LAPINDO DAN POLITIK
Kasus Bank Century
disebut-sebut sebagai skandal keuangan terbesar pasca reformasi, apakah
benar seperti itu atau hanya rekayasa semata demi kepentingan politik
kelompok tertentu ? Lalu siapa dan motif apa dibalik menggulirkan isu
Bank Century ?
Kasus
Bank Century muncul kembali ke publik pada akhir tahun 2009 dengan
dibentuknya Panitia Khusus (selanjutnya disebut Pansus) Angket Bank
Century yang ketuai oleh Politisi Golkar Idrus Marham. (http://news.detik.com/read/2009/12/05/070352/1254461/10/2/idrus-marham-terpilih-jadi-ketua-pansus-angket-century-dibajak).
Padahal dalam rentang waktu 2008 s.d akhir 2009 sama sekali tidak ada
yang mempersoalkan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)
untuk melakukan bailout sebesar Rp 6,7 Triliun melalui Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS).
Seperti
kita ketahui bersama bahwa aktor dibalik kebijakan bailout Bank Century
yang kini menjadi Bank Mutiara adalah Gubernur Bank Indonesia yang kini
menjadi Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan yang juga
merupakan Ketua KSSK Sri Mulyani Indrawati (sekarang menjabat sebagai
Managing Director World Bank).
Ada
yang mengaitkan bahwa kasus Century ini terkait dengan pemilihan
presiden, ada juga yang menyebutkan kasus Century adalah mahar Boediono
kepada SBY agar diangkat sebagai Wakil Presiden. Namun apakah isu-isu
yang beredar itu benar adanya? Ataukah hanya isu yang digulirkan untuk
menjegal lawan politik?
Boediono
menyelesaikan Ph.D nya dalam bidang ekonomi dari Wharton School,
Universitas Pennsylvania selain menjadi Guru Besar di Fakultas Ekonomi
UGM ia juga pernah menduduki beberapa jabatan strategis diantaranya
Direktur I BI Urusan Operasi dan Pengendalian Moneter (1997 – 1998),
Direktur III Bank Indonesia Urusan Pengawasan BPR (1996 – 1997), Deputi
Ketua Bidang Fiskal dan Moneter Bappenas (1988 – 1993), Direktur Bank
Indonesia (saat ini setara Deputi Gubernur) (1993 – 1998), Menteri
NegaraBappenas (1998 – 1999), Menteri Keuangan (2001 – 2004), Menko
Perekonomian Indonesia (2005 – 2008), Gubernur Bank Indonesia (2008 –
2009), Wakil Presiden Republik Indonesia (2009 – sekarang).
Sedangkan
Sri Mulyani Indrawati Ph.D. dalam bidang ekonomi di University of
lllinois Urbana-Champaign, U.S.A. Selain bergelut dibidang akademis, Sri
Mulyani juga pernah menduduki beberapa jabatan penting seperti Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (2004-2005),
Menteri Keuangan (2005-2010), Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian (2008-2009),dan Direktur Pelaksana Bank Dunia
(2010-sekarang).
Kedua
tokoh tersebut merupakan ahli ekonomi yang mempunyai jam terbang
pengalaman serta kemampuan tidak diragukan lagi. Boediono dan Sri
Mulyani jelas telah menganalisis secara mendalam sebelum diambilnya
keputusan bailout Bank Century. Lalu pertimbangan apa yang menyebabkan
keduanya mau mengambil resiko untuk menyelamatkan Bank Century, sebuah
bank bobrok yang di tenggarai berdampak sistemik.
Pemantik Api Century
Persoalan Bank Century sebenarnya mencuat ke publik sejak di bentuknya Pansus Angket Bank Century.Pada
saat dibentuknya Pansus Angket Century Abu Rizal Bakrie (ARB) yang
merupakan Menko Kesejahteraan Rakyat dan juga Ketua Umum Partai Golkar
mengatakan kepada Presiden SBY bahwa Pansus Century aman terkendali.
Sudah dipastikan pansus hak angket mendukung Opsi A yang menyatakan
tidak ada masalah dengan proses pemberian FPJP dan bailout Bank Century.
