LAWAN HOAX DENGAN PEMBERITAAN YANG BAIK ( GOOD JOURNALISM )

Good journalism is good business practices; good business supports great journalism.”  – Lachlan Murdoch, co-chairman of 21st Century Fox.
Cara mengatasi fake news bukan dengan memperbanyak good news. Melainkan dengan menghadirkan good journalism. 

Tapi kenapa yang lebih dibutuhkan saat ini justru good journalism? Kenapa membanjiri pasar dengan sebanyak-banyaknya good news, tak bisa menjadi solusi mengatasi tersebarnya berita yang bikin audiens depresi?

Ini jawabannya: karena, di tengah kekacauan di lansekap komunikasi saat ini, yang audiens butuhkan, bukan sekadar good news –makna harfiahnya: berita yang sifatnya menyenangkan.
Yang dibutuhkan khalayak, bukan berita yang sekadar isinya positif; yang kisahnya lucu; narasinya tak bikin sedih; bikin senang; bisa bikin kita ketawa usai membacanya.

Kerusakan gara-gara hoax, level-nya mengkhawatirkan

Memang benar sih, bahwa good news is good business. Tapi, di tengah gaduhan hoax dan fake news yang makin liar belakangan ini, sekadar good news saja, tak akan bisa mengobati persoalan jurnalisme.

Sama-sama kita tahu, kerusakan dan kekacauan komunikasi di lansekap media dan social media, saat ini sudah pada taraf mengkhawatirkan.

Sikap audiens yang keliru dalam bermedia, dianggap pencetus histeria massa dan sikap sentimen di online media. Tapi strategi komunikasi politik pejabat, dan kebijakan media yang menyokongnya, ternyata juga sama buruknya. Maka, blunder yang terjadi, pun makin menjadi-jadi.
Makanya, audiens tidak suka berita yang tujuannya mengecoh dan mengalihkan perhatian. Yang isinya dibikin sekadar demi menyenangkan yang sedang berkuasa. Seperti keingian yang punya agenda. Atau sesuai selera pemilik dana.

Begitu pun, khalayak tak suka media yang beritanya berfokus pada masalah. Yang kesannya memancing-mancing perkara:  usai bikin ramai satu kegaduhan, lantas mengorek-ngorek persoalan lainnya. Kemudian bikin prahara baru lagi. Begitu seterusnya.
Ciri media jenis ini: semakin memberitakan suatu urusan, permasalahan justru bukan makin klir. Justru menjadi makin gaduh. Bahkan memicu rusuh.

Yang audiens butuhkan sekarang adalah ini: trusted, true indormation, yang berasal dari reliable source. Yang khalayak butuhkan adalah jurnalisme yang solutif, konstruktif, memberdakan dan memperbaiki kerusakan. Yang audiens perlukan adalah journalism. Bukan churnalism. 

Awas Tersesat: Good News bukan Good Journalism

Harus diakui, fakta berikut seperti semakin diabaikan: good journalism does not come free. Serious multimedia journalism is expensive and take time to do well.

Maknanya: jurnalisme bermutu, bukanlah komoditi gratisan. Karena jurnalisme bermutu, butuh “ongkos”. Bahkan seperti diurai di posting sebelumnya, ongkosnya bisa mahal sekali.
Untuk memastikan bahwa prosedur memperolehnya sudah sesuai kaidah jurnalistik misalnya, pewarta betulan mengupayakannya dengan susah payah. Bahkan tak jarang, harus bertaruh nyawa.
Itu sebabnya, good news belum tentu adalah good journalism. Bahkan yang dikategorikan good news, bisa samasekali bukan news –dalam makna harfiah dari kaidah journalism yang benar.
Sebab,  tak semua pesan yang dilansir media (atau social media) adalah berita –yang layak dipercaya isinya. Seperti juga tak semua berita adalah info. Dan tak semua informasi adalah pengetahuan. Karena tak semua pengetahuan, berguna.

Berita yang berbasis good journalism, dicirikan efeknya depth. Mendalam. Karena bertujuan memperjelas duduk masalah. Sekaligus mampu meng-engage khalayak. Membantu publik mendapatkan jalan keluar.

Makanya, dengan piawai good journalism, maka audiens akan lebih terbantu. Tidak mudah lagi tertipu berita palsu. Tak gampang diprovokasi. Tak mempan saling diadu domba dengan isu rekayasa. Dan mampu mendapatkan pengetahuan yang berguna, dari banjir berita sampah yang dikonsumsinya.

