ISLAM DAN KRISTEN ORTHODOX

Siapakah Romawi zaman sekarang yang dimaksud dalam nash?

Romawi sekarang yang dimaksud adalah Rusia.

Mari kita lihat sejarah Romawi secara singkat:

* Tahun 285 M, Kaisar Diocletian membagi administrasi pemerintahan Romawi menjadi dua. Romawi Barat dengan ibukotanya Roma, dan Romawi Timur dengan ibukotanya Nicomedia.

* Tahun 324 M, Kaisar Constantin memindahkan ibukota Romawi Timur ke Byzantium yang kemudian dikenal dengan Konstantinopel.

* Tahun 408-476 M Romawi Barat mulai mengalami kemunduran dan runtuh pada tanggal 4 September 476 dengan jatuhnya kota Roma ke tangan Odoacer (barbarian dari bangsa Jerman Timur, Heruli). Odoacer mendirikan Kerajaan Italy dan dianggap sebagai The First Barbarian King of Italy. Praktis kota Roma sudah tidak lagi memiliki peranan yang penting di dunia internasional pada masa itu. Romawi Barat pun dianggap sudah tamat sejarahnya sejak tahun 476 M. Sementara Romawi Timur terus bertahan selama 1000 tahun kemudian hingga ditaklukkan oleh Turki otoman pada 29 Mei 1453 M

Dengan demikian, yang berhak dipandang sebagai bangsa Romawi sejak Tahun 476 M adalah Romawi Timur atau Byzantine Empire. Sehingga untuk mengetahui siapakah yang berhak dipandang sebagai bangsa Romawi (atau penerus Romawi) sekarang, maka kita harus melihat apa yang terjadi pasca penaklukkan Konstantinopel oleh Turki otoman.

Pasca jatuhnya ibukota Romawi Timur:

* Keponakan Constantine XI (kaisar terakhir Byzantine) melarikan diri ke Roma (Itali) dan mengklaim dirinya sebagai penerus kerajaan Romawi. Tapi klaim tersebut tidak memiliki pengaruh apa-apa karena dia tidak memiliki wilayah kerajaan.

* Sultan Muhammad Al-Fatih mengklaim dirinya sebagai Kaisar Romawi (Kayser-i Rum). Klaim ini terus berlangsung sampai runtuhnya Turki otoman.

* Klaim Sultan Muhammad ditentang oleh Russia yang merasa dirinya lebih berhak menyandang gelar penerus Kerajaan Romawi, yang salah satunya karena kesamaan agama antara Bizantium dengan Russia, yakni Kristen Ortodoks (yang berbeda dengan kristen Katolik yang dikepalai oleh Paus di Vatican).

* Danubian Pricipalities yang memisahkan diri dari Byzantium pada saat terjadi Perang Salib juga mengklaim pemerintahan mereka sebagai penerus Kerajaan Romawi. Selain itu mereka juga menjadi tempat pelarian bagi sebagian besar umat kristen Ortodoks dan bangsawan Byzantium.

* Setelah kematian pemimpin Danubian, peran sebagai pelindung Kristen Orthodoks diambil oleh Ivan III, Grand Duke of Moscow. Cucunya, Ivan IV kemudian menjadi Tsar pertama Russia. Oleh karenanya, Moscow atau Russia dipandang sebagai yang paling berhak mengklaim dirinya sebagai penerus Kerajaan Romawi, sampai dengan revolusi bolshevik yang menghapuskan sistem kerajaan Russia.

Dari fakta sejarah di atas terlihat bahwa Russia adalah pihak yang paling tepat untuk menyandang gelar penerus Kerajaan Romawi, dan revolusi bolshevik telah menghapuskan kerajaan tersebut untuk selamanya. Makna Ruum dalam nash bukan hanya sebagai suatu bangsa atau kerajaan. Tapi juga sebagai suatu agama, yakni Kristen Orthodoks. Byzantium merupakan pusat agama Kristen Orthodoks. Pasca jatuhnya Konstantinopel, pusat agama Orthodoks berpindah ke Russia dan terus bertahan hingga sekarang. Dengan demikian Russia adalah Ruum yang dimaksud dalam nash nash.

Kita juga perlu ingat bahwa Kerajaan Byzantium dengan agama Kristen Orthodoks nya sudah ada 300 tahun sebelum nabi diutus. Sementara kerajaan Romawi west dengan ibukota Roma sudah tamat 100 tahun sebelum nabi diutus. Jadi ketika nabi berbicara tentang Rum, maka yang beliau maksud adalah Byzantium.

