APAKAH ANDA SEDANG MENGKOMSUMSI SIMBOLISME AGAMA BUKAN SEDANG BERAGAMA

MENGKONSUMSI AGAMA

'Kapitalisme adalah produk setan yang mencoba menghancurkan agama!'
Seruan seperti ini sering sekali kita dengar. Bersamaan dengan seruan ini, kita menyaksikan upaya perlawanan terhadap kapitalisme dalam bentuk bangkitnya semangat keagamaan. Kita saksikan populasi wanita berhijab bertambah terus setiap tahun. 

Televisi dipenuhi sinetron religi. Film bertema dakwah laku keras di bioskop. Pengajian ustadz terkenal selalu penuh sesak. Berbagai produk mendapatkan sertifikat halal, sampai wajan dan kain batik pun harus halal. Agama sedang bangkit! Kapitalisme akan hancur!

Tapi mari kita teliti sejenak gelombang 'kebangkitan agama' ini. Mari kita sadari bahwa kapitalisme, via konsumerisme, sesungguhnya tidak pernah memusuhi agama. Camkan sekali lagi: kapitalisme tidak pernah berniat menghapuskan agama. Kapitalisme malah suka sekali jika umat beragama makin banyak. Kalau bisa seluruh dunia ini menjadi penganut agama yang taat. Kenapa? Karena kapitalisme menyadari bahwa penganut agama adalah pangsa pasar yang sangat gurih. Gurih? Ya, penganut agama tidak membeli sesuatu berdasarkan perhitungan untung rugi. Mereka membeli atas dasar sentimen. Tak perlu pusing soal harga atau kualitas.

Asalkan ada label halal pastilah dibeli. Tak perlu keluar biaya iklan terlalu banyak. Cukup mengendorse tokoh2 religi yang populer, bajunya, kopiahnya, sepatunya... pastilah barangnya diserbu konsumen. Jadikan hari besar agama sebagai festival belanja barang diskon. Bahkan, tidak perlu susah payah membuat customer service. Para konsumen kadang dengan bersemangat melakukan manuver pemasaran tanpa disuruh: memboikot produk kompetitor, mempromosikan produk sampai ke pelosok. Semua dilakukan dengan 'semangat beragama'. Bagaimana mungkin kapitalisme tidak sayang pada para penganut agama?

Maka mari kita renungkan sejenak. Atas dasar apa kita memilih ustadz kesayangan, apakah karena beliau sering tampil di tv ataukah karena ilmunya? Mengapa kita memilih jilbab yang ini dan bukan yang itu? Jika kita berbuka puasa dengan kurma, apakah karena ingin meniru Nabi ataukah merk yang tertera di kemasan kurma memegang peranan penting? Nabi dulu mungkin memetik kurma dari pohon di depan rumah, tapi sekarang kita bersusah payah mengimpor kurma untuk merasa 'sedang melaksanakan sunnah'. Dan mereka yang hanya mampu berbuka dengan air putih merasa sedih karena tak mampu membeli kurma impor untuk menambah pahala.

Mari kita renungkan juga apa yang membuat kita memilih tontonan, memilih portal berita, memilih bank, memilih pengajian, dan memilih... partai. Apakah karena nilai instristiknya, manfaatnya, baiknya layanan yang diberikan, kualitasnya, ataukah sekadar karena label 'agama' yang ditempelkan padanya? Lebih jauh lagi, apa yang membuat kita senang, membuat kita marah, membuat kita sedih, siapa yang kita suka dan siapa yang kita benci... apakah kita mengelola emosi karena tuntunan ajaran agama, ataukah karena itulah yang sedang gencar dipromosikan di tv dan sosmed?
Jangan2 sebenarnya kita memang hanya sedang mengkonsumsi (simbol) agama, bukannya sedang beragama...

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.