

Dalam suratnya, puluhan Dubes PBB dari berbagai negara tersebut menyerukan otoritas China untuk menghentikan penahanan sewenang-wenang. China juga didorong untuk mengizinkan 'kebebasan pergerakan bagi warga Uighur dan warga muslim lainnya dan kelompok minoritas di Xinjiang'.

Sebelumnya pemerintah China menyebut kamp-kamp di Xinjiang sebagai 'pusat pendidikan kejuruan' yang diikuti secara sukarela, dengan kebanyakan warga Uighur mendapatkan pelatihan kerja. Otoritas China menegaskan bahwa pusat pendidikan itu diperlukan untuk menjauhkan warga setempat dari ekstremisme keagamaan, terorisme dan separatisme.
Arab Saudi, Rusia, dan 35 negara lainnya telah menulis surat kepada PBB yang mendukung kebijakan Cina di wilayah barat Xinjiang, menurut salinan surat yang dilihat oleh Reuters pada Jumat (12/7/2019), berbeda dengan Barat yang mengkritik keras kebijakan Tiongkok tersebut.

Cina dilaporkan menahan satu juta Muslim dan menganiaya etnis Muslim Uighur di Xinjiang, dan 22 duta besar menandatangani surat kepada Dewan HAM PBB minggu ini mengkritik kebijakannya.

Bukannya berisi berisi keluhan, namun surat itu ditujukan untuk mendukung Cina dan memuji apa yang disebutnya prestasi luar biasa Cina di bidang hak asasi manusia.

“Menghadapi tantangan besar ‘terorisme’ dan ‘ekstremisme’, Tiongkok telah melakukan serangkaian tindakan anti-terorisme dan deradikalisasi di Xinjiang, termasuk mendirikan pusat-pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan,” petikan surat tersebut menyatakan.

Surat itu mengatakan keamanan telah kembali ke Xinjiang dan hak asasi manusia orang-orang dari semua kelompok etnis di sana telah dilindungi. Surat itu pun menambahkan bahwa tidak ada serangan ‘teroris’ di sana selama tiga tahun dan orang-orang menikmati rasa kebahagiaan, pemenuhan, dan keamanan yang lebih kuat.

Selain Arab Saudi dan Rusia, surat itu ditandatangani oleh duta besar dari banyak negara Afrika, Korea Utara, Venezuela, Kuba, Belarus, Myanmar, Filipina, Suriah, Pakistan, Oman, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Bahrain.

Beijing membantah telah melakukan pelanggaran HAM di wilayah tersebut.

Berdasarkan laporan Dewan Hubungan Luar Negeri AS, para tahanan yang berhasil kabur dari China mengaku dipaksa menanggalkan Islam dan berjanji setia pada partai berkuasa di China, Komunis.

Jadi, mengapa beberapa negara mayoritas Muslim justru membela Beijing?

"Saya terkejut [negara-negara Muslim] mau mengguratkan tulisan dan membubuhkan nama mereka dan menandatangani dokumen yang mengagungkan China," ujar direktur Pusat Kebijakan Global, Azeem Ibrahim, kepada CNN.

"Bisa saja berdiam diri dan abstain. Namun, mereka memilih mendukung [kebijakan tersebut] ketika mereka sebenarnya tak perlu melakukannya. Saya rasa itu adalah indikasi seberapa besar kekuatan yang China punya."

Mitos solidaritas Muslim

Selama beberapa dekade, sejumlah pemimpin Muslim berupaya mengadopsi moto solidaritas transnasional dalam beberapa isu, mulai dari Palestina hingga Islam di Kosovo. Namun, menurut Ibrahim, semua perkara tersebut memang "sangat pas bagi mereka secara politis." Sementara itu, untuk urusan Uighur, biaya politiknya terlalu tinggi.

"Saya rasa tidak pernah ada yang namanya solidaritas Muslim, dan saya rasa isu ini secara khusus menggarisbawahi itu," ujar Ibrahim.

Beberapa tahun belakangan, isu-isu global yang berkaitan dengan persekusi populasi Muslim dianggap selalu sekadar untuk memecah dunia Islam.

Sebut saja ketika Iran mendukung represi Presiden Suriah, Bashar al-Assad, terhadap perlawanan di negaranya, Arab Saudi dan sekutunya mendukung pemberontak [Yaman], termasuk beberapa elemen radikalnya.

