TASAWWUF DAN PERKEMBANGANNYA 04

Barangkali bagi kita yg menetap di kawasan Asia Tenggara tak banyak mengenal wali besar kawasan Barat yg bernama Abu Madyan tersebut, karena pengaruh Syekh Abdul Qadir Jailani yg hidup sezaman dengannya lebih dominan di sini. Sesungguhnya Abu Madyan adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Tasawuf yg membentuk lanskap ruhani di kawasan maghribi.
Abu Madyan, yang diyakini menempati peringat Qutb al-Awliya al-Ghauts al-Adhim, juga diakui sebagai Syaikh al-Masyayikh (Gurunya para guru). Beliau hidup sezaman dengan Wali agung lainnya, Syekh IBN ‘ARABI, dan bahkan Ibn Arabi berguru kepadanya secara spiritual, karena keduanya tidak pernah bertemu secara fisik – tetapi Syekh Ibn ‘Arabi sempat menziarahi makamnya di Tlemcen. Syekh Abu Madyan ini juga mempunyai murid lain yang kelak juga menjadi Qutub, Syekh ABDUS SALAM IBN MASYISY, guru dari Syekh Abu Hasan Syadzili, pendiri tarekat Syadiziliyyah. Abu Madyan boleh dikatakan telah membentuk kecenderungan utama aliran Tasawuf di kawasan maghribi.

Syekh Abu Madyan pertama kali dibaiat ke jalan Sufi oleh Syekh Abdullah al-Daqaq, seorang sufi eksentrik yang sering berkeliaran di jalan-jalan dan berteriak mengaku-aku dirinya Wali Allah, dan oleh Syekh Abu Hasan al-Salawi, seorang sufi misterius. Kepada Syekh al-Daqqaq, seorang Wali Allah yang aneh dan luar biasa, Abu Madyan mendalami kandungan kitab Tasawuf penting, ar-Risalah karya ABU AL-QASIM AL-QUSYAIRI. Syekh Abu Madyan juga berteman dan berguru kepada Syekh AHMAD RIFA’I, seorang Wali Qutub pendiri Tarekat Rifa’iyyah di Irak. Meski disebut2 ketenaran dan signifikansinya sejajar dengan Syekh Abdul Qadir Jailani, Syekh Abu Madyan mengakui dan tunduk pada ucapan syatahat Syekh Abdul Qadir Jailani, “Kakiku berada di atas bahu Awliya Allah” dan salah satu riwayat mengatakan beliau menerima ijazah ruhaniah dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

Melalui jalur Abu Madyan inilah di kawasan maghribi muncul sufi-sufi besar yg menjadi poros2 utama kewalian di kawasan maghribi dan sekitarnya. Syekh Ahmad Rifa’i, guru dari Syekh ABu Madyan, juga dikenal sebagai sufi yg eksentrik. Tarekatnya dianggap agak aneh karena cara zikirnya yang terdengar seperti meraung atau seperti suara gergaji. Pengikut Tarekat Rifaiyyah belakangan lebih dikenal karena kekuatan dan keajaiban-keajaiban mereka, seperti kebal senjata, kebal racun dan sebagainya. Tentu saja, efek-efek ini menyebabkan tarekat ini rawan diselewengkan oleh orang-orang yg tidak bertanggung jawba, sehingga sebagian sufi secara tegas mengecam penyimpangan tersebut tersebut. Namun apapun penyelewengan itu, ajaran dan amalan Syekh Ahmad Rifai sesungguhnya adalah amalan tarekat yang mu’tabar, atau sesuai dengan Qur’an dan Sunnah Nabi.
Jadi pada periode sesudah Syekh ABu Hamid al-Ghazali ini mulai berkembang bentuk baru organisasi tarekat yang strukturnya lebih kompleks. Perkembangan ini barangkali adalah keniscayaan sebab pada masa itu mulai banyak sekali orang Islam yg menempuh jalan ruhani (tasawuf). Sebagaimana lazimnya sesuatu yang menjadi besar, selalu ada penyimpangan-penyimpangan yg dilakukan oleh sufi-sufi palsu. Karenanya, sebagian syekh Sufi merasa perlu “melembagakan” ajarannya dalam satu wadah di mana otoritas mursyid yg kamil-mukammil bertindak sebagai pembimbing sekaligus penjaga agar pengikut mereka tidak menyeleweng. Tetapi itu bukan berarti bahwa sufi-sufi yang berada di luar organisasi tarekat tidak menjalankan amalan tarekat – sebab tarekat dalam pengertian yg lebih umum adalah “Jalan” ruhani itu sendiri.

Apapun efeknya, organisasi tarekat telah membuka kesempatan baru bagi orang-orang Islam yang tidak menemukan akses ke wali-wali Allah yg biasanya tersembunyi. Kemunculan wali-wali masyhur di dalam organisasi tarekat menambah semarak perkembangan keruhanian Islam. Sebagian dari alasan meningkatnya popularitas tarekat paada saat itu adalah karena kondisi sosial politik di dunia ISlam sedang mengalami pergolakan hebat, setelah pasukan Salib mulai merangsek ke wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam. Banyak murshid-murshid tarekat dan sufi-sufi individual yg terlibat langsung dalam peperangan itu. Syekh Abu Madyan, misalnya, ikut membantu perang melawan tentara Salin dari kelompok pasukan Perancis di sekitar Maroko, dan berperan penting dalam kemenangan pasukan Islam di sana. Kaum sufi, baik di dalam dan di luar organisasi tarekat, berdasar fakta sejarah sesungguhnya berperan penting dalam pengembangan potensi ekonomi, sosial, poliitk dan ilmu pengetahuan di dalam peradaban Islam. Namun peran sosial mereka yg penting itu sering terlupakan, atau sengaja disembunyikan oleh kelompok anti-Tasawuf – terutama karena kebanyakan pengikut tarekat atau sufi yang terkenal lebih menonjol dalam bidang keruhanian dan lebih ketat dalam menjalani kehidupan yg zuhud, serta karena karamah-karamah mereka lebih memikat untuk dikisahkan ketimbang peran ekononi dan sosial-politik mereka.Peran-peran sosial atau peran “horisontal” mereka semakin jelas dalam perkembangan sesudah tahun 1100-an M.

