WAHABI DAN HTI, SERTA ISLAM RADIKAL ADALAH GERAKAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA
GERAKAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA
Relasi antara Wahabi dan kelompok-kelompok garis keras lokal memang tidak bisa sepenuhnya ditunjukkan secara organisatoris-struktural, karena lazimnya mereka malu disebut kaki tangan Wahabi. Di samping ada kontak-kontak langsung dengan tokoh-tokoh garis keras transnasional, relasi mereka juga berdasarkan kesamaan orientasi, ideologi, dan tujuan gerakan. Berbagai kelompok garis keras ini bekerjasama dalam beragam aktivitas yang mereka lakukan. Lazimnya, kelompok-kelompok ini memiliki relasi dengan organisasi transnasional yang diyakini berbahaya dan mengancam Pancasila, NKRI, dan UUD 1945, di samping juga merupakan ancaman serius terhadap Islam Indonesia yang santun dan toleran.
Di antara gerakan-gerakan transnasional yang beroperasi di Indonesia adalah,
1) Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir hadir di Indonesia pada awalnya melalui lembaga-lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi Gerakan Tarbiyah. Kelompok ini kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS); 18
2) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan gagasan Pan-Islamismenya yang ingin menegakkan Khilafah Islamiyah di seluruh dunia, dan menempatkan Nusantara sebagai salah satu bagian di dalamnya; dan
3) Wahabi yang berusaha melakukan wa- habisasi global. Di antara ketiga gerakan transnasional tersebut, Wahabi adalah yang paling kuat, terutama dalam hal pendanaan karena punya banyak sumur minyak yang melimpah. Namun demikian, ketiga gerakan transnasional ini bahu-membahu dalam mencapai tujuan mereka, yakni formalisasi Islam dalam bentuk negara dan aplikasi syari’ah sebagai hukum positif atau Khilafah Islamiyah.
Kehadiran Wahabi di Indonesia modern tidak bisa dilepaskan dari peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dengan dukungan dana besar dari Jama’ah Salafi (Wahabi), DDII mengirimkan mahasiswa untuk belajar ke Timur Tengah, sebagian dari mereka inilah yang kemudian menjadi agen-agen penyebaran ideologi Wahabi-Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Belakangan, dengan dukungan penuh dana Wahabi-Saudi pula, DDII mendirikan LIPIA dan kebanyakan alumninya kemudian menjadi agen Gerakan Tarbiyah dan Jama’ah Salafi di Indonesia. Dibandingkan dengan HTI, Wahabi memang jauh lebih dekat dengan Ikhwanul Muslimin. Kedekatan ini berawal pada dekade 1950-an dan 1960-an ketika Gamal Abdel Nasser membubarkan Ikhwanul Muslimin yang ekstrem dan melarang semua kegiatannya di Mesir. Banyak dari tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin saat itu melarikan diri meninggalkan negaranya.
Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir pada tahun 1928. Pada dekade ini Mesir dan Palestina dijajah Inggris, Maghreb dan Syria dijajah Prancis, sedangkan Libya dijajah Itali. Secara ideologis, penjajah Timur Tengah ini bisa dilihat dalam beberapa aliran. Inggris menganut liberalisme, sedangkan Itali yang sudah dikuasai Mussolini menganut fasisme. Fasisme (Fascism) berasal dari facses (Latin) atau fascio (Italia) yang adalah simbol otoritas Roma dan berarti batang-batang kecil yang diikat dalam satu-kesatuan dan karena itu sulit dihancurkan atau dipatahkan. Dengan kata lain, fasisme adalah simbol kekuatan melalui persatuan.
Tujuan Hasan al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin, di antaranya, adalah untuk melawan penjajah, mengatasi kemunduran peradaban Islam, dan membawa umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni. Sayangnya, al-Banna dan para pengikutnya tampak meyakini bahwa ideologi dan sistem gerakan fasisme Itali-Mussolini dan komunisme-Uni Soviet lebih berguna dalam mencapai tujuannya daripada liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan bagi setiap orang untuk mencari kebenaran dan mengamalkan ajaran agamanya. Di samping itu, al-Banna juga berkenal- an dengan gagasan Wahabi, dan sejak awal sekali pola pikir Totalitarianisme-Sentralistik Fasisme, komunisme dan Wahabisme sudah ada dalam DNA Ikhwanul Muslimin.
Secara faktual bisa dikatakan, Ikhwanul Muslimin adalah anak kandung ideologi Barat yang sekaligus memusuhi induknya. Dari fasisme-Mussolini Itali, Ikhwanul Muslimin mengadopsi sistem totalitarianisme dan negara sentralistik, namun menolak nasionalisme. Dari komunisme-Uni Soviet, mereka mengadopsi totalitarianisme, sistem penyusupan dan perekrutan anggota (cell system), strategi gerakan, dan internasionalisme, namun menolak ateisme. Berdasarkan fakta ini beberapa ahli menyebut Ikhwanul Muslimin dan garis keras lainnya sebagai Islamofasisme, yakni sebuah gerakan politik yang bertujuan mewujudkan kekuasaan mutlak berdasarkan pemahaman mereka atas al-Qur’an.[1]
Dalam membangun gerakan, Ikhwanul Muslimin menggunakan jaringan tarekat yang saat itu sangat banyak dan subur di Mesir. Bahkan hingga bisa dikatakan bahwa Ikhwanul Muslimin sendiri pada masa transformatifnya adalah sebuah tarekat namun dengan tujuan politik, bukan spiritual sebagaimana layaknya tarekat tasawuf. Maka dalam waktu yang relatif cepat, Ikhwanul Muslimin berhasil merekrut ratusan ribu anggota. Memang, salah satu motif awal Ikhwanul Muslimin adalah untuk melawan penjajah Inggris di Mesir dan tidak keras terhadap Muslim yang lain. Namun, karena watak dasar gerakan ini bersifat politis yang dikemas dengan busana agama, gairah politik sudah melekat erat dalam DNA gerakan ini. Motif politik dan keinginan merebut kekuasaan dengan semangat fasisme-komunisme ini membuat Ikhwanul Muslimin sering terlibat konflik dengan penguasa.
Berakhirnya penjajahan Inggris ternyata tidak menjadi peluang emas bagi Ikhwanul Muslimin untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Merasa punya andil dalam usaha mengakhiri penjajahan, namun kemudian tidak berhasil secara politik, membuat Ikhwanul Muslimin menjadi keras dan fanatik. Hal ini mempertajam konflik dengan pemerintah ketika itu termasuk pembunuhan Perdana Menteri Mesir, Mahmoud an-Nukrashi Pasha pada Desember 1948— dan menyebabkan terbunuhnya pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna oleh pemerintah Mesir.
Terbunuhnya Hasan al-Banna tidak membuat Ikhwanul Muslimin ikut mati, tapi semakin keras dan fanatik. Kegagalan politik Ikhwanul Muslimin ini bertemu dengan kekecewaan para opsir muda yang tidak sejalan dengan Raja Faruk ketika itu. Ikhwanul Muslimin tidak menyia-nyiakan peluang politik ini dengan mendukung gerakan para opsir yang berniat melakukan pemberontakan.
Keberhasilan pemberontakan para opsir (Free Officers Revolution) kembali terbukti tidak menjadi peluang bagi Ikhwanul Muslimin untuk meraih kekuasaan politik di Mesir, karena ideologi Ikhwanul Muslimin maupun gerakan para opsir memang berseberangan sejak awal. Gamal Abdel Nasser, salah seorang opsir yang terlibat dalam pemberontakan pada tahun 1954 dan kemudian menjadi Presiden Mesir pada tahun 1956, tidak mau berbagi kekuasaan dengan Ikhwanul Muslimin dan bergerak dengan gagasannya sendiri, Pan-Arabisme berdasarkan sosialisme. Ikhwanul Muslimin kecewa dan merasa dikhianati.
Sayyid Qutb, yang menjadi ideolog dan salah seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin setelah al-Banna dibunuh, merasa penguasa ketika itu telah berbuat kejam dan aniaya. Kekecewaan politik Ikhwanul Muslimin membuat Qutb dan pemimpin yang lain bersikap lebih aggresif terhadap lawan-lawan politiknya. Ditangkap dan disiksa di penjara, Qutb menyerang penguasa Mesir melalui tulisan-tulisannya, dan menuduh siapa pun yang tidak mengikuti ideologi kerasnya sebagai murtad, kafir, dan halal darahnya. Karya-karyanya sarat dengan gagasan-gagasan seperti takfir, fir’aun, serta jahiliyah modern, yang dia gunakan untuk mengkategorikan siapa pun yang tidak sejalan dengan ideologinya. Di samping pengaruh gerakan Hizbut Tahrir yang dia peroleh dari pertemuannya dengan tokoh Hizbut Tahrir selama di penjara, semua ini jelas merupakan pengaruh Wahabisme. Di samping itu, gagasan-gagasan seperti revolutionary-vanguard dan International movements juga bermunculan dalam karya-karya Qutb, yang jelas merupakan pengaruh komunisme yang masih kuat pada masa itu.