Dan sejarah Byzantium tidak ada hubungannya dengan negara-negara Kristen Eropa Barat yang merupakan cikal bakal Amerika Serikat. Jadi Rum yang dimaksud bukan negara-negara eropa barat dan sekutu zionis amerika. Sejarah politik dan keagamaan mereka pun berbeda dengan Byzantium.

salah satu tanda-tanda akhir zaman. sekutu barat tentu mengetahui. sehingga dapat mereka melakukan segala cara untuk mengaburkan siapakah Romawi yang dimaksud nash. Dan mereka berhasil. Sebagian besar umat dengan tanpa ilmu terhasut oleh mereka. Mengetahui siapakah Romawi yang dimaksud dalam nash sangatlah penting bagi kita yang hidup di akhir zaman untuk bisa selamat dari tipu daya iluminati.

Untuk bisa menentukan kemana keberpihakan kita dalam menyikapi konflik-konflik akhir zaman. Dan untuk mengetahuinya kita harus kembali membuka buku sejarah. Bukan hanya menelan klaim tipuan illuminati pemilik the one seeing eyed dollar amerika sang raja segala tipudaya.
Jefri Nofendi, Agus Nizami, Joserizal Jurnalis, Priyadi Dwi Nugroho, Abdullah Ade, Ahmad Zainul Muttaqin, Muhammad Falah Ridha, Syaroni As-Samfuriy, Abu Jawad, dll.

Perjumpaan Kristen (Orthodox) dan Islam dalam sejarah dunia.

Disusun oleh Arkhimandrit Romo Daniel Bambang D. Byantoro, Ph.D (Ketum Gereja Orthodox Indonesia)

Agama Islam muncul pada saat Gereja Timur yang berpusat di ibukota Konstantinopel (sekarang Istanbul) sedang dalam masa kejayaan dan perkembangan teologi yang amat tinggi, serta masih dalam suasana masa Konsili Ekumenis Gereja.

Menurut tradisi Islam, nabi Muhammad menerima wahyunya untuk pertama kalinya pada tahun 610 M (57 tahun setelah Konsili Ekumenis V tahun 553 M dan 70 tahun sebelum Konsili Ekumenis VI tahun 680-681 M serta rampungnya / selesainya pembangunan gedung gereja pada masa itu: Katedral Hagia Sofia di Konstantinopel), dan pada masa yang sama terdapat dua kerajaan Kristen besar: Byzantium dan Etiopia, serta dua kerajaan Kristen kecil: Lakhmiah dan Ghazzaniah, serta banyaknya umat Gereja Timur di wilayah Arabia, Siria, Anatolia, Mesir dan Mesopotamia.

Kehadiran umat Kristen Timur ini memiliki jejak rekam yang kuat dalam sejarah Islam, seperti Siti Khadijah, seorang Kristen Gereja Assiria (Gereja Assiria sering dicap sebagai Nestorian), ada juga Maryam al-Qibti, seorang Kristen Koptik. Dengan demikian, sejak awalnya berdirinya agama Islam, interaksi dan komunikasi Islam dan Kristen (dalam hal ini Kristen Timur) sudah terjalin, bahkan nabi Muhammad pun menunjukkan toleransi yang sangat tinggi dengan menuliskan piagam (surat rasmi) Madinah yang masih tersimpan di biara St. Ekatherina di Sinai, Mesir, hingga hari ini.


Waraqah bin Naufal katanya seorang kristen, lantas kristen yang bagaimana pula dia itu? Sangat sedikit umat Nabi Muhamad yang bisa memberi jawab pasti soal hal ini. Di sisi lain kebanyakan umat Al-Masih Barat tidak peduli akan riwayat tersebut, beberapa malah meragukan kebenarannya.
Ya lagi-lagi semuanya mentok, sebab yang sering dibangun dalam beragama adalah tembok, bukannya jembatan. Padahal peran Waraqah bin Naufal, sama seperti seorang Rahib Nasrani di Bahira dan Raja Negus dari Habbasiyah (Ethiopia) sangat menarik untuk diperhatikan. Baik dalam kaitannya dengan sejarah perkembangan agama Islam, juga sebagai titik temu dalam dialog antar dua umat Ibrahim ini. 