Selain perkembangan tarekat-tarekat, dunia Tasawuf juga diwarnai oleh perkembangan pemikiran mistis/makrifat yang luar biasa. Periode menjelang abad 13 M, atau akhir era 1100-an adalah era di mana hampir semua bidang peradaban Islam sedang mengalami kejayaan sekaligus melahirkan benih-benih bayang-bayang kesuraman peradaban Islam. Kemajuan sisi lahiriah di bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan sebagainya diimbangi oleh lahirnya kemajuan ruhani. Namun pada masa ini perkembangan paling menonjol selain tarekat adalahmunculnya sufi-sufi besar yang menulis literatur yang “abadi,” yang sangat memengaruhi dunia Tasawuf dan dunia Islam pada umumnya sampai ke abad 21 – dan barangkali akan masih terus berpengaruh hingga di abad-abad mendatang. Tokoh-tokoh sufi yang agung pada periode ini antara lain Fariduddin Attar (wafat 1220), Ibn al-Farid sang penyair mistis (wafat 1235), Syekh Akbar Ibn Arabi, penggagas “konsep” wahdatul wujud, Jalaluddin Rumi sang penyair cinta mistis terbesar sepanjang sejarah Islam (w. 1273) dan al-Iraqi, penyair penerus tradisi wahdatul wujud.

Pada tanggal 28 Juli 1165 lahirlah seorang anak manusia yang kemudian dikenal sebagai Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn al Arabi al Ta’i al Hatimi atau lebih populer dengan nama Ibn Arabi. Beliau dikemudian hari lebih dikenal sebagai seoarang sufi dari andalusia, dan diberi gelar Muhyidin (Penghidup agama) dan Syaikh al Akbar (Syaikh Agung). Karya karya yang lahir darinya terutama dari dua kitabnya yang monumental Fushush al Hikam dan Futuhat al Makkiyyah telah mempengaruhi sudut pandang kaum muslimin dalam memahami agamanya, yang diridhai Allah (Islam). Pemikiran Ibn Arabi adalah pemikiran yang telah mempengaruhi salah satu cara pandang kita dalam melihat otosentisitas Islam (Tauhid).

Gagasan gagasan dasar ajaran Ibn Arabi telah menimbulkan reaksi yang luas di kalangan kaum muslimin, yang pro maupun yang kontra. Yang tidak setuju menuduh bahwa ajarannya merupakan panteisme. Yang pro justru menganggap ajaran ini merupakan ajaran yang tinggi dan sangat radikal dalam interpretasinya mengenai tauhid. Ibn Arabi lebih dikenal sebagai tokoh ajaran wahdatul wujud, yang sering disalah tafsirkan sebagai ajaran yang menekankan pada aspek imanensi mutlak Tuhan.
Namun sesungguhnya Ibn Arabi tidak menekankan imanensi Tuhan semata, namun juga transendensi-Nya. Menurut beliau: dilihat dari sisi tasybih, Tuhan adalah identik, atau lebih tepat seruap dan satu dengan alam walaupun kedua duanya tidak setara karena Dia, melalui nama nama Nya, menampakkan diri Nya dalam alam. Tetapi dilihat dari sisi tanzih, Tuhan berbeda sama sekali dengan alam karena Dia adalah Dzat Mutlak yang tidak terbatas, di luar alam nisbi yang terbatas. Ide ini dirumuskan oleh ibn Arabi dengan ungkapan singkat ‘huwa la huwa’. Tuhan adalah imanen (tasybih) dan transenden (tanzih) sekaligus.

Dalam doktrin wahdat al wujud Tuhan betul betul esa karena tidak ada wujud, yaitu wujud hakiki kecuali Tuhan; wujud hanya milik Tuhan. Alam tidak lebih dari penampakan Nya. Doktrin ini mengakui hanya satu wujud atau realitas karena mengakui dua jenis wujud atau realitas yang sama sekali independen berarti memberikan tempat kepada syirik atau politeisme. Doktrin wahdat al wujud ibn Arabi mempunyai posisi yang kuat karena didukung oleh atau bersumber dari ayat ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi saw.

Wahdat al Wujud Menurut Syaikh Akbar Ibnu al Arabi benar benar merupakan pemikiran genius di zamannya. Karya karyanya telah membuktikan hal itu. Ibn al Arabi mengungkapkan ajaran ajaran dan berbagai pandangan genarasi sufi yang mendahuluinya secara sistematis dan rinci. Ibn Arabi adalah jembatan atau penghubung antar dua fase historis Islam dan tasawuf dan penghubung antara tasawuf Barat dan Timur.

Menurut Ibn Arabi, dalam hadis Qudsi, Allah berfirman, Aku adalah harta simpanan tersembunyi, karena itu Aku rindu untuk dikenal. Maka aku ciptakan makhluk, sehingga melalui Ku mereka mengenal Ku. [hadits Qudsi] Allah adalah “harta simpanan tersembunyi” (kanz makhfiyan), yang tidak dapat dikenal kecuali melalui alam. Maka alam adalah cermin bagi Tuhan, yang dengannya Ia mengenal dan memperkenalkan ‘Wajah Nya’. Kanz makhfi, dengan demikian adalah ‘Yang ‘Tersembunyi dari Yang Tersembunyi’, Dzaat, yang tidak dapat dijangkau oleh siapapun ditinjau dari segi Dzaat Nya. Misteri Dzaat, yang tersembunyi ini berakibat “kerinduan” dan “kesepian”. Dalam “kerinduan” dan “kesepian” primordial ini membuat Dia rindu untuk dikenal. Maka Ia pun ber ‘tajalli’. Tajalli Al Haqq adalah penampakan diri Nya dengan menciptakan alam. Tajalli Al Haqq terjadi dalam bentuk bentuk yang tidak terbatas jumlahnya. Alam berubah setiap saat, terus menerus tanpa henti. Setiap waktu Dia dalam kesibukan (Q.S.55;29). Seperti yang dikatakan oleh Ibn Arabi; “Sesungguhnya Allah Subhanahu selama lamanya tidak melakukan tajalli dalam satu bentuk bagi dua individu atau pribadi, dan tidak pula dalam satu bentuk dua kali.”