Dalam tulisan-tulisan Qutb jelas terlihat bahwa para pengikut ideologinya harus memperjuangkan kekuasaan proletariat, supremasi ummah/syari’ah, serta terwujudnya negara Islam dan akhirnya khilafah yang sentralistik melalui revolutionary-vanguard, yaitu para pemimpin garis keras pengikut ideologi Qutb. Gagasan-gagasan Qutb ini mengilhami para pembacanya dari kalangan garis keras melakukan aksi-aksi kekerasan dan mengancam keselamatan jiwa para pejabat negara dan rakyat serta mengacaukan situasi politik tidak hanya di Mesir ketika itu, tetapi di seluruh dunia hingga dewasa ini. Secara ringkas bisa dikatakan, tulisan-tulisan Qutb mengilhami para pengikut ideologinya menggunakan kekerasan untuk meraih kekuasaan.
Perkawinan Wahabi-Ikhwanul Muslimin
Tulisan-tulisan Qutb yang bernada menghasut membuat dia dieksekusi pada tahun 1966. Memang sejak tahun 1954 banyak pemimpin Ikhwanul Muslimin selain Qutb dijebloskan ke penjara oleh Nasser. Langkah represif penguasa Mesir ini membuat banyak tokoh dan anggota Ikhwanul Muslimin merasa tidak aman lagi tinggal di Mesir, dan Arab Saudi menjadi alternatif menarik. Di antara mereka yang melarikan diri ke Arab Saudi adalah Said Ramadan yang termasuk salah seorang pendiri Rabithath al-Alam al-Islami. Said Ramadan menantu Hasan al-Banna kemudian pindah ke Jenewa dan membawa Ikhwanul Muslimin ke Eropa dengan dukungan dana Wahabi untuk menguasai umat Islam Eropa agar menjadi pengikut ideologi Wahabi-Ikhwanul Muslimin. Tariq Ramadan putranya, cucu Hasan al-Banna melalui ibunya, sekarang adalah tokoh intelektual terkenal di Eropa.
Pada tahun 1960-an, Arab Saudi mengundang para tokoh Ikhwanul Muslimin termasuk di antaranya adalah adik kandung Sayyid Qutb, yaitu Muhammad Qutb untuk menyelamatkan diri ke Saudi. Muhammad Qutb kemudian menjadi dosen di King Abdulaziz University, Jedah, dan mengajar Osama bin Laden di antara murid lainnya.
Sikap Saudi ini merupakan refleksi ketakutan penguasa Wahabi atas gerakan Pan-Arabisme Gamal Abdel Nasser yang berdasarkan sosialisme dan jelas merupakan ancaman terhadap dominasi ideologis Wahabi-Saudi. Dengan mengundang Ikhwanul Muslimin, Saudi ingin sekali kayuh melampaui dua hingga tiga pulau. Pertama, Ikhwanul Muslimin yang merupakan musuh Gamal Abdel Nasser bisa menjadi sekutu strategis melawan Pan-Arabisme-Sosialisme Nasser. Kedua, para anggota Ikhwanul Muslimin yang terpelajar bisa membantu Saudi membangun dan memperkuat sistem penyebaran Wahabi ke negara lain di Timur Tengah dan akhirnya ke seluruh dunia (Wahabisasi global).
Pada dekade 60-an ini, perkawinan Wahabi-Ikhwanul Muslimin terjadi dan melahirkan keturunan gerakan garis keras yang banyak di seluruh dunia hingga dewasa ini. Keduanya berbagi fanatisme ideologis, ambisi kekuasaan sentralistik, orientasi internasional, dan formalisasi agama. Wahabi sendiri mempunyai dana besar terutama setelah harga minyak melangit pada tahun 1973 namun kurang atau tidak terdidik, sedangkan Ikhwanul Muslimin cukup terdidik namun tidak punya dana memadai. Kelak terlihat, perkawinan ini memang sangat strategis dan darinya lahir gerakan internasional dengan ideologi, sistem, dan dana yang kuat serta terus berkembang dan meluaskan diri ke seluruh dunia hingga dewasa ini.
Akhir 1970-an dan awal 1980-an merupakan suasana menegangkan bagi penguasa Saudi. Keberhasilan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979, ditambah pemberontakan Juhayman al-Uteybi dan anak buahnya yang menduduki Masjidil Haram pada tahun yang sama, sudah cukup membuat penguasa Saudi sangat terancam. Pada dekade ini Presiden Mesir, Anwar Sadat terbunuh; dan Uni Soviet menguasai Afghanistan. Pada dekade 1980-an proyek Wahabisasi global dengan dukungan dana (Saudi) dan sistem (Ikhwanul Muslimin) bergerak jauh lebih cepat. Hal ini dilaksanakan melalui yayasan-yayasan Wahabi seperti Rabithath al-‘Alam al-Islami, al-Haramain, International Islamic Relief Organization (IIRO), dan banyak lainnya. Kelak al-Haramain ini menjadi terkenal saat PBB menyebutnya sebagai “terrorist-funding entity” yang membiayai aksi-aksi teror di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia.
Perang Afghanistan melawan Uni Soviet memikat banyak anggota garis keras dari seluruh dunia, termasuk pendiri Laskat Jihad, Ja’far ‘Umar Thalib, dan beberapa pelaku kampanye teror Jamaah Islamiyah, termasuk Hambali, Imam Samudra, dan Ali Ghufron. Bahkan, Jamaah Islamiyah yang didirikan oleh mantan anggota Darul Islam, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir— punya kaitan erat dengan al-Qaedah melalui Hambali, yang sebelum ditangkap termasuk pengurus inti al-Qaedah.
Secara struktural, para pengurus inti al-Qaedah beretnik Arab dan berasal dari Timur Tengah kecuali Hambali. Hambali adalah komandan militer Jamaah Islamiyah yang berjuang untuk melenyapkan NKRI dan menggantinya dengan khilafah internasional. Jamaah Islamiyah bertanggung jawab atas banyak peledakan bom di Indonesia seperti pemboman hotel Marriott, Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bandara Soekarno-Hatta, Bom Bali, pemboman di berbagai gereja, dan usaha pembunuhan Duta Besar Filipina. Bahkan, bom di Masjid Istiqlal yang berskala kecil termasuk aksi JI sebagai usaha menumbuhkan sentimen keagamaan bahwa ada serangan terhadap Islam Indonesia.
Al-Qaedah adalah keturunan lain dari perkawinan Wahabi-Ikhwanul Muslimin, yang jelas terlihat dari kehadiran para Wahabi-Saudi yang dipimpin Osama bin Laden (murid Muhammad Qutb) dan Ayman al-Zawahiri bersama para pengikutnya. Al-Zawahiri yang sudah menjadi anggota Ikhwanul Muslimin sejak berusia 14 tahun sangat kuat dipengaruhi Sayyid Qutb, dan adalah pemimpin kedua al-Jihad —dikenal dengan nama Egyptian lslamic Jihad— yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Presiden Mesir, Anwar Sadat pada tahun 1981.
Hizbut Tahrir
Mengaku kecewa dengan Ikhwanul Muslimin yang dituding terlalu moderat dan terlalu akomodatif terhadap Barat, Taqiuddin al-Nabhani mendirikan Hizbut Tahrir pada tahun 1952 di Jerusalem Timur yang dikuasai Yordania. Menurut al-Nabhani, umat Islam —ketika itu— sudah dicemari pemikiran dan emosi kapitalisme, sosialisme, nasionalisme dan sektarianisme. Karena itu dia berambisi mendirikan Khilafah Islamiyah internasional yang akan diawali dari teritori Arab dan kemudian teritori Islam non-Arab.
Setelah al-Nabhani wafat pada tahun 1977, Hizbut Tahrir dipimpin oleh Abu Yusuf Abdul Qadim Zallum yang wafat pada tahun 2003 dan kemudian digantikan oleh Ata Ibn Khaleel Abu Rashta. Radikalisme dan sikap agresif Hizbut Tahrir terus meningkat sejak pendiriannya hingga dewasa ini, karena itu Hizbut Tahrir dilarang di kebanyakan negara Islam di seluruh dunia, dan pusat gerakan internasionalnya sekarang berada di Inggris.[2]
Hizbut Tahrir mengklaim bahwa gagasan-gagasan yang mereka perjuangkan adalah murni Islam. Klaim ini tidak bisa dipisahkan dari situasi pada masa pendirian dan formatifnya di Timur Tengah serta penolakan sepenuhnya terhadap apa pun yang berasal dari atau berkaitan dengan Barat. Padahal, menurut Ed Husain (seorang mantan pemimpin Hizbut Tahrir di Inggris), di samping pengaruh al-Mawardi, pemikiran al-Nabhani jelas dipengaruhi oleh Hegel, Rousseau dan tokoh-tokoh Eropa lainnya. Bahkan, pemikiran politik al-Nabhani —dan dengan demikian Hizbut Tahrir sepenuhnya berasal dari pemikiran politik Eropa. Hanya saja, al-Nabhani mengganti term-term yang berasal dari Barat dengan term-term berbahasa Arab sehingga bernuansa Islam.[3]
Para tokoh Hizbut Tahrir melihat umat Islam dewasa ini berada dalam masa jahiliyyah sebagai akibat runtuhnya khilafah. Mereka bisa mengatasinya dengan mengakhiri ‘ketundukan’ pada Barat, memperoleh kembali identitas kolektifnya, dan yang terpenting menegakkan kembali khilafah internasional dan di dalamnya hukum Islam akan diberlakukan sebagai hukum positif. Dalam kaitan ini, Hizbut Tahrir meyakini bahwa hanya khalifah yang berhak memutuskan perang, karena itu hingga saat ini mereka menjalankan strategi penyusupan dan menunda cara-cara militer dan kekerasan dalam meraih kekuasaan,[4] sampai mereka yakin akan menang dan berhasil dalam merebut kekuasaan untuk mendirikan khilafah mereka.
