TASAWWUF DAN PERKEMBANGANNYA 03

Yg sezaman dengan as-Sarraj adalah al-Kalabadzi (wafat di Bukhara, 990 M). Salah satu karyanya yang masih tersisa adalah Ta’aruf li madhab ahl al-tashawuf). Kitab ini berusaha menjembatani pandangan syariat dan tasawuf. KItab ta’aruf dalam konteks kajian kesufian merupakan salah satu sumber penting bagi orang-orang di dalam lingkaran sufi maupun di luar lingkaran sufi yg ingin mempelajari Tasawuf secara akademis. Di dalamnya mulai dibahas secara lebih mendalam, yg sebagian bersifat agak filosofis, tentang istilah-istilah sufi.

Tokoh selanjutnya yang masyhur dalam penulisan kitab Tasawuf dan karyanya diakui secara luas baik oleh kalangan sufi maupun bukan adalah Abu Thalib al-Makki. Kitab Qut al-Qulub (Santapan Qalbu) adalah masterpiece-nya. Kitab ini berpengaruh besar bagi penulisan kitab-kitab tasawuf selanjutnya, dan bahkan Imam Abu Hamid al-Ghazali banyak merujuk kepada kitab ini saat menulis Ihya Ulumuddin. Selain kitab-kitab tentang ajaran, bermunculan pula hagiografi atau kitab tentang riwayat tokoh sufi. Salah satu karya awal di genre ini adalah Tabaqat as-Shufiyya karya Imam Sulami, kemudian kitab Hilyat al-Awliya karya Imam Nu’aym al-Isfahani.
Hilyat al-Awliya ini seperti gudang penjelasan mengenai orang-orang arif billah. Sementara itu, Tabaqat kiarya Sulami belakangan diperluas lagi oleh Abdullah al-Anshari dari Herat, dan kemudian dikembangkan lagi oleh Maulana Jami dalam kitab Nafahat al-Uns.Setengah Abad setelah Sulami, muncul kitab Tasawuf tertua dalam bahasa Persia, karya Syekh Hujwiri yang berjudul Kasyful Mahjub, sebuah kitab luar biasa yang menguraikan sejarah tasawuf, doktrin sufi, konsep-konsep sufi, hingga ke makna batin dari berbagai konsep syariah. Karya al-Hujwiri sangat memengaruhi karya-karya Sufi di daerah Persia dan anak benua India, terutama di kalangan sufi dari tarekat Chistiyyah kelak di abad 14-15 M.

Salah satu murid Imam Sulami yang termasyhur adalah Abu Said ibn abi al-Khair, yang disebut-sebut sebagai “Bapak Tarekat” pertama, karena beliaulah yang secara sistematis pertama kalinya menyusun aturan dan adab di jalan ruhani dan beliau sendiri berfungsi sebagai Mursyid yg kemudian sedikit bertransformasi menjadi konsep kemursyidan dalam tarekat-tarekat besar yang muncul belakangan. Abu Said ibn abi al-Khair ini juga dikenal sebagai penyair mistik, usianya tepat mencapai 1000 bulan. ABu said al-Khair bersahabt dengan salah satu tokoh sufi terkenal, Imam Qushairi. Imam Qushairi adalah penerus dari tradisi keilmuan Imam Sulami. Imam Qushairi sendiri adalah menantu dari guru sufi agung yang jadzab, Abu Ali al-Daqqaq. Karya Qushairi, lebih dikenal dengan judul ringkas Risalah al-Qushairiyyah, menguraikan ajaran dan amalan Sufi dalam kerangka teoilogi Asy’ariah. Kitab Risalah Qushairiyyah ini adalah yg paling banyak dibaca, dan kadang kitab ini disejajarkan dengan al-Luma’ karya as-Sarraj. Selain menulis Risalah yg panjang, Qushairi juga menulis beberapa risalah pendek, yg menggambarkan pengalaman mistisnya, dan hakikat shalat, dan beliau termasuk yg pertama kali membagi struktur jiwa manusia: hati (qalb), ruh dan sir. Hampir sezaman dengan mereka, muncul sufi petani buta huruf, yakni al-Kharaqani, yg mendapat bimbingan secara barzakhi dari Abu Yazid al-Bisthami. Salah satu murid al-Kharaqani yang termasyhuur adalah Abdullah Anshari dari Herat (Afghanistan)

Syekh Anshari ini sempat terkena fitnah ketika kekuasaan Bani Seljuk bangkit di Iran Timur, namun kemudian beliau dipanggil kembali oleh Sultan untuk menjadi khotib negara. Salah satu karyanya yang terpenting adalah Manazil Sairin (Persinggahan di sepanjang jalan). Selama Anshari masih dikejar-kejar oleh tentara Bani Seljuk ini, di belahan lain sedang terjadi transformasi dahsyat dari seorang ulama dan cendekiawan muslim yang sangat masyhur, sebuah transformasi yg membuatnya berubah menjadi Sufi Agung sepanjang zaman, dan hampir mengubah sebagian lanskap dunia keruhanian Islam. Beliau adalah Imam ABU HAMID AL-GHAZALI.
Semua orang Islam hampir bisa dipastikan pernah mendengar nama Imam al-Ghazali dan kitab Ihya Ulumudiin. Dan kebanyakan lebih mengenalnya sebagai sufi meskipun sebelum benar-benar terjun ke dunia Sufi, Imam Ghazali telah terkenal sebagai ahli ilmu fiqh, kalam, filsafat. Beliau adalah profesor di semacam “universitas” yang bergengsi di Baghdad, di masa kekuasaan Nizam al-Mulk. Madrasah yg dipimpin oleh Imam al-Ghazali ini mendidik para ahli dakwah dan ilmu kalam. Madrasah ini terbukti menjadi prototipe bagi madrasah-madrasah yang kemudian berkembang di dunia Islam.

Perpindahan Imam al-Ghazali ke dunia sufi disebabkan oleh banyak hal: ketidakpuasan dan kegelisahan intelektual, dan perasaan kekeringan spiritual walau telah memiliki begitu banyak ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Imam al-Ghazali, yg juga murid ulama termasyhur Imam Juwaini (Imam al-Haramayn), mengalami krisis spiritual yg akut. Dan titik balik peralihannya ke dunia sufi justru lantaran “teguran” dari adiknya, Ahmad al-GHazali yang lebih dahulu masuk ke dunia Tasawuf.

Syekh Ahmad al-Ghazali lebih suka berkhalwat dan menyendiri, dan menulis syair-syair cinta ilahi. Ketika sang kakak diterpa oleh penyakit skeptisisme yang akut, yang menyebabkannya sakit dan tak mampu memberikan kuliah di Madrasah Nizamiyah Baghdad, Syekh Ahmad Ghazali datang untuk menggantikan posisi kakaknya, sementara Imam al-Ghazali sendiri pergi meninggalkan jabatan dan keluarganya untuk terjun ke dunia sufi secara intensif.

Walaupun tidak setenar kakaknya, Syekh Ahmad al-Ghazali sangat populer di Baghdad. Pengaruhnya dapat dijumpai dalam karya-karya penyair sufi seperti al-Syrazi dan Hafidz. Kebersamaan Syekh Ahmad al-Ghazali bersama muridnya, Syekh AYN AL-QUDAT AL-HAMADZANI, yang hanya berlangsung 20 hari, mampu mengubah diri Syekh Ayn Qudhat al-Hamadzani menjadi sufi paripurna. Murid lain dari Syekh Ahmad al-Ghazali yang juga termasyhur adalah Syekh Abd al-Qahir Abu Najib al-Suhrawardi, paman pendiri tarekat Suhrawardiyyah. Syekh Ahmad al-Ghazali meninggal sekitar tahun 1126 di Qawzin.

