WAHABI SEKTE RADIKAL YANG BERNIAT MENGHANCURKAN INDONESIA

Mari kita pahami sekali lagi, bahwa gerakan yang mengatasnakan dakwah Islam dan kembali kepada al-Quran dan As-Sunnah atau yang mengajak untuk kembali kepada ke-khilafahan merupakan sebuah usaha pengelabuan terhadap kaum muslimin yang awam untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah.

 Sehingga gerakan ekstrem yang mengatasnamakan agama ini (Wahabi Takfiri dan Wahabi Khawarij) serta gerakan politik dengan mengerahkan massa seperti HTI ataupun PKS dan bentukannya yang berusaha menguasai lembaga tinggi negara dan keagamaan seperti MUI, hadir sebagai gerakan politik yang ingin mempengaruhi kebijakan negara dan pemerintahan Indonesia serta menghancurkan tradisi dan budaya keagamaan ala NU.


Seperti yang kita lihat saat ini keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan perannya kini dikritisi banyak pihak. Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Mochammad Nur Ichwan menilai, kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa disinyalir telah menjadi target kelompok-kelompok tertentu untuk memperkuat legitimasi aksi Bela Islam jilid I, II, dan III lalu. MUI bukanlah leader yang menggerakkan massa untuk menggelar aksi tersebut.
“MUI jadi target gerakan-gerakan yang butuh fatwa,” kata Ichwan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Maarif Institute bertema “Setelah Aksi Bela Islam: Gerakan Sosial Islam, Demokratisasi dan Keadilan Sosial” di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta, Kamis 19 Januari 2017.

Salah satu hasilnya adalah lima poin kesepakatan antara MUI, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) dan Polri untuk menggelar aksi Bela Islam Jilid III. Padahal tak mudah mengeluarkan fatwa karena harus dibahas oleh Komisi Fatwa MUI yang bersidang usai musyawarah nasional.“(Sholat Jumat di jalan) itu tausiyah MUI yang menjadi guideline,” kata Ichwan.
Persoalannya, menurut Ichwan, tausyiah MUI acapkali dianggap publik maupun media massa sebagai fatwa. Begitu pula ucapan pribadi yang disampaikan pimpinan MUI yang seharusnya merupakan tausyiah juga dianggap fatwa. Bahkan ada yang menganggap tausyiah itu lebih tinggi legitimasinya ketimbang fatwa.“Banyak fatwa yang tidak dikenal publik,” kata Ichwan.


Bahkan fatwa soal pemberian ucapan Selamat Natal kepada umat Kristiani juga dinilai Ichwan membingungkan karena sering berbeda saban tahunnya. Kondisi tersebut tidak terlepas dari latar belakang orang-orang dalam kepengurusan MUI.
Berdasarkan catatan sejarah yang dihimpun Ichwan, pada masa Orde Baru, keberadaan MUI menjadi pelayan pemerintah. Pada 2000, Munas MUI melakukan pendefinisian peran kembali sebagai pelayan umat. Pada 2005, MUI memunculkan pelarangan liberalisme, pluralisme, dan sekularisme yang ditandai dengan pembersihan MUI dari aliran-aliran tersebut.
“Kelompok Islam kanan mulai masuk ke MUI di pusat dan daerah. Seperti masuknya HTI (Hizbut Thahrir Indonesia),” kata Ichwan.


Pada 2013, MUI memunculkan buku anti-syiah. Pada 2015, mulai ada infiltrasi kelompok Islam kanan ke tubuh MUI. Mereka masuk dari individu-individu yang duduk di MUI.
“Meskipun Muhammadiyah dan NU kuat di MUI, tapi mereka masuk dari sayap konservatif orang-orang kedua ormas itu,” kata Ichwan yang berharap dua ormas besar itu melunakkan individu-individu yang keras di tubuh MUI. (SFA/Tempo)

2 komentar:

  1. wahabi itu bukan terlalu luas seperti yg anda sebutkan....wahabi itu salafy titik anda salah besar terlalu menggeneralkan bahkan sesama muslim engkau memfitnah ..kalau salafy saya akui reinkarnasi wahabi yg sebenarnya

    BalasHapus
  2. PKS itu lahir dari mesir HTI dari inggris bukan WAHABI ...wahabi itu SALAFY ......SALAFY is WAHABI

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.