Ada tiga tahap perjuangan Hizbut Tahrir dalam usaha menegakkan khilafah internasional. Pertama, membangun partai (hizb). Pada tahap ini para agen Hizbut Tahrir melakukan rekrutmen anggota baru, mereka membinanya dalam kurun waktu yang bisa berlangsung selama enam bulan hingga tiga tahun, tergantung pada progres masing-masing mereka. Tahap ini bisa dikatakan sebagai proses cuci otak dan pembentukan pribadi Islami a la Hizbut Tahrir, biasanya dilakukan dalam halaqah-halaqah. Pada tahap ini tokoh atau anggota Hizbut Tahrir juga akan membuka hubungan dengan umat untuk menyampaikan gagasan dan metode perjuangan mereka secara pribadi.
Kedua, berinteraksi dengan masyarakat. Dalam tahap ini, anggota yang telah lulus dari tahap pertama membentuk sel-sel baru dan mulai aktif mengaitkan kasus-kasus lokal dengan masalah-masalah global dan membakar massa untuk membangun ketegangan sosial antara rakyat dan pemerintah, untuk kemudian mulai menawarkan jalan Islam sebagai alternatif keluar dari ketegangan yang telah dibangunnya. Target utama mereka adalah untuk menyusup ke dalam pemerintahan dan militer, agar kelak melapangkan jalan dalam merebut kekuasaan.[5] Di seluruh dunia, tahap kedua inilah yang paling banyak beroperasi, dan agen-agen Hizbut Tahrir sudah aktif di lebih 40 negara, termasuk Indonesia di mana pada 12 Agustus 2007 mereka mengumpulkan lebih dari 80 ribu orang di Gelora Bung Karno untuk menyerukan pendirian Khilafah Islamiyah dan melenyapkan Pancasila dan NKRI.
Ketiga, merebut kekuasaan. Tahap terakhir ini akan dilancarkan setelah mereka yakin akan menang dan berhasil merebut kekuasaan, yang antara lain akan ditandai dengan tingkat keberhasilan mereka menyusup ke dalam pemerintahan dan militer. Setelah berkuasa, mereka siap memaksakan penafsiran tentang Islam a la Hizbut Tahrir dalam semua bidang kehidupan umat manusia.[6]
Secara umum, sebagai akibat dari obsesi ideologi politik mereka, Hizbut Tahrir hampa spiritualitas sehingga gerakan yang dibangunnya kering dan cenderung supremasis. Bahkan, dalam banyak kasus, mayoritas aktivis Hizbut Tahrir tidak mengerti tentang Islam dan hanya mengetahui aspek-aspek yang sangat artifisial. Sangat ironis, bagaimana mungkin mereka yang tidak mengerti tentang Islam akan memperjuangkan Islam.[7] Lemahnya pemahaman yang mendalam ini menjadi penyebab utama mereka terlena dan tergoda memperjuangkan gagasan yang dikemas dalam term-term Arab yang identik dengan Islam. Secara umum, retorika kelompok-kelompok seperti ini adalah pengantar pada aksi-aksi kekerasan. Di dalamnya agama telah dimanipulasi sedemikian rupa untuk menyediakan dorongan teologis bagi para pengikut garis keras agar bersedia melakukan apa pun, hingga membunuh atau bunuh diri sekalipun jika dibutuhkan, demi mencapai tujuan politik mereka.
a. Tiga Aspek Kekerasan
Ketiga gerakan transnasional ini (Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir), hadir di Indonesia baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Dengan ideologinya yang kaku, keras, dan ekstrem, didukung kekuatan dana dan sistem penyusupan ala komunisme, gerakan-gerakan transnasional ini menyusup ke hampir semua bidang kehidupan bangsa Indonesia. Ketiganya berusaha mengubah wajah Islam Indonesia yang umumnya santun dan toleran agar seperti wajah mereka yang sombong, garang, kejam, penuh kebencian, dan merasa berhak menguasai. Kekerasan yang mereka lakukan bisa dilihat dalam beberapa aspek.
Pertama, kekerasan doktrinal, yakni pemahaman literal-tertutup atas teks-teks keagamaan dan hanya menerima kebenaran sepihak. Dalam hal ini, literalisme-tertutup telah memutus relasi kongkret dan aktual pesan-pesan luhur agama dari realitas sejarah, sosial, dan kultural. Akibatnya, pesan-pesan luhur agama diamputasi sedemikian rupa dan hanya menyisakan organ yang sesuai dengan ideologi mereka.
Kedua, kekerasan tradisi dan budaya, dampak turunan dari yang pertama. Kebenaran sepihak yang dijunjung tinggi membuat mereka tidak mampu memahami kebenaran lain yang berbeda, dan praktik-praktik keagamaan umat Islam yang semula diakomodasi kemudian divonis sesat, dan pelakunya divonis musyrik, murtad, dan atau kafir. Kelompok-kelompok garis keras menolak eksistensi tradisi, karena itu mereka lazim menolak bermadzhab (alla madzhabiyyah), menolak tradisi tasawuf, dan berbagai praktikyang merupakan buah dari komunikasi teks-teks atau ajaran luhur agama dengan tradisi dan budaya umat Islam di berbagai daerah sepanjang sejarah. Akibatnya, terjadi salah kaprah dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Dengan dalih meniru Kanjeng Nabi, para anggota garis keras berpakaian a la busana Arab seperti gamis dan sorban, me- manjangkan jenggot, namun mereka abai atas akhlak Kanjeng Nabi, seperti santun, sabar, rendah hati, pemaaf, dan seterusnya.
Ketiga, kekerasan sosiologis, dampak lanjutan dari dua kekerasan pertama, yakni aksi-aksi anarkis dan destruktif terhadap pihak lain yang dituduh musyrik, murtad, dan/ atau kafir. Kekerasan sosial ini kemudian menyebabkan ketakutan, instabilitas, dan kegelisahan sosial yang mengancam negara di manapun tempat mereka menyusup. Dan akumulasi dari ketiga kekerasan ini kemudian merusak nalar dan logika umat Islam, menyuburkan kesalahkaprahan dalam memahami Islam akibat jargon-jargon teologis yang diteriakkan dengan tidak semestinya. Kebenaran, kemudian, lebih didasarkan pada jargon ideologis, bukan pada substansi pesan luhur agama yang disimbolkan oleh jargon yang bersangkutan.
Menurut seorang pejabat tinggi Departemen Pertahanan Republik Indonesia (Dephan RI), ancaman terhadap Indonesia tidak datang dalam bentuk militer dari luar negeri. Ancaman yang sebenarnya justru berada di dalam negeri, dalam bentuk gerakan ideologi garis keras. Senjata untuk mengatasinya adalah Pancasila.[8]
Afiliasi tokoh-tokoh atau individu-individu aktivis garis keras lokal dengan salah satu gerakan transnasional tersebut terutama disebabkan oleh faktor-faktor seperti keuntungan finansial, kesem- patan untuk mendapat kekuasaan, lingkungan dan atau dislokasi sosial, dan/atau lemahnya pemahaman atas ajaran agama, terutama dalam hal spiritualitas.
Faktor finansial merupakan bisnis terselubung gerakan garis keras. Seorang mantan tokoh Laskar Jihad di Indonesia secara terbuka menyatakan kepada peneliti kami, ketika aktif dalam gerakan dia mendapat tunjangan tak kurang dari Rp 3 juta setiap bulan. Di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan, godaan materi ini sangat berpengaruh bagi mereka yang masih lemah imannya. Hal ini bisa dimengerti, dana yang sangat besar memang bisa menghanyutkan iman dan menjadi lahan bisnis yang sangat menguntungkan para agennya. Keuntungan finansial ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para petualang yang ingin mendapat keuntungan instan tanpa perlu bekerja keras.