Syekh Ahmad al-Ghazali menyusun sejumlah risalah mistik, tak kurang dari tujuh kitab. Salah satunya adalah risalah mengenai sama’ yang berjudul Bawariq al-Ilma fi al-Rad ‘ala man Yuharrim al-Sama’ bi al-Ijma” (Kilauan Cahaya Terang dalam Menolak Orang yang Mengharamkan Musik melalui Ijma’). Menurutnya, salah satu faedah sama’ adalah dapat mengantar sufi ke derajat al-kummal al-iyani, derajat yang tidak bisa dicapai hanya melalui riyadhah saja. Al-sama’ juga dikatakan menghimpun beberapa kondisi spiritual (ahwal) yang sempurna, yakni puncak maqamat. Kata sama’ terdiri dari huruf sin dan mim, yang menurut Syekh Ahmad al-Ghazali mengisyaratkan makna al-sammu (racun), dan karenanya sama’ adalah ibarat racun yang mematikan seseorang dari ketergantungannya kepada selain Allah, sekaligus mengantarkannya ke tingkatan ghaib (maqamat al-ghaibiyyah). Selain itu, sin dan mim juga membentuk kata al-sama yang berarti “langit” yang berarti musik sama’ bisa mengantar kepada ketinggian martabat. Sedangkan huruf mim dan ain mengisyaratkan kata ma’a (kebersamaan), sebab sufi yang melakukan sama’ akan sampai ke derajat kebersamaan dengan Tuhannya (al-ma’iyyah al-dzatiyah al-ilahiyah).

Kitab lain yang terkenal adalah Sawanih, “Pepatah Tentang Kekasih,” yang mengukuhkannya sebagai ahli mistik besar di dunia Islam. Ahmad al-Ghazali dalam kitab ini berbicara tentang rahasia hubungan timbal-balik antara kekasih dan yang dikasihi, seperti cermin. Syekh Ahmad al-Ghazali menyentuh rahasia penderitaan dalam kekasih, harapannya dalam keputusasaan, dan rahasia rahmat Tuhan yang tak terperikan. Hadits qudsi yang dikutipnya adalah “Kebijaksanaan di dalam tindakan-Ku menciptakan engkau adalah untuk melihat bayangan-Ku dalam cermin jiwamu, cinta-Ku dalam hatimu.”

Salah satu karamahnya yang paling masyhur dan memberi kontribusi pada perubahan hidup kakaknya adalah sebagaimana kisah berikut. Suatu ketika Imam al-Ghazali menjadi imam di masjidnya, sementara Syekh Ahmad al-Ghazali tidak mau menjadi makmumnya. Karenanya Imam al-Ghazali meminta kepada ibunya agar menyuruh sang adik itu mau menjadi makmum agar Imam al-Ghazali tidak terkena tuduhan buruk dari masyarakat. Setelah mendapat perintah dari ibunya, maka Syekh Ahmad al-Ghazali pun bersedia menjadi makmum. Namun di tengah-tengah shalat Syekh Ahmad al-Ghazali memisahkan diri dan melakukan shalat sendirian (munfarid). Selesai shalat Imam al-Ghazali bertanya kepada adiknya mengapa ia memisahkan diri. Syekh Ahmad al-Ghazali menjawab bahwa beliau melihat perut Imam al-Ghazali penuh darah. Imam al-Ghazali pun mengaku bahwa saat shalat, dirinya berpikir tentang penulisan persoalan darah haid.

“Teguran mistis” inilah yang menurut sebagian penulis hagiografi menyebabkan Imam Abu Hamid al-Ghazali bertekad bulat menempuh suluk dengan mengembara ke padang pasir dan berbagai negeri untuk mempelajari Tasawuf. Melalui teguran itu beliau menyadari satu hal penting, seperti yang ditulisnya sendiri dalam karya biografisnya, Munqidz minat al-dalal,” Pengetahuan lebih mudah ketimbang amal. Aku mengawali dengan banyak membaca buku dan mendapatkan pemahaman intelektual yg menyeluruh tentang prinsip-prinsip ilmu. Namun kemudian aku menyadari bahwa yang paling penting dan utama dari prinsip-prinsip itu hanya bisa direngkuh melalui pengalaman, zawq dan perubahan watak (tazkiyatun nafs).”

Dari pengembaraan dan ketekunannya di jalan ruhani inilah lahir kitab monumental, Ihya Ulumuddin. Karya ini terdiri dari 40 Bab. Jika kita baca dengan teliti, kita bisa melihat bahwa dalam karyanya ini Imam Abu Hamid al-Ghazali secara tersirat menunjukkan bahwa jika seseorang mengamalkan syariat dan tasawuf dengan benar, maka perjalanannya menuju Tuhan adalah seperti perjalanan tiada akhir di mana setiap kali salik naik ke posisi yg lebih tinggi ia akan selalu menemukan kedalaman makna syariat yang selalu baru dan berbeda.

Salah satu karya mistis al-Ghazali yg paling sulit, tetapi sangat memengaruhi tradisi filsafat-cahaya adalah Misykat al-Anwar. Tafsirnya atas ayat cahaya (Allahu nurussamawati dst ..) begitu mendalam dan pelik. Ini adalah karya metafisika cahaya yang sangat canggih. Belakangan, sekitar setengah abad setelah wafatnya Imam al-Ghazali, pandangan mistis tentang ayat cahaya ini dielaborasi secara mendalam oleh salah satu Guru Sufi yg dikenal sebagai Syekh al-Israq Suhrawardi al-Maqtul.
Pengaruh Imam al-Ghazali dan ajarannya tak diragukan lagi, sehingga sebagian sufi generasi berikutnya mengaku mereka mengikuti Tarekat Ghazaliyah, meski Imam al-Ghazali sendiri tidak secara formal membentuk sebuah organisasi tarekat. Namun sebagian sejarawan berpendapat ada sisi buruk dari popularitasnya: Kebesaran Imam al-Ghazali yg luar biasa, dimana serangannya pada ilmu filsafat sangat berpengaruh pada zamannya membuat umat ISlam selama beberapa puluh tahun tak mengkaji ilmu filsafat secara serius yg menyebabkan potensi kritis akal terhambat. Untungnya, sebelum akhirnya muncul sanggahan yang seimbang dari ahli filsafat Islam terbesar, Ibn Rushd, tradisi filsafat tetap dihidupkan dalam lingkaran sufi Persia, melalui “guru cahaya” Suhrawardi al-Maqtul.

Banyak tokoh luar biasa yg dipengaruhi oleh kitab Ihya, salah satunya yg pantas disebut karena ikut mewarnai tradisi Tasawuf yg begitu luas ini adalah Ayn Qudhat al-Hamadzani, murid dari AHmad al-Ghazali. Ajaran Ayn Qudhat merupakan salah satu ajaran yg kelak mewarnai perkembangan Tasawuf yg bercorak lain, di anak benua India. Beliau terutama memengaruhi guru-guru sufi di kalangan Tarekat Chistiyyah. Siapakah SYekh Ayn al-Qudhat yang meski hidupnya singkat namun ikut memberi warna dalam sejarah Tasawuf di kawasan anak benua India dan Asia Tengah ini?