Nah, Waraqah menurut beberapa riwayat adalah seorang pemimpin Umat Al-Masih di Mekkah. Ia adalah seorang yang paham Kitab Suci umat Al-Masih dalam bahasa aslinya (Sahih Bukhari 1:3; Sahih Muslim 301). Waraqah sangat berperan dalam meneguhkan hati Nabi Muhamad atas pewahyuan yag di terimanya. Beberapa sejarahwan Islam bahkan meyakini Waraqah lah yang mengawinkan Nabi dengan Siti Khadijah (saya mengutip Tuan K.H Munawar Khalil dalam Burhanuddin, 1984:10-11). Hal yang mungkin menjadi alasan mengapa Nabi Muhamad tetap bermonogami selama masa hidup Khadijah (menurut tradisi umat Al-Masih dalam peneguhan perkawinan ada ikrar untuk hidup bermonogami dengan pasangannya, sampai kematian memisahkan). 
 
Mengapa Waraqah yang mengawinkan? Apakah Siti Khadijah juga seorang pengikut Al-Masih? Mungkin saja, jika menilik pakaiannya yang serba tertutup dan berbeda dengan kebanyakan perempuan Arab waktu itu, ada kemungkinan ia seorang biarawati (dalam beberapa mahzab Al-Masih Timur biarawati boleh menikah), namun tentu sulit sekali untuk membuktikannya. 

Ataukah Nabi Muhamad yang seorang pengikut Al-Masih, mengingat waktu kecil ibunya juga membawa dia kepada seorang Rahib umat Al-Masih di Bahira? Mungkin, namun pendapat ini akan ditentang oleh hampir semua riwayat yang menyebut bahwa Sang Nabi adalah seorang Hanif (monotheisme Ibrahim yang diturunkan lewat Ismail). Tapi setidaknya kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa Nabi Muhamad cukup dekat dan sangat menghargai satu bentuk keyakinan umat Al-Masih yang disebut dalam Al-Quran sebagai “Nasrani”. Lantas, umat Al-Masih bagaimanakah “Nasrani” yang satu ini?
 
Yang jelas “Nasrani yang benar”, yang dimaksud oleh Qur’an, bukanlah Nasrani seperti beberapa bidah di Mekkah, yang disebut sebagai “Nasrani kafir” oleh Al-Quran. Di Mekkah waktu itu memang berkembang ajaran-ajaran yang mirip iman umat Al-Masih sejati, namun kenyataannya sesat (Bambang Noorsena, History of Allah, Pasal 3). Injil dan Al Quran sama-sama menentang umat yang menyatakan Siti Maryam, Bunda Al-Masih, sebagai ilah. 

Keyakinan ini merupakan sinkretisme antara keyakinan Al-Masih dengan ritus kepercayaan kepada Dewi Kesuburan (disebut dengan nama berbeda-beda diberbagai tempat Isthaar, Asytera, Diana, Aikah, dll dilambangkan dengan seorang perempuan). Kedua kitab suci ini juga menentang penyembahan kepada tiga ilah. Ajaran triteisme ini jadi berkembang, karena keyakinan tauhid umat Al-Masih dimaknai secara politeisme, jadinya umat bidah ini menyembah kepada tiga tuhan, Bapa, Maryam dan Al-Masih. Ada lagi ajaran yang mengatakan Al-Masih itu adalah anak biologis Allah, ada pula ajaran yang menolak kemanusiaan Al-Masih, sehingga meragukan kematian Al-Masih di salib. Kedua ajaran ini agaknya terpengaruh oleh pandangan Gnostik dan mitologi Arab.
Tapi tentu saja dari sekian banyak yang palsu, masih ada yang asli.