Orang-orang yang merasa punya kemampuan namun tidak punya peran sosial yang diimpikan, sering menemukan aktualisasi diri dalam kelompok-kelompok garis keras. Di dalamnya mereka mendapatkan peran dan posisi penting karena mampu merekrut dan mengatur pengikutnya serta menarik perhatian publik. Semakin banyak memperoleh pengikut dan sering muncul dalam liputan pers, semakin terpuaskan keinginannya untuk dianggap penting dan mendapat perhatian publik. Sepertinya publikasi pers menjadi pemuas impian yang telah lama tak tercapai untuk menjadi orang penting dan terkenal. Hal ini terlihat jelas antara lain dalam sebuah interview kolumnis asing dengan salah seorang Pimpinan kelompok garis keras pada bulan April 2007.[9]
Namun faktor terpenting dan barangkali menjadi alasan kebanyakan orang terpesona dengan gerakan garis keras adalah dangkalnya pemahaman mereka tentang agama (baca: ajaran Islam). Jargon-jargon garis keras seperti membela Islam, penerapan syari’ah, maupun penegakan Khilafah Islamiyah, bagi umat Islam yang tidak mempunyai pemahaman mendalam tentang ajaran agamanya bisa menjadi ungkapan yang sangat ampuh dan mempesona. Pada saat yang sama, para penolak jargon-jargon tersebut bisa dengan mudah dituduh menolak syari’ah, bahkan menolak Islam. Tuduhan semacam ini lazim dilontarkan oleh orang-orang yang merasa sok tahu tentang Islam, mereka yang merasa sebagai yang paling benar dalam memahami Islam. Sikap arogan ini membuat mereka lebih suka menyalahkan siapa pun yang tidak sama dengan dirinya, dan tidak mampu melakukan introspeksi. Sikap demikian lahir karena tidak adanya sikap berislam secara sejati, sikap berserah diri seutuhnya kepada Allah swt. dan rendah hati sepenuhnya sebagaimana pesan utama Islam sendiri. Dangkalnya pemahaman ini menjelma menjadi kesalahkaprahan akut, mereka tidak mampu membedakan antara sumber ajaran Islam dari pemahaman atas sumber ajaran tersebut. Mereka juga tidak mampu mengurai kompleksitas relasi antara ajaran agama dengan realitas sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Dalam hal ini, agama yang mengandung pesan-pesan luhur dan sangat menekankan akhlak mulia, kemudian direduksi menjadi seperangkat diktum yang tak berperasaan berdasarkan batasan-batasan ideologis dan/ atau platform partai.
Sungguh sayang, sementara beberapa umat Islam baik yang awam maupun yang berpendidikan tinggi telah dengan tulus mendukung agenda garis keras semata karena terpesona dengan jargon-jargon yang mereka gunakan, para tokohnya terus membangun simbiosa mutualistik —dengan para oportunis, individu yang sangat dangkal pemahamannya tentang Islam, atau yang idealis— yang darinya keuntungan personal diperoleh. Bukanlah sebuah kebetulan bahwa ada kelompok-kelompok garis keras yang merekrut anggota baru dengan sistem sel seperti dilakukan Ikhwanul Muslimin dan HTI, karena dengan cara demmikian mereka bisa lebih mudah dan efektif mengendalikan pengikutnya. Perekrutan dengan sistem sel merupakan media paling mudah untuk reorientasi, atau cuci otak, berdasarkan ideologi gerakan mereka.
Di samping itu, keanggotaan berjenjang dan tertutup ini juga ampuh membungkam pertanyaan para anggota baru atas hal-hal yang bersifat sensitif, termasuk masalah finansial. Gayung bersambut, baik Wahabi maupun para petualang lokal sama-sama mendapat keuntungan. Wahabi yang tidak bisa hadir secara terbuka —karena tentu akan ditolak oleh umat Islam yang mengerti sejarah dan ajaran mereka untuk menanamkan pahamnya di Indonesia, beruntung karena ada para petualang yang bersedia menjadi kaki tangannya untuk menyebarkan ideologi mereka. Sedangkan para petualang lokal mendapat keuntungan finansial dari aliran petrodolar yang luar biasa deras.
Terlepas dari alasan finansial tersebut, bersama-sama dengan Ikhwanul Muslimin dan HTI, Wahabi telah mempengaruhi umat Islam setempat dengan pahamnya yang ekstrem. Walaupun memiliki perspektif yang berbeda, termasuk dalam beberapa detail pemahaman keagamaan, tujuan akhir mereka mirip, yakni formalisasi Islam. Untuk mencapai tujuan ini, kelompok-kelompok garis keras menggunakan segala cara, bahkan yang bertentangan dengan ajaran Islam sekalipun. Fakta ini hanya menegaskan sebaliknya. Jika mereka memang memperjuangkan Islam, tentu mereka akan menghindari cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Prinsip yang lazim menjadi pegangan para ulama Ahlussunnah wal-jamd’ah menegaskan bahwa tujuan tidak bisa membenarkan cara (al-ghdyah la tubarrir al-washilah atau Mari kdna amruhu ma’rufan fal-yakun bi ma’rufin). Artinya, cara tidak akan men-
jadi baik karena tujuannya baik; atau, siapa pun yang mempunyai tujuan baik hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang baik pula. Tujuan baik, jika diusahakan dengan cara-cara buruk, tentu akan menodai kebaikan itu sendiri dan bertentangan.[10]
b. Infiltrasi Ideologi Wahabi Pertama di Indonesia: Gerakan Padri
Selama beberapa dekade yang lalu, sebagaimana dipaparkan dalam pelajaran sejarah resmi di sekolah-sekolah, Perang Padri lebih dikenal sebagai perang melawan pendudukan penjajah Belanda. Para Padri dikenal sebagai pahlawan yang dengan gagah berjuang/berperang membela tanah air. Sisi kekerasan dan afiliasi mereka dengan ajaran Wahabi sama sekali tidak terungkap dan hanya beredar di antara para ahli saja. Dalam hal ini, sangat berharga untuk mengetahui penggalan lain sejarah Gerakan Padri tersebut.
Gerakan Padri berawal dari perkenalan Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif dengan Wahabi saat menunaikan ibadah haji pada awal abad ke-19, ketika itu Makkah dan Madinah dikuasai Wahabi. Terpesona oleh gerakan Wahabi, sekembalinya ke Nusantara (Indonesia) Haji Miskin berusaha melakukan gerakan pemurnian sebagaimana dilakukan Wahabi, yang juga didukung oleh dua haji yang lain.[11] Pemikiran dan gerakan mereka setali tiga uang dengan Wahabi, mereka memvonis tarekat Syattariyah, dan tasawuf secara umumnya, yang telah hadir di Minangkabau beberapa abad sebelumnya sebagai kesesatan yang tidak bisa ditoleransi, di dalamnya banyak takhayul, bid’ah, dan khurafat yang harus diluruskan, kalau perlu diperangi.[12] Tuanku Nan Renceh, misalnya, memusuhi Tuanku Nan Tuo, gurunya sendiri karena yang disebut terakhir lebih memilih bersikap moderat dalam mengajarkan Islam. Tuanku Nan Renceh juga mengkafirkan Fakih Saghir, sahabat dan teman seperguruannya, dan menyebutnya sebagai raja kafir dan rahib tua hanya karena tidak berbagi pandangan keagamaan dengannya.[13]
Beberapa kekerasan yang dilakukan Padri, selain mengikuti kegemaran Wahabi memusyrikkan, mengkafirkan, dan memurtadkan siapa pun yang berbeda, mereka juga menerapkan hukum yang sama sekali asing dalam diktum hukum Islam, seperti kewajiban memelihara jenggot dan didenda 2 suku (setara dengan 1 gulden) bagi yang mencukurnya; larangan memotong gigi dengan ancaman denda seekor kerbau bagi pelanggarnya; denda 2 suku bagi laki-laki yang lututnya terbuka; denda 3 suku bagi perempuan yang tidak menutup sekujur tubuhnya kecuali mata dan tangan; denda 5 suku bagi yang meninggalkan shalat fardlu untuk pertama kali, dan hukum mati untuk berikutnya.[14]
Para Padri juga melegalkan perbudakan. Tuanku Imam Bonjol, tokoh Padri terkemuka dan dikenal sebagai pahlawan nasional, mempunyai tujuh puluh orang budak laki-laki dan perempuan. Budak-budak ini sebagian merupakan hasil rampasan perang yang mereka lancarkan kepada sesama Muslim karena dianggap kafir.[15]
Kekerasan lain yang dilakukan Padri terhadap sesama Muslim di Minangkabau, antara lain penyerangan terhadap istana Pagaruyung pada tahun 1809. Serangan ini diawali oleh tuduhan Tuanku Lelo, tokoh Padri, bahwa beberapa keluarga raja seperti Tuanku Rajo Naro, Tuanku di Talang, dan seorang anak raja lainnya, tidak menjalankan akidah Islam secara benar dan dianggap kafir, sehingga harus dibunuh. Pembantaian massal pun dilakukan terhadap para anggota keluarga dan pembantu raja, termasuk para penghulu yang dekat dengan istana.[16] Pada tahun 1815, serangan dilakukan kembali dibawah komando Tanku Lintau. Dalam serangan kali ini, gerakan Padri membunuh hampir seluruh keluarga kerajaan yang telah memeluk Islam sejak abad ke-16 itu. Kekejaman Padri tidak hanya dalam hal itu saja. Tercatat, Tuanku Nan Renceh telah menghukum bunuh bibinya sendiri yang sudah tua, dan tidak membolehkan jenazahnya dikubur tetapi dibuang ke hutan, semata karena mengunyah sirih yang diharamkan Wahabi.[17]
Apa yang dilakukan kaum Padri ini sama belaka dengan yang dilakukan oleh Wahabi pada masa formasinya dan oleh pengikutnya seperti al-Qaedah dan Taliban sampai dewasa ini. Gerakan Padri berakhir, di samping karena faktor penjajahan, juga karena secara alamiah bertentangan dengan suasana, tradisi, dan budaya bangsa Indonesia. Fakta ini merupakan bukti kongkret betapa virus Wahabi yang menjangkiti jantung dunia Islam bisa menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh dunia Islam. Berakhirnya gerakan Padri tidak mengakhiri penyusupan Wahabi ke Indonesia.