Ayn al-Qudhat al-Hamadzani barangkali adalah salah satu contoh dari efek nyata dari pengaruh kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali. Syekh Ayn al-Qudat sesungguhnya tergolong dalam tradisi teo-erotisisme dalam tasawuf, yakni “mazhab” tasawuf yang menekankan pada cinta (mahabbah), rindu (syawq), cahaya (nur), api (nar), dan kesatuan (wahdah) – yang berpuncak pada “kesatuan” antara pecinta dan yang dicintai, antara Tuhan dan makhluknya. Sebagian besar ajaran Syekh Ayn al-Qudat didasarkan pada sistem penafsiran ganda, yakni “wilayah akal” (thawr al-aql) dan “di luar akal” (thawr wara’ al-aql).

Syekh Ayn al-Qudat menguasai tata bahasa Arab, filologi, sastra Arab, tafsir al-Qur’an, hadits, teologi (kalam), fiqh mazhab Syafi’i (dan telah memenuhi syarat menjadi qadhi) – ringkasnya semua cabang ilmu pengetahuan telah dikuasainya dalam waktu yang relatif singkat, kurang dari 10 tahun saja. Bahkan risalah-risalah yang memicu kontroversi telah ditulisnya saat beliau berusia 14 tahun.
Syekh Ayn al-Qudat mengatakan bahwa beliau meninggalkan studi sekular pada usia akil baligh dan “dengan tekun menelaah ilmu keagamaan” serta menyibukkan diri di jalan sufi. Sejak usia 21 tahun, setelah menulis risalah tentang sifat kenabian, selama tiga tahun berikutnya beliau dikaruniai segala macam pengetahuan ruhaniah dan ilham-ilham yang tak mungkin terlukiskan. Beliau mengatakan bahwa dirinya “nyaris di pinggir neraka seandainya Allah tidak menolongku dengan rahmat dan kemurahan-Nya.” Telaahnya terhadap ilmu kalam justru menambah kekacauan dan kebingungan. Pertolongan Allah datang setelah beliau menelaah kitab karya Hujjatul Islam, Imam ABU HAMID AL-GHAZALI, terutama karya besarnya, Ihya Ulum al-Din. Sedemikian berpengaruhnya kitab ini hingga Syekh Ayn al-Qudat menulis, “mata batinku mulai terbuka (kasyaf) karena barokah kitab Ihya.” Selama setahun beliau terus dikuasai olehh pengetahuan ruhaniah lantaran berkah mengaji kitab Ihya ini. Kemudian datanglah adik Imam al-Ghazali, yakni Syekh Abu al-Futuh AHMAD AL-GHAZALI, ke Hamadzan. Kehadirannya yang hanya kurang dari 20 hari telah menyempurnakan pengetahuan ruhaniah Syekh Ayn al-Qudat. Berdasarkan pengalamannya ini, Syekh Ayn al-Qudat berpendapat bahwa kehadiran guru yang hidup, bukan hanya kitab-kitab sufi, adalah syarat utama bagi kehidupan di jalan Sufi.

Syekh Ayn al-Qudhat menulis banyak risalah, dan sebagian besar telah hilang. Tetapi kitabnya yang amat terkenal adalah Tamhidat. Kitab ini, yang dipengaruhi oleh kitab Sawanih karya gurunya, Syekh Ahmad al-Ghazali, banyak dibaca di dunia Muslim. Tamhidat adalah kitab yang disukai para sufi Chistiyyah di Delhi pada akhir abad ketiga belas. Seorang wali Allah dari tarekat Chistiyyah, yakni Gisudaraz, menulis ulasan tentang buku ini, dan kemudian seorang wali Allah bernama Miran Husain Shah dari Bijapur menerjemahkannya ke bahasa Urdu. Syekh Jami’ mengatakan tentang Ayn al-Qudhat, “hanya sedikit orang yang dapat menyingkap hakikat kenyataan dan penjelasan tentang hal-hal yang pelik seperti Syekh Ayn al-Qudhat.” Kitab lainnya adalah Syakwa al-Gharib, pembelaan atas ajarannya yang ditulis saat di penjara, yang dipuji keindahan bahasanya, sehingga dikatakan secara metaforis, “jika kitab ini dibacakan kepada bebatuan, maka bebatuan itu akan bergetar [oleh keindahan ungkapannya],” dan kitab Nama-ha, yang berisi koleksi ratusan surat Syekh Ayn al-Qudhat kepada beberapa muridnya. Beliau dihukum mati oleh penguasa dengan cara biadab karena dituduh mengajarkan panteisme.

Selain Ayn al-Qudhat, murid Syekh Ahmad al-Ghazali yg juga mengubah lanskap tasawuf adalah Abdul Qahir Abu Najib as-Suhrawardi. Beliau menulis salah satu kitab pegangan tentang pengajaran ruhani yang paling banyak dibaca pada zamannya, bahkan mungkin sampai sekarang, berjudul Adab al-Muridin.” Beliau adalah salah satu sufi pertama yg secara formal membentuk organisasi Tarekat. pada era 1150-an ini boleh dikatakan mulailah era baru dalam tradisi tasawuf, yakni dengan munculnya Tarekat yang dibentuk secara organisatoris dengan struktur tertentu, meski pada saat itu masih sederhana strukturnya. Yang lebih berpengaruh adalah putra dari saudara lelaki Abu Najib, yakni Shihabuddin Abu Hafs Umar as-Suhrawardi. Karyanya yg berjudul Awarif al-Ma’arif menjadi kitab pegangan bagi kaum sufi di madrasah dan tarekat di India dan sekitarnya.

Syekh Abu Hafs Suhrawardi juga terjun di dunia politik. Beliau menjadi Shayk as0Shuyukh, maha guru resmi di Baghdad pada masa kekuasaan an-Nasr. Beliau menjadi duta besar untuk penguasa Ayyubian di Mesir dan Syiria dan banii Seljuk di Rum yg baru saja bangkit kekuasaannya di Konya. Hubungan Abu Hafs Umar as-Suhrawardi dengan penguasa juga turut mempengaruhi sikap para sufi di anak benua India uang lebih terbuka terhadap peran sosial dan politik dibanding tarekat lain yang sezaman dengannya. Syekh Abu Hafs Umar inilah yang membantu khalifah menyebarkan gagasan ksatria mistis, al-futuwwah, yg juga hendak diaplikasikan untuk bidang sosial dan politik. Untuk alasan praktis dan pragmatis, khalifah melembagakan futuwwah , sehingga aplikasinya mirip dengan konsep “sosialisme” di zaman modern.

Sementara itu, pada saat yg hampir bersamaan, muncul nama Suhrawardi lain, dari Persia. Suhrawardi ini adalah Suhrawardi al-Maqtul, sang guru cahaya. Beliau adalah sufi yg mencoba menggabungkan dua mode pengetahuan: filsafat dengan Tasawuf. Beliau menciptakan sintesis filosofis yang bersumber dari berbagai sumber, khususnya pemikiran Islam dan mistisisme Islam enam abad sebelum dirinya. Beliau sendiri memandang dirinya adalah penerus tradisi kuno Iran dan Mesir. Konon beliau mendapat pencerahan dan ilmu langsung dari Hermes atau Nabi Idris. Karya besarnya adalah Hikmah al-Isyraq (Filsafat Iluminasi), yang sangat mempengaruhi mistisisme filosofis, terutama di kawasan Persia (Iran). Beliau mendapat julukan al-maqtul (yang dibunuh) karena dihukum mati.