Ketika Hoax makin liar, good journalism makin relevan

Memang ada pihak-pihak yang mengritisi: masihkah kita relevan bicara tentang jurnalisme saat ini?
Ini pertanyaan mendasar. Prinsipiil banget. Karena di tengah sikon chaotic seperti sekarang, jurnalisme memang terkesan tak lagi diperlukan. Praktisi media seperti makin abai fungsi dan perannya.

Apalagi di tengah dominasi duopoly Facebook dan Google: fenomena yang menyebabkan terjadinya kesenjangan traffic versus revenue bisnis media.

Bahkan dominasi dua raksasa tadi, eksesnya telah merampas kedaulatan media: berdampak ke aspek produksi konten, kendali akses distribusi, serta optimasi monetisasi.

Faktanya, fenomena duopoly memang telah mempersulit media (termasuk online news media) memonetisasi bisnisnya. Padahal, gara-gara bisnis model media terganggu, revenue media pun terdampak makin seret. Nah, dengan pendapatan bisnis yang tiris, jurnalisme media sulit diharapkan bisa lurus, obyektif, mandiri apalagi merdeka.

Jangan heran, kini makin banyak media yang jurnalisme-nya sudah bengkok. Integritasnya kendor. Jalannya melintir.

Sebab, motivasi idealnya sudah disandera pemilik modal. Karena isi pemberitaannya membela cuma yang bayar. Gara-gara idealisme jurnalistiknya, sudah digadaikan dengan harga murah. Sehingga partisan pada kepentingan politik sesaat. Demi dalih, sekadar agar bisa tetap menggaji karyawannya secara layak.

Boro-boro menjunjung good journalism. Bahkan good journalistic pun gagal dihadirkan. Malah, banyak yang berprasangka buruk: jangan-jangan kaidah jurnalistik pun sudah tak lagi digunakan.

Lima kendala praktik Good Journalism

Tapi mewujudkan good journalism, memang bukan urusan mudah. Lima hal berikut, adalah termasuk faktor yang mempersulit:

Pemberitaan media (termasuk yang disebar via social media dan dilansir digital news media) terlalu fokus pada masalah. Bukan membahas bagaimana menghadirkan solusinya. Tapi malah menjadikan masalah sebagai hal paling penting. Bukan belajar melihat potret besarnya. Bukan mengajak khalayak bersama-sama memahami, dan mengenali akar problemnya. Bukannya membantu khalayak, terampil mengidentifikasi penyebab masalah. Dan mencari tahu, bagaimana cara menyelesaikannya
Pemberitaan media, berorientasi membela yang (dianggap) benar. Dengan cara mencari-cari siapa yang salah. Tak ada lagi obyektivitas. Sikap independensi dan netralitas media, meniada. Media memosisikan dirinya sekadar menjadi corong pihak yang membayarinya. Akibatnya, masing-masing kelompok, seperti diadu oleh media. Energi masyarakat habis percuma, hanya untuk membela mati-matian, siapa dan mana yang dianggap media paling benar.

Motif pemberitaan media, mencari-cari kesalahan pihak lain. Modus pemberitaannya mencari kambing hitam. Mencari yang bisa dituding sebagai biang kesalahan. Sambil merasa kelompok yang dibelanya, yang paling benar sendiri. Media gagal bernyali mencoba mengenali apa yang salah pada dirinya sendiri. Yang menyebabkan diri dan kelompok yang dibelanya, merasa paling benar, dan menganggap pihak lain selalu salah.

Menganggap semua orang mampu dan terampil menyelesaikan masalahnya sendiri-sendiri. Tak menganggap masalah yang sekarang timbul, adalah masalah bersama. Karena menganggap pihak yang dibelanya pasti benar, paling benar. Sehingga gagal mengenali, bahwa penyebabnya, dipicu sikap, fikiran, tindakan dan perbuatan bersama. Tak menganggap perlu ada kebersamaan, untuk menyelesaikan masalah bersama ini.