Relasi antara Wahabi dan kelompok-kelompok garis keras lokal memang tidak bisa sepenuhnya ditunjukkan secara organisatoris-struktural, karena lazimnya mereka malu disebut kaki tangan Wahabi. Di samping ada kontak-kontak langsung dengan tokoh-tokoh garis keras transnasional, relasi mereka juga berdasarkan kesamaan orientasi, ideologi, dan tujuan gerakan. Berbagai kelompok garis keras ini bekerjasama dalam beragam aktivitas yang mereka lakukan. Lazimnya, kelompok-kelompok ini memiliki relasi dengan organisasi transnasional yang diyakini berbahaya dan mengancam Pancasila, NKRI, dan UUD 1945, di samping juga merupakan ancaman serius terhadap Islam Indonesia yang santun dan toleran.
Di antara gerakan-gerakan transnasional yang beroperasi di Indonesia adalah,
1) Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir hadir di Indonesia pada awalnya melalui lembaga-lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi Gerakan Tarbiyah. Kelompok ini kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS); 18
2) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan gagasan Pan-Islamismenya yang ingin menegakkan Khilafah Islamiyah di seluruh dunia, dan menempatkan Nusantara sebagai salah satu bagian di dalamnya; dan
3) Wahabi yang berusaha melakukan wa- habisasi global. Di antara ketiga gerakan transnasional tersebut, Wahabi adalah yang paling kuat, terutama dalam hal pendanaan karena punya banyak sumur minyak yang melimpah. Namun demikian, ketiga gerakan transnasional ini bahu-membahu dalam mencapai tujuan mereka, yakni formalisasi Islam dalam bentuk negara dan aplikasi syari’ah sebagai hukum positif atau Khilafah Islamiyah.
Kehadiran Wahabi di Indonesia modern tidak bisa dilepaskan dari peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dengan dukungan dana besar dari Jama’ah Salafi (Wahabi), DDII mengirimkan mahasiswa untuk belajar ke Timur Tengah, sebagian dari mereka inilah yang kemudian menjadi agen-agen penyebaran ideologi Wahabi-Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Belakangan, dengan dukungan penuh dana Wahabi-Saudi pula, DDII mendirikan LIPIA dan kebanyakan alumninya kemudian menjadi agen Gerakan Tarbiyah dan Jama’ah Salafi di Indonesia. Dibandingkan dengan HTI, Wahabi memang jauh lebih dekat dengan Ikhwanul Muslimin. Kedekatan ini berawal pada dekade 1950-an dan 1960-an ketika Gamal Abdel Nasser membubarkan Ikhwanul Muslimin yang ekstrem dan melarang semua kegiatannya di Mesir. Banyak dari tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin saat itu melarikan diri meninggalkan negaranya.
Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir pada tahun 1928. Pada dekade ini Mesir dan Palestina dijajah Inggris, Maghreb dan Syria dijajah Prancis, sedangkan Libya dijajah Itali. Secara ideologis, penjajah Timur Tengah ini bisa dilihat dalam beberapa aliran. Inggris menganut liberalisme, sedangkan Itali yang sudah dikuasai Mussolini menganut fasisme. Fasisme (Fascism) berasal dari facses (Latin) atau fascio (Italia) yang adalah simbol otoritas Roma dan berarti batang-batang kecil yang diikat dalam satu-kesatuan dan karena itu sulit dihancurkan atau dipatahkan. Dengan kata lain, fasisme adalah simbol kekuatan melalui persatuan.
Tujuan Hasan al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin, di antaranya, adalah untuk melawan penjajah, mengatasi kemunduran peradaban Islam, dan membawa umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni. Sayangnya, al-Banna dan para pengikutnya tampak meyakini bahwa ideologi dan sistem gerakan fasisme Itali-Mussolini dan komunisme-Uni Soviet lebih berguna dalam mencapai tujuannya daripada liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan bagi setiap orang untuk mencari kebenaran dan mengamalkan ajaran agamanya. Di samping itu, al-Banna juga berkenal- an dengan gagasan Wahabi, dan sejak awal sekali pola pikir Totalitarianisme-Sentralistik Fasisme, komunisme dan Wahabisme sudah ada dalam DNA Ikhwanul Muslimin.
Secara faktual bisa dikatakan, Ikhwanul Muslimin adalah anak kandung ideologi Barat yang sekaligus memusuhi induknya. Dari fasisme-Mussolini Itali, Ikhwanul Muslimin mengadopsi sistem totalitarianisme dan negara sentralistik, namun menolak nasionalisme. Dari komunisme-Uni Soviet, mereka mengadopsi totalitarianisme, sistem penyusupan dan perekrutan anggota (cell system), strategi gerakan, dan internasionalisme, namun menolak ateisme. Berdasarkan fakta ini beberapa ahli menyebut Ikhwanul Muslimin dan garis keras lainnya sebagai Islamofasisme, yakni sebuah gerakan politik yang bertujuan mewujudkan kekuasaan mutlak berdasarkan pemahaman mereka atas al-Qur’an.[1]
Dalam membangun gerakan, Ikhwanul Muslimin menggunakan jaringan tarekat yang saat itu sangat banyak dan subur di Mesir. Bahkan hingga bisa dikatakan bahwa Ikhwanul Muslimin sendiri pada masa transformatifnya adalah sebuah tarekat namun dengan tujuan politik, bukan spiritual sebagaimana layaknya tarekat tasawuf. Maka dalam waktu yang relatif cepat, Ikhwanul Muslimin berhasil merekrut ratusan ribu anggota. Memang, salah satu motif awal Ikhwanul Muslimin adalah untuk melawan penjajah Inggris di Mesir dan tidak keras terhadap Muslim yang lain. Namun, karena watak dasar gerakan ini bersifat politis yang dikemas dengan busana agama, gairah politik sudah melekat erat dalam DNA gerakan ini. Motif politik dan keinginan merebut kekuasaan dengan semangat fasisme-komunisme ini membuat Ikhwanul Muslimin sering terlibat konflik dengan penguasa.
Berakhirnya penjajahan Inggris ternyata tidak menjadi peluang emas bagi Ikhwanul Muslimin untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Merasa punya andil dalam usaha mengakhiri penjajahan, namun kemudian tidak berhasil secara politik, membuat Ikhwanul Muslimin menjadi keras dan fanatik. Hal ini mempertajam konflik dengan pemerintah ketika itu termasuk pembunuhan Perdana Menteri Mesir, Mahmoud an-Nukrashi Pasha pada Desember 1948— dan menyebabkan terbunuhnya pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna oleh pemerintah Mesir.
Terbunuhnya Hasan al-Banna tidak membuat Ikhwanul Muslimin ikut mati, tapi semakin keras dan fanatik. Kegagalan politik Ikhwanul Muslimin ini bertemu dengan kekecewaan para opsir muda yang tidak sejalan dengan Raja Faruk ketika itu. Ikhwanul Muslimin tidak menyia-nyiakan peluang politik ini dengan mendukung gerakan para opsir yang berniat melakukan pemberontakan.
Keberhasilan pemberontakan para opsir (Free Officers Revolution) kembali terbukti tidak menjadi peluang bagi Ikhwanul Muslimin untuk meraih kekuasaan politik di Mesir, karena ideologi Ikhwanul Muslimin maupun gerakan para opsir memang berseberangan sejak awal. Gamal Abdel Nasser, salah seorang opsir yang terlibat dalam pemberontakan pada tahun 1954 dan kemudian menjadi Presiden Mesir pada tahun 1956, tidak mau berbagi kekuasaan dengan Ikhwanul Muslimin dan bergerak dengan gagasannya sendiri, Pan-Arabisme berdasarkan sosialisme. Ikhwanul Muslimin kecewa dan merasa dikhianati.
Sayyid Qutb, yang menjadi ideolog dan salah seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin setelah al-Banna dibunuh, merasa penguasa ketika itu telah berbuat kejam dan aniaya. Kekecewaan politik Ikhwanul Muslimin membuat Qutb dan pemimpin yang lain bersikap lebih aggresif terhadap lawan-lawan politiknya. Ditangkap dan disiksa di penjara, Qutb menyerang penguasa Mesir melalui tulisan-tulisannya, dan menuduh siapa pun yang tidak mengikuti ideologi kerasnya sebagai murtad, kafir, dan halal darahnya. Karya-karyanya sarat dengan gagasan-gagasan seperti takfir, fir’aun, serta jahiliyah modern, yang dia gunakan untuk mengkategorikan siapa pun yang tidak sejalan dengan ideologinya. Di samping pengaruh gerakan Hizbut Tahrir yang dia peroleh dari pertemuannya dengan tokoh Hizbut Tahrir selama di penjara, semua ini jelas merupakan pengaruh Wahabisme. Di samping itu, gagasan-gagasan seperti revolutionary-vanguard dan International movements juga bermunculan dalam karya-karya Qutb, yang jelas merupakan pengaruh komunisme yang masih kuat pada masa itu.