Tajalli Nya adalah pemberian Nya yang telah ditetapkan sejak Azali, persis seperti yang ada dalam A’yan tsabitah, Pengetahuan Abadi dalam Hakikat Tuhan. Jadi hakikat yang sebenarnya dari setiap segala sesuatu yang berasal dari tajaliyyat Nya selalu ada, yakni dari dalam kedalaman batin Wujud Nya (Potensi Abadi Nya), yang merupakan Ilmu Nya (pengetahuan Nya) yang tetap dan abadi (a’yan tsabitah). Dari sudut padang ini, dunia pada hakekatnya merupakan perwujudan (manifestasi) Tuhan, namun dalam Diri Nya, yakni dalam Dzat Nya, Dia terlepas dari setiap perwujudan itu sendiri. A’yan tsabitah pada dasarnya hanyalah potensi abadi yang karena sifatnya itu ia bisa menjadi aktual atau bisa juga tidak. Karenanya, ‘Kemungkinan’ (Potensialitas) itulah yang sesungguhnya nyata. Dan karena itulah, a’yan tsabita tetap tidak berubah dan “tidak ada” secara aktual dalam ilmu Tuhan. Meskipun disifati dengan kepermanenan, ia tidak disifati dengan wujud, yakni ia tetap dalam keadaan yang disifati dengan ketiadaan yang dimiliki oleh yang mungkin, bukan oleh yang tidak mungkin. Jadi, A’yan tsabita, dalam ketiadaannya siap menerima wujud. (Fusus al Hikam). Dalam Futuhat al Makiyyah mengenai hal ini dikatakan:

Ilmu Al Haqq tentang Diri Nya sama dengan ilmu Nya tentang alam karena alam selama lamanya disaksikan Nya, meskipun alam disifati dengan ketiadaan. Sedangkan alam tidak disaksikan oleh dirinya [sendiri] karena ia tidak ada. Ini adalah lautan tempat binasanya para pemikir teoritis, yaitu orang orang yang tidak diberi kasyaf. Diri Nya selama lamanya ada, maka ilmu Nya selama lamanya ada pula. Ilmu Nya tentang Diri Nya adalah ilmu Nya tentang alam;karena itu ilmu Nya tentang alam selama lamanya ada. Jadi Dia mengetahui alam dalam ketiadaannya. Dia mewujudkan alam menurut bentuk Nya dalam ilmu Nya. Karena itu, alam tidak pernah ada ‘diluar’ Tuhan yakni; tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan sifat sifat dari a’yan, dan tidak ada sesuatu pun dalam adam [ketiadaan] kecuali entitas entitas mumkinat (kemungkinan) yang dipersiapkan untuk diberi wujud. (Futuhat)
Dengan demikian, alam semesta dan semua yang terkandung di dalamnya adalah wujud, dan pada saat yang sama adalah tak berwujud (adum). Dengan cara yang sama, Tuhan selalu meliputi alam dan juga mengatasi alam. Dia sekaligus transenden dan imanen, tanzih dan tasybih, seperti yang dikatakan oleh Ibn Arabi sendiri:

Allah Ta’ala berfirman, Laysa kamitslihi bi syai, maka dengan demikian Dia menyatakan Tanzih Nya; wa huwa al sami’al bashir, maka dengan demikian Dia menyatakan Tasybih Nya.
Gaung gagasan Ibn Arabi melampaui batas-batas geografis dunia Islam. Gagasannya dengan cepat menyebar dari Afrika sampai ke anak benua India, kemudian masuk ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia. Sebagian pengikut Ibn ‘Arabi di era yg lebih modern menyebarkannya ke Eropa dan Amerika, hingga ke Amerika Selatan dan Amerika Latin. Di Inggris didirikan Ibn Arabi Society, yang berpusat di Oxford. Sebelumnya, Rauf dari Turki mendirikan Beshara, dan Rauf sendiri menerjemahkan sebagian karya Ibn Arabi, terutama Fusush al-Hikam ke dalam bahasa Inggris.
Selain memengaruhi kajian spiritualitas Islam, gagasan Ibn Arabi juga memengaruhi filsafat Islam pada umumnya, seni Islam (arsitektur, musik, dan sastra) dan sebagainya. Salah satu contoh luar biasa dari penerapan gagasan kosmologi mistis Ibn Arabi ke dalam wilayah aristektur adalah bangunan Taj Mahal di India. Bangunan indah ini dibangun berdasarkan prinsip keselarasan geometris struktur kosmos ruhani dan makrokosmos lahiriah dan perhitungan astronomi yang rumit.


Meskipun karya-karya Ibn Arabi begitu sulit dan terkesan sangat filosofis dan akademis, namun sesungguhnya karya-karya Ibn Arabi dapat dikategorikan sebagai sebentuk sastra ruhani. Kitab seperti Fusush al-Hikam, Futuhat al-Makiyyah disusun dalam gaya yang “tidak beraturan” atau tak sistematis. Fusush al-Hikam adalah karya ringkas dan sangat padat dengan ekspresi yang indah. Karya ini menyatukan tema-tema besar dari metafisika Ibn Arabi. Karena gayanya yang simbolik dan indah, karya ini menjadi karya kontroversial, hingga tak sedikit yg menuduh Ibn Arabi menyebarkan ajaran yg sesat. Kritik ini datang dari berbagai kalangan, mulai dari masa Ibn Taimiyyah hingga sekarang.

Pengikut Syekh Akbar Ibn Arabi mengatakan bahwa Fusush al-Hikam adalah kitab ringkas paling berharga dari Syekh Ibn ‘Arabi, salah satu kitab lengkap terakhir yang ditulis berdasarkan ilham Ilahiah saat beliau berada di maqam yang diistilahkannya sebagai “Maqam Muhammadiyyah.” Karenanya, menurut penerus dan putra angkatnya, Syekh Sadruddin Qunawi, kitab ini memuat pengetahuan tentang persepsi ruhani atau dzawq dari Rasulullah SAW. Kitab ini juga memuat keterangan yang padat dan penuh perlambang dari sumber-sumber ruhani dari setiap Nabi yang disebutkan di dalamnya. Di dalamnya dijelaskan berkah dan makna dari dzawq kenabian, tujuan dan ilham masing-masing nabi, ringkasan dari pencapaian ruhani para nabi dan hasil dari kesempurnaan yang diraih oleh para nabi, dan semua itu hanya bisa dipahami dengan sempurna oleh orang-orang yang memiliki bashirah, para arif billah. Jadi, kitab ini semacam cap atau segel untuk segala sesuatu yang ada di dalamnya.

Mengingat para Sufi, dan khususnya Ibn Arabi dalam kasus ini, lebih mengutamakan ajarannya pada dua pilar utama Islam – Qur’an dan hadits – dan pada pemahaman syariat yang disertai dengan penyingkapan ruhani (kasyaf), maka penjelasan metafisika, kosmologi, spiritual dan moral (akhlaq) di dalamnya diberikan di dalam kerangka Nama dan Sifat Tuhan (al-asma wa al-sifat al-ilahiyyah).
Karena kitab ini ditulis oleh Ibn Arabi saat beliau di “Maqam Muhammad”, dan karena Nabi Muhammad adalah nabi terbesar dan terakhir, maka maqamnya meliputi segala kesempurnaan yang dimiliki oleh nabi-nabi lain; kesempurnaan nabi-nabi lain, menurut perspektif ini, tak lain adalah refraksi atau pantulan yang beraneka-warna dari cahaya Nabi (haqiqat al-Muhammadiyyah, Nur Muhammad). Maka, Fusush al-Hikam tidak tersusun secara “logis.”