Syekh Suhrawardi al-Maqtul selain dikenal cerdas dalam berdebat juga amat pemberani dan cenderung tak peduli pada dunia dan suka berterus-terang. Karena keberaniannya inilah beliau mendapat banyak masalah, terutama dari para ahli hukum (faqih) yang tidak suka kepadanya lantaran merasa tersaingi dan sering kalah dalam perdebatan melawannya. Keberaniannya inilah yang membuatnya dihukum mati. Kisah sebab-musabab kematiannya ada beberapa versi. Salah satunya yang terkenal adalah sebagai berikut. Saat di Aleppo Syekh Suhrawardi biasa berceramah di hadapan banyak ulama dan ahli fiqh. Dalam ceramah-ceramahnya beliau secara blak-blakan mengecam keyakinan beberapa filsuf dan ulama, dan menunjukkan kesalahan mereka. Bahkan beliau tak segan-segan beradu mulut dengan sengit dan menunjukkan kesalahan mereka di muka umum. Selain itu kadang-kadang Syekh Suhrawardi menunjukkan kekuatan spiritualnya kepada mereka. Karena tak mampu menandingi kecerdasan dan keluasan ilmunya, akhirnya para ulama bersatu untuk menyingkirkannya. Mereka menuduh beliau sebagai ahli sihir dan punya pandangan filsafat yang menyesatkan dan membahayakan umat Islam. Mereka bahkan menuduh Syekh Suhrawardi mengaku-aku sebagai nabi. Mereka kemudian mendesak sultan, yakni Malik al-Zhahir, putra Shalahuddin al-Ayyubi, untuk menghukum mati Syekh Suhrawardi. Sultan Malik al-Zhahir kemudian mengundang para ulama dan Syekh Suhrawardi untuk berdebat di istana. Tetapi dalam perdebatan ini Syekh Suhrawardi muncul sebagai pemenangnya, sehingga Sultan Malik menjadi sahabatnya.
Akhirnya para ulama dan fuqaha mengirim surat kepada Shalahuddin al-Ayyubi yang isinya memfitnah Syekh Suhrawardi. Dalam surat itu, secara garis besar, dikatakan bahwa Syekh Suhrawardi menipu Sultan Malik al-Zhahir, dan jika dibiarkan hidup akan merusak iman Sultan Malik, dan jika beliau diusir akan merusak setiap tempat yang didatanginya. Akhirnya Sultan Shalahuddin menyurati putranya (Sultan Malik) agar Syekh Suhrawardi dihukum mati dalam usia 38 tahun. Hukuman matinya dijatuhkan pada tahun 1191 atau 586 H. Versi kematiannya berbeda-beda; sebagian mengatakan beliau mogok makan di tahanan sampai meninggal; sebagian mengatakan beliau digantung; dan sebagian mengatakan beliau dipancung dengan pedang. Tubuhnya konon dibakar dan dijatuhkan dari atas benteng. Belakangan Sultan Malik al-Zhahir, yang sesungguhnya tidak ingin membunuh Syekh Suhrawardi, membalas dendam kepada para pemfitnah – mereka dimasukkan ke penjara dan semua hartanya disita.

Syekh al-Israq Suhrawardi al-Maqtul ini mewariskan kajian filsafat yang sangat berharga dan berpengaruh. Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa di tangan Suhrawardi al-Maqtullah filsafat Islam tetap terpelihara setelah Imam al-Ghazali sempat menyerang filsafat dengan meyakinkan.
Syekh Suhrawardi al-Maqtul meyakini bahwa pengetahuan (filsafat) sejati, atau pengetahuan tertinggi, tidak bisa dicapai hanya dengan olah intelektual semata, tetapi juga harus diiringi dengan laku spiritual untuk mensucikan hati (Tasawuf). Hanya dengan cara itulah pengetahuan hakikat akan bisa diperoleh dengan lebih sempurna. Menurut beliau, di dalam diri manusia sesungguhnya telah tersimpan kebijaksanaan kekal, yang bersumber dari sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak dapat diciptakan. Itu berarti bahwa seseorang mesti melangkah melampaui tataran empiris-intelektual rasional dan material menuju ke alam yang lebih tinggi dan sublim. Proses pelepasan dari sifat-sifat material ini adalah semacam ziarah, bukan ke dunia eksternal, bukan ke belantara akal dan perdebatan intelektual yang berdasarkan definisinya sendiri adalah terbatas, tetapi perjalanan menjelajahi dunia batin, ke dalam diri. Secara paradoks, perjalanan ke “dalam” diri ini pada akhirnya akan membawa seseorang “keluar” dari dirinya sendiri dan “ke luar” dari dunia material, masuk ke dunia spiritual dan pengetahuan abadi yang tak ada batasnya. Dalam perjalanan ke “dalam” diri ini seseorang mesti membersihkan daya-daya yang bersifat “gelap” atau mengaburkan visi yang sejati: sifat-sifat kebinatangan, nafsu dan syahwat, ego, bahkan imajinasi “keakuan” sebagai sesuatu yang eksis tersendiri, harus dienyahkan. Jika ini sudah tercapai, maka akan terbukalah daya-daya ruhaniah, yang bisa melihat, mendengar, merasakan, mencium segala sesuatu tanpa bantuan indera dan memahami segala sesuatu yang ada di luar dunia material dan indera. Ini adalah pengetahuan dari Cahaya tentang Cahaya, dan inilah hikmah al-siyraq, pengetahuan dan filsafat cahaya. Pada titik tertentu dalam perjuangan ruhani ini, seseorang akan dipenuhi dengan cahaya pengetahuan ilahiah ini hingga mencapai batas yang mampu ditanggungnya.

Pada tahap ini orang akan melihat dirinya sendiri (esensinya) dan ia akan senang karena menyaksikan cahaya yang memancar dari dirinya sendiri. Ia akan menyadari bahwa pada dasarnya seluruh semesta adalah cahaya yang bersumber dari satu Cahaya abadi. Dari sumber ini muncul hirarki cahaya vertikal yang memuat tingkatan-tingkatan eksistensi universal. Kata isyraqi itu sendiri juga berarti iluminasi, pancaran yang menerangi, seperti cahaya pertama di pagi hari yang memancar dari Timur (syarq). Dalam pengertian filosofis dalam ajaran Syekh Suhrawardi, ini bukanlah sekedar “Timur” geografis, tetapi “Timur” asal realitas (eksistensi).

Pada saat inilah cahaya itu seakan-akan tak mau pergi lagi, tetapi hendak menetap dalam dirinya, dan pada momen ini seseorang akan merasakan sakinah atau cahaya ketenangan: “Allah lalu menganugerahkan sakinah-Nya kepadanya” (Q. S. 9:40). Para pemilik sakinah adalah “orang-orang yang beriman (mukmin), yang hatinya menjadi tenteram dengan berzikir kepada Allah” (Q.S. 13: 28). Orang mukmin ini bukan mukmin nominal atau awam, namun mukmin yang sesungguhnya (Para Nabi/Rasul dan Wali Allah) yang memiliki ketajaman hati dan pikiran (firasat) dan kasyaf. Rasulullah bersabda “hati-hatilah terhadap firasat orang mukmin, sebab dia melihat dengan Cahaya Tuhannya.” Dengan kata lain, karena Cahaya pengetahuan Ilahiah sudah “menetap” di dalam dirinya, maka seseorang akan melihat segala sesuatu dengan cahaya-Nya, dan karena Allah adalah “Cahaya Langit dan Bumi” (Q. S. 24: 35) maka tak ada sesuatupun yang tersembunyi di bawah Cahaya-Nya – sebab kegelapan tabir telah enyah. Karenanya, menurut Syekh Suhrawardi, para pemilik sakinah, para Wali Allah, dapat membaca pikiran orang lain, mengetahui dan memahami hal-hal ghaib, dan kecerdasannya akan disempurnakan melalui karunia firasat dan kasyaf ini. Mereka bisa melihat dan mendengar langsung isyarat dan panggilan yang lembut dari Allah Yang Maha Suci. Tetapi ini belumlah sempurna.