Di Irak, Iran, Yaman, dan di beberapa penjuru lain, negara-negara Muslim selalu berada di tengah perselisihan, sering kali dengan dampak malapetaka. Terkait isu China, banyak negara Muslim terdengar menyanyikan nada sama.

"Perlakuan China terhadap sebagian populasi Muslim mereka bukanlah isu partisan di dunia Arab," ujar HA Hellyer, peneliti senior di Royal United Services Institute, London, dan Atlantic Council di Washington.

"Walau mereka tak sepaham dalam beberapa isu lain, seperti krisis [Teluk Arab], Suriah, Yaman, Iran, dan lain-lain, tak ada pemimpin Muslim di dunia Arab atau kawasan yang lebih luas, termasuk Turki, tampak ragu berdiri di belakang Beijing," katanya.

Daftar Negara Penentang dan Pendukung Kamp Tahanan Muslim China

Krisis di Xinjiang terkait tindakan China menempatkan sekitar 1 juta warga minoritas Muslim Uighur dan minoritas Muslim lainnya di kamp-kamp interniran telah diseret ke politik. Sikap negara-negara di dunia terbelah antara mendukung dan menentang tindakan China.

Beijing berdalih kebijakannya itu untuk memerangi ekstremisme yang menjangkiti minoritas Uighur dan sekitarnya. Menurut pemerintah China, para warga minoritas dikirim ke kamp-kamp pendidikan ulang, di mana mereka dibekali pendidikan kejuruan. Beijing merasa tak ada yang salah dengan kebijakannya.

Namun, negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat (AS) menilai kebijakan penahanan kelompok minoritas itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Washington gencar mengkritik Beijing atas kebijakannya itu di saat kedua negara terlibat perang dagang, sehingga memunculkan spekulasi bahwa isu pelanggaran HAM jadi alat AS untuk menekan China.

Ada 22 negara yang menentang kebijakan China soal penempatan minoritas Muslim di kamp-kamp interniran. Ke-22 negara itu bergabung dalam satu suara melalui surat yang ditujukan kepada Dewan HAM PBB. Berikut 22 negara penentang kebijakan China;

1. Australia
2. Austria
3. Belgia
4. Kanada
5. Denmark
6. Estonia
7. Finlandia
8. Prancis
9. Jerman
10. Islandia
11. Irlandia
12. Jepang
13. Latvia
14. Lithuania
15. Luksemburg
16. Belanda
17. Selandia Baru
18. Norwegia
19. Spanyol
20. Swedia
21. Swiss
22. Inggris

Berselang beberapa hari muncul surat yang diteken 37 negara berisi pembelaan untuk China atas kebijakannya di Xinjiang. Ke-37 negara ini antara adalah;

1. Aljazair
2. Angola
3. Belarus
4. Burkina Faso
5. Burundi
6. Komoro
7. Republik Kongo
8. Republik Demokratik Kongo
9. Kuba
10. Korea Utara
11. Eritrea
12. Gabon
13. Laos
14. Myanmar
15. Nigeria
16. Filipina
17. Rusia
18. Somalia
19. Sudan Selatan
20. Suriah
21. Tajikistan
22. Venezuela
23. Zimbabwe
24. Arab Saudi
25. Pakistan
26. Mesir
27. Togo
28. Kamboja
29. Oman
30. Qatar
31. Uni Emirat Arab
32. Bahrain
33. Sudan
34. Turkmenistan
35. Kuwait
36. Kamerun
37. Bolivia.

Amerika Serikat memang mengkritik kebijakan China, tapi tidak bergabung dengan 22 negara yang lantang menentang kamp-kamp penahanan minoritas Muslim di Xinjiang.

Direktur Human Rights Watch untuk China, Sophie Richardson, mencermati politisasi krisis di Xinjiang. Menurutnya, ada gejala frustrasi dan defensif yang meningkat di pihak Beijing terkait krisis di Xinjiang.

"Kami menyatakan oposisi kami untuk...mempolitisasi masalah hak asasi manusia, dengan memberi nama dan mempermalukan, dan dengan secara terbuka memberikan tekanan pada negara-negara lain. Kami memuji prestasi luar biasa China di bidang hak asasi manusia," kata Richardson dalam suratnya.

Surat itu juga mengklaim kebijakan China membawa keselamatan dan keamanan dan rasa kebahagiaan yang lebih kuat bagi Xinjiang. Dia memuji komitmen dari China—yang menjaga populasi Xinjiang di bawah pengawasan ketat dan secara agresif membatasi akses wartawan untuk keterbukaan dan transparansi.