Dalam tulisan-tulisan Qutb jelas terlihat bahwa para pengikut ideologinya harus memperjuangkan kekuasaan proletariat, supremasi ummah/syari’ah, serta terwujudnya negara Islam dan akhirnya khilafah yang sentralistik melalui revolutionary-vanguard, yaitu para pemimpin garis keras pengikut ideologi Qutb. Gagasan-gagasan Qutb ini mengilhami para pembacanya dari kalangan garis keras melakukan aksi-aksi kekerasan dan mengancam keselamatan jiwa para pejabat negara dan rakyat serta mengacaukan situasi politik tidak hanya di Mesir ketika itu, tetapi di seluruh dunia hingga dewasa ini. Secara ringkas bisa dikatakan, tulisan-tulisan Qutb mengilhami para pengikut ideologinya menggunakan kekerasan untuk meraih kekuasaan.
Perkawinan Wahabi-Ikhwanul Muslimin
Tulisan-tulisan Qutb yang bernada menghasut membuat dia dieksekusi pada tahun 1966. Memang sejak tahun 1954 banyak pemimpin Ikhwanul Muslimin selain Qutb dijebloskan ke penjara oleh Nasser. Langkah represif penguasa Mesir ini membuat banyak tokoh dan anggota Ikhwanul Muslimin merasa tidak aman lagi tinggal di Mesir, dan Arab Saudi menjadi alternatif menarik. Di antara mereka yang melarikan diri ke Arab Saudi adalah Said Ramadan yang termasuk salah seorang pendiri Rabithath al-Alam al-Islami. Said Ramadan menantu Hasan al-Banna kemudian pindah ke Jenewa dan membawa Ikhwanul Muslimin ke Eropa dengan dukungan dana Wahabi untuk menguasai umat Islam Eropa agar menjadi pengikut ideologi Wahabi-Ikhwanul Muslimin. Tariq Ramadan putranya, cucu Hasan al-Banna melalui ibunya, sekarang adalah tokoh intelektual terkenal di Eropa.
Pada tahun 1960-an, Arab Saudi mengundang para tokoh Ikhwanul Muslimin termasuk di antaranya adalah adik kandung Sayyid Qutb, yaitu Muhammad Qutb untuk menyelamatkan diri ke Saudi. Muhammad Qutb kemudian menjadi dosen di King Abdulaziz University, Jedah, dan mengajar Osama bin Laden di antara murid lainnya.
Sikap Saudi ini merupakan refleksi ketakutan penguasa Wahabi atas gerakan Pan-Arabisme Gamal Abdel Nasser yang berdasarkan sosialisme dan jelas merupakan ancaman terhadap dominasi ideologis Wahabi-Saudi. Dengan mengundang Ikhwanul Muslimin, Saudi ingin sekali kayuh melampaui dua hingga tiga pulau. Pertama, Ikhwanul Muslimin yang merupakan musuh Gamal Abdel Nasser bisa menjadi sekutu strategis melawan Pan-Arabisme-Sosialisme Nasser. Kedua, para anggota Ikhwanul Muslimin yang terpelajar bisa membantu Saudi membangun dan memperkuat sistem penyebaran Wahabi ke negara lain di Timur Tengah dan akhirnya ke seluruh dunia (Wahabisasi global).
Pada dekade 60-an ini, perkawinan Wahabi-Ikhwanul Muslimin terjadi dan melahirkan keturunan gerakan garis keras yang banyak di seluruh dunia hingga dewasa ini. Keduanya berbagi fanatisme ideologis, ambisi kekuasaan sentralistik, orientasi internasional, dan formalisasi agama. Wahabi sendiri mempunyai dana besar terutama setelah harga minyak melangit pada tahun 1973 namun kurang atau tidak terdidik, sedangkan Ikhwanul Muslimin cukup terdidik namun tidak punya dana memadai. Kelak terlihat, perkawinan ini memang sangat strategis dan darinya lahir gerakan internasional dengan ideologi, sistem, dan dana yang kuat serta terus berkembang dan meluaskan diri ke seluruh dunia hingga dewasa ini.
Akhir 1970-an dan awal 1980-an merupakan suasana menegangkan bagi penguasa Saudi. Keberhasilan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979, ditambah pemberontakan Juhayman al-Uteybi dan anak buahnya yang menduduki Masjidil Haram pada tahun yang sama, sudah cukup membuat penguasa Saudi sangat terancam. Pada dekade ini Presiden Mesir, Anwar Sadat terbunuh; dan Uni Soviet menguasai Afghanistan. Pada dekade 1980-an proyek Wahabisasi global dengan dukungan dana (Saudi) dan sistem (Ikhwanul Muslimin) bergerak jauh lebih cepat. Hal ini dilaksanakan melalui yayasan-yayasan Wahabi seperti Rabithath al-‘Alam al-Islami, al-Haramain, International Islamic Relief Organization (IIRO), dan banyak lainnya. Kelak al-Haramain ini menjadi terkenal saat PBB menyebutnya sebagai “terrorist-funding entity” yang membiayai aksi-aksi teror di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia.
Perang Afghanistan melawan Uni Soviet memikat banyak anggota garis keras dari seluruh dunia, termasuk pendiri Laskat Jihad, Ja’far ‘Umar Thalib, dan beberapa pelaku kampanye teror Jamaah Islamiyah, termasuk Hambali, Imam Samudra, dan Ali Ghufron. Bahkan, Jamaah Islamiyah yang didirikan oleh mantan anggota Darul Islam, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir— punya kaitan erat dengan al-Qaedah melalui Hambali, yang sebelum ditangkap termasuk pengurus inti al-Qaedah.
Secara struktural, para pengurus inti al-Qaedah beretnik Arab dan berasal dari Timur Tengah kecuali Hambali. Hambali adalah komandan militer Jamaah Islamiyah yang berjuang untuk melenyapkan NKRI dan menggantinya dengan khilafah internasional. Jamaah Islamiyah bertanggung jawab atas banyak peledakan bom di Indonesia seperti pemboman hotel Marriott, Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bandara Soekarno-Hatta, Bom Bali, pemboman di berbagai gereja, dan usaha pembunuhan Duta Besar Filipina. Bahkan, bom di Masjid Istiqlal yang berskala kecil termasuk aksi JI sebagai usaha menumbuhkan sentimen keagamaan bahwa ada serangan terhadap Islam Indonesia.
Al-Qaedah adalah keturunan lain dari perkawinan Wahabi-Ikhwanul Muslimin, yang jelas terlihat dari kehadiran para Wahabi-Saudi yang dipimpin Osama bin Laden (murid Muhammad Qutb) dan Ayman al-Zawahiri bersama para pengikutnya. Al-Zawahiri yang sudah menjadi anggota Ikhwanul Muslimin sejak berusia 14 tahun sangat kuat dipengaruhi Sayyid Qutb, dan adalah pemimpin kedua al-Jihad —dikenal dengan nama Egyptian lslamic Jihad— yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Presiden Mesir, Anwar Sadat pada tahun 1981.
Hizbut Tahrir
Mengaku kecewa dengan Ikhwanul Muslimin yang dituding terlalu moderat dan terlalu akomodatif terhadap Barat, Taqiuddin al-Nabhani mendirikan Hizbut Tahrir pada tahun 1952 di Jerusalem Timur yang dikuasai Yordania. Menurut al-Nabhani, umat Islam —ketika itu— sudah dicemari pemikiran dan emosi kapitalisme, sosialisme, nasionalisme dan sektarianisme. Karena itu dia berambisi mendirikan Khilafah Islamiyah internasional yang akan diawali dari teritori Arab dan kemudian teritori Islam non-Arab.
Setelah al-Nabhani wafat pada tahun 1977, Hizbut Tahrir dipimpin oleh Abu Yusuf Abdul Qadim Zallum yang wafat pada tahun 2003 dan kemudian digantikan oleh Ata Ibn Khaleel Abu Rashta. Radikalisme dan sikap agresif Hizbut Tahrir terus meningkat sejak pendiriannya hingga dewasa ini, karena itu Hizbut Tahrir dilarang di kebanyakan negara Islam di seluruh dunia, dan pusat gerakan internasionalnya sekarang berada di Inggris.[2]
Hizbut Tahrir mengklaim bahwa gagasan-gagasan yang mereka perjuangkan adalah murni Islam. Klaim ini tidak bisa dipisahkan dari situasi pada masa pendirian dan formatifnya di Timur Tengah serta penolakan sepenuhnya terhadap apa pun yang berasal dari atau berkaitan dengan Barat. Padahal, menurut Ed Husain (seorang mantan pemimpin Hizbut Tahrir di Inggris), di samping pengaruh al-Mawardi, pemikiran al-Nabhani jelas dipengaruhi oleh Hegel, Rousseau dan tokoh-tokoh Eropa lainnya. Bahkan, pemikiran politik al-Nabhani —dan dengan demikian Hizbut Tahrir sepenuhnya berasal dari pemikiran politik Eropa. Hanya saja, al-Nabhani mengganti term-term yang berasal dari Barat dengan term-term berbahasa Arab sehingga bernuansa Islam.[3]
Para tokoh Hizbut Tahrir melihat umat Islam dewasa ini berada dalam masa jahiliyyah sebagai akibat runtuhnya khilafah. Mereka bisa mengatasinya dengan mengakhiri ‘ketundukan’ pada Barat, memperoleh kembali identitas kolektifnya, dan yang terpenting menegakkan kembali khilafah internasional dan di dalamnya hukum Islam akan diberlakukan sebagai hukum positif. Dalam kaitan ini, Hizbut Tahrir meyakini bahwa hanya khalifah yang berhak memutuskan perang, karena itu hingga saat ini mereka menjalankan strategi penyusupan dan menunda cara-cara militer dan kekerasan dalam meraih kekuasaan,[4] sampai mereka yakin akan menang dan berhasil dalam merebut kekuasaan untuk mendirikan khilafah mereka.