Jika orang itu melangkah lebih jauh, dia akan sampai pada tahap di mana dia mengira bahwa esensi dan kesadaran dirinya akan terhapus. Ini dinamakan fana i-akbar (fana besar). Tetapi jika dia kemudian lupa pada kelupaaannya itu, maka ini dinamakan fana dalam fana. Ketika totalitas kesadarannya lenyap dalam obyek kesadaran barulah dia akan mencapai kesempurnaan; sebab, jika seseorang masih menyadari tindak kesadaran dan juga menyadari obyek kesadaran, ini berarti dia memiliki dua obyek. Karenanya untuk mencapai kesempurnaan seseorang mesti “meninggalkan dirinya” demi obyek kesadarannya, hingga yang tersisa hanyalah obyek kesadarannya. Ini adalah keadaan penghapusan sepenuhnya: “Segala yang ada di bumi ini akan lenyap musnah. Yang kekap hanyalah Wajah Tuhanmulah yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan” (Q. S. 55: 26-27). Ini adalah persatuan, realisasi sejati dari doktrin Keesaan Allah, Tauhid.

Menurut Syekh Suhrawardi al-Maqtul, Tauhid itu sendiri terbagi menjadi lima tingkatan: (1) “La ilaha illa Allah,” tiada tuhan selain Allah, Tauhidnya orang awam; (2) “La ilaha illa hu,” Tauhidnya golongan yang terpilih di antara yang awam. Tingkatan ini lebih tinggi dibanding yang pertama, sebab yang pertama menyangkal tuhan selain Allah, sedangkan golongan kedua ini tidak hanya berhenti pada pengakuan bahwa selain Allah itu bukan tuhan, tetapi juga menyangkal semua identitas obyektif dalam kaitannya dengan identitas Tuhan; (3) “La ilaha illa anta,” tiada tuhan selain Engkau, Tauhidnya golongan ketiga, yang mengacu kepada kehadiran Tuhan (“engkau” adalah pihak kedua yang hadir); (4) “La ilaha illa ana,” tiada tuhan selain Aku, Tauhid orang-orang yang telah menghapus diri mereka sendiri; dan (5) yang tertinggi adalah Tauhid yang tak terungkapkan dalam kata-kata. “Ke-Engkau-an,” “Ke-Aku-an,” dan “Ke-Dia-an” semuanya adalah representasi istilah, yang dari sudut pandang Tuhan tetap tidak bisa mewakili Eksistensi-Nya. Golongan orang ini telah menenggelamkan ketiga cara pembicaraan itu dalam samudera penghapusan. Mereka menghancurkan ungkapan-ungkapan, meninggalkan semua acuan yang masih menunjukkan “arah” dan “representasi.” Karena semuanya sudah musnah, “Dan segala sesuatu akan musnah kecuali Dia” (Q. S. 28:88), maka tidak ada lagi yang tersisa untuk diucapkan, lantaran kata-kata tak lagi bermakna. Seperti dikatakan dalam salah satu keterangan tentang Tasawuf, “Tasawuf pada awalnya adalah Tuhan, dan pada akhirnya adalah tanpa batas, tanpa isyarat, tanpa arah, tanpa pembicaraan.”
Sementara itu, hampir bersamaan dengan berdirinya Tarekat Suhrawardiyyah dan kemunculan filsafat cahaya mistis di Iran, datanglah juru dakwah dari Laut Kaspia yang menjadi salah satu Poros Utama hampir seluruh sufi dan guru tarekat di seluruh dunia ISlam. Beliau adalah Sulthan al-Awliya al-Ghauts al-Adhim as-Sayyid Syekh ABDUL QADIR AL-JAILANI qaddasallahu sirrhu…


Membicarakan sejarah Tasawuf tidak mungkin kita mengabaikan tokoh yang luar biasa ini. Syekh Abdul Qadir al-Jailani bukan hanya memengaruhi Tasawuf, tetapi juga peradaban Islam pada umumnya. Bahkan kekuatan spiritualnya “dimanfaatkan” oleh berbagai kalangan hingga ke wilayah yang “abu-abu” secara syariat. Meski Syekh Abdul Qadir al-Jailani tidak menonjol sebagai penyair, namun banyak penyair sufi yang mengambil inspirasi dari ajaran-ajaran beliau. Tarekat Qadiriyyah menjadi salah satu tarekat terbesar di dunia, dan melahirkan banyak derivasi dan penggabungan dengan tarekat lain. Karenanya, di sini kita perlu melihat secara lebih dekat pada Poros Ruhani yang kemasyhurannya tak kunjung surut hingga sekarang.

Muhyiddin Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir al-Jailani adalah salah satu Wali Allah agung yang terkenal di seantero dunia Islam, yang menempati kedudukan amat tinggi, sebagai Sulthan al-Awliya al-Ghauts al-A’dham (Raja Para Wali dan Penolong Agung), Qutb al-Rabbani, pendiri Tarekat Qadiriyyah yang memiliki banyak pengikut di seluruh dunia. Ajarannya mempengaruhi banyak Wali Allah besar lainnya. Manaqib-nya (riwayat hidup) dibaca secara rutin setiap bulan di banyak tempat di dunia Islam. Salah satu ucapannya yang amat terkenal adalah “Kakiku berada di atas bahu semua Wali Allah” [qadami hadhihi ‘ala raqabati kulli waliyyin li’llah]. Menurut satu riwayat yang diceritakan oleh Syekh Abdurrahman Jami’, saat beliau mengucapkan kalimat ini, para Wali yang hadir saat itu serta merta menyerahkan bahunya untuk diinjak oleh beliau.
Sulthan al-Awliya al-Ghauts al-A’dham Qutb al-Alam Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir al-Jailani dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Nif, Irak utara, pada 470 H atau sekitar tahun 1077/1078 M. Syekh Abdul Qadir masih keturunan dari Rasulullah Muhammad SAW dari jalur Imam Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib. Ayahnya adalah Abu Salih Abdullah ibn Jangi Dost; ibundanya adalah Umm al-Khair Amat al-Jabbar Fatimah binti Abdullah al-Sawma’i al-Husaini al-Zahid, seorang wanita salihah. Diceritakan bahwa beliau mengatakan, “Setelah putraku Abdul Qadir lahir, ia tak mau menyusu selama bulan Ramadhan.” Ibundanya mengandung Syekh Abdul Qadir saat beliau sudah berusia 60 tahun.

