ULAMA KARBITAN
Jadi,
sudah jelas kan kalau sebutan "ulama" dalam sejarah Islam klasik itu
maksudnya ya para sarjana atau ilmuwan yang mumpuni di bidang apa saja,
termasuk "hard sciences" dan ilmu-ilmu sosial, atau untuk para "sarjana
polymath", yaitu ilmuwan yang serba bisa di berbagai bidang. Selain kata
alim atau ulama, para ilmuwan juga kadang disebut sebagai "hakim". Ibnu
Sina atau Umar Khayam, dlsb, dulu disebut "hakim" karena memiliki
banyak keahlian dan menguasai berbagai disiplin keilmuan.
Para ulama Muslim klasik dulu memang mumpuni di banyak bidang, bukan hanya ilmu-ilmu keislaman saja tetapi juga matematika, kedokteran, filsafat, fisika, astronomi, geografi, bahkan ilmu-ilmu sosial termasuk antropologi seperti Ibnu Khaldun yang ahli sejarah dan sosiologi atau Abu Raihan al-Biruni yang menulis "Kitab al-Hind" yang mengulas tentang sistem kasta, struktur masyarakat, dan kebudayaan Hinduisme dan Jainisme di India. Al-Biruni dulu mempelajari Bahasa Sanskrit untuk memahami teks-teks agama Hindu dan Jainisme.
Jauh sebelum Antropolog Polandia Bronislaw Malinowski (salah satu Bapak Antropologi) melakukan riset etnografi di masyarakat Trobriand Highlander di Pasifik, atau Franz Boas (Bapak / pendiri Antropologi di Amerika) melakukan penelitian atas suku Inuit di Kanada, di awal abad ke-20, Al-Biruni sudah melakukan penelitian selama puluhan tahun dengan cara tinggal bareng dengan masyarakat Hindu dan Jain di India di abad ke-10. Karena itu tidak heran jika antropolog Muslim Akbar Ahmed menyebut al-Biruni sebagai "Bapak Antropologi".
Rezim Turki Usmani-lah kelak yang melakukan redefinisi, restrukturisasi dan sistematisasi ulama sebagai "ahli ilmu-ilmu keislaman" yang bertugas memberi fatwa, nasehat kepada pemerintah, dan tetek-bengek urusan keislaman. Pada masa Turki Usmani, ulama merupakan gelar yang cukup prestisius dan untuk mencapainya perlu belajar bertahun-tahun di Universitas Al-Azhar atau madrasah-madrasah Islam ternama di berbagai pusat studi keislaman di Arab Timur Tengah.
Di Indonesia dewasa ini, sebutan ulama "mengkeret" atau "mengerucut" lagi maknya dan terkesan "sangat murah". Bagaimana tidak, dai/penceramah seleb di tipi disebut ulama, ustad karbitan disebut ulama, artis mualaf dipanggil ulama, politisi atau pejabat korup juga ada yang disebut ulama hanya karena modal jenggot doang, bahkan provokator dan preman pun yang omongannya kasar kayak "comberan got empang" dianggap ulama oleh para makhluk "manusia fosil" penghuni bumi datar he he. Oh Tuhan YME, apa salah dan dosa mereka he he.
Para ulama Muslim klasik dulu memang mumpuni di banyak bidang, bukan hanya ilmu-ilmu keislaman saja tetapi juga matematika, kedokteran, filsafat, fisika, astronomi, geografi, bahkan ilmu-ilmu sosial termasuk antropologi seperti Ibnu Khaldun yang ahli sejarah dan sosiologi atau Abu Raihan al-Biruni yang menulis "Kitab al-Hind" yang mengulas tentang sistem kasta, struktur masyarakat, dan kebudayaan Hinduisme dan Jainisme di India. Al-Biruni dulu mempelajari Bahasa Sanskrit untuk memahami teks-teks agama Hindu dan Jainisme.
Jauh sebelum Antropolog Polandia Bronislaw Malinowski (salah satu Bapak Antropologi) melakukan riset etnografi di masyarakat Trobriand Highlander di Pasifik, atau Franz Boas (Bapak / pendiri Antropologi di Amerika) melakukan penelitian atas suku Inuit di Kanada, di awal abad ke-20, Al-Biruni sudah melakukan penelitian selama puluhan tahun dengan cara tinggal bareng dengan masyarakat Hindu dan Jain di India di abad ke-10. Karena itu tidak heran jika antropolog Muslim Akbar Ahmed menyebut al-Biruni sebagai "Bapak Antropologi".
Rezim Turki Usmani-lah kelak yang melakukan redefinisi, restrukturisasi dan sistematisasi ulama sebagai "ahli ilmu-ilmu keislaman" yang bertugas memberi fatwa, nasehat kepada pemerintah, dan tetek-bengek urusan keislaman. Pada masa Turki Usmani, ulama merupakan gelar yang cukup prestisius dan untuk mencapainya perlu belajar bertahun-tahun di Universitas Al-Azhar atau madrasah-madrasah Islam ternama di berbagai pusat studi keislaman di Arab Timur Tengah.
Di Indonesia dewasa ini, sebutan ulama "mengkeret" atau "mengerucut" lagi maknya dan terkesan "sangat murah". Bagaimana tidak, dai/penceramah seleb di tipi disebut ulama, ustad karbitan disebut ulama, artis mualaf dipanggil ulama, politisi atau pejabat korup juga ada yang disebut ulama hanya karena modal jenggot doang, bahkan provokator dan preman pun yang omongannya kasar kayak "comberan got empang" dianggap ulama oleh para makhluk "manusia fosil" penghuni bumi datar he he. Oh Tuhan YME, apa salah dan dosa mereka he he.
Post a Comment