Pemerintah Cina menyesalkan dan menentang pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan sejumlah warga etnis Uighur di Gedung Putih, Kamis (18/7) waktu AS. Pertemuan ini diinisiasi oleh Pemerintah AS yang mengundang puluhan warga Uighur, termasuk yang mengaku dianiaya Pemerintah Cina.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Lu Kang berdalih, Cina tidak pernah melakukan penganiayaan agama dan menjunjung tinggi kebebasan bergama sesuai hukum. Pernyataan tersebut dilontarkan dalam jumpa pers yang digelar di Beijing, Kamis (18/7) kemarin.

"Kami menyesalkan dan sangat menentang itu. Kami mendesak AS untuk melihat kebijakan agama Cina dan kebebasan beragama secara adil," kata Lu Kang, seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Luar Negeri Cina, Jumat (19/17).

Lu Kang menegaskan, tidak ada penganiayaan agama di Cina seperti yang dituduhkan dunia. Orang-orang Cina yang bertemu Trump, Kang mengklaim, merupakan anggota sekte Falun Gong yang dicap sebagai sekte sesat di Cina. "Ia (AS) harus berhenti menggunakan agama sebagai dalih mencampuri urusan dalam negeri negara lain," ujar dia.

PERTEMUAN DIGEDUNG PUTIH
Donald Trump melakukan pertemuan bersama 27 korban penganiayaan atas nama agama dari sejumlah negara di Gedung Putih, Rabu (18/7). Sebanyak empat orang di antaranya berasal dari Cina yang merupakan etnis Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.

Dilansir dari Reuters, Jumat (19/7), pertemuan tersebut digelar sesuai prinsip kebijakan luar negeri AS yang menganut kebebasan beragama. Pertemuan tersebut juga menjadi bagian dari konferensi yang digelar oleh Kementerian Luar Negeri. Konferensi tersebut turut dihadiri Wakil Presiden AS Mike Pence dan Sekretaris Negara Mike Pompeo.

Salah satu Muslim Uighur yang hadir dalam pertemuan tersebut bernama Jewher Ilham. Kepada Trump, Ilham bercerita, Pemerintah Cina menjatuhkan hukum penjara seumur hidup terhadap ayahnya pada 2014 silam. Ayah Ilham merupakan seorang profesor ekonomi sekaligus advokat hak-hak asasi manusia bagi Uighur.

Selain bertemu dengan etnis Uighur, Trump juga bertemu dengan korban penganiayaan atas nama agama dari Myanmar, Turki, Korea Utara, dan Iran. Selain Jewher Ilham, ada juga seorang praktisi Falun Gong bernama Yuhua Zhang, seorang Buddha dari Tibet Nyima Lhamo, serta seorang Kristen Manping Ouyang.

Sekretaris Negara AS Mike Pompeo dalam konferensi Kementerian Luar Negeri AS di Washington, Kamis (18/7) waktu setempat, menyebut Cina menjadi salah satu negara dengan krisis hak asasi manusia (HAM) pada zaman ini. "Itu benar-benar noda abad ini," kata Pompeo seperti dilansir dari VOA, Jumat (19/7).

Pompeo juga menuduh Pemerintah Cina mengintimidasi negara-neara di dunia agar tidak menghadiri konferensi yang digelar AS tersebut. Ia mengatakan, AS telah mencatat negara-negara yang tunduk pada Cina menantang semua negara yang untuk berani membela Cina atas masalah Uighur tersebut.

Pada awal pekan ini, ia mengatakan, konferensi yang digelar selama tiga hari dan berakhir pada Kamis (18/7) itu akan dihadiri lebih dari 100 negara di dunia. Namun, Kementerian Luar Negeri AS menyebut target kehadiran konferensi itu tidak tercapai. "Kami tahu Pemerintah Cina memanggil negara-negara secara khusus untuk mencegah partisipasi konferensi," kata Pompeo.

Bersamaan dengan sikap terbaru AS tersebut, Arab Saudi angkat suara tentang surat yang diserahkan kepada Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB pekan lalu. Dalam surat itu, Saudi, bersama 36 negara lain, disebut menyatakan dukungan atas kebijakan yang diambil RRC di Xinjiang.

Duta Besar Saudi untuk PBB Abdallah Al-Mouallimi mengklaim, surat itu sedianya hanya berbicara tentang pekerjaan pembangunan di Cina. “Hanya itu yang dibicarakan. Surat tersebut tak membahas hal lain,” katanya kepada awak media di New York, AS, Kamis (18/7).

