BEDAH BUKU CATATAN HITAM HIZBUT TAHRIR
Fatwa-fatwa penolakan ulama terhadap Hizbut Tahrir (HT) yang diduga
terlibat dalam serangkaian teror dan kekerasan atas nama agama di
belahan dunia mendapat perhatian sejumlah kalangan, baik dari agamawan,
aktivis keagamaan, bahkan pengamat politik.
Dalam
kenyataan sejarah yang selalu terjadi berulang kali, bahwa agama sama
sekali memang tidak dapat steril dan bersih dari berbagai hasrat dan
kepentingan manusiawi, sehingga dalam titik tertentu agama kerap kali
ditunggangi, demi interest dari kelompok tertentu. Agama menjadi semacam
legitimasi sikap polaris dan kepentingan suatu kelompok.
Walaupun
Hizbut Tahrir menentang ideologinya dikait-kaitkan dengan kekerasan dan
terorisme, pada kenyataannya, anggota-anggota mereka dididik dan
terlibat langsung pada kekerasan tersebut. Anti-terorisme hanya lipstik
dan topeng semata.
Peristiwa 31 Juli 2006, dua
bom ditemukan di kereta api Jerman. Keduanya ditemukan tersembunyi di
dalam koper sementara kereta sedang bergerak. Disusul tragedi tanggal 19
Agustus, Youssef Mohammed al-Hajdib, seorang pelajar Muslim Lebanon
berusia 21 tahun, ditangkap di stasiun kereta api Kiel. Dia didakwa
dengan percobaan pembunuhan, termasuk organisasi teroris dan berusaha
menyebabkan ledakan. Kemudian pada tanggal 25 Agustus orang
kedua-seorang Suriah bernama Fadi Al-Saleh-ditangkap. Keduanya telah
ditangkap di Lebanon. Salah satu tersangka yang ditahan di Lebanon, yang
memakai nama kode "Hamza," ditemukan sebagai anggota Hizbut Tahrir.
Pertanyaannya,
bagaimana menguji kebenaran asumsi dan stereotip negatif itu? Buku ini
selain memberikan informasi penting seluk-beluk percobaan-percobaan
kudeta gagal dan serangkaian teror kekerasan yang dilakukan oleh Hizbut
Tahrir, juga menyediakan ruang dialektika-kritis bagi pembacanya,
bagaimana mestinya kita menyikapi gerakan yang mengusung misi khilafah
Islamiyah itu.
Mohammad Nuruzzaman, penulisnya
terlihat bersemangat dan berapi-api mengeksplorasi bahasan tema dalam
buku yang mempunyai ketebalan 144 halaman dan 5 sub bab ini. Hal itu
kemudian mendapat apresiasi dari Ketua PP GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas,
karena dirasa buku ini sangat penting untuk dibaca masyarakat
Indonesia, Gus Yaquf menganggap buku ini sebagai upaya untuk membentengi
aqidah masyarakat juga sebagai bentuk upaya untuk tetap menjaga
keutuhan NKRI.
Buku yang ditulis Nuruzzaman
ini menjadi salah satu karya yang berhasil memotret dan merekam
agenda-agenda tersembunyi Hizbut Tahrir di seluruh penjuru dunia secara
kritis dan komprehensif. Pada bab pertama, dijelaskan aspek historis,
doktrin yang diajarkan oleh Mohammed Tagiuddin al-Nabhani.
Menurut
Michael R Fischbach, pendirian Hizbut Tahrir al-Nabhani datang
bersamaan dengan resminya Ikhwanul Muslimin. Dia menjadi kecewa dengan
Ikhwanul Muslimin (Moslems Brotherhood) karena memiliki hubungan erat
dengan pendirian Yordania. Jordan tidak pernah berusaha untuk melarang
MB, dimana ia beroperasi dengan nama Islamic Action Front. MB telah
mengirim banyak pejuang melawan Israel dan awalnya berkolusi dengan
kudeta “Pejabat Bebas” di Mesir, yang berlangsung pada tanggal 23 Juli
1952. Pada bab ini Nuruzzaman juga memberikan perhatian khusus sehingga
tersaji secara sistematis, runtut, dan dramatis.