 Sejarah Kanisah Assyirian Timur
 
Sampainya iman umat Al-Masih di jazirah Arab, tidak lepas dari pengaruh para hawariyyun dan juga kaum awam dalam umat ini, yang berkelana ke wilayah Timur Palestina dan Syria. Menurut tradisi, dua orang hawari, yaitu St. Thomas (Mar Thoma) dan St. Tadeus (Mar Addai), bahkan sampai ke tanah Persia dan India Utara dalam dakwah injiliyahnya. Sudah pasti mereka melewati sebagian kota-kota di Semenanjung Arabia, saat melakukan perjalanan ini. Selang beberapa waktu kemudian, dicatat oleh sejarahwan Eusebius, bahwa tokoh gerejawi Aleksandria, Origenes (Mar Urijan) pada tahun 200-an, mengunjungi umat Al-Masih di wilayah Arab dan Persia yang ternyata jumlahnya sudah sangat berkembang. Konsili Efesus tahun 431 bahkan mencatat ada seorang uskup dari Arab, bernama Abdullah (Yunani : Abdelles) yang mewakili gereja-gereja di Arab untuk menghadiri konsili itu.
Semenanjung Arab di tahun 200-600an adalah wilayah penyangga, sama seperti Edessa di sebelah utaranya. Ada dua imperium besar yang mengapit wilayah ini, Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) di sebelah Barat dan Shah Persia (Iran) di Timur. Bahasa Arab waktu itu belumlah berkembang, masih merupakan dialek khusus dari Bahasa Aram/Syria Timur. Umat Al-Masih yang lebih terpelajar banyak membantu perkembangan Bahasa dan Aksara Arab dengan banyak meminjam istilah Aram (Lihat bukunya Bambang Noorsena dan Robert Jaffray).
Umat Al-Masih di wilayah Arab lebih netral secara politis. Berbeda dengan di Byzantium, dimana umat Al-Masih mendapat perlindungan negara, atau dengan di Persia dimana umat Al-Masih malah ditindas, karena dicurigai sebagai antek-antek Byzantium. Namun semuanya masih satu adanya. Waktu itu di segala tempat, meski coraknya berbeda, semua umat Al-Masih mengakui kalau mereka adalah jamah yang satu, kudus, katolik dan rasuliyah (meneruskan tradisi para hawariyyun).
Setelah dua konsili besar yang keputusannya diterima di semua jamaah Al-Masiyah (Konsili Nicea 325 dan Konsili Konstantinopel 381), umat Al-Masih di Persia mulai berusaha untuk tidak disamakan dengan rekan-rekannya di Byzantium, agar dipandang loyal oleh Shah Persia. Isu teologis untuk agenda ini akhirnya memang ada. Tersebutlah Nestorius, seorang uskup di Konstantinopel, Ibukota Byzantium, yang menekankan ajaran tentang keterpisahan antara kodrat kemanusiaan Al-Masih dengan kodratnya sebagai Firman Allah. Ajarannya ini ditentang oleh Kyrillios, uskup di Aleksandria, yang sangat menekankan keilahian Al-Masih. Kyrillios akhirnya menggagas Konsili ketiga di kota Efesus (431) dan dengan pengaruhnya akhirnya Nestorius disingkirkan dan ajarannya dinyatakan sesat.

Umat Al-Masih di Persia tidak hadir pada konsili itu, karena sedang terjadi perang antara Byzantium dan Persia, sementara konsili dilangsungkan di wilayah Byzantium. Namun mereka sangat menghargai Nestorius, mengingat ia adalah murid Theodorus dari Mopsuestia yang adalah guru besar sekolah teologi Antiokhia (hampir semua imam di Persia, dididik di sekolah Antiokhia atau oleh alumni sekolah ini). 

Maka dari itu mereka menolak hukuman terhadap Nestorius dan melindungi para pengikutnya. Umat Al-Masih yang tinggal di kekaisaran Romawi Timur menentang hal itu dan menuduh Umat Al-Masih di Persia sebagai “Nestorian”. Sementara itu umat Al-Masih di jazirah Arab terpecah, ada yang mengikuti rekan-rekannya di Byzantium (mengingat itu adalah suara mayoritas), ada pula yang mengikuti rekan-rekannya di Persia (mengingat kebanyakan ulama di Arab juga keluaran sekolah Antiokhia). Yang disebut terakhir ini akhirnya mempersekutukan diri dengan rekan-rekannya di Persia dalam satu kesatuan yang menyebut dirinya “Gereja Timur yang Katolik, Kudus dan Rasuliyah”. Karena mereka banyak memakai Bahasa Aram dialek Timur (Assyrian), maka jama’ah ini juga dikenal dengan sebutan Kanisah (Gereja) Assyria Timur.
 
Selepas perpisahan ini, Kanisah Assyria Timur, mengalami perpecahan antara yang pro dan kontra terhadap pemisahan diri. Namun selepas kepemimpinan Mar Babai Agung (610), jamaah ini justru berkembang pesat. Mereka tak lagi dianiaya oleh Shah Iran, sehingga memudahkan mereka membangun banyak sekolah dan mengutus juru dakwah ke berbagai tempat. Di India, Cina, bahkan Nusantara terdapat jejak-jejak dakwah para imam Assyria Timur ini antara abad VI-XI. 

Mereka juga mencintai pembelajaran, Umat Al-Masih inilah yang menerjemahkan banyak sekali literatur Yunani ke Bahasa Aram Timur dan kemudian diwariskan serta dikembangkan luar biasa pada zaman kekhalifahan Islam setelahnya.
 
Nampaknya Waraqah memang berasal dari mahzab ini. Perhatikanlah bahwa masa-masa Nabi Muhammad mendapat wahyu, itu kira-kira sama dengan masa dimana Kanisah Assyrian Timur sudah mulai berkembang lagi. Sangat mungkin jama’ah yang kuat yang berada di Mekkah adalah mahzab Assyria Timur. Apalagi jama’ah Assyria Timur memang banyak memberi penekanan ke soal kodrat kemanusiaan Al-Masih. 