Ada tiga tahap perjuangan Hizbut Tahrir dalam usaha menegakkan khilafah internasional. Pertama, membangun partai (hizb). Pada tahap ini para agen Hizbut Tahrir melakukan rekrutmen anggota baru, mereka membinanya dalam kurun waktu yang bisa berlangsung selama enam bulan hingga tiga tahun, tergantung pada progres masing-masing mereka. Tahap ini bisa dikatakan sebagai proses cuci otak dan pembentukan pribadi Islami a la Hizbut Tahrir, biasanya dilakukan dalam halaqah-halaqah. Pada tahap ini tokoh atau anggota Hizbut Tahrir juga akan membuka hubungan dengan umat untuk menyampaikan gagasan dan metode perjuangan mereka secara pribadi.
Kedua, berinteraksi dengan masyarakat. Dalam tahap ini, anggota yang telah lulus dari tahap pertama membentuk sel-sel baru dan mulai aktif mengaitkan kasus-kasus lokal dengan masalah-masalah global dan membakar massa untuk membangun ketegangan sosial antara rakyat dan pemerintah, untuk kemudian mulai menawarkan jalan Islam sebagai alternatif keluar dari ketegangan yang telah dibangunnya. Target utama mereka adalah untuk menyusup ke dalam pemerintahan dan militer, agar kelak melapangkan jalan dalam merebut kekuasaan.[5] Di seluruh dunia, tahap kedua inilah yang paling banyak beroperasi, dan agen-agen Hizbut Tahrir sudah aktif di lebih 40 negara, termasuk Indonesia di mana pada 12 Agustus 2007 mereka mengumpulkan lebih dari 80 ribu orang di Gelora Bung Karno untuk menyerukan pendirian Khilafah Islamiyah dan melenyapkan Pancasila dan NKRI.
Ketiga, merebut kekuasaan. Tahap terakhir ini akan dilancarkan setelah mereka yakin akan menang dan berhasil merebut kekuasaan, yang antara lain akan ditandai dengan tingkat keberhasilan mereka menyusup ke dalam pemerintahan dan militer. Setelah berkuasa, mereka siap memaksakan penafsiran tentang Islam a la Hizbut Tahrir dalam semua bidang kehidupan umat manusia.[6]
Secara umum, sebagai akibat dari obsesi ideologi politik mereka, Hizbut Tahrir hampa spiritualitas sehingga gerakan yang dibangunnya kering dan cenderung supremasis. Bahkan, dalam banyak kasus, mayoritas aktivis Hizbut Tahrir tidak mengerti tentang Islam dan hanya mengetahui aspek-aspek yang sangat artifisial. Sangat ironis, bagaimana mungkin mereka yang tidak mengerti tentang Islam akan memperjuangkan Islam.[7] Lemahnya pemahaman yang mendalam ini menjadi penyebab utama mereka terlena dan tergoda memperjuangkan gagasan yang dikemas dalam term-term Arab yang identik dengan Islam. Secara umum, retorika kelompok-kelompok seperti ini adalah pengantar pada aksi-aksi kekerasan. Di dalamnya agama telah dimanipulasi sedemikian rupa untuk menyediakan dorongan teologis bagi para pengikut garis keras agar bersedia melakukan apa pun, hingga membunuh atau bunuh diri sekalipun jika dibutuhkan, demi mencapai tujuan politik mereka.
a. Tiga Aspek Kekerasan
Ketiga gerakan transnasional ini (Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir), hadir di Indonesia baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Dengan ideologinya yang kaku, keras, dan ekstrem, didukung kekuatan dana dan sistem penyusupan ala komunisme, gerakan-gerakan transnasional ini menyusup ke hampir semua bidang kehidupan bangsa Indonesia. Ketiganya berusaha mengubah wajah Islam Indonesia yang umumnya santun dan toleran agar seperti wajah mereka yang sombong, garang, kejam, penuh kebencian, dan merasa berhak menguasai. Kekerasan yang mereka lakukan bisa dilihat dalam beberapa aspek.
Pertama, kekerasan doktrinal, yakni pemahaman literal-tertutup atas teks-teks keagamaan dan hanya menerima kebenaran sepihak. Dalam hal ini, literalisme-tertutup telah memutus relasi kongkret dan aktual pesan-pesan luhur agama dari realitas sejarah, sosial, dan kultural. Akibatnya, pesan-pesan luhur agama diamputasi sedemikian rupa dan hanya menyisakan organ yang sesuai dengan ideologi mereka.
Kedua, kekerasan tradisi dan budaya, dampak turunan dari yang pertama. Kebenaran sepihak yang dijunjung tinggi membuat mereka tidak mampu memahami kebenaran lain yang berbeda, dan praktik-praktik keagamaan umat Islam yang semula diakomodasi kemudian divonis sesat, dan pelakunya divonis musyrik, murtad, dan atau kafir. Kelompok-kelompok garis keras menolak eksistensi tradisi, karena itu mereka lazim menolak bermadzhab (alla madzhabiyyah), menolak tradisi tasawuf, dan berbagai praktikyang merupakan buah dari komunikasi teks-teks atau ajaran luhur agama dengan tradisi dan budaya umat Islam di berbagai daerah sepanjang sejarah. Akibatnya, terjadi salah kaprah dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Dengan dalih meniru Kanjeng Nabi, para anggota garis keras berpakaian a la busana Arab seperti gamis dan sorban, me- manjangkan jenggot, namun mereka abai atas akhlak Kanjeng Nabi, seperti santun, sabar, rendah hati, pemaaf, dan seterusnya.
Ketiga, kekerasan sosiologis, dampak lanjutan dari dua kekerasan pertama, yakni aksi-aksi anarkis dan destruktif terhadap pihak lain yang dituduh musyrik, murtad, dan/ atau kafir. Kekerasan sosial ini kemudian menyebabkan ketakutan, instabilitas, dan kegelisahan sosial yang mengancam negara di manapun tempat mereka menyusup. Dan akumulasi dari ketiga kekerasan ini kemudian merusak nalar dan logika umat Islam, menyuburkan kesalahkaprahan dalam memahami Islam akibat jargon-jargon teologis yang diteriakkan dengan tidak semestinya. Kebenaran, kemudian, lebih didasarkan pada jargon ideologis, bukan pada substansi pesan luhur agama yang disimbolkan oleh jargon yang bersangkutan.
Menurut seorang pejabat tinggi Departemen Pertahanan Republik Indonesia (Dephan RI), ancaman terhadap Indonesia tidak datang dalam bentuk militer dari luar negeri. Ancaman yang sebenarnya justru berada di dalam negeri, dalam bentuk gerakan ideologi garis keras. Senjata untuk mengatasinya adalah Pancasila.[8]
Afiliasi tokoh-tokoh atau individu-individu aktivis garis keras lokal dengan salah satu gerakan transnasional tersebut terutama disebabkan oleh faktor-faktor seperti keuntungan finansial, kesem- patan untuk mendapat kekuasaan, lingkungan dan atau dislokasi sosial, dan/atau lemahnya pemahaman atas ajaran agama, terutama dalam hal spiritualitas.
Faktor finansial merupakan bisnis terselubung gerakan garis keras. Seorang mantan tokoh Laskar Jihad di Indonesia secara terbuka menyatakan kepada peneliti kami, ketika aktif dalam gerakan dia mendapat tunjangan tak kurang dari Rp 3 juta setiap bulan. Di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan, godaan materi ini sangat berpengaruh bagi mereka yang masih lemah imannya. Hal ini bisa dimengerti, dana yang sangat besar memang bisa menghanyutkan iman dan menjadi lahan bisnis yang sangat menguntungkan para agennya. Keuntungan finansial ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para petualang yang ingin mendapat keuntungan instan tanpa perlu bekerja keras.