Menurut
Nuruzzaman, buku ini dilandasi beberapa faktor penting. Salah satunya
yaitu adanya anggapan masyarakat yang menilai bahwa keputusan pembubaran
HTI oleh Kementerian Hukum dan HAM adalah tindakan yang salah karena
melarang dakwah Islamiyah di negaranya sendiri. Padahal secara tegas
Ketua MUI, KH Maaruf Amin mengatakan, “Sekarang HTI itu dipertanyakan
komitmen kebangsaannya oleh pemerintah. Karena mereka mengusung isu
Khilafah. HTI memang pantas untuk dibubarkan.” (Back Cover-Endorsement).
Pada
bab kedua, Nuruzzaman membongkar keterlibatan Hizbut Tahrir dalam
kekerasan dan pengeboman. Peristiwa memilukan, Asif Hanif dari Hounslow,
berhasil meledakkan dirinya. Dia membunuh tiga orang dan melukai 65
lainnya. Temannya, Omar Sharif dari Derby, tidak bisa meledakkan ikat
pinggangnya dan melarikan diri. Mayatnya yang membusuk ditemukan
mengambang di laut 12 hari kemudian. Kedua orang tersebut dikaitkan
dengan kelompok radikal Al Muhajiroun, yang berevolusi dari Hizbut
Tahrir. Omar Sharif dijadikan radikal oleh HT di universitas, dan
menerima surat elektronik dari kelompok tersebut sampai saat dia mencoba
meledakkan dirinya.
Hizbut Tahrir, tentu
saja, mengklaim bahwa itu tidak ada hubungannya dengan mereka.
Perpecahan bekas Uni Soviet telah menciptakan negara-negara di Asia
Tengah yang sejak pertengahan 1990-an menjadi rentan terhadap kemajuan
Hizbut Tahrir dan "teologi pembebasan" militannya.
Pada
bagian ketiga dalam buku ini mengungkap dilema pelarangan Hizbut
Tahrir. Nuruzzaman mengatakan “Kita harus memulai dari Inggris, karena
di sanalah pusat Hizbut Tahrir berdiri.” Persoalan yang dihadapi oleh
Inggris dilematis. Sehingga usaha membubarkan Hizbut Tahrir tidak
gampang seperti membalik telapak tangan.
Hizbut
Tahrir dilarang hampir di semua negara Arab di Timur Tengah, seperti
Yordania, Suriah, Lebanon, dan Mesir. Gerakan ini dilarang di Tunisia,
Libya, dan juga Turki. Mereka dianggap sebagai ancaman, dan bahkan
dilarang di Arab Saudi dan juga di Pakistan, yang sudah merupakan
klimaks ekstremisme. Aliran ini dilarang di semua negara bekas jajahan
Soviet di Asia Tengah. Sejak Februari 2003 mereka telah dilarang di
Rusia. Mereka juga telah dilarang di Jerman karena anti-Semitisme dan
keinginannya menggunakan kekuatan untuk tujuan politik. Sejak Maret
2003, mereka juga dilarang di Belanda. Sayangnya, masih saja ada
negara-negara yang mengalami dilema untuk melarang keberadaan Hizbut
Tahrir.
Kesimpulan yang menarik diberikan
oleh Nuruzzaman pada bab ketiga ini adalah bagaimanapun, ideologi Hizbut
Tahrir dianggap berbahaya oleh para penguasa dengan sistem pemerintahan
yang kontra khilafah. Ideologi itu dianggap berbahaya karena menyimpan
potensi revolusi. Apabila revolusi terjadi, maka tidak tertutup
kemungkinan terjadi pertumpahan darah yang mengerikan. Hampir
negara-negara yang melarang Hizbut Tahrir melihat percik-percik revolusi
berupa kekerasan muncul ke permukaan.