Mereka sangat sering menyebut dirinya sebagai Pengikut Sang Orang Nazaret (Nazarini/Nasrani), tentu pas dengan keterangan Al Quran dan sejahrawan Islam.
 
Kalau benar begitu, lewat mahzab ini kita tentu bisa menjumpai banyak titik temu antara Umat Al-Masih dengan Umat Nabi Muhammad, bukan? Sayangnya belum tentu. Sebab titik temu itu kini semakin jauh. Umat Assyrian Timur adalah umat yang paling banyak didiskriminasikan dalam beberapa pemerintahan Khalifah Islam yang lebih baru (terutama oleh dinasti Ottoman), meski sebelumnya mereka diperlakukan dengan baik oleh pemerintahan Nabi dan para Khulafa’ur Rasyidin. Keberadaan mereka saat ini hanya tinggal sekitar 50.000 jiwa di tanah aslinya (sekarang Irak Utara, Syria Utara, Iran dan Turki). Perlakuan itu yang sering menjadi luka untuk dialog, sebab mereka hanya diperhadapkan pada kebencian. Ah... sayang sekali.

Perpulungen teledis. Perpulungen kundul...
Dua kalimat itu petunjuk laku yang paling sering anda jumpai jika membaca tata liturgi Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Pak (Ustad) Kaban pasti mengetahui kalimat formal itu berarti, “jama’ah berdiri” dan “jama’ah duduk”, satu gerak yang paling sering dilakukan di ibadah gereja-gereja yang berasal dari Eropa Barat. Memang kenapa harus berdiri dan duduk? Pak Kaban mungkin tak tahu jawabnya, yang jelas itu adalah keharusan dalam tata ibadah gerejawi. Tapi adakah itu diharuskan dalam Kitab Suci? 

Ternyata dalam perkumpulan raya yang dituliskan dalam Kitab-kitab Taurat dan Para Nabi, tidak ada petunjuk untuk berdiri-duduk, lalu menyanyikan lagu-lagu bernada mayor, seraya melipat tangan dengan mata terpejam yang kesemuanya didahului oleh bunyi lonceng. Yang ada justru, menegadahkan tangan, membungkuk, berlutut, bersujud, serta membaca ayat-ayat kitab suci dengan didaraskan(ditilawatkan), terkadang didahului dengan tiupan sangkakala atau seruan beribadah.
Kalaulah Pak Kaban sempat membaca tulisan Gubernur Nahimya (Nehemia) berikut ini, ia mungkin sedikit heran, betapa bedanya ritual ibadah Yahudi dengan yang dilihatnya pada Umat Al-Masih di Tanah Karo dulu. Juga betapa miripnya ritual itu dengan apa yang dilakukannya sekarang di Jakarta.
Ezra (Uzair), ahli kitab itu, berdiri di atas mimbar kayu yang dibuat untuk peristiwa itu...
Lalu Ezra memuji TUHAN, Allah yang maha besar, dan semua orang menyambut dengan: "Amin, amin!", sambil mengangkat tangan. Kemudian mereka berlutut dan sujud menyembah kepada TUHAN dengan muka sampai ke tanah...
Bagian-bagian dari pada kitab itu, yakni Taurat Allah, dibacakan dengan jelas, dengan diberi keterangan-keterangan, sehingga pembacaan dimengerti...
(Nehemia 8: 4, 7, 9)
Jika Pak Kaban memiliki rasa penasaran yang dibalut oleh kerendahan hati, mungkin ia akan bertanya, mengapa ritual seperti ini tidak dilihatnya dalam umat Al-Masih? Atau jika balutannya adalah tuduhan, ia mungkin sekedar berujar, semua umat Al-Masih saat ini memang sudah melenceng dari yang diajarkan Allah lewat para nabi, Islamlah yang datang memulihkanya. Sayangnya tidak demikian. Bentuk seperti itu masih ada di sebagian Umat Al-Masih Timur, bahkan masih terlihat dalam sebagian kecil tradisi kuno Gereja Barat. 
 