Jika kita membacanya secara keseluruhan, maka tampak kesan bahwa kitab ini tidak tertata secara sistematis dan tidak mengandung kontinuitas atau kesinambungan antar bab. Karenanya, menurut Sadruddin Qunawi, untuk memahami isi kitab ini, (dan juga kitab Futuhat al-Makiyyah) seseorang membutuhkan pemahaman tentang akar dari dzawq (persepsi spiritual) Syekh al-Akbar Ibn Arabi dan limpahan nur keilmuan yang dimiliki oleh Syekh al-Akbar; dengan kata lain, ia harus mendapat bimbingan dari Syekh Akbar atau penerusnya yang telah mendapat “ijazah” atau otoritas untuk mengajarkannya.

Setiap bab dalam Kitab Fusush al-Hikam menjelaskan peran dan makna ruhani nabi tertentu, atau inti dari hikmah Ilahiah yang diwakili oleh nabi tertentu – dalam kitab ini disebutkan 27 Nabi, diawali dengan Inti Hikmah Ilahiah dari (Logos) Adam, dan diakhiri dengan Inti Hikmah Keesaan (atau Universalitas) dari Muhammad.

Nabi adalah “ayat” langsung dari Allah yang dikirim untuk tujuan tertentu. Mereka diutus untuk memberi “kabar” (naba), sehingga para nabi adalah ayat yang paling jelas dalam mengungkapkan Keberadaan Tuhan dibanding ayat-ayat lain. Ibn Arabi menerjemahkan gagasan ini dengan menyatakan bahwa para nabi adalah tempat dari perwujudan Nama-Nama Ilahi Universal (asma-al-Husna), yang jumlahnya disebutkan 99, bukan perwujudan Nama Ilahi khusus, yang jumlahnya tak terhitung. Karenanya, membahas atau mempelajari para nabi dan ajarannya sama artinya dengan membahas bagaimana Nama-nama Tuhan itu bekerja di alam semesta.

.Al-Qaysari, salah satu penafsir utama Ibn Arabi, mengatakan, “Jika kita mengartikan fass sebagai inti, maka inti dari masing-masing hikmah itu merupakan inti ilmu rahasia Ilahiah yang diaktualisasikan oleh ruh dari nabi tertentu; ilmu rahasia Ketuhanan ini terkandung di dalam Asma Ilahi yang mendominasi nabi tertentu. Jika fass kita artikan cap atau segel, maka segel dari setiap hikmah Ilahiah ini adalah hati (dari nabi). Segel ini menjaga kandungan terdapat pengetahuan ilahiah khusus yang dianugerahkan ke dalam hati dari masing-masing nabi.” Dengan kata lain, kitab ini mengandung ilmu rahasia tentang inti dari fungsi para nabi yang disebutkan di dalam kitab Fusush al-Hikam.

Magnum opus kedua, Futuhat al-Makiyyah oleh sebagian kalangan Sufi disebut sebagai “kitab teragung tentang ilmu ini (tasawuf) yang pernah ditulis … dan paling istimewa dari segi kandungan dan keluasannya.” Seperti Kitab Fusush, kitab Futuhat juga tidak beraturan dalam hal susunan struktur babnya. Bab satu dengan bab lainnya tidak saling berhubungan, atau melompat-lompat dan tidak menunjukkan korelasi yang logis atau tidak menunjukkan kesinambungan pemikiran. Barangkali penyebabnya adalah seperti yang dikatakan oleh Ibn ‘Arabi sendiri, “Aku tak menulis satu hurufpun di kitab ini selain yang didiktekan oleh Tuhan.” Dengan kata lain, kitab ini ditulis berdasarkan dikte yang diperintahkan oleh Tuhan, dan karenanya Ibn Arabi tidak melibatkan pemikirannya sendiri dalam penyusunannya – kitab ini murni dari ilham rabbaniyyah.

Ibn Arabi memberikan analogi antara kitabnya dengan kitab Qur’an. Seperti dijelaskannya, “Di sini, di antara ayat-ayat (al-Qur’an) yang tampak tidak urut dan terkesan tak saling terkait, sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat rahasia … Jika engkau menghubungkan setiap ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya, maka kekuatan Kalam Ilahi akan muncul .. tetapi pemahaman hubungan yang rahasia ini hanya bisa didapatkan oleh orang-orang yang sempurna keruhaniannya (arif billah).”
Misteri dari “ketidakurutan” ini ada dalam salah satu konsep utama yang dipakai oleh para salik: “uruj,” atau pendakian, yakni pendakian dalam perjalanan ruhani menuju Tuhan. Sebagai contoh, urutan surat dalam Qur’an jika dilihat dari belakang akan menunjukkan hal ini dengan jelas. Surat terakhir adalah an-Nas (manusia) dan yang pertama adalah al-Fatihah (Pembuka). Dengan kata lain, perjalanan ruhani manusia adalah diawali dari titik terjauh dari tajalli Tuhan (yang dilambangkan dengan “Nas”) untuk kembali menuju ke Pencerahan atau Keterbukaan dalam memahami induk segala kitab (Umm al-Kitab) yang merupakan “pembuka” (al-Fatihah) untuk mengenal Allah (ma’rifatullah).

Menurut seorang peneliti karya-karya Ibn Arabi, M. Chodkiewics, pola susunan bab dalam Futuhat al-Makiyyah berkorespondensi dengan 114 surat dalam al-Qur’an. Salah satu contoh, dalam pembahasan tentang bab Manzil, manzil ketiga, manzil tanzil al-tawhid, berkaitan dengan urutan ketiga dari posisi terakhir, yakni surat al-Ikhlas, yang temanya adalah Keesaan Tuhan. Sedangkan manzil ke-114, manzil al-azama al-jamia adalah berkorespondensi dengan Ummul Kitab. Contoh lain dari relasi-relasi tersembunyi dalam kitab yang kelihatan tak beraturan ini adalah jumlah babnya, 560 Bab. Jumlah ini adalah jumlah dari kata di dalam surat al-Fath, atau dari sisi lain, 560 H adalah tahun kelahiran Ibn Arabi. Ringkasnya, karena ini adalah kitab “esoterik” atau kitab ruhani yang bukan lahir dari upaya akal, tetapi dari upaya keruhanian dan dari ilham Ilahi, maka dibutuhkan lebih dari sekadar kemampuan akal untuk memahami kandungannya.

