PETA GERAKAN WAHABI
Era
multimedia telah menghasilkan banjir bah informasi. Setiap orang kini
dapat sekaligus menjadi produsen dan konsumen berita, instan, nyaris
tanpa filter. Ruang-ruang online menjelma ajang bebas pameran opini,
kontestasi ideologi, dan dalam beberapa hal prasangka buruk lebih
dominan. Setiap informasi disebarkan, direproduksi secara cepat,
menjalar melalui jejaring media sosial yang dioper hampir tanpa cek
silang, apalagi tabayyun.
Bahkan,
setiap kabar yang paling banal dan tidak masuk akal sekalipun bisa
menyergap layar ponsel pintar kita, lantas menjadi rujukan dalam cara
kita berpikir dan mengambil tindakan. Muncul berhala-berhala baru dan
tokoh-tokoh baru, dalam lakon protagonis dan antagonis. Mereka dipuja
atau dicaci, tergantung selera pembeli informasi.
Anatomi dan Peta Gerakan
Dalam
era banjir bandang informasi inilah narasi Islam tumbuh. Dia
diperagakan, diajarkan, direproduksi dan disebarkan melalui media-media
online, diramifikasi melalui media sosial. Salah satu kelompok yang
lebih duluan sadar akan perkembangan TI justru dari kalangan muslim
fundamentalis, yang terafiliasi dengan manhaj salafi Wahabi abad ke-18.
Kelompok
salafi Wahabi bukan tunggal, mereka terpecah ke dalam banyak faksi,
dari yang paling keras hingga moderat, tapi terhubung oleh benang merah fikrah dan harakah.
Semunya mengusung agenda purifikasi Islam, mengusung jargon kembali
kepada al-Qur’an dan Hadis, menyerang bid’ah, cenderung harfiah, dan
meyakini syumûliyyatul Islâm dalam
aplikasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Mereka sangat aktif di
kanal-kanal online, mendominasi narasi Islam dalam pertarungan opini
publik. Pengikut mereka semakin menjangkau jumlah yang tidak bisa
dianggap remeh. Mungkin mayoritas Muslim menolak aksi teror dan
kekerasan bersampul Islam, tetapi semakin banyak Muslim yang sealiran
atau bersimpati dengan cara pandang mereka memahami Islam. Mereka yang
pergi ke Suriah dan bergabung dengan ISIS bertemu, dalam titik tertentu,
dengan cara berfikir kelompok yang menolak Pancasila, anti-NKRI,
mengusung agenda khilafah, gandrung dengan Arabisasi, dan cenderung
melihat Islam sebagai bentuk, identitas, dan simbol ketimbang substansi,
nilai, dan isi. Mereka yang getol mengusung agenda formalisasi Islam
punya modal cukup untuk kelak bergabung atau setidaknya bersimpati
dengan gerakan sejenis ISIS. Mereka yang menggemakan jargon “solusi
Islam niscaya” (al-hall al-islâmî farîdlah wa dharûrah) senyampang dengan doktrin yang diyakini para pemanggul senjata di Timur Tengah.
Basis
ideologi doktrin salafi dikembangkan Ibn Taymiyyah (1263-1328 M),
bermadzhab Hanbali. Madzhab Hanbali didirikan oleh Imam Ahmad ibn
Hanbal (780 - 855 M), satu dari empat Imam Madzhab dalam tradisi sunni.
Di antara para imam madzhab, Hanbali dikenal yang paling tekstualis.
Dari garis Imam Hanbali yang hidup pada abad ke-9, muncul pembela
madzhabnya pada abad ke-13, bernama Ibn Taymiyah, dikenal sebagai syeikhul Islam,
disebut sebagai bapak fundamentalisme Islam. Imam Hanbali adalah murid
Imam Syâfi’î (767 820 M). Dia cenderung tekstualis, tetapi tidak
absolutis. Absolutisme mengeras di tangan Ibn Taymiyyah, yang cenderung
memutlakkan pendapat dan menghidupkan tradisi takfiri. Dia gemar
mengkafirkan ulama, antara lain Syeikhul Akbar Ibn Arabi (1165-1240 M),
yang dituduh kafir karena ajaran-ajaran sufinya dianggap menyimpang. Ibn
Taymiyyah mempunyai murid kesayangan, bernama Ibn Qayyim al-Jauziyyah
(1292-1350 M), penulis banyak kitab. Ajaran-ajaran salafisme Ibn
Taymiyah menjadi kekuatan politik yang ganas di tangan Muhammad Ibn
Abdul Wahab (1703-1792 M), yang berkolaborasi dengan Muhammad Ibn Saud
(1726–1765M), pendiri dinasti Saudi pada abad ke-18. Ajarannnya dikenal
dengan Wahabisme, berbasis kepada doktrin Muhammad ibn Abdul Wahab yang
bersumber dari ajaran Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Taymiyah. Jargonnya
kembali kepada al-Qur’an dan Hadis, agendanya membasmi bid’ah dan khurafat.