Setelah mendapat pendidikan agama dari keluarga dan ulama di daerahnya, beliau pergike Baghdad, yang waktu itu merupakan pusat kegiatan intelektual dan keagamaan. Ibundanya membekalinya dengan 40 keping emas yang disembunyikan dengan dijahit di jubahnya. Ibunya berpesan agar Syekh Abdul Qadir selalu jujur dan berbuat benar. Dalam perjalanan beliau dihadang perampok, dan salah seorang dari mereka bertanya apakah beliau menyimpan sesuatu yang berharga. Syekh Abdul Qadir menunjukkan dimana uang emas itu disembunyikannya. Melihat kejujurannya, para perampok itu pun bertobat dan menjadi murid-murid pertamanya.

Ketika hendak masuk ke kota Baghdad, beliau dihadang oleh Nabi Khidir yang mengatakan bahwa dirinya diperintahkan untuk tidak mengizinkan Syekh Abdul Qadir masuk Baghdad selama tujuh tahun berikutnya. Karenanya, Syekh Abdul Qadir tinggal di tepi Sungai Tigris selama tujuh tahun, hidup dalam kemiskinan, hanya makan sayur-sayuran yang halal dan bisa dimakan. Kemudian beliau menuju ke zawiyyah milik Syekh Hammad ibn Muslim al-Dabbas. Namun Syekh al-Dabbas menutup pintu zawiyyah sehingga Syekh Abdul Qadir hanya bisa duduk di depan pintu. Syekh Abdul Qadir akhirnya tertidur dan mimpi basah. Beliau bangun untuk mandi wajib. Tetapi kemudian beliau tertidur lagi, dan mimpi basah lagi, dan beliau mandi wajib lagi. Hal ini terulang sampai 70 kali. Akhirnya saat fajar tiba, pintu Zawiyyah dibuka dan Syekh Abdul Qadir diizinkan masuk dan menjadi murid Syekh al-Dabbas.

Selama di Baghdad beliau tak kenal lelah menuntut ilmu, menemui para ulama besar yang alim, untuk mempelajari ilmu fiqh, tafsir, dan sebagainya. Beliau kemudian menganut mazhab Hanbali, tetapi beliau juga menguasai tiga mazhab utama lainnya. Di antara guru-guru beliau adalah Qadhi Abu Sa’id Mubarak al-Mukharrimi, Abu Zakariyya Yahya ibn Ali al-Tabrizi, Abu Ghalib Muhammad ibn al-Hasan al-Baqilani, Abu Sa’id Muhammad ibn Abd al-Karim ibn Khashisha, Abu Bakar Ahmad ibn al-Muzaffarm Abu Ja’far ibn Ahmad ibn al-Husain al-Qari as-Sarraj, dan masih banyak lagi.

Dari Syekh Hammad ibn ad-Dabbas beliau mendapat pendidikan spiritual yang ketat. Syekh Abdul Qadir juga mendapat pengajaran mistis dan khirqah dari Qadhi Abu Sa’id al-Mubarak al-Mukharrimi. Khirqah ini berasal dari guru al-Mukharrimi yakni Syekh Abu Hasan Ali ibn Muhammad al-Qurashi, yang menerima dari Abu al-Faraj al-Tarsusi, yang menerima dari Abu al-Fadl Abd al-Wahid al-Tamimi, yang menerima dari Abu Bakar Shibli, yang menerima dari ABU QASIM AL-JUNAID AL-BAGHDAD, yang menerima dari pamannya SARI AL-SAQATI, yang menerima dari Syekh MA’RUF AL-KHARKI, yang menerima dari DAWUD AL-TA’I, yang menerima dari HABIB AL-AJAMI, yang menerima dari Syekh HASAN AL-BASRI, yang menerima dari Amir al-Mu’minin Ali ibn Abi Thalib, yang menerima dari Rasulullah SAW.

Syekh Abdul Qadir Jilani menjalani riyadhah dan mujahadah yang luar biasa selama bertahun-tahun. Beliau berkhalwat selama 11 tahun di reruntuhan bangunan di luar kota Baghdad. Beliau sendiri pernah mengisahkan bahwa beliau mengembara di gurun pasir di kawasan Irak selama 25 tahun, tidak bertemu dengan manusia. Yang menemuinya hanyalah para rijal al-ghaib, para Wali Allah yang tersembunyi dan para jin. Beliau juga ditemani oleh Nabi Khidir dan tak pernah membantah perintah dari Nabi Khidir. Beliau pernah diperintahkan duduk di suatu tempat selama tiga tahun dan tak boleh berpindah tempat, dan beliaupun patuh. Selama duduk ini beliau didatangi oleh godaan seluruh kemewahan dan pesona dari dunia, dengan berbagai macam bentuk, namun berkat pertolongan Allah beliau berhasil mengatasi ujian ini. Iblis dan setanpun berdatangan untuk mengganggunya, namun tak satupun yang berhasil. Beliau memakan sisa-sisa makanan selama setahun tanpa minum, kemudian belaiu minum air saja selama setahun tanpa makan, dan setahun lagi hidup tanpa makan, minum atau tidur. Tetapi beliau pernah sekali tertidur di Serambi Kisra (Iwan al-Kisra) dan pada satu malam itu beliau menjadi berhadas besar 40 kali dan karenanya sepanjang malam itu beliau pun mandi di Sungai Tigris sebanyak 40 kali. Karena takut tertidur lagi, beliau pun memanjat atas serambi Kisra dan terus terjaga. Beliau juga tinggal di reruntuhan al-Karkh dan bahkan oleh orang awam beliau dianggap sebagai orang gila (junun). Selama periode latihan ini beliau terus beribadah tanpa henti-henti dan tak mengizinkan hawa nafsunya menguasai dirinya. Selama khalwat ini beliau tanpa sadar telah menempuh ribuan kilometer dalam waktu singkat. Beliau mengalami ribuan keadaan spiritual. Keadaan spiritual itu (ahwal) dialaminya secara tak terduga. Beliau sendiri menceritakan, “Suatu ketika suatu aku mengalami keadaan spiritual (hal) saat aku berada di daerah Baghdad. Aku lari selama satu jam tanpa sadar. Saat aku sadar, aku berada di Shashtar, yang jaraknya dua belas hari perjalanan dengan jalan kaki. Saat berada di sana aku merenungkan keadaanku, dan tiba-tiba seorang perempuan mendatangiku dan berkata, “Mengapa engkau heran padahal engkau adalah Abdul Qadir?”

Beliau juga menceritakan sendiri bahwa beliau pernah berada dalam keterasingan penuh selama 15 tahun di gurun pasir Irak. Selama 40 tahun beliau melakukan shalat subuh dengan wudhu shalat Isya, yang berarti beliau beribadah sepanjang malam sampai subuh. Setelah shalat Isya beliau biasa mengkhatamkan al-Qur’an sambil berdiri dengan satu kaki dan tangan diikat di tiang agar tidak tertidur – dan khatam pada saat fajar merekah.