Dalam upaya dakwah injiliyah memang ada dua hal yang menjadi pekankan, murninya pesan asli Injil atau terserapnya hakikat ajaran Injil ke dalam budaya setempat. Para perinis dakwah Injil di Barat memang lebih menekankan pada hal yang kedua, sementara di Timur mencoba menyeimbangkan kedua amaran itu. Maka dari itu para penginjil di Eropa merubah beberapa hal. Sujud dimaknai sebagai bentuk penghormatan ala Timur, sedang di Eropa (apalagi setelah abad pertengahan), jika raja/orang yang dihormati memasuki ruangan, orang menghormatinya dengan berdiri. Mengumpulkan orang dengan suara seperti berteriak dirasa kurang sopan kalau di Eropa, maka seruan beribadah digantikan dengan lonceng. Tilawat dan nyanyian padang pasir pun dirasa kurang tegas, sehingga digantikan dengan ucapan dan lagu bernada mayor. Penyelewengan kah? Tidak juga, sepanjang meyakini bahwa yang tidak boleh diubah hanyalah hakikatnya, bukan bungkusnya.
 
Memang setelah lewat ribuan tahun orang Eropa jadi bersikap kurang adil. Sebab jika mereka meneladani para juru dakwah injil Barat itu, harusnya mereka membiarkan orang-orang di Asia mengganti berdiri dengan sungkem atau tor-tor somba, sebagaimana mereka mengganti sujud. Harusnya mereka membiarkan bedug atau kentongan mengganti lonceng dan lagu-lagu pentatonik mengganti keruwetan melodi mayor ala Handel. Tapi sudahlah, toh mereka juga punya jasa meski sembari menjajah... Ups...
 
Ciri khas Ritual Ibadah Umat Al-Masih Timur.
 
Banyak tradisi keagamaan Yahudi yang masih diteruskan oleh umat Al-Masih, terutama yang disebutkan dalam Injil dan ajaran para hawariyyun. Tentu saja ada sedikit modifikasi dan pemahaman yang ditambahkan pada pewarisan tradisi tersebut, mengingat Al-Masih sendiri meneladankan hal-hal yang lebih hakiki dalam memaknai ritual-ritual tersebut.
 
Shalat (doa Harian)
 
Shalat (doa harian) adalah salah satu elemen yang diwariskan. Shalat dibedakan dengan doa-doa permohonan yang spontan. Shalat lebih bersifat rutin, pujian pengagungan kepada Sang Khalik, meski di dalamnya juga ada permohonan. Kitab-kitab terdahulu (Taurat, Kitab Para Nabi dan Zabur/Mazmur) menuliskan banyak sekali petunjuk tentang doa harian ini. Saya menuliskan dua saja contohnya:
Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil (Mazmur 119:164).

.... dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya (Daniel 6:11b).
Pada zaman Al-Masih, tradisi shalat sudah sedemikian baku dan rutin dijalankan oleh semua umat Yahudi. Awalnya ada tujuh waktu shalat jika menuruti versi shalat panjang Nabi Da’ud, penulis Zabur. Ketujuh waktu itu adalah pagi-pagi benar (voker), pertengahan pagi hari, tengah hari (tsohorayim), pertengahan sore hari(minhah), petang hari (erev atau ma’ariv), malam (layla) dan tengah malam (kaytsi layla). Waktunya hampir setara dengan waktu shalat yang dilakukan dalam Islam (shalat lima waktu ditambah dua shalat sunnah, dhuha dan tahajud). 

Tapi umumnya umat hanya mengerjakan tiga dari tujuh waktu tersebut (pagi, siang dan petang, voker wa tsohorayim wa erev), seperti yang diteladankan oleh Nabi Danil (Daniel) ketika di pembuangan Babil. Selepas pembuangan Babil, minhah (shalat sore) mulai ditambahkan ke dalam ketiga waktu shalat tadi. Namun belakangan para rabbi dalam Talmud memberi keleluasaan, sehingga umat boleh hanya dengan mengucapkan syahadat Yahudi (syema) pada petang dan pagi hari (hal yang akhirnya dilakukan oleh sebagian mahzab Yahudi modern, meski demikian bererapa mahzab kuno masih kukuh mempertahankan tradisi shalat). Gerakan di dalam shalat Yahudi ini merupakan kombinasi dari berbagai gerakan yang disebutkan dalam kitab suci, yaitu berdiri tegak, membungkuk, berlutut, sujud sampai mencium tanah, lalu berdoa menegadahkan tangan.
 