Tapi yang paling nahas adalah ini: Mengira dengan semakin mempermasalahkan masalah, maka problem akan terpecahkan dengan sendirinya. Makanya ada media yang terkesan justru mencari-cari cara  –bentuknya berupa apa saja–   asal yang bisa bikin masalah dibuat semakin ramai. Semakin gaduh. Bahkan kalau perlu,m jadi rusuh. Mengira dengan bisa bikin masalah jadi tambah ramai, maka banyak masalah –terutama seretnya revenue pendapatan media, dan makin sulitnya media memonetisasi bisnisnya– dengan sendirinya akan terselesaikan. Masya Allah.

Kelima hal tadi, menyebabkan kita semua berpotensi tersesat. Gagal mengenali bahwa akar masalahnya adalah tentang iktikad baik semua pihak –seluruh pemangku kepentingan. Bahwa semua dituntut harus saling beriktikad belajar berjurnalistik secara patut. Harus berjurnalistik, yang memberi faedah kepada khalayak.

Pemahaman akar masalah juga disesatkan oleh cara berfikir simplistis ini: mengira yang sedang terjadi, hanyalah sekadar banjir bad news –yang diperparah oleh pencampur-adukan definisi bad journalism, hoax, badly reported news, fake news, berita pelintiran, bahkan gosip dan bualan.
Makanya banyak yang sesat fikir: mengira, untuk mengatasi bad news, yang perlu dilakukan adalah sekadar membanjiri lansekap, dengan sebanyak-banyaknya good news.

Jurnalisme juga tentang konsekuensi paska-pemberitaan

Faktor lainnya yang ikut memperparah kerusakan, adalah ketika semua/apa saja seakan semakin mudah menjadi media. Ini konsekuensi dari fenomena flat world: ketika semua kalangan merasa boleh membuat konten sendiri; mengeditnya; atau mengubahnya; lantas mempublikasikan; dan menyebarluaskan kontennya. Berupa apa saja, kemana/siapa/kapan saja. Tanpa sang content creator diuji dulu kompetensi. Tanpa syarat pemenuhan lisensi. Tanpa prasyarat harus lolos sertifikasi.
Yang jadi masalah, tak semua yang melakukan fungsi layaknya media, mau konsekwuen bertanggung jawab secara profesional, laiknya pewarta media betulan. Langka yang beriktikad patuh pada Undang-Undang Pers dan kode etik jurnalistik. Apalagi berpedoman kepada elemen jurnalisme. Ringkasnya: Cuma mau enaknya, tapi ogah kena sanksinya.

Padahal, dalam jurnalisme yang bermutu, berita terpercaya, adalah tentang keterpenuhan azas, syarat, kategori, kriteria. Sehingga harus ada pertimbangan tentang dampak. Karena ada aspek konsekuensi, di balik penyebaran berita. Sehingga pertanggungjawaban profesional mutlak ada. Yang mengikat pewarta, setelah berita usai diberitakannya.

Sebab, ini kunci yang musti diwaspadai: yang bising belum tentu penting. Yang bunyinya pekak, tak selalu pantas disimak. Karena kabar yang terdengar, yang cepat tersebar, bahkan yang luas beredar, tak dijamin disebabkan isinya paling benar.
Karena itulah, seorang pewarta, idealnya adalah yang memang mampu, terlatih-terampil secara jurnalistik, dan “berwawasan media.” Semua aspek tadi hanya didapat dari pelatihan. Selain juga butuh uji keterampilan. Ada keterpenuhan kualifikasi dan kriteria. Bahkan mensyaratkan standar sertifikasi.

Good Journalism ibarat Jamu Pahit

Ibarat obat, good journalism itu seperti jamu: pahit tapi menyehatkan. Rasanya mungkin tak enak.  Tidak menyenangkan. Tapi khasiatnya menyembuhkan. Sehingga diperlukan. Demi kebaikan jangka panjang. Karena spirit dari good journalism adalah kritis tapi konstruktif.
Makanya, esensi good journalism berbeda dengan good news –yang sekadar bermakna pesannya positif. Sekadar mengabarkan yang baik-baik. Isinya sekadar menyenangkan yang kuasa, penyandang dana, dan atau pemilik agenda.

Good Journalism bukan seperti itu. Ia bersifat mengritisi tapi dengan mengontribusikan solusi. Ia mempersoalkan suatu problem sosial, tapi dengan memberi kefaedahan bagi khalayak. Menyediakan more knowledge. Dengan cara mengajak memahami secara radikal  –maknanya: paham hingga sampai ke akar— tentang suatu persoalan.