Al-Mouallimi tak secara tegas menyatakan apakah surat tersebut turut menyinggung tentang Xinjiang. “Apa yang kami katakan dalam surat itu adalah kami mendukung kebijakan pembangunan Cina yang telah mengangkat orang keluar dari kemiskinan,” ujarnya.

Ketika ditanya tentang dukungan Saudi untuk surat itu, Duta Besar Arab Saudi untuk PBB Abdallah Al-Mouallimi mengatakan kepada wartawan di New York bahwa surat itu berbicara tentang pekerjaan pembangunan China. "Hanya itu yang dibicarakan, itu tidak membahas hal lain," katanya, seperti dikutip Reuters, Jumat (19/7/2019).

"Tidak ada yang bisa lebih peduli tentang status Muslim di mana pun di dunia selain Arab Saudi," katanya. "Apa yang kami katakan dalam surat itu adalah bahwa kami mendukung kebijakan pembangunan China yang telah mengangkat orang keluar dari kemiskinan."

Salinan surat itu, yang dilihat oleh Reuters, mengatakan keamanan telah dipulihkan di Xinjiang dan HAM dari semua kelompok etnik di sana telah dilindungi.

"Menghadapi tantangan besar terorisme dan ekstremisme, China telah melakukan serangkaian tindakan kontra-terorisme dan deradikalisasi di Xinjiang, termasuk mendirikan pusat-pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan," bunyi surat tersebut.

Direktur Human Rights Watch (HRW) PBB Louis Charbonneau mengkritik balik komentar diplomat Saudi tersebut. "Karakterisasi surat Al-Mouallimi adalah tamparan di wajah umat Muslim yang dianiaya di Tiongkok, tidak akurat sampai pada titik absurditas," ujarnya.

Awal bulan ini Amerika Serikat dan Jerman mengecam China selama pertemuan tertutup Dewan Keamanan PBB atas pusat-pusat penahanan di Xinjiang. Sebagai tanggapan, China mengatakan kepada para diplomat Dewan Keamanan PBB bahwa mereka tidak punya hak untuk mengangkat masalah tersebut di Dewan Keamanan PBB karena itu adalah masalah internal bagi negaranya.

Pada bulan Juni, Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Barat lainnya keberatan atas kunjungan kepala kontraterorisme PBB ke Xinjiang. Mereka khawatir kunjungan itu akan membuktikan argumen China bahwa mereka sedang menangani terorisme.

Wakil Menteri Luar Negeri AS John Sullivan berbicara dengan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres untuk menyampaikan kekhawatiran Washington."Karena Beijing terus melukis kampanye penindasannya terhadap Uighur dan Muslim lainnya sebagai upaya kontraterorisme yang sah ketika itu tidak," katanya.

Sebanyak 37 duta besar untuk PBB diketahui telah menandatangani sebuah surat dan dikirim ke Dewan HAM PBB yang bermarkas di Jenewa, Swiss. Dalam surat itu, 37 negara menyatakan mendukung kebijakan antiterorisme dan deradikalisasi RRC di provinsi yang ditinggali oleh mayoritas Muslim tersebut. Dalam surat itu pun dikatakan bahwa keamanan telah kembali ke Xinjiang dan masyarakat di sana menikmati kebahagiaan dan keamanan yang lebih kuat.

Negara-negara yang menandatangani surat dukungan untuk China meliputi Aljazair, Angola, Bahrain, Belarusia, Bolivia, Burkina Faso, Burundi, Kamboja, Kamerun, Kepulauan Komoro, Pakistan, Kuba, Republik Demokrat Kongo, Mesir, Eritrea, Gabon, Kuwait, Laos, Myanmar, Nigeria, Korea Utara, Oman, Pakistan, Filipina, Qatar, Rusia, Arab Saudi, Somalia, Sudan Selatan, Sudan, Suriah, Tajikistan, Togo, Turkmenistan, Uni Emirat Arab, Venezuela, dan Zimbabwe.

Surat itu dilayangkan tak lama setelah 22 negara mengecam kebijakan China di Xinjiang dan meminta pembebasan para “tahanan” di pusat reedukasi di Xinjiang. Surat kecaman itu ditandatangani oleh duta besar dari Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Islandia, Irlandia, Jepang, Latvia, Lituania, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Kerajaan Inggris.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.