Kitab Injil mencatat bahwa Al-Masih juga melakukan shalat tersebut (misal Markus 1:35), demikian pula para muridnya (misal Kisah Para Rasul 3:1). Yang semakin menarik, Injil menunjukkan dengan jelas bahwa peristiwa-peristiwa penting dalam iman umat Al-Masih justru terjadi pada jam-jam tersebut. Penjatuhan hukuman atas Al-Masih dan peristiwa nuzulnya Dzat Allah (Pentakosta) terjadi pada jam shalat pagi. Penyaliban Al-Masih terjadi pada jam shalat tengah hari. Peristiwa wafatnya Al-Masih terjadi pada jam shalat sore, penguburannya pada jam shalat petang hari. Perjamuan Suci dilakukan oleh Al-Masih dan murid-muridnya pada jam shalat malam. Lalu jam shalat tengah malam dimaknai sebagai peristiwa menghayati penangkapan Al-Masih, sekaligus sebagai seruan berjaga-jaga, karena kedatangan Al-Masih yang kedua kalinya terjadi dengan tiba-tiba, diibaratkan seperti pencuri yang datang tengah malam. Puncak sekaligus awal dari iman umat Al-Masih tergambar dalam penghayatan akan jam shalat pagi, mengenang peristiwa Al-Masih dibangkitkan dan oleh kuasa Allah ia mengalahkan maut. Hal-hal inilah yang akhirnya menambah penghayatan pemaknaan umat Al-Masih akan shalat yang diwarisi dari tradisi Yahudi tersebut. Maka dari itu muncullah shalat khas umat Al-Masih.
 
Bentuk tertua shalat umat Al-Masih adalah shalat dari Mar Yakub (St. Yakobus saudara Al-Masih). Gerakannya meliputi tanda salib (sebagai lambang mengikut Al-Masih), berdiri dengan bersidekap, membungkuk, berlutut, sujud dengan muka mencium lantai, dan berdoa dengan menegadahkan tangan. Doa-doa yang dikumandangkan dalam shalat ini umumnya mengutip kitab Mazmur/Zabur, lalu ditambahkan dengan doa yang diajarkan oleh Al-Masih (doa “Bapa Kami”/shalatul rabbaniyah), beberapa doa rutin (trisagion, mubarak, dll.) serta doa syafaat. Awalnya, arah menghadap (kiblat) dalam shalat ini adalah Baitul Maqdis (Bait Allah) di Yerusalem. Selepas penghancuran kota Yerusalem oleh Jendral Titus (tahun 70M), kiblat dimodifikasi dengan menghadap ke timur (mengacu pada ayat Matius 24:27, yang menyebut bahwa kedatangan Al-Masih dari arah timur pada akhir zaman nanti dan ayat II Petrus 1:19, dimana Al-Masih diibaratkan sebagai Bintang Timur, terang yang sejati). Lalu sesudah Konsili Konstantinopel (381), Kanun al-iman (pengakuan iman/kredo Nicea-Konstantinopel) disertakan sebagai bagian yang diucapkan dalam shalat ini.


Shalat Mar Yakub mulanya dikembangkan di Yerusalem, lalu seluruh Palestina dan Syria. Hingga saat ini masih dikembangkan di sebagian jama’ah Al-Masih Syiria (khususnya Kanisah/Gereja Orthodoks Syria yang mahzabnya Orthodoks Oriental). Selain bentuk shalat ini, ada beberapa bentuk shalat lain yang merupakan adaptasi setempat dari shalat Mar Yakub. Shalat Mar Addai di Persia (dipakai di Kanisah Assyiria Timur), St. Markus dan St. Panteus di Aleksandria (dipakai di Orthodoks Koptik) adalah bentuk shalat yang lebih baru dari shalat Mar Yakub. Agaknya beberapa jama’ah memang melakukan adapatasi, terutama agar tidak lantas disamakan dengan umat Yahudi. Ada pula penambahan beberapa doa, karena penekanan doktrin tertentu (misalnya saja penambahan frasa dalam doa Trisagion di mahzab Orthodoks Koptik yang menekankan keilahian Al-Masih sebagai Firman Allah).
 
Setelah tradisi biara dikembangkan oleh St. Antonius dari Aleksandria dan St. Paulus dari Thebes, perubahan juga dilakukan dengan memperbanyak pengulangan (raka’at). Kemudian St. Basilus dan St. Benedictus menambahkan jumlah sujud, berlutut dan perenungan berdiam diri dalam ritus shalatnya, sebagai bentuk disiplin dan perendahan diri di hadapan Allah. Bentuk inilah yang akhirnya dikembangkan di Barat. Meski waktu-waktu shalatnya masih dipertahankan, gereja Barat apalagi setelah era biarawan Fransiskan dan Dominikan, memang tidak mengenali lagi bentuk-bentuk gerakan shalat, namun lebih banyak posisi berlutut dan berdiam diri (berdoa dalam hati).
 