Dalam konteks itulah, pemaknaan semboyan “information wants to be free,” semakin terasa menyesatkan. Sebab, informasi yang gratisan, konotasinya cuma sekadar komoditi kodian. Padahal, informasi yang abal-abal dan asal-asalan, sulit dibayangkan nilainya berharga. Atau dampaknya memberdayakan.

Begitu pun, mengasumsikan semua orang butuh semua berita/segala jenis informasi, adalah naïf. Sebab, kesannya, maaf, seperti menghina intelektualitas, dan merendahkan daya kritis setiap pembaca.

Akibat tersesat dengan logika tadi, kini nyaris tak ada media –termasuk social media, aggregator dan online news media—  yang tak jadi korbannya.

Bad Journalism efeknya merusak Brands Healthy

Syukur Alhamdulillah, kini semakin banyak yang sadar, bahwa tak ada sesiapa pun yang diuntungkan dengan pembiaran makin liarnya peredaran hoax, dan fake news seperti sekarang. Makanya, makin banyak pihak, di berbagai belahan dunia, yang berinisiatif menggulirkan upaya melawan gelombang hoax dan fake news.

Di Indonesia, misalnya seperti yang diadakan The Global Editors Network bersama Aliansi jurnalis Independen (AJI), dengan melibatkan Google News Lab. Juga prakarsa pendirian Jaringan Wartawan Anti Hoax (Jawarah) oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, atas inisiatif Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pun forum media training yang diadakan Google. Maupun Facebook. Atau pihak lain.
Dari sana bisa disimpulkan: kerjasama seluruh pemangku kepentingan –termasuk para tokoh, pejabat partai, maupun politisi pemerintahan— adalah mutlak. Sebab satu-sama-lain, terimbas.

Kegaduhan politik misalnya, seperti kita sama tahu, ternyata sangat berdampak mempengaruhi wajah jurnalisme media. Padahal jurnalisme yang buruk, efeknya tak bagus bagi bisnis. Sebab, berpotensi merugikan dan mendiskreditkan reputasi, trust, kredibilitas, maupun kesehatan brand.

Sebab yang media beritakan, berpotensi mempengaruhi persepsi, dan sentiment. Pun resistensi, dan sikap apriori. Bahkan bisa memicu antipati khalayak, terhadap brand/product. Posting ini pernah mengurainya.

Apalagi, esensi promosi di zaman ini sudah berubah. Bukan sekadar brands story. Melainkan people-to-people-based,  curative story, about their very own agendas. Sehingga aspek socio-graph, menentukan: Buzz kalah dari opini circle of trust. 

Makanya social media semakin tak lagi berjangkauan sosial. Bahkan Socmed pun semakin tak menyediakan quality-content. Melainkan hanya sekadar menyebarkan teaser. Sehingga akibatnya, brands semakin kalah dipercaya ketimbang yang dibilang friends. Pendapat ahli tak lagi dipatuhi, dibanding rekomendasi dari family.

Memang ada mitos yang banyak dipercaya: bahwa berita negatif, yang sensasional, apalagi bombastis, jauh lebih mudah viral. Menyebar, menular, menjalar. Tapi study Karen McIntyre, kandidat doctor di UNC Chapel Hill’s School of Journalism and Mass Communication mencatat sebaliknya. Bahwa dalam konteks memelihara hubungan baik antar-teman, berita dari sumber kredibel dengan headline positif, ternyata jauh lebih disukai.

Berita jenis itu, lebih berpotensi dipertukarkan. Lebih share-worthy. Sebab, menjadikan si pencerita, atau si narasumber, posisinya semakin kredibel di mata kelompoknya. Diposisikan sebagai sumber tepercaya. Bukan pembohong. Karena berita yang disebarnya berfaedah. Bukan hoax.
Jika semua pemangku kepentingan sudah sadar, bahwa membiarkan hoax makin meliar adalah kesalahan. Jika seluruh pihak mulai paham, bahwa tak ada satu pun pihak yang diuntungkan dengan situasi kacau balau seperti sekarang. Berarti saatnya kita semua harus sadar; berupaya sekuat daya, mulai mewujudkan good journalism. 

Karena, pada dasarnya, tak ada sesiapa pun yang suka disebut sebagai pembohong. Label sebagai produsen dan atau sumber hoax, bukan hal yang membanggakan bagi siapa pun. Secara politik, bisnis, maupun sosial-kemasyarakatan. P

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.