Orang-orang yang merasa punya kemampuan namun tidak punya peran sosial yang diimpikan, sering menemukan aktualisasi diri dalam kelompok-kelompok garis keras. Di dalamnya mereka mendapatkan peran dan posisi penting karena mampu merekrut dan mengatur pengikutnya serta menarik perhatian publik. Semakin banyak memperoleh pengikut dan sering muncul dalam liputan pers, semakin terpuaskan keinginannya untuk dianggap penting dan mendapat perhatian publik. Sepertinya publikasi pers menjadi pemuas impian yang telah lama tak tercapai untuk menjadi orang penting dan terkenal. Hal ini terlihat jelas antara lain dalam sebuah interview kolumnis asing dengan salah seorang Pimpinan kelompok garis keras pada bulan April 2007.[9]
Namun faktor terpenting dan barangkali menjadi alasan kebanyakan orang terpesona dengan gerakan garis keras adalah dangkalnya pemahaman mereka tentang agama (baca: ajaran Islam). Jargon-jargon garis keras seperti membela Islam, penerapan syari’ah, maupun penegakan Khilafah Islamiyah, bagi umat Islam yang tidak mempunyai pemahaman mendalam tentang ajaran agamanya bisa menjadi ungkapan yang sangat ampuh dan mempesona. Pada saat yang sama, para penolak jargon-jargon tersebut bisa dengan mudah dituduh menolak syari’ah, bahkan menolak Islam. Tuduhan semacam ini lazim dilontarkan oleh orang-orang yang merasa sok tahu tentang Islam, mereka yang merasa sebagai yang paling benar dalam memahami Islam. Sikap arogan ini membuat mereka lebih suka menyalahkan siapa pun yang tidak sama dengan dirinya, dan tidak mampu melakukan introspeksi. Sikap demikian lahir karena tidak adanya sikap berislam secara sejati, sikap berserah diri seutuhnya kepada Allah swt. dan rendah hati sepenuhnya sebagaimana pesan utama Islam sendiri. Dangkalnya pemahaman ini menjelma menjadi kesalahkaprahan akut, mereka tidak mampu membedakan antara sumber ajaran Islam dari pemahaman atas sumber ajaran tersebut. Mereka juga tidak mampu mengurai kompleksitas relasi antara ajaran agama dengan realitas sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Dalam hal ini, agama yang mengandung pesan-pesan luhur dan sangat menekankan akhlak mulia, kemudian direduksi menjadi seperangkat diktum yang tak berperasaan berdasarkan batasan-batasan ideologis dan/ atau platform partai.
Sungguh sayang, sementara beberapa umat Islam baik yang awam maupun yang berpendidikan tinggi telah dengan tulus mendukung agenda garis keras semata karena terpesona dengan jargon-jargon yang mereka gunakan, para tokohnya terus membangun simbiosa mutualistik —dengan para oportunis, individu yang sangat dangkal pemahamannya tentang Islam, atau yang idealis— yang darinya keuntungan personal diperoleh. Bukanlah sebuah kebetulan bahwa ada kelompok-kelompok garis keras yang merekrut anggota baru dengan sistem sel seperti dilakukan Ikhwanul Muslimin dan HTI, karena dengan cara demmikian mereka bisa lebih mudah dan efektif mengendalikan pengikutnya. Perekrutan dengan sistem sel merupakan media paling mudah untuk reorientasi, atau cuci otak, berdasarkan ideologi gerakan mereka.
Di samping itu, keanggotaan berjenjang dan tertutup ini juga ampuh membungkam pertanyaan para anggota baru atas hal-hal yang bersifat sensitif, termasuk masalah finansial. Gayung bersambut, baik Wahabi maupun para petualang lokal sama-sama mendapat keuntungan. Wahabi yang tidak bisa hadir secara terbuka —karena tentu akan ditolak oleh umat Islam yang mengerti sejarah dan ajaran mereka untuk menanamkan pahamnya di Indonesia, beruntung karena ada para petualang yang bersedia menjadi kaki tangannya untuk menyebarkan ideologi mereka. Sedangkan para petualang lokal mendapat keuntungan finansial dari aliran petrodolar yang luar biasa deras.
Terlepas dari alasan finansial tersebut, bersama-sama dengan Ikhwanul Muslimin dan HTI, Wahabi telah mempengaruhi umat Islam setempat dengan pahamnya yang ekstrem. Walaupun memiliki perspektif yang berbeda, termasuk dalam beberapa detail pemahaman keagamaan, tujuan akhir mereka mirip, yakni formalisasi Islam. Untuk mencapai tujuan ini, kelompok-kelompok garis keras menggunakan segala cara, bahkan yang bertentangan dengan ajaran Islam sekalipun. Fakta ini hanya menegaskan sebaliknya. Jika mereka memang memperjuangkan Islam, tentu mereka akan menghindari cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Prinsip yang lazim menjadi pegangan para ulama Ahlussunnah wal-jamd’ah menegaskan bahwa tujuan tidak bisa membenarkan cara (al-ghdyah la tubarrir al-washilah atau Mari kdna amruhu ma’rufan fal-yakun bi ma’rufin). Artinya, cara tidak akan men-
jadi baik karena tujuannya baik; atau, siapa pun yang mempunyai tujuan baik hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang baik pula. Tujuan baik, jika diusahakan dengan cara-cara buruk, tentu akan menodai kebaikan itu sendiri dan bertentangan.[10]
b. Infiltrasi Ideologi Wahabi Pertama di Indonesia: Gerakan Padri
Selama beberapa dekade yang lalu, sebagaimana dipaparkan dalam pelajaran sejarah resmi di sekolah-sekolah, Perang Padri lebih dikenal sebagai perang melawan pendudukan penjajah Belanda. Para Padri dikenal sebagai pahlawan yang dengan gagah berjuang/berperang membela tanah air. Sisi kekerasan dan afiliasi mereka dengan ajaran Wahabi sama sekali tidak terungkap dan hanya beredar di antara para ahli saja. Dalam hal ini, sangat berharga untuk mengetahui penggalan lain sejarah Gerakan Padri tersebut.
Gerakan Padri berawal dari perkenalan Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif dengan Wahabi saat menunaikan ibadah haji pada awal abad ke-19, ketika itu Makkah dan Madinah dikuasai Wahabi. Terpesona oleh gerakan Wahabi, sekembalinya ke Nusantara (Indonesia) Haji Miskin berusaha melakukan gerakan pemurnian sebagaimana dilakukan Wahabi, yang juga didukung oleh dua haji yang lain.[11] Pemikiran dan gerakan mereka setali tiga uang dengan Wahabi, mereka memvonis tarekat Syattariyah, dan tasawuf secara umumnya, yang telah hadir di Minangkabau beberapa abad sebelumnya sebagai kesesatan yang tidak bisa ditoleransi, di dalamnya banyak takhayul, bid’ah, dan khurafat yang harus diluruskan, kalau perlu diperangi.[12] Tuanku Nan Renceh, misalnya, memusuhi Tuanku Nan Tuo, gurunya sendiri karena yang disebut terakhir lebih memilih bersikap moderat dalam mengajarkan Islam. Tuanku Nan Renceh juga mengkafirkan Fakih Saghir, sahabat dan teman seperguruannya, dan menyebutnya sebagai raja kafir dan rahib tua hanya karena tidak berbagi pandangan keagamaan dengannya.[13]
Beberapa kekerasan yang dilakukan Padri, selain mengikuti kegemaran Wahabi memusyrikkan, mengkafirkan, dan memurtadkan siapa pun yang berbeda, mereka juga menerapkan hukum yang sama sekali asing dalam diktum hukum Islam, seperti kewajiban memelihara jenggot dan didenda 2 suku (setara dengan 1 gulden) bagi yang mencukurnya; larangan memotong gigi dengan ancaman denda seekor kerbau bagi pelanggarnya; denda 2 suku bagi laki-laki yang lututnya terbuka; denda 3 suku bagi perempuan yang tidak menutup sekujur tubuhnya kecuali mata dan tangan; denda 5 suku bagi yang meninggalkan shalat fardlu untuk pertama kali, dan hukum mati untuk berikutnya.[14]
Para Padri juga melegalkan perbudakan. Tuanku Imam Bonjol, tokoh Padri terkemuka dan dikenal sebagai pahlawan nasional, mempunyai tujuh puluh orang budak laki-laki dan perempuan. Budak-budak ini sebagian merupakan hasil rampasan perang yang mereka lancarkan kepada sesama Muslim karena dianggap kafir.[15]
Kekerasan lain yang dilakukan Padri terhadap sesama Muslim di Minangkabau, antara lain penyerangan terhadap istana Pagaruyung pada tahun 1809. Serangan ini diawali oleh tuduhan Tuanku Lelo, tokoh Padri, bahwa beberapa keluarga raja seperti Tuanku Rajo Naro, Tuanku di Talang, dan seorang anak raja lainnya, tidak menjalankan akidah Islam secara benar dan dianggap kafir, sehingga harus dibunuh. Pembantaian massal pun dilakukan terhadap para anggota keluarga dan pembantu raja, termasuk para penghulu yang dekat dengan istana.[16] Pada tahun 1815, serangan dilakukan kembali dibawah komando Tanku Lintau. Dalam serangan kali ini, gerakan Padri membunuh hampir seluruh keluarga kerajaan yang telah memeluk Islam sejak abad ke-16 itu. Kekejaman Padri tidak hanya dalam hal itu saja. Tercatat, Tuanku Nan Renceh telah menghukum bunuh bibinya sendiri yang sudah tua, dan tidak membolehkan jenazahnya dikubur tetapi dibuang ke hutan, semata karena mengunyah sirih yang diharamkan Wahabi.[17]
Apa yang dilakukan kaum Padri ini sama belaka dengan yang dilakukan oleh Wahabi pada masa formasinya dan oleh pengikutnya seperti al-Qaedah dan Taliban sampai dewasa ini. Gerakan Padri berakhir, di samping karena faktor penjajahan, juga karena secara alamiah bertentangan dengan suasana, tradisi, dan budaya bangsa Indonesia. Fakta ini merupakan bukti kongkret betapa virus Wahabi yang menjangkiti jantung dunia Islam bisa menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh dunia Islam. Berakhirnya gerakan Padri tidak mengakhiri penyusupan Wahabi ke Indonesia.
Post a Comment