Para pengikutnya mengklaim sebagai sunni, penganut Ahlus Sunnah
Waljama’ah, karena pangkalnya adalah Imam Hanbali. Tentu klaim sunni
kelompok salafi Wahabi ini berbeda dengan klaim sunni NU yang bermadzhab
Syafi’i.
Pada
paruh kedua abad ke-19 dan abad ke-20, muncul gerakan modernisme Islam
dengan tokoh-tokohnya Jamaluddin al-Afghani (1838-1897 M) dan Muhammad
Abduh (1849-1905 M) di Mesir, Allal al-Fasi (1910-1974 M) di Maroko,
Abdelaziz al-Tha’albi (1876-1944 M) di Tunisia, Abdelbamid ibn Badis
(1889-1940 M) di Aljazair, dan Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) serta
Muhammad Iqbal (1877-1938 M) di anak benua India. Agendanya melakukan
sintesis Islam dengan pemikiran Barat modern, menegaskan perlunya
ijtihad untuk menafsirkan Islam dari sudut pandang kemodernan, dan
berusaha memberikan alasan bagi pembaharuan pendidikan, hukum, dan
sosial guna membangkitkan kembali umat Isam dari kejumudan dan
keterbelakangan. Dampak dari gerakan ini adalah mewabahnya sekularisme
dan liberalisme. Murid-murid Abduh terlibat dan menjadi pemuka gerakan
nasionalisme sekuler seperti Saad Zaghlul (pendiri Partai Wafd), Thaha
Husain dan Rifaat Tahtawi, konseptor cikal bakal negara Mesir modern,
serta Ali Abdurraziq, konseptor sistem pemerintahan sekuler. Buku
Abdurraziq, al-Islâm wa ushûl hukm, memantik kontroversi karena menyebut Islam tidak punya konsep tentang pemerintahan.
Rasyid
Ridha (1865-1935 M), murid Abduh, kemudian tampil mewahabikan kembali
gerakan tajdid menjadi gerakan purifikasi. Ia menghadirkan kembali Ahmad
ibn Hanbal dan Ibn Taymiyah ke Mesir dan secara terbuka menunjukkan
simpati kepada dinasti Wahabi Ibn Saudi di Arabia. Sikap Ridha meratakan
jalan bagi lahirnya al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir dan Jama’at Islami
(JI) di Pakistan. Ikhwan didirikan di Isma’iliah pada 1928 oleh murid
Rasyid Ridha di Darul Ulum, bernama Hasan al-Banna (1906-1949 M). JI
didirkan oleh Abul A’la al-Mawdudi(1903-1979 M) di anak benua India pada
1941. Ikhwan terlibat dalam banyak peristiwa berdarah. Kadernya
membunuh PM Mesir Nuqrasi Pasa pada 1948. Polisi loyalis Raja Farouk
membalas membunuh Hasan al-Banna pada 1949. Nasser, pemimpin Dewan
Revolusi pengganti Farouk, hendak dibunuh tapi gagal oleh militan Ikhwan
pada 1954. Nasser bertindak tegas. Organisasi Ikhwan digencet, para
aktivisnya diburu. Mereka eksodus ke Arab Saudi, mendapat suaka dari
Pangeran Faisal dan menetap di Jeddah, Riyadh, Mekkah, dan Madinah.
Mereka menjalankan bisnis dan meradikalisasi gerakan Wahabi. Sebagian
lain mengungsi ke Suriah dan membuat huru-hara melawan Hafez Asad,
penguasa Suriah, seorang Alawyyin yang dianggap sekuler. Sayyed Quthb
(1906-1966 M), orang kedua Ikhwan pengganti al-Banna, dijebloskan ke
penjara atas tuduhan terlibat dalam percobaan pembunuhan. Di balik
terali besi, dia menulis Tafsîr fî Dzilâl al-Qur’ân dan buku lain yang radikal, berjudul Ma’âlim fi al-Tharîq. Buku terakhir ini terinspirasi oleh risalah pendek karya Mawdudi berjudul al-Musthalahât al-Arba’ah yang mengenalkan konsep hâkimiyah, ulûhiyah, rabbâniyah, dan wahdâniyah.
Setelah
sempat keluar dari penjara, Quthb diseret kembali ke sel karena bentrok
dengan Nasser dan dihukum gantung pada 1966. Ikhwan kemudian ditetapkan
sebagai organisasi terlarang, para aktivisnya dijebloskan ke penjara.
Di penjara bawah tanah, Ikhwan terpecah ke beberapa faksi. Anwar Sadat,
pengganti Nasser, sempat mengupayakan rekonsiliasi politik dengan
Ikhwan, tetapi gagal. Dia dibunuh oleh Khalid Islambuli, aktivis Jamâ’ah al-Jihâd, pecahan Ikhwan, pada 1981. Tokoh Jamâ’ah al-Jihâd adalah Abdussalam Farag, penulis risalah juklak jihad yang sangat berpengaruh, berjudul al-Farîdlah al-Ghâibah. Bahan-bahannya diramu dari kitab Majmû’ah Fatâwa karya Ibn Taymiyah, Nail al-Authâr dan Fath al-Qadîr karya al-Syaukâni, Subul al-Salâm karya
al-Shun’âni, dan buku-buku ibn Qayyim al-Jawziyah. Pecahan Ikhwan lain,
Syabâb Muhammad, melakukan percobaan kudeta, tetapi berhasil ditumpas
pada 1974. Pada 1977, Jama’at al-Muslimin, pecahan Ikhwan juga, membunuh
Husayn al-Dzahabi, ulama pro pemerintah setelah sebelumnya diculik.
Di
Palestina, ada seorang figur kunci, teman dekat Hasan al-Banna, bernama
Haji Amin al-Husseini (1895-1974 M). Dia adalah mufti agung Yerusalem
(menjabat 1921–1948), pendiri Makarim Society yang berafiliasi dengan
Ikhawan al-Muslimun. Dia berjasa menyebarkan pendirian cabang-cabang
Ikhwan di seluruh Palestina.Peran Haji Amin digantikan Syeikh Ahmad
Yasin, tokoh Ikhwan yang kelak mendirikan HAMAS pada 1987. Di Palestina
terdapat tokoh lain, bernama Taqyuddin Nabhani. Dia alumni Darul Ulum
dan al-Azhar Mesir, menjabat sebagai qadhi di Mahkamah Syar’iyah
al-Quds, Palestina. Dia mendirikan Hizbut Tahrir pada 1953 dan menarik
cukup banyak aktivis Ikhwan, salah satunya Abdul Qadir Zallum. Zallum
adalah tokoh Ikhwan, sebelumnya aktif di gerakan Jihad al-Quds pimpinan
Haji Amin al-Husseini. Hizbut Tahrir (HT) bersimpang jalan dengan
al-Banna dan Ikhwan. Ikhwan bisa menerima nation-state dan
perjuangan parlementer, tetapi HT menolak dan mengusung konsep Khilafah
transnasional. Agenda Ikhwan adalah mengislamkan negara atau
formalisasi Islam ke dalam kehidupan bernegara. Sebaliknya, agenda HT
adalah menghidupkan kembali khilafah yang bubar oleh gerakan
nasionalisme pada tahun 1924. Karena orientasinya yang menolak nation-state, HT banyak di larang di berbagai negara.
Berbagai
gerakan Islam ini tidak seragam, orientasi dan targetnya berbeda,
meskipun punya benang merah dan keserupaan pemikiran keislaman. Gerakan
salafi Wahabi yang dipelopori Muhammad Ibn Abdu Wahab, modernism Islam
yang dipelopori Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, Ikhwan
al-Muslimun yang didirikan Hasan al-Banna, dan Hizbut Tahrir yang
dibentuk Taqyuddin Nabhani serupa dalam memegangi ortodoksi, mendukung
purifikasi, dan menentang bid’ah dan khurafat. Namun, orientasi gerakan
masing-masing berbeda. Target salafi Wahabi adalah “mengislamkan” orang
Islam: muslim pelaku bid’ah belum Islam karena itu harus diislamkan
menurut versi Islam mereka. Target modernisme Islam adalah memerangi
tahayul, bid’ah, dan khurafat agar umat Islam maju dengan berkiblat
kepada kemajuan barat. Barat menjadi rujukan dalam kemajuan berbagai
bidang, kecuali watak imperialisnya. Target Ikhwan adalah membebaskan
masyarakat dari praktik-praktik bid’ah agar terbentuk masyarakat dan
negara Islam. Negara nasional bisa diterima, tetapi harus diislamkan
melalui regulasi dan kebijakan. Target HT adalah purifikasi Islam secara
total, dalam agama dan politik, dengan kembali kepada praktik Khilâfah Râsyidah. Nation-stateditolak karena produk sekuler warisan Kristen Eropa.
Anatomi
ini menunjukkan perbedaan masing-masing gerakan. Orang awam dengan
mudah menganggap semuanya Wahabi, padahal berbeda, dan bahkan di antara
mereka saling menyesatkan. HT dengan tegas menuduh Ikhwan jahiliyah
karena menerima negara nasional dan tidak memperjuangkan khilafah.
Wahabi Saudi, meski pernah memberi suaka kepada para pegiat Ikhwan,
tetap mewaspadai gerakan mereka yang dapat mengancam monarki karena
menerima demokrasi, negara nasional, dan perjuangan parlementer. Gerakan
modernisme Islam, yang berkiblat kepada kemajuan Barat, menolak
orientasi salafi Wahabi dan HT dan tidak setuju dengan militansi Ikhwan.
Meskipun berbeda, harus diakui ada elemen Wahabi dalam berbagai gerakan
ini, yaitu kecenderungannya kepada ortodoksi dan purifikasi.
Di
Indonesia, afiliasi gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah ini menjelma
ke dalam berbagai organisasi. Gerakan salafi Wahabi ini massif, menyerbu
masjid, kantor-kantor pemerintah dan swasta. Ciri-ciri pengikutnya
condong kepada Arabisasi: mengenakan jubah dan sorban, memelihara
jenggot, bercelana congklang, berjidat hitam, gemar dengan
istilah-istilah Arab. Rujukan hujjah mereka adalah fatwa-fatwa Ibn
Taymiyah dan ulama-ulama Wahabi seperti Nashiruddin al-Albani, Ben Baz,
Utsaimin, dll. Mereka anti bid’ah, anti-ziarah, anti maulid, dll dan
sering meledek tradisi NU melalui portal-portal online dan forum-forum offline.
Seiring dengan meningkatnya ketegangan Saudi dan Iran, mereka gencar
memerangi Syiah dan para pengikutnya di Indonesia. Gerakan Ikhwan
menyerbu kampus dan rohis, membentuk KAMMI, dan akhirnya menjelma
menjadi PK dan PKS. Buku-buku yang diajarkan di forum-forum pengkaderan
mereka adalah karya Hasan al-Banna, Sayyed Qutb, Said Ramadan, Mustafa
Siba’i, Yusuf Qardhawi, dan tokoh-tokoh Ikhwan lain.Yusuf Qardhawi
pernah datang ke Jakarta, menghadiri forum PKS, dan mengonfirmasi
afiliasi mereka dengan Ikhwan al-Muslimun. PKS berafilasi dengan Ikhwan
sayap moderat. Mereka setuju perjuangan parlementer dan menolak
kekerasan. Gerakan modernisme Islam menjelma ke dalam Muhammadiyah.
Orientasi gerakannya kembali ditabalkan dengan tema Muktamar ke-47 di
Makassar tahun 2015, “Islam Berkemajuan.”Islam berkemajuan adalah
reiterasi tafsir khaira ummah ala Alm. Prof Kuntowijoyo yaitu humanisasi,
liberasi, dan transendensi. Semangat pencerahan Barat modern,
humanisasi dan liberalisasi, digabung dengan nilai-nilai transendensi
Islam. Gerakan Hizbut Tahrir menjelma ke Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
HTI menolak NKRI, menentang Pancasila, demokrasi, dan parlemen karena
dianggap produk sekuler dan tidak islami. Belakangan agresif menarik
pengikut, menggunakan figur yang melek sosmed untuk menyampaikan
pandangan-pandangan keislaman yang eksklusif. Kecuali muslim modernis,
pengikut salafi Wahabi, sayap militan PKS, dan HTI rentan direkrut ke
dalam gerakan sejenis ISIS atau paling tidak bersimpati kepadanya.
Post a Comment