Namun ternyata dalam
Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat dengan melalui sebuah proses
voting terbuka yang diambil pada 3 Maret 2010 Sebanyak 315 anggota DPR
menyetujui opsi C yang menyatakan proses pemberian FPJP dan Bailout pada
Bank Century menyimpang, mengalahkan 212 anggota DPR pendukung opsi A
yang menganggap tidak ada persoalan pada proses tersebut. Kekalahan
Partai Demokrat dalam voting tersebut membuat sejumlah perubahan yaitu
mundurnya Sri Mulyani dari kabinet Indonesia Bersatu jilid II yang
kemudian menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia kemudian dibentuknya Tim
Pengawas Bank Century yang bertugas mengawasi proses hukum atas
penyalahgunaan wewenang dalam proses pemberian FPJP dan bailout Bank
Century.
Bila
ditelaah kembali, dalam hal ini sebenarnya Presiden SBY telah dibohongi
oleh ARB. Karena pada saat itu ARB telah meyakinkan bahwa Pansus pada
akhirnya akan memihak opsi A dengan menempatkan Idrus Marham yang
dikenal dekat dengan Cikeas.
Namun
ternyata pada prosesnya di DPR aktor yang dominan bukanlah Idrus Marham
melainkan Bambang Soesatyo yang memang sejak awal menjadi inisiator dan
vokal dalam kasus ini. ARB dan Golkar sejak awal telah menyusun
skenario dalam mengungkap kasus Bank Century ke Publik untuk
menyingkirkan Sri Mulyani yang memang sangat gencar melakukan perlawanan
terhadap Abu Rizal Bakrie yang berada dalam satu kabinet dengannya. Abu
Rizal Bakrie disinyalir melakukan abuse of power saat menjadi
Menteri di Kabinet SBY-JK. Dan menteri yang begitu gentol melakukan
perlawanan kepada tindakan Bakrie sampai-sampai ‘mengancam’ mengundurkan
dari kabinet adalah Sri Mulyani.
Dosa-Dosa Bakrie di Mata Sri Mulyani
Bermula
dari Kasus Luapan Lumpur Lapindo sejak 28 Mei 2006, telah terjadi
perdebatan sengit siapa pihak yang bertanggungjawab atas biaya
penanggulangannya : PT Lapindo (pemegang saham terbesar adalah Bakrie
Family), negara atau dua pihak. Berdasarkan sumber-sumber yang saya
himpun (Jusuf Kalla dan 3 Tahun Lumpur Lapindo), sebagian besar ahli
drilling dan geologi menyatakan bahwa luapan lumpur Lapindo disebabkan
oleh tindakan eksplorasi yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas yang
sebagian besar sahamnya dimiliki oleh keluarga Bakrie.Fakta inipun
didukung oleh hasil Audit Investigatif BPK atas Lumpur Lapindo yang
mengindikasi terjadi pelanggaran prosedur dan peraturan mulai dari
proses tender, peralatan teknis hingga prosedur teknis pengeboran
sumur-sumur minyak di Sidoarjo.
Fakta
yang lebih meyakinkan adalah dokumen serta pernyataan Arifin Panigoro
sebagai pemilik perusahaan operator pengeboran sumur PT Lumpur Lapindo
yang mengaku PT Lapindo telah melakukan pelanggaran atas SOP serta tidak
mau melaksanakan tindaka preventif. Karena penyebab utama terjadi
sumburan lumpur di Sidoardjo adalah aktivitas pengeboran, maka pihak
yang bertanggungjawab adalah PT Lapindo Brantas sebagaimana diatur dalam
UU 23/1997 dan PP 27/1999.
Meskipun
sudah cukup jelas penyebab dan siapa penanggungjawabnya, namun
alih-alih Presiden SBY mengeluarkan Per.Pres 14 tahun 2007 jo Per.Pres
48/2008, yang mana pemerintah(dengan anggaran rakyat) mengambil bagian
membantu penanganan biaya lumpur Lapindo. Terbitnya peraturan presiden
tersebut sangat merugikan uang negara. Dalam kurun 3 tahun (2007-2009),
795 miliar APBN dikucurkan untuk membantu kelalaian pengeboran Lapindo.
