BEDANYA ISIS TERANG TERANGAN HTI BANCI

Hizbut Tahrir itu posisinya sama cita-citanya dengan ISIS, yaitu khilafah Islamiyah, hanya caranya mereka berbeda yang satu dengan cara sembunyi-sembunyi atau dakwah, yang kedua dengan cara kekerasan.

Demikian dikemukakan H. Nuruzaman dalam seminar ilmiah bertema “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin Pemuda/i Islam Cinta Pancasila, Seruan Untuk Membubarkan Kelompok Radikal” yang diselenggarakan Ikatan Alumni Kajian Stratejik Intelijen (IAKSI) Universitas Indonesia di Jakarta belum lama ini seraya menambahkan kita bisa melihat sejarah di Yordan, siapa yang melakukan kudeta, dan di Yordan, Hizbut Tahrir menjadi partai yang terlarang persis PKI. Di Saudi, Mesir, Bangladesh, Pakistan, dimana-mana menjadi organisasi terlarang, di Indonesia tumbuh subur menjadi organisasi yang resmi.

“Ada 3 cara yang dilakukan Hizbut Tahrir untuk melakukan mengambil kekuasaan yaitu melakukan kaderisasi dengan cara diam-diam di beberapa universitas sejak tahun 1980-an, melakukan sosialisasi, dan merebut kekuasaan,” urai Komandan Densus 99 PP GP Ansor seraya menjelaskan salah satu poin merebut kekuasaan Hizbut Tahrir yaitu melakukan penggalangan terhadap segala fungsi negara, birokrat, politisi, tentara, polisi, pengusaha dan lainnya.
Menurut catatannya, ada 6 kelompok di Indonesia yang memiliki ideologi transnasional, yang pertama Ikhwanul Muslimin bentuknya yang menjadi parpol di indonesia , Hizbut Tahrir yang menjadi HTI, Salafi atau Wahabi, Jihadi yaitu pertemuan ikhwanul muslimin radikal dan Salafi radikal, Jamaah Tabligh dan Syiah Takfiri.

“Ada 5 aliran ideologi di Indonesia yang mempengaruhi petarungan radikalisme. Ikhwanul Muslimin bentuknya partai politik di Indonesia yang ingin membentuk negara Islam. Kenapa Taqiyyudin An Nabhani keluar dari Ikhwanul Muslimin dan mendirikan Hizbut Tahrir, karena mereka berbeda, Ikhwanul Muslimin mau merubah dirinya menjadi partai politik dan mendirikan negara menjadi Islam, tidak harus seluruh negara didunia ini menjadi Islam, dan mereka menerima demokrasi, dan Hizbut Tahrir itu tidak menerima demokrasi,” jelas H. Nuruzaman selanjutnya.
Sementara itu, Sidratahta Mukhtar menyatakan, HTI dibanyak negara berbasis muslim menolak eksistensi dan ajaram HTI ini. Dalam perkembangan kekinian perdebatan tentang radikalisme, fundamentalisme atau yang terkait,  ini sudah mengalami perkembangan yang luar biasa. Perdebatan ini lebih terlihat mana yang berpihak pada pemikiran lalu nanti tindakannya bagaimana, lalu mana yang kita tolak.

Menurut Ketua Program Studi Ilmu Politik Fisipol UKI ini, pemikiran radikal yang dilatari oleh keinginan untuk membangun sistem politik yang berbasis kepada global ummah tadi, pemikiran yang didasari oleh penyatuan umat kedalam satu sistem yang bersifat global dan keinginan untuk mengembalikan paling tidak 800 tahun dari khilafah, dari kepemimpinan global islam sampai jatuhnya Turki Ustmani ke alam yang bersifat global sekarang.

“Bagaimana kita melihat negara melakukan satu pengawasan atau melakukan evaluasi perkembangan organisasi keagamaan yang mungkin dimasa lalu sebagai suatu kesalahan, seperti HTI yang disahkan menjadi organisasi oleh Kemendagri,’ ujar pengamat masalah Polkam ini seraya menambahkan negara dalam hal ini pemerintah memberikan pertimbangan bahwa ini harus dibubarkan, yang lebih sulit dalam pembubaran organisai radikal, semakin mudah dibubarkan maka akan tumbuh organisasi-organisasi radikal lainnya yang nantinya akan sulit dikendalikan.
Menurutnya, bagaimana menggunakan pendidikan sebagai sarana paling efektif yang bisa menangkal radikalisme dengan deradikalisasi.

Sedangkan pembicara lainnya Hj. Lathifa Marina Al Anshori, B.Sc, MA mengatakan, peran perempuan didalam ISIS adalah menjadi ibu rumah tangga, menjadi komoditi pemuas laki-laki dengan pembagian tugas yaitu jika berstatus janda ditinggal mati syahid dan menikah lagi setelah masa berkabung berakhir; Bersuami diberi tempat tinggal hasil rampasan perang; perempuan belum menikah ditempatkan di asrama untuk dinikahi kapan saja serta  wanita Yazidi (agama tua di Irak) dijadikan budak seks di Sinjar.

“Perempuan mempunyai peran besar dalam menekan tingkat radikalisme hanya saja apakah perempuan mau ikut melawan radikalisme dan menerima konsekuensinya. Dalam melawan radikalisme, tindakan yang dapat dilakukan perempuan yaitu pertama, jika sebagai ibu, dengan melarang dan tidak memberikan restu anaknya atau seseorang untuk bergabung dengan kelompok radikal atau yang cenderung berkaitan dengan terorisme, mengaktifkan fitur family protection yang ditawarkan dalam perangkat digital, memberikan pendidikan sejak dini tentang Islam rahmatan lil ‘alamin juga tentang sejarah dan nilai-nilai Pancasila. Kedua, sebagai istri, dengan melarang dan tidak memberikan restu terhadap suami atau seseorang untuk bergabung dengan kelompok radikal, mencari pengetahuan tentang rahmatan lil ‘alamin dan juga tentang sejarah dan nilai-nilai Pancasila dan melakukan negosiasi. Ketiga, sebagai wanita lajang, dengan mencari pengetahuan  rahmatan lil ‘alamin dan juga tentang sejarah bangsa dan Pancasila dan bisa melakukan negosiasi,” urai Sekretaris Lembaga Seni dan Budaya Perwakilan Cabang Istimewa NU Mesir ini.

*) Bayu Kusuma, peneliti muda di Center of Risk Strategic Intelligence Assessment (Cersia) Jakarta.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.