Di bab
keempat, diskusi tentang bagaimana fatwa-fatwa penolakan ulama dunia
terhadap Hizbut Tahrir. Dalam sinopsis bukunya, Nuruzzaman memantik
pembahasan fatwa-fatwa penolakan itu dengan tegas dan lantang. “Para
ulama Muslim di berbagai penjuru dunia tidak setuju dengan gagasan dan
misi yang dibawa oleh Hizbut Tahrir. Menurut ulama’; Asia, Timur Tengah,
Eropa, bahkan Australia, Rusia, dan sekitarnya secara tegas mengatakan
bahwa konsep khilafah Hizbut Tahrir bukan malah mempersatukan umat Islam
tetapi malah akan memecah belah umat Islam. Apalagi Hizbut Tahrir
mengharamkan demokrasi, nasionalisme, dan patriotisme. Jika Hizbut
Tahrir dibiarkan jelas akan memicu perpecahan di tengah masyarakat.
Pada
bab terahir, Nuruzzaman mencurahkan tenaga dan pikiran untuk melakukan
kajian kritis atas ideologi dan citra Hizbut Tahrir Indonesia. Ia
mengaku bahwa mengkritik ideologi khilafah yang diusung Hizbut Tahrir,
termasuk Hizbut Tahrir Indonesia, bukan perkara mudah. Sebab, organisasi
ini mencitrakan dirinya terus-menerus sebagai organisasi yang
anti-terorisme, dan diam-diam mendukung aksi kekerasan, intoleransi, dan
anti-pluralisme, juga anti-demokrasi.
Pandangan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas Pancasila, memang menarik dan
mengandung kontradiksi. Di satu sisi, mereka menyebut Pancasila sebagai
"ideologi kufur" yang harus ditolak karena ketidaksempurnaan Pancasila
dalam dirinya sendiri. Di sisi lain, mereka menerima Pancasila sebagai
seperangkat falsafah (set of philosophy).
Di
tahun 1990, secara eksplisit HTI mengkafirkan Pancasila. Kemudian pada
tahun 2012, HTI menghaluskan pandangannya dengan menyebut Pancasila
sebagai set of philosophy: rangkaian filsafat buatan manusia.
Ismail
Yusanto mengatakan karena Pancasila mengakomodir pluralisme agama. Hal
ini terdapat pada sila Persatuan Indonesia yang menjaga dan menghormati
kemajemukan bangsa, salah satunya kemajemukan agama. Penghargaan atas
kemajemukan agama ini bertentangan dengan prinsip HTI yang menekankan
kebenaran tungal agama Islam. Kedua, karena Pancasila berisi kemajemukan
ideologi-ideologi non-Islam, seperti sosialisme, demokrasi, dan
nasionalisme. Padahal menurut HTI, mabda’ yang paling benar adalah
mabda’ Islam. Dengan argumentasi itulah, maka Pancasila adalah "falsafah
kufur" yang bertentangan dengan Islam.
Bagi Hizbut Tahrir Indonesia, Pancasila adalah gagasan filosofis yang baik. Hanya saja sebagai set of philosophy, ia tidak mencukupi (not suffictient)
untuk mengatur tata pemerintahan di Indonesia. Mengapa? Selain karena
jumlahnya yang hanya lima sila, Pancasila hanya merupakan gagasan
filosofis yang tidak memiliki keturunan sistemik di dalam realitas
politik. Turunan sistemik ini menyangkut sistem hukum yang mewujudkan
keadilan sosial, sistem politik yang mendukung kerakyatan, sistem
ekonomi yang mendukung kesejahteraan, dsb. Dengan tidak adanya rumusan
sistem sebagai ejawentah dari Pancasila ini, maka set of philosophy tersebut tidak mencukupi dalam ketatanegaraan dan tata poitik.
Intinya,
karya Nuruzzaman ini merupakan kajian komprehensif dan kritis. Secara
khusus buku ini juga berusaha menggeledah gerakan Hizbut Tahrir beserta
agenda tersembunyi dan implikasi politik internasionalnya. Selamat membaca
Peresensi Ahmad Ali Adhim
Info Buku
Judul : Catatan Hitam Hizbut Tahrir
Penulis : Mohammad Nuruzzaman
Penerbit : Belibis Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2017
Tebal : 144 Halaman
ISBN : 978-602-6940-62-9
Post a Comment