Beliau juga sering harus berkelahi dengan setan dan iblis selama masa khalwatnya. Beliau pernah diserang oleh gerombolan setan dengan berbagai bentuk yang menyeramkan. Beliau pernah diikuti oleh setan yang mengancamnya. Tetapi beliau kemudian menamparnya dan mengucapkan kalimat la hawla wala quwwata illa billahil aliyyil adhim dan setan itu pun terbakar. Iblis pernah mencoba menipunya dengan mendatanginya dalam bentuk cahaya terang dan mengaku sebagai Tuhan dan mengatakan bahwa Syekh Abdul Qadir bebas melakukan apa saja karena dengan kedudukan spiritualnya yang tinggi maka syari’at sudah tak berlaku baginya. Syekh Abdul Qadir dengan segera melempar iblis itu dengan sandal dan mengusirnya. Beliau juga mendapat anugerah melihat isi batinnya sendiri dalam suatu bentuk. Beliau pernah melihat hatinya masih tergantung pada beberapa hal. Beliau kemudian diberi tahu bahwa hal-hal yang menjeratnya itu adalah kehendak pribadi (iradat) dan preferensi personal (ikhtiyarat). Karenanya beliau mencurahkan waktu selama setahun untuk mengatasi gangguan ini. Beliau pernah berniat meninggalkan kota Baghdad karena merasa terlalu banyak godaan. Tetapi saat sampai di Bab al-Halba beliau mendengar suara yang melarangnya pergi, dan mengatakan bahwa beliau akan menjadi pemimpin umat di kota itu.

Suatu ketika beliau berjumpa dengan Rasulullah pada waktu Zuhur. Rasul bertanya kepadanya mengapa beliau tidak bicara ke khalayak. Syekh Abdul Qadir menjawab bahwa dirinya bukan orang Arab, jadi bagaimana mungkin bisa bicara bahasa Arab dengan fasih di Baghdad. Kemudian Rasulullah menyuruh Syekh Abdul Qadir membuka mulutnya, lalu Rasul meludah ke mulutnya sebanyak tujuh kali. Kemudian Rasulullah berkata, “Engkau harus berdakwah kepada umat dan mengajak mereka ke Jalan Allah dengan cara bijak dan dengan nasihat yang baik.” Kemudian beliau shalat zuhur bersama beberapa orang, namun seusai shalat beliau tidak bisa bicara. Tiba-tiba beliau melihat Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, yang juga menyuruhnya membuka mulut. Sayyidina Ali kemudian meludah ke mulutnya sebanayk enam kali. Ketika Syekh Abdul Qadir bertanya mengapa tidak tujuh kali, Sayyidina Ali menjawab, “Demi menghormati Rasulullah,” lalu Sayyidina Ali menghilang.

Setelah itu beliau mulai menjalankan tugas di tengah-tengah umat. Khutbahnya menarik banyak perhatian, dan jamaahnya pun terus bertambah seiring dengan makin tenarnya reputasi Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Orang-orang dari Mesir, Mesopotamia, Persia dan wilayah lain datang berduyun-duyun ke majelisnya. Dalam satu kesempatan konon beliau pernah berkhutbah di depan 70,000 orang. Beliau menyampaikan khutbah tiga kali seminggu – hari Selasa sore dan Jum’at pagi di madrasahnya, dan hari Ahad (Minggu) di ribathnya (pondok spiritual). Bahkan penganut Yahudi dan Kristen pun ikut mengikuti pengajiannya dan banyak dari mereka yang tersentuh dan akhirnya masuk Islam. Selama hidupnya beliau terus mengajar dan berkhutbah selama 40 tahun (521-561 H atau 1127-1165 M). Beliau menikah pada usia 51 tahun dan dikaruniai 49 anak.

Ajaran Syekh Abdul Qadir berakar pada pemahaman dan pengalaman spiritualnya. Kehidupan ruhani yang baik tidak akan tercapai tanpa perjuangan melawan hawa nafsu dan menjalankan syariat. Secara umum ajaran-ajarannya adalah mengajak orang untuk memurnikan akidah, bertakwa dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW sebisa mungkin. Kehidupan yang mulia adalah hidup dalam ketakwaan. Beliau mengajak umat untuk senantiasa bertaubat, zuhud, jujur, tawakal, syukur dan ridha atas ketentuan Tuhan. Murid harus selalu waspada dengan apa-apa yang terbersit di pikirannya (khatirat) karena itu akan sangat mempengaruhi kemajuan ruhaninya.

Beliau berpendapat bahwa khatirat (lintasan pikiran) berasal dari enam sumber: hawa nafsu, setan, ruh, malaikat, akal dan keyakinan. Untuk membedakan sumber-sumber pikiran itu diperlukan bashirah (visi spiritual) yang hanya bisa dicapai dengan mensucikan jiwa dan hati. Kemajuan seseorang di jalan spiritual sebagian besar tergantung pada sejauh mana visi spiritualnya mampu menelaah dan membedakan sumber-sumber pikiran yang terbersit di benaknya. Untuk itu beliau mengajarkan 10 prinsip yang bisa membantu seseorang dalam perjalanan ruhaninya: (1) tidak membicarakan aib orang lain; (2) tidak berprasangka buruk; (3) tidak bergunjing; (4) tidak memandang hal-hal yang dilarang; (5) selalu berkata benar; (6) selalu bersyukur; (7) banyak bersedekah; (8) tidak mengejar harta dan tahta duniawi; (9) selalu melaksanakan kewajiban shalat dan ibadah lainnya, baik wajib maupun sunnah; dan (10) mengikuti sunnah Nabi dan menjalin silaturahmi.

Menurut beliau, untuk mencapai kedudukan ruhani yang tinggi, seseorang harus melewati empat tahap spiritual. Pertama adalah yakin kepada Allah dan menjalankan perintah-Nya dengan baik. Kedua adalah berada di ambang kesucian hati dengan menahan diri dari segala hal yang dilarang dan mewaspadai lintasan-lintasan pikiran (khatirat). Ketiga adalah keadaan tawakal, yakni berserah diri sepenuhnya kepada Allah. dan terakhir adalah fana, yang kemudian sampai pada baqa. Pada akhirnya setelah melalui perjuangan spiritual ini, seseorang akan melihat Kekuasaan dan Keindahan Tuhan.
Mengenai pendapatnya tentang peran syekh atau guru spiritual, beliau membandingkan syekh spiritual dengan seorang ibu yang memberi susu kepada bayinya. Syekh dibutuhkan selama murid masih dikuasai oleh hawa nafsu dan niat yang tidak ikhlas. Jika ia sudah berhasil melampaui hasrat yang buruk, maka peran syekh akan semakin berkurang. Ada saat di mana syekh mesti “menyapih” muridnya. Dalam tarekatnya, peran Syekh Mursyid adalah vital, karena dialah yang akan membimbing amalan murid-murid untuk menggapai ma’rifat.

Tarekat Qadiriyyah sebenarnya “diorganisasikan” oleh putranya, Abdul Wahab dan Abdul Razaq. Sebagaimana tarekat pada umumnya, amalan utamanya adalah zikir, terutama zikir jahr (dengan suara keras) dengan kalimat nafy-itsbat (la ilaha illa Allah). Ada kaifiyyat (tata-cara) tertentu dalam melaksanakan zikir ini – misalnya dengan mengucapkan laa sambil membayangkan sebuah garis yang ditarik dari bawah pusar, kemudian ilaha sambil membayangkan menarik garis imajiner ke dada kanan dan akhirnya illa Allah dengan membayangkan garis imajiner menuju ke dada sebelah kiri, di mana kata “Allah” diucapkan dengan keras seolah-olah hendak dihujamkan ke lubuk hati yang paling dalam, tempat di mana Allah bersemayam. Zikir ini dapat dilakukan secara berjamaah atau sendiri-sendiri.