Rinciannya sebagai berikut : Rp 114 miliar pada 2007, Rp 513 miliar pada
2008, dan 168miliar pada 2009. [LKPP 2007, LKPP 2008 dan UU APBN P
2009]. Baca juga : Jusuf Kalla dan 3 Tahun Lumpur Lapindo. Dalam kasus
lumpur Lapindo, saya sepakat dengan Bu Sri Mulyani yang menginginkan
“Perusahaan Bakrielah (Lapindo) yang bertanggung atas biaya
penanggulangan lumpur Lapindo, bukan negara”.
Kesalahan
kedua Bakrie dimata Sri Mulyani adalah karena pemerintah SBY-JK
mengintervensi penjualan saham PT Bumi Resource Tbk yang notabene adalah
milik keluarga Bakrie. Pada Oktober 2008 silam, bersamaan krisis
finansial dunia, saham-saham perusahaan nasional di BEI jatuh bebas
tidak terkendali. Saham BUMI yang 3 bulan sebelumnya mencapai Rp 7000
per saham, anjlok dibawah Rp 1000 per saham. Tapi, pihak otoritas saham
tiba-tiba menghentikan sementara (suspensi) perdagangan saham bumi hanya
karena adanya ‘titipan’ dari Menko Kesra Aburizal Bakrie. Sri Mulyani
yang memegang kendali masalah keuangan (termasuk pasar modal) jadi
berang. SMI meminta pencabutan penghentian sementara perdagangan saham
PT Bumi Resources Tbk pada 7 Oktober 2008. Padahal yang perintah
penghentian suspensi saham Bakrie berasal dari Pemerintah Republik
Indonesia (Kontan, Okt/2008.). Atas kasus ini, beredar kabar bahwa
Menkeu Sri Mulyani sempat ‘mengancam’ mengundurkan diri jika SBY masih
terus melindungi saham Bakrie.
Kesalahan
ketiga Bakrie dimata Sri Mulyani adalah kasus royalti batubara yang
ditunggak oleh perusahaan Bakrie (nilainya berbeda-beda menurut versi
Menkeu, BPK dan ICW). Kesalahan ketiga Bakrie dimata Sri Mulyani adalah
pembangkangan royalti batubara yang dilakukan perusahaan batubara, yang
sebagian diantaranya adalah perusahaan milik Bakrie. Sri Mulyani geram
karena sejumlah perusahaan dengan begitu berani menghindari
pajak/royalti dan bahkan menunggak bertahun-tahun. Perusahaan batubara
Bakrie setidaknya menunggak 2-5 triliun royalti Batubara hasil akumulasi
sejak 2002/2003. Tidak hanya sampai disitu, SM juga membuat keputusan
pencekalan terhadap sejumlah petinggi perusahaan batu bara Bakrie.
Kesalahan
keempat Bakrie dimata Sri Mulyani adalah rencana Bakrie menguasai saham
14% PT Newmont Nusa Tenggara. Mengingat potensi yang besar dari
Newmont, Sri Mulyani menolak keinginan Bakrie membeli 14 persen saham
divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. Saat menjabat pelaksana tugas Menko
Perekonomian, Sri Mulyani meminta agar seluruh saham divestasi Newmont
dibeli oleh perusahaan negara. Meski begitu, ketika jabatan Menteri
Koordinator Perekonomian berpindah ke Hatta Rajasa, melalui Multicapital
akhirnya Bakrie bisa mendapatkan 75 persen dari 14 persen saham
Newmont. Keinginan Bakrie terwujud walau tak sampai 100 persen.
(http://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/10/perang-terbuka-sri-mulyani-vs-ical-dosa-dosa-bakrie-dimata-sm/)
Sri
Mulyani dalam wawancaranya dengan wallstreet journal mengatakan ”ARB
tidak happy dengan saya” Inilah yang kemudian menjadi motif ARB untuk
memantik api Century dengan menggunakan Bambang Soesatyo sebagai tangan
kanannya di DPR. Kasus Bank Century telah digiring menjadi opini publik
yang sesat sehingga jauh dari substansi yang seharusnya menjadi fokus
perkara. Bank Century sebagai bank bobrok yang lolos pengawasan BI
itulah sebenarnya yang harus diusut, bukan perkara kebijakan
penyelamatan bank gagal berdampak sistemik.
Post a Comment