Selain menulis kitab yang tampak rumit secara filosofis itu, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penyair. Beliau menulis banyak sajak ruhani, dan salah satunya yang terkenal adalah Tarjuman al-Ashwaq, sebuah sajak cinta yang bergelora, dan terkesan erotis. Kitab ini menjadi sasaran kecaman para penentang Ibn Arabi, terutama Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya.

Sajak-sajak Ibn ‘Arabi barangkali adalah salah satu dari sekian banyak karya puisi Sufi yang lahir di abad itu. Jadi, selain munculnya kitab-kitab Tasawuf yang berisi uraian dan pemikiran yang sarat perenungan, sesungguhnya pada masa ini juga muncul pula para penyair Sufi yang luar biasa, dan karya mereka sebagian mengguncang dunia Islam, bahkan dikenal hingga ke dunia luar Islam. Di antara para penyair sufi yang hidup hampir sezaman, atau sezaman dengan Ibn Arabi itu antara lain adalah Ruzbihan Baqli (salah satu guru sufi Persia terbesar, yang mewarisi tradisi Abu Yazid al-Bisthami dan al-Hallaj; Baqli terkenal karena mengungkapkan ajaran cinta membara (ishq) kepada Tuhan); Ibn al-Farid, penyair besar yang sezaman dengan Ibn Arabi.

Ibn Farid terkenal berkat “Syair Anggur” nya; Fakruddin Iraqi, sahabat sekaligus murid Sadruddin Qunawi. Iraqi menerjemahkan ajaran Tasawuf Ibn Arabi ke dalam sajak-sajak yang indah; Sana’i, yang terkenal dengan lirik-liriknya yang lembut. Salah satu sajaknya yang terkenal hingga ke luar dunia Islam adalah Syair al-ibad ila al-ma’ad, Perjalanan Abdi Menuju Tempat Kembali. Sebagian orientalis menyebut bahwa tema syair Sana’i ini menjadi salah satu sumber dari sajak Italia terkenal, Divine Comedy karya Comte; juga ada Fariduddin Attar, penyair sufi yang terkenal berkat karya koleksi biografi Wali, Tadhkirat al-Awliya dan risalah Manthiq at-Thayr (Musyawarah Burung), yang melambangkan perjalanan salik menuju ke Tuhan mereka melalui berbagai hambatan dan tujuh lembah dan gunung yang sulit dilalui. Gaya bahasa dalam Mantiq at-Thayr menjadi semacam patokan dan ilham bagi para penyair sufi generasi selanjutnya. Dua kitab Attar ini menjadi karya sastra Persia yang paling terkenal; dan, tentu saja satu lagi penyair Sufi terbesar sepanjang zaman, Maulana Jalaluddin Rumi, yang sajaknya digemari hingga sekarang bahkan oleh para nonMuslim sekalipun.

Jelas, membicarakan sejarah Tasawuf mau tak mau harus menyebut nama penyair dari Konya ini. Maulana Rumi mengilhami dan memengaruhi banyak penyair, baik itu penyair sufi, penyair non-sufi, bahkan juga penyair non-Islam…


Ibn Arabi terkadang dianggap sebagai SUlthan Kaum Arifin, dan Maulana Rumi terkadang dianggap sebagai Sulthan Kaum Muhibbin, meski julukan ini sesungguhnya kurang tepat karena keduanya sama-sama arif billah dan sama-sama mencintai Tuhan (dan bahkan, dalam kenyataannya, Ibn Arabi juga mengajarkan ajaran Cinta dan Rahmat Allah yang tak terbatas). Tetapi gaya ungkap Rumi yg lebih puitis dan syair-syairnya yang mencapai 25,000 bait, membuatnya lebih dikenal sebagai Sufi-penyair pecinta Tuhan yang luar biasa.

Namun peralihan Rumi menjadi penyair tak terjadi serta-merta. Hagiografi Rumi menunjukkan adanya semacam pergeseran dahsyat sebagai akibat dari pertemuan dengan Wali Allah yang misterius. Kisah Rumi ini menunjukkan bahwa di jalan tarekat, selalu dibutuhkan mursyid yang tidak hanya sekadar mampu membimbing, namun juga sanggup membimbing murid-muridnya untuk mengembangkan potensi kapasitas murid yang masih terpendam sehingga si murid mencapai maqam spiritual yang tinggi berdasarkan potensi uniknya, bukan berdasarkan potensi murshid. Karenanya dalam sejarah Tasawuf kita selalu melihat kisah murid yang melampaui kapasitas ruhani murshidnya, sebab memang potensi yg terpendam melampaui potensi gurunya. Namun ini bukan berarti bahwa Murshid lantas menjadi lebih rendah kedudukannya. Di satu sisi, adalah benar bahwa murid tak jarang melampaui gurunya dalam hal kedudukan ruhaninya, namun pencapaian ini tetaplah “dibukakan” oleh sang guru. Karena itu, dalam semua tradisi Tasawuf dan tarekat, semua murid yg sudah menempati maqam setinggi apapun, akan selalu hormat dan tunduk kepada gurunya. sebaliknya, sang guru juga menempatkan diri sesuai dengan maqamnya dengan menghormati sang murid. Hubungan saling menghormati inilah yang menyebabkan silsilah ruhani terus terjaga dengan baik.

Rumi dibesarkan dalam era suram peradaban Islam. Pasukan MOngol yg perkasa sudah melaju mendekati pusat peradaban Islam di Baghdad yg sudah lemah lantaran pertikaian internal antar keluarga khalifah. Ayah Rumi, Bahauddin Walad, yg juga seorang sufi dan arif billah, mendapat ilham untuk membawa putranya pindah. Syekh Bahauddin menempati posisi terhormat sebagai ulama resmi negeri Seljuk. Kelak, setelah Bahauddin Walad meninggal, Rumi menggantikan posisinya. Rumi dihormati sebagai ulama besar, ahli fiqh dan ahli ahli tafsir yg hebat. Meski demikian, kecenderungan ke arah dunia Tasawuf sudah ada di dalam diri Rumi sejak beliau masih kecil. Pada usia 5 tahun beliau sudah dikaruniai kasyaf mampu melihat alam lain, seperti melihat ruh-ruh para Wali dan malaikat.

Titik balik utama pergeseran Rumi ke dunia Tasawuf adalah setelah beliau bertemu dengan Sufi pengembara, atau Qalandar, yang dikenal dengan nama Syamsuddin dari Tabriz. Karenanya, kita perlu tengok sejenak siapakah guru dari Maulana Rumi yang misterius dan ganjil ini, yg menyebabkan Rumi “lahir kembali” menjadi Wali Allah sekaligus penyair cinta-mistis yang paling besar dalam sepanjang sejarah Tasawuf.

Syamsuddin Tabrizi, Wali Allah yang misterius, salah seorang dari kaum qalandar, para sufi pengelana, yang dijuluki Syamsi Perende, “Matahari Terbang,” yang telah berpaling sepenuhnya dari perhatian duniawi. Beliau adalah guru sekaligus sahabat Maulana JALALUDDIN RUMI. Syekh Syamsuddin Tabriz adalah sosok yang mengubah kehidupan Maulana Rumi, menjadi sumber inspirasi bagi sajak-sajaknya. Hubungan beliau dan Rumi bagaikan hubungan Khidir dengan Nabi Musa as.

Tak banyak diketahui tentang kelahiran dan masa kecilnya. Hanya diketahui bahwa, seperti Wali Allah lainnya, Syekh Syams sejak kecil sebelum akil baligh sudah rajin berpuasa dan senang menyendiri. Beliau tampaknya tidak mengenyam pendidikan yang memadai. Namun beliau sangat memahami sajak Islami dan kehidupan Sufi. Beliau mendalami fiqh Syafi’i. Konon sejak kecil beliau sudah bergaul dengan 70 Sufi yang telah ma’rifat. Beliau juga mendapat pendidikan dari seorang Wali misterius lainnya, Firi Sallibaf, yang mengajarkannya perenungan dan sama’ dan tarian berputar. Kelak tarian gasing ini diperkenalkannya kepada Maulana Rumi. Beliau pernah beristri, namun tidak jelas bagaimana nasib istrinya itu setelah beliau mulai suka mengembara. Syekh Syams menghabiskan masa dewasa dan tuanya dengan berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya, mencari pembimbing Wali agung dalam perjalanannya menempuh jalan Tasawuf. Beliau mengembara hingga ke Baghdad, Damaskus, Aleppo, Kayseri, Aqsara, Sivas, Erzerum dan Erzincan. Selama pengembaraannya pada kurun waktu 1202 hingga 1204 di Damaskus kemungkinan besar beliau sempat bertemu dengan Syekh Akbar Muhyiddin IBN ‘ARABI. Walaupun beliau lebih gemar pada jalan Sufi namun beliau juga kerap melontarkan kritik kepada ulama yang menurutnya tidak selaras dengan syari’at dan hukum Islam. Beliau terutama sangat kritis kepada orang-orang yang mengakui Sufi tetapi tidak peduli pada syari’at dan hukum Islam. Namun kehidupan spiritualnya yang mendalam pada masa remajanya belum dikenal banyak orang. Beliau menyembunyikan karamah-karamahnya.

Karena jarang bergaul dengan orang, Syekh Syams sering merasa kesepian karena tak punya sahabat yang sederajat dalam perjalanan ruhani. Beliau menulis, “Aku biasa bicara dengan diriku sendiri … Aku menginginkan orang yang seperti aku yang bisa menjadi kiblatku. Aku terlalu letih dengan diriku sendiri.

Pada akhirnya beliau bertemu dengan sosok yang diharapkannya pada 29 November 1244 – yakni Maulana Jalaluddin Rumi. Menurut legenda, beliau dibimbing bertemu dengan Maulana Rumi melalui sebuah ilham. Syekh Syams berdoa minta dipertemukan dengan salah satu Wali Allah. Dan kemudian beliau mendapat ilham untuk menemui salah seorang putra Pemimpin Ulama Syekh Bahauddin Walad yang bernama Jalaluddin yang tinggal di Rum. Dalam pertemuan mereka yang menentukan, Syekh Syamsuddin bertanya tentang perbandingan maqam Nabi Muhammad saw dengan maqam Abu Yazid al-Bisthami. Maulana Rumi kemudian menjelaskan alasan kenapa kedudukan Nabi Muhammad jauh lebih tinggi ketimbang Abu Yazid. Sejak itulah mereka selalu bersama, “larut bagai gula dalam susu.”

Maulana Rumi menghabiskan hari-harinya hanya berdua saja dengan Syekh Syamsuddin Tabriz, yang kemudian memperkenalkan tarian gasing dan sama’ kepada Maulana Rumi. Persahabatan keduanya menimbulkan kecemburuan di kalangan murid-murid Maulana Rumi. Akhirnya suatu hari Syekh Syamsuddin meninggalkan Konya, tetapi kemudian kembali lagi setelah dicari-cari oleh Sultan Walad, putra Maulana Rumi, dan beliau menetap di Konya sampai 645 H (1247 H). Pada tahun itu pula beliau menghilang lagi – kali ini diyakini beliau dibunuh oleh beberapa murid Maulana Rumi yang iri dengannya; dan diperkirakan putra Maulana Rumi yang bernama Alauddin ikut terlibat dalam pembunuhan ini. Sejak Syamsuddin tiada, Maulana Rumi mulai tenggelam dalam penciptaan sajak-sajak yang diilhami oleh persahabatannya dengan Syekh Syamsuddin Tabriz. Sajak-sajak itu kelak dikumpulkan dalam Diwan-i Syamsi Tabriz, salah satu mahakarya Maulana Rumi.

Syekh Syams sendiri tampaknya menyadari bahwa masyarakat awam menganggap penampilan dan kelakuannya aneh dan tak wajar. Beliau menyatakan dirinya tak punya urusan apapun di dunia ini dengan orang awam: “Aku tak datang untuk mereka. Aku akan menjadi teman setia bagi siapapun yang menuntun dunia menuju Tuhan.” Gaya bicaranya juga sulit dipahami orang awam dan bahkan kerap menyinggung. Mengenai hal ini beliau sendiri mengakui dalam salah satu tulisannya:
“Wajar bila orang awam tak terbiasa dengan gaya bicaraku. Semua kalimatku keluar dalam modus keagungan (kibriya) – sehingga secara harfiah seperti tak berdasar. Sementara kalimat al-Qur’an dan ucapan Nabi Muhammad saw mengalir dalam modus kebutuhan (ma’na) sehingga menjelma menjadi makna.”

Inilah sebabnya orang awam yang masih dalam batas modus kebutuhan tidak mungkin memahami ucapan-ucapan keagungan yang tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan – seperti ucapan-ucapan syatahat Hallaj atau Abu Yazid al-Bisthami.


Tak diragukan lagi, Syamsuddin Tabriz yg telah kami jelaskan di bagian sebelumnya benar-benar murshid dari Maulana Rumi. Kini saatnya kita menengok serba ringkas sejarah kehidupan Maulana Rumi. Kebesaran Rumi tidak bisa disembunyikan. Sajak-sajak dan tarekatnya menarik banyak pengikut, bahkan tarekat diluar Tarekat Maulawiyyah juga menggunakan sama’ dan ritual tari berputar sebagaimana diajarkan oleh Rumi.

Syekh Maulana Jalaluddin ar-Rumi, adalah Sulthan al-Awliya, Sulthan al-Muhibbin, “Sang darwis yang berputar,” dan penyair Sufi terbesar Persia yang amat terkenal di seluruh dunia – kepopulerannya menembus ke wilayah nonMuslim dan mengilhami banyak penyair muslim maupun nonmuslim, dari golongan Sufi hingga penyair profan. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa mulai dari dunia wilayah Timur hingga Barat. Pesan-pesan spiritual dan cinta-mistisnya diakui amat relevan disegala zaman, bahkan hingga di dunia kontemporer yang materialistis. Badan PBB UNESCO bahkan menetapkan tahun 2007 sebagai “Tahun Rumi.” Para pengikutnya mengabadikan ajaran-ajarannya dengan mendirikan Tarekat Maulawiyyah, yang terkenal dengan “tarian gasing.” Salah satu sajaknya menunjukkan bagaimanan cinta membuat segala sesuatu menari:

Kekasih memancarkan cahaya laksana mentari
Para pecinta berputar mengelilinginya laksana atom
Ketika angin musim semi cinta mulai berhembus
Setiap ranting yang belum kering turut menari

– Maulana Rumi

Maulana Jalaluddin Muhammad ibn Husayn al-Khatibi al-Bahri al-Rumi lahir pada 30 September 1207 (6 Rabiul Awwal 604 H) di Balkh, Khurasan (Afghanistan sekarang). Ayahnya adalah Bahauddin Walad, seorang ulama Sufi yang berpengaruh. Menurut sebagian tradisi, Maulana Rumi masih keturunan dari Sayyidina Abu Bakar ra. dari jalur ayahnya ini. Ibunya adalah Mu’min Khatun, yang masih keturunan bangsawan Dinasti Khawarizmi yang berkuasa di Bukhara pada saat itu. Sejak kecil Maulana Rumi telah memiliki keistimewaan: beliau bisa melihat alam malakut dan bertemu dengan ruh-ruh Nabi dan orang-orang suci. Saat berusia lima atau enam tahun Rumi, ketika sedang bermain dengan anak-anak lainnya, beliau mendadak lenyap – beliau dibawa naik ke langit oleh malaikat untuk melihat-lihat alam samawi. Seperti banyak Wali Allah lainnya, sejak kecil Maulana Rumi sudah sering berpuasa.

Beliau sejak usia enam tahun-an sering membaca surat al-Kautsar dan menangis dan mengalami penyingkapan spiritual. Ketika Rumi berusia sekitar tujuh tahun, ayahnya menerima ilham ilahi yang memerintahkannya untuk pindah dari Balkh. Keluarga Rumi kemudian hijrah ke Khurasan, Nisyapur, Baghdad, Mekah, Damaskus dan kemudian menetap di Konya, yang saat itu merupakan ibu kota Kesultanan Saljuk. Konon saat berada di Nisyapur Syekh Bahauddin Walad bertemu dengan Sufi termasyhur FARIDUDDIN ATTHAR. Ketika beliau melihat Maulana Rumi berjalan di belakang ayahnya, Atthar berseru, “Alangkah menakjubkan! Sungai menarik samudera di belakanganya.” Maulana Rumi menikah pada usia 18 tahun. Putra pertama mereka, Sultan Walad, lahir sekitar 1226 di Laranda, sedang putra keduanya, Alauddin lahir di Konya sekitar tahun 1228 atau 1229.

Di Konya Syekh Bahauddin Walad diangkat menjadi ulama utama oleh Sultan Saljuk. Maulana Rumi bertindak mendampingi ayahnya menjadi pengajar umat. Pada 1231 sang ayah meninggal dunia. Setahun sesudah ayahnya meninggal dunia, datanglah seorang Wali Allah bernama Syekh Burhanuddin Muhaqqiq, yang juga murid Syekh Bahauddin Walad. Kepadanyalah Maulana Rumi mendalami ajaran spiritual atau Tasawuf. Di bawah bimbingannya Maulana Rumi melakukan suluk selama 40 hari malam. Sesudah 40 hari, Burhanuddin memasuki ruang khalwatnya, namun beliau menjumpai Maulana Rumi masih tenggelam dalam tafakurnya dan tak merespon sapaannya. Kemudian pada periode 40 hari kedua Maulana Rumi muncul dari kamarnya dengan tersenyum setelah mendapat pencerahan spiritual. Melalui bimbingan Syekh Burhanuddin ini Maulana Rumi mendalam kitab Ma’arif karya ayahnya. Rumi kemudian melanjutkan pendidikan syariat dan fiqh ke Aleppo dibawah bimbingan ulama dan qadhi mazhab Hanafi yang termasyhur, Kamaluddin ibn Al-Adim. Selama belajar di sini Maulana Rumi sering menghilang di waktu malam. Pada suatu malam Kamaluddin membuntuti Maulana Rumi berjalan ke luar gerbang kota. Di suatu tempat Kamaluddin melihat bangunan besar berkubah, yang dipenuhi dengan Wali-wali Allah yang berjubah hijau – dan Kamaluddin pun pingsan.

Saat belajar di Aleppo, Maulana Rumi beberapa kali pergi ke Damaskus. Suatu ketika Syekh Burhanuddin menyuruh Rumi berpuasa selama sembilan hari. Pada hari kesembilan, Syekh Burhanuddin mengajaknya ke sebuah pasar di Damaskus. Mendadak seorang pengemis, dengan jenggot kelabu dan mata liar bercahaya, menghadang jalannya, meminta sedekah. Pada awalnya Maulana Rumi terkejut dan ingin lari, namun dicegah oleh Syekh Burhanuddin, yang kemudian menyuruhnya memberi sedekah kepada pengemis itu. Ketika Maulana Rumi memberi sedekah, pengemis itu mendekat dan berbisik di telinganya, “Manfaatkan hidupmu sebaik-baiknya, atau akau akan merampasnya.” Lalu pengemis itu mendadak memeluk Syekh Burhanuddin, menjunjungnya dan mulai berputar seperti gasing. Jubahnya melambai mengembang berputar. Lalu pengemis itu pergi dan menghilang. Inilah pertemuan pertama Maulana Rumi dengan SYAMSUDDIN TABRIZ, Wali Allah pengembara yang kelak mengubah seluruh arah hidup Maulana Rumi.

Setelah sekitar delapan tahun memperdalam ilmu, Maulana Rumi kembali ke Konya dan kembali mengajar, dan setelah itu Syekh Burhanuddin pun pergi lagi untuk mengembara. Popularitas Maulana Rumi makin meningkat. Tetapi Maulana Rumi terus gelisah, ia merindukan seorang kawan yang menemaninya di perjalanan ruhani. Ia mengingat kata-kata terakhir gurunya sebelum pergi, “Kau tak akan sendirian. Seorang kawan hebat akan menemuimu. Ia adalah cermin dirimu sendiri, dan dunia akan berdiri untuk menghormatimu karena ajaran Cintamu.”

Pada suatu hari Jum’at Maulana sedang memberikan pelajaran agama kepada banyak orang di madrasahnya. Ketika selesai, tiba-tiba seorang lelaki lusuh berdiri dan berjalan menuju ke meja Maulana Rumi. Ia mengmbil kitab-kitab itu lalu dibuangnya ke dalam kolam. Tiga orang santri berusaha menyerang lelaki itu, namun Maulana Rumi mencegahnya. Kitab-kitab itupun hancur tenggelam dalam air kolam (sebagian riwayat mengatakan kitab-kitab itu tidak ditenggelamkan, tetapi dibakar). Maulana Rumi hanya bisa menangis. Lelaki itu bertanya, “Mana dari kitab-kitab ini yang paling berharga?” Lalu ia mengambil kitab-kitab itu dari dalam air, dan – ajaibnya – kitab-kitab itu sudah kering dan berbentuk seperti semula. Lalu lelaki itu berkata, “Ada dua jalan menjadikan seseorang sebagai Wali Allah. jalan yang panjang, lewat kitab-kitab, dan jalan singkat, lewat Jalan Cinta.” Lalu ia memeluk Maulana Rumi dan pergi. Pertemuan kedua ini amat mempengaruhi Maulana Rumi, dan beliaupun kembali mulai sering menyendiri. Beberapa waktu kemudian mereka bertemu lagi. Dalam pertemuan ini Syamsuddin Tabriz bertanya, “Mana yang lebih besar, Rasulullah yang mengatakan ‘Segala puji bagi Engkau, dan aku tak memahami-Mu sebagaimana seharusnya Engkau dipahami, maka tambahkanlah aku pemahaman’ ataukah Abu Yazid al-Bisthami yang berseru ‘Maha Suci aku! Maha agung aku, dan tiada dalam jubahku selain Allah.’” Mendengar pertanyaan ini Maulana Rumi pingsan. Dan setelah siuman, beliau menjawab, “Muhammad Rasulullah saw lebih besar. Dahaga Abu Yazid jadi hilang hanya dengan secangkir air karena hanya secangkir itulah daya tampung Abu Yazid, sedangkan Rasulullah tak terbatas, dan karenanya ia selalu memohon tambahan.”

Sejak saat itulah keduanya mulai tinggal bersama. Syekh Syamsuddin Tabriz mengatakan kepada Maulana Rumi,
“Aku akan menghancurkanmu … kau akan mati ditanganku dan hanya setelah itu engkau akan kembali memulai hidupmu yang sesungguhnya.”

Maulana Rumi menghabiskan dua bulan terus-menerus bersama Syamsuddin Tabriz, lelaki yang juga dijuluki “Syamsi Perende” – Matahari Terbang, karena ia sering berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini membuat Rumi seperti melupakan murid-murid lainnya, dan akibatnya mereka mulai jengkel dan iri kepada Syekh Syamsuddin Tabriz. Kejengkelan itu bertambah setelah sebuah peristiwa luar biasa. Menjelang maghrib, Syekh Syamsuddin menyuruh Rumi membeli sebotong anggur di pasar. Pada awalnya Maulana Rumi ingin shalat mahgrib berjamaah dulu, tetapi Syekh Syamsuddin Tabriz ingin saat itu juga Maulana Rumi berangkat membeli anggur, sebuah minuman yang diharamkan oleh Islam.

Ketika jamaah shalat maghrib selesai dari shalat, mereka keluar dan menyaksikan Maulana Rumi, ulama agung yang begitu mereka hormati, berjalan membawa sebotol anggur yang haram. Orang-orang yang berkerumun di sepanjang jalan yang dilalui Maulana Rumi heran dan mulai mencelanya dan bahkan sebagian menghina. Maulana Rumi menyerahkan anggur itu kepada Syekh Syamsuddin Tabriz. Dan setelah menerima anggur itu, Syekh Syamsuddin untuk pertama kalinya berbicara di depan khalayak ramai. Beliau mengatakan bahwa beliau hanya menguji ketulusan dan ketaatan Maulana Rumi. Lalu Syekh Syamsuddin menumpahkan anggur itu ke tanah, dan menunduk memberi hormat kepada Maulana Rumi. Tetapi kejadian ini justru menambah kebencian orang dan sebagian murid terhadap Syekh Syamsuddin. Dan puncak kemarahan terjadi setelah Syekh Syamsuddin memperkenalkan sama’ (musik spiritual) dan tarian gasing mistis kepada Maulana Rumi, yang dengan cepat segera asyik di dalam praktik spiritual ini. Bahkan salah satu putra Rumi, Alauddin, konon termasuk orang yang membenci Syekh Syamsuddin Tabriz. Mereka menyebut Syamsuddin sebagai “pengacau” yang harus disingkirkan.

Tanpa alasan yang jelas Syekh Syamsuddin Tabriz menghilang dari Konya menuju Damaskus. Maulana Rumi merasa sedih, tetapi murid-muridnya menjadi senang. Mereka meminta Maulana Rumi mengajar kembali. Untuk pertama kalinya sejak bergaul dengan Syekh Syamsuddin, Maulana Rumi kembali ke madrasah, bersiap untuk mengajar, meski hatinya dirundung kesedihan mendalam. Pada saat akan memulai mengajar, berdatanganlah banyak ulama dan pembesar, serta ratusan santri ke madrasahnya.

Namun begitu