Klandestin Berbulu Agama
Kita baru saja disuguhi berita penangkapan sindikat
penyebar isu membakar, The Family Muslim Cyber Army (MCA). Sebelum
mereka, masih ada Saracen. Kedua
sindikat ini punya puluhan sel aktif yang siap beraksi 24 jam.
Didukung
segala fasilitas kelas satu dan biaya operasional nirbatas.
Kita
tak perlu bertanya siapa mereka. Sebab satu dan lainnya kecil
kemungkinan mereka saling mengenal. Mereka hanya tahu satu hal: adu
domba. Serigala di belakang mereka yang sejatinya harus kita kenali pola
gerak-geriknya.
Dulu ada PGRS/Paraku dan Barisan Rakyat. Lalu Gerakan Laskar Jihad (LJ) ke Ambon-Maluku, adalah contoh operasi yang sama. Termasuk gerakan Komando Jihad (Komji) yang melakukan serangan di Cicendo, Bandung. Kasus NII KW 9 (Ma’had Al-Zaytun) yang sempat marak di Jawa Barat, kemungkinan masuk dalam skenario operasi ini.
Begitu pula dengan komunitas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Jamaah Ahlul Bait, dan yang paling bikin heboh; ninja di Situbondo yang terus merayap sampai Pemalang, bentukan putra mahkota Cendana. Target operasi mereka, membunuhi para kiai kampung. Model yang nyaris sama kini terulang.
Dalam catatan militer dunia, ada satu operasi yang sangat
istimewa dan paling berbahaya bagi umat beragama, khususnya Islam.
Operasi ini tidak hanya menyusup, tetapi juga mempengaruhi, membiayai,
bahkan memberikan fasilitas. Inilah operasi telik sandi paling rumit.
Secara umum, bisa diartikan sebagai gerakan rahasia di “bawah tanah,”
untuk penggalangan dan pengerahan massa.
Gerakan ini
menggunakan sarana birokrasi, memanfaatkan indoktrinasi media, membuat
pelbagai opini publik yang menyesatkan, dan terutama menciptakan
kekacauan internal. Sebab, mereka memakai data personal
sebanyak-banyaknya, melalui sebaran jaringan yang tak kasat mata. Saat
ini media sosial adalah wahana termudah untuk melakukan itu.
Umat
Islam dengan segala keluguan dan kepolosannya kerap kali termakan oleh
operasi seperti ini. Misal, dengan memunculkan aliran sesat. Sebaliknya,
bila di tengah umat Muslim, mereka sering menggunakan segala simbol
Islam sebagai bungkus, untuk mengelabui.
Hal terpenting
yang perlu disadari, operasi ini tidak ditujukan demi kejayaan Islam,
namun untuk kepentingan politik tertentu yang umumnya anti-Islam.
Ironisnya, gerakan anti-Islam paling sering menggunakan cara ini, sebab
terbukti berhasil.
Operasi ini dimulai dengan mendekati
komunitas Muslim yang dikenal sangat nyaring dalam memperjuangkan
politik Islam. Sebagai pendekatan, biasanya ada sosok tertentu yang
semula anti-Islam, kemudian mengaku sudah “rujuk” dengan Islam. Orang
seperti ini biasanya banyak memberitahu “fakta rahasia,” sehingga umat
percaya.
Maka, dibentuklah suatu komunitas gerakan
politik, yang sampulnya ingin memperjuangkan misi politik Islam. Segala
materi, simbol, ajaran, doktrin, dogma, yang bersifat dakwah,
dikembangkan sebaik-baiknya. Ajaibnya, gerakan seperti ini cenderung
dilindungi, sebab merupakan benih “pembuat masalah” yang sengaja ditanam
di tubuh umat Islam.
Bila menghadapi kritik dari luar,
maka dikembangkanlah “retorika membela diri.” Sebagai contoh, “Anda
jangan merasa benar sendiri! Jangan memecah-belah umat!”
“Jangan
mendengki kemajuan orang lain. Anda hanya bisa bicara, kerja nol besar.
Bekerja di lapangan lebih sulit dari cuma bicara.”
“Seharusnya kebatilan tidak boleh dibela, tetapi seharusnya ditunjukkan dalil-dalil syariat yang melarang kebatilan itu.”
Retorika
seperti ini laksana kabut asap. Membuat bingung berjuta manusia yang
sedang mencari kebenaran. Lalu, akhirnya terlihat, bahwa muara dari
gerakan politik itu bukan untuk Islam, namun kepentingan elite/politik
kekuasaan belaka.
Nasihat Bung Karno
“KITA royal sekali
dengan perkataan “kafir.” Kita gemar sekali mencap segala barang yang
baru dengan cap “kafir.” Pengetahuan Barat–kafir; radio dan
kedokteran–kafir; pantalon dan dasi dan topi–kafir; sendok dan garpu dan
kursi–kafir; tulisan Latin–kafir; ya bergaulan dengan bangsa yang bukan
Islam pun–kafir!”
Demikian nukilan surat Sukarno kepada
T. A. Hassan bertitimangsa 18 Agustus 1936–kala ia baru menjalani dua
tahun masa pembuangannya di Ende, dan susah payah membangkitkan lagi
gelora api perjuangannya yang nyaris padam.
Jika
ditarik mundur ke belakang, surat bernuansa pemikiran progresif itu
sudah berjarak delapanpuluh satu tahun dengan masa kita saat ini.
Rentang panjang yang mestinya cukup mendewasakan alam keberislaman kita,
keberagamaan kita sebagai bangsa.
Kini,
tengoklah sekeliling kita. Cermati dan amati juga keseluruhan diri kita
secara utuh. Apa yang sejatinya terjadi? Adakah beda tegas bila kita
membawa embel-embel agama dalam
kehidupan, dan tidak sama sekali? Bilakah Islam yang kita anut,
misalnya, tak harus selalu diseret dalam rimba raya perbalahan?
Kejumudan
umat Islam hari ini nampaknya tak jauh beda dengan yang digelisahkan
Bung Karno saat itu. Kita masih gagal total meleburkan agama dalam laku
keseharian. Kita senang memisah-memilah ajaran agama yang telah berurat
akar dalam kehidupan.
Kita bahkan dengan enteng menepis
kebaikan hidup hanya kerana pengetahuan keagamaan kita yang kurang
mumpuni. Soal ini masih diperparah dengan kerja bawah tanah segelintir
manusia pemantik api yang senang mengadu domba orang beragama dengan
beberapa kata sakti semacam bid’ah, kafir, murtad, dan sesat. Mereka
lupa cara bersukacita dalam dan dengan agama. Mereka alpa mengingat
betapa gembiranya kita dulu ketika masih kecil–kala melakoni perintah
tuhan.
Kini, mereka telah berubah arah. Bukan lagi
mengabdi pada tuhan, namun bertekad membela tuhan. Jadi, pengacara
akhirat. Mereka mungkin khilaf. Jika tuhan butuh dan harus dibela, maka
Dia sama dengan terdakwa. Lemah tiada daya. Lantas, apa artinya la hawla wa la quwwata illa billah itu? Apakah agama kemudian bisa membuat kita jadi manusia adikuasa?
Kalo pengin unggul, jasmerah mesti dipegang terlebih tradisi para leluhur
BalasHapus