Shalat ala biara itu memang jadi terlalu panjang, sehingga di sebagian jama’ah Barat, shalat hanya dilakukan oleh para rohaniwan. Untuk jama’ah awam diformulasikan doa harian yang lebih pendek, terutama untuk dua waktu khusus yaitu petang (Bahasa Latin: vesper) dan pagi (loudes). Di beberapa jama’ah Timur (terutama yang mahzabnya Katolik Timur seperti Melkit dan Khaldean) hal ini juga terjadi, sehingga shalat/doa harian bukanlah hal yang lazim dikerjakan oleh umat awam. Tapi tentu tidak semuanya begitu, masih banyak umat Al-Masih Timur yang mempertahankan shalat, walau bukanlah suatu hal yang wajib seperti di Yahudi Kuno dan Islam. Dalam perspektif umat Al-Masih Timur, shalat adalah bentuk penghayatan dan ekspresi iman dan kecintaan pada Allah serta penyerahan diri untuk mengikuti teladan Al-Masih, jadi umat yang sungguh-sungguh dalam imannya pasti melakukan shalat.


Sepeninggal nabi Muhammad, hubungan Islam dan Kristen mengalami pasang surut dan mengalami konflik. Diperparah lagi dengan munculnya kaum polemikus dari kedua belah pihak, yang dengan dalil masing-masing berusaha membuktikan ketidak-toleransian dari masing-masing agama, sebagai contoh: ketidak-toleransian umat Kristen terhadap Islam di Spanyol oleh Gereja Roma, maupun Perang Salib yang diadakan oleh Gereja Roma.

Di satu sisi kaum polemik Kristen juga menunjukkan ketidak-toleransian umat Islam, seperti: munculnya dua belas ketentuan yang amat menyudutkan umat Kristen [Bambang Ruseno Utomo: Hidup Bersama di Bumi Pancasila, Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993, hal. 132-133], dan dua belas ketentuan itu menjadi umat Kristen sebagai warga kelas dua dan betapa menderitanya umat Kristen pada masa itu.

Belum lagi ada hal-hal yang “disembunyikan” pada peristiwa Perang Salib. Perang Salib tidak hanya membawa dampak/akibat besar kepada umat Islam, tetapi umat Kristen Timur juga menderita karenanya.

Belum lagi pada Perang Salib IV, Tentera Salib dari Gereja Roma menyerbu dan menjarah Konstantinopel sebagai “pangkalan militer” setelah empat hari mengepung kota ini. Pusat ibukota Romawi Timur dan pusat Kekristenan Timur mengalami kerusakan habis-habisan. Harta kekayaan kerajaan dan Gereja dirampas, Kaisar dan Patriark Konstantinopel diusir ke Nikea, dan pada tahun 1204 M Paus Roma mengangkat Kardinal Morosini sebagai patriark boneka dan mengangkat Baldwin sebagai kaisar boneka di Konstantinopel. Dari sinilah muncul ungkapan terkenal dari umat Kristen Timur: “Lebih baik kami di bawah sorban/serban daripada di bawah mahkota Kepausan Latin.” Belum lagi bagaimana sikap toleransi umat Kristen Byzantium terhadap umat Islam daripada umat Kristen Latin terhadap umat Islam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Ruseno Utomo:

“... orang Kristen Byzantium bersikap toleran terhadap orang-orang Muslim... adanya perkembangan sikap saling menghargai dan menghormati di antara kedua belah pihak... agama dan kebudayaan mereka masing-masing mempunyai banyak kesamaan... para khalifah juga sering mengirim utusan ke Konstantinopel untuk menyelidiki kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam pelajaran para santo tertentu... kehidupan antara kedua umat itu terdapat toleransi. Tidak ada Muslim yang dipaksa jadi Kristen. Bahkan Kaisar Byzantium mendirikan masjid untuk para saudagar Arab yang di wilayah kekuasaan Byzantium.”

Penulis yang sama juga mengatakan bahwa meskipun pada mulanya Tentara Salib itu amat kejam terhadap umat Islam dan umat Kristen Timur, namun lama-lama mereka memiliki toleransi, bahkan masjid besar di Acra dijadikan tempat ibadah bagi kedua umat.

Demikianlah pasang-surut hubungan Islam-Kristen di sepanjang sejarahnya di panggung dunia.

"Islam and Christianity in Aya Sofya (Istanbul)." Merupakan Gereja Orthodox (Gereja Timur) sebelum jatuh ditangan Ottoman pada 1453 dan diganti menjadi Muzium pada 1935 sampai pada hari ini.

Diambil dari berbagai sumber

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.