Bagi para ikhwan tarekat, kisah karamah Syekh Abdul Qadir al-Jailani sudah tak asing lagi dan karamah yang muncul sangatlah banyak sehingga membutuhkan satu buku tersendiri untuk menceritakan semuanya. Berikut sedikit contoh kisah karamahnya. Alkisah, suatu hari, saat beliau sedang berkhutbah di majelisnya, tiba-tiba beliau melayang ke atas dan berseru “Ya Isra’ili, mampir dan dengarlah perkataan umat Muhammad!” Kemudian Syekh Abdul Qadir turun kembali ke tempat semula. Ketika kemudian ditanya apa yang sedang terjadi, beliau menjawab bahwa Nabi Khidir sedang terbang di atas majelis, dan karenanya beliau terbang ke atas untuk mengajaknya mengikuti pengajiannya. Dalam kisah lain, Syekh Abdul Qadir terlihat berjalan di atas air sungai Tigris, dan dari air muncul ikan-ikan yang memberinya salam. Pada waktu zuhur tiba, tiba-tiba di atas sungai melayang sebuah sajadah besar berwarna hijau yang dihiasai emas dan permata. Lalu muncul sekelompok ksatria yang berpenampilan gagah dan tampan dan memancarkan kedamaian. Kemudian Syekh Abdul Qadir al-Jailani menjadi imam bagi mereka semua di atas sajadah raksasa yang melayang di udara itu. Beliau juga pernah menjamu empat pemimpin Gunung Qaf, sebuah wilayah gaib. Bahkan seorang muridnya pernah melihatnya memberi salam kepada rijal al-ghaib dari selepas Isya sampai Subuh, yang menunjukkan tamu-tamunya dari alam gaib sangatlah banyak. Beliau bahkan bisa berbicara dengan “wujud” dari hari, bulan dan tahun – hari atau bulan akan datang kepada beliau dalam bemtuk wujud dan menceritakan semua hal yang akan terjadi pada hari atau bulan yang datang kepada beliau. Dan masih banyak lagi kisah karamahnya, seperti menghidupkan hewan yang mati, menolong orang yang berada di tempat yang jauh, memindahkan takdir manusia ke dalam mimpinya, terbang, melipat jarak dan waktu, mengubah benda menjadi benda lain, dan sebagainya.

Kekuatan dan berkah spiritualnya juga dahsyat, dan juga dikaruniai keistimewaan untuk memberi syafaat. Seorang muridnya mampu melihat keadaan seluruh penghuni kuburan dan alam malaikat, mendengar zikir dengan bermacam-macam bahasa, melihat tulisan-tulisan yang tertera di dahi manusia, berkat barakah spiritual Syekh Abdul Qadir. Barakahnya juga dicari-cari oleh orang-orang yang mempelajari ilmu kesaktian, seperti ilmu kebal. Beliau pernah berkata, “Tuhanku Yang Maha Kuasa telah menjanjikan kepadaku bahwa Dia akan mengangkat siksa atas semua orang Muslim yang pernah melewati pintu madrasahku.”

Ketika Syekh Abdul Qadir al-Jailani melontarkan ucapan khawariq “Kakiku berada di atas bahu para Wali Allah,” para hadirin, yang terdiri dari para Syekh Wali Allah dari Irak dengan serta merta mendekat kepada Syekh Abdul Qadir untuk diinjak oleh beliau. Di antara yang hadir itu antara lain: Syekh Ali ibn al-Haiti; Syekh Baqa ibn Batu; Syekh Abu Sa’id al-Qilawi; Syekh Musa ibn Mahin (Mahan); Syekh ABU NAJIB AS-SUHRAWARDI; Syekh Abu al-Karam; Syekh Abu Umar wa Utsman al-Qurashi; Syekh Mukarim al-Akbar; Syekh Matir; Syekh Jagir; Syekh Khalifa; Syekh Sadaqa; Syekh Yahya al-Murta’ish’ Syekh adz-dziya Ibrahim al-Jawni; Syekh Abu Abdillah Muhammad al-Qawzini; Syekh Abu Umar wa Utsman al-Bataihi; Syekh Qadib al-Ban; Syekh Abu al-Abbas Ahmad al-Yamani; Syekh Abu al-Abbas ash-Shawki (Wali Allah yang terkenal karena biasa melakukan perjalanan dengan kendaraan gaib); Syekh Sultan al-Muzayyin; Syekh Abu Bakr ash-Shaibani; Syekh Abu Abbas Ahmad ibn al-Ustadh; Syekh Abu Muhammad al-Kawsaj; Syekh Mubarak al-Humairi; Syekh Abu al-Barakat; Syekh Jamil Sahib al-Khatwa wa az-Zaqa’; Syekh al-Qadi Abu Ya’la al-Farra’; dan masih banyak lagi. Menurut keterangan, setelah Syekh Abdul Qadir mengucapkan perkataan itu, Syekh Ali ibn al-Hiti langsung berdiri lalu naik ke mimbar tempat Syekh Abdul Qadir duduk, lalu beliau memegang kaki Syekh Abdul Qadir, meletakkannya di pundaknya, dan kepalanya tunduk di bawah kelim jubahnya. Semua syekh yang hadir mengikuti tindakan itu.
Sezaman dengan Syekh Abdul Qadir, dii wilayah Barat juga ada wali besar, Syekh Abu Madyan (yg juga guru ruhani Syekh Akbar Ibn Arabi al-Hatimi, pencetus gagasan wahdat al-wujud). Sebagian berpendapat bahwa pada masa itu ada dua wali besar yang tak tertandingi, Syekh Abdul Qadir di Timur, dan Syekh ABu Madyan di Barat. Namun dalam salah satu riwayat dalam tradisi Qadiriyyah, dikatakan bahwa Syekh Abu Madyan pada awalnya tidak begitu peduli dengan ucapan syatahat itu, namun dalam suatu keadaan mistis beliau mendapat ilham agar memberikan bahunya untuk diinjak oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

Menurut keterangan beberapa ulama, perkataan Syekh Abdul Qadir itu menunjukkan pernyataan tegas atas maqam keunikan (fardiyya). Di antara kelompok Wali semacam ini, hanya Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang diperintahkan oleh Allah untuk mengucapkan perkataan itu. Karenanya, para syekh sesungguhnya tidak sujud kepada sosok Syekh Abdul Qadir tetapi bersujud dan patuh pada “Perintah Ilahi” itu. Hal ini sama seperti kasus malaikat yang diperintahkan bersujud kepada Nabi Adam.

Menurut Syekh Syihabuddin Ibn Hajar al-Asqalani, “Kejadian khawariq al-adah (karamah, ucapan syathahat, dan keajaiban-keajaiban di luar rasio dan hukum sebab-akibat) benar-benar bisa dialami oleh manusia. Ini adalah kenyataan, dan hanya orang yang bodoh dan keras kepala yang mengingkarinya. Para Wali Allah agung sudah menjelaskan kriteria untuk membedakan kejadian ajaib yang bersumber dari Allah dan yang bersumber dari Iblis. Jika kejadian semacam ini terjadi pada seseorang yang jelas lurus agamanya, maka ia disebut karamah, seperti dalam kasus Syekh Abdul Qadir al-Jailani.”

Tarekat Qadiriyyah yang didirikannya segera menyebar ke segala penjuru dunia. Banyak murid-murid Syekh Abdul Qadir yang menduduki maqam spiritual yg tinggi dan menjadi mursyid di berbagai penjuru dunia Islam, dari Baghdad, wilayah Transoxania, India, hingga ke Asia Tengah dan Asia Tenggara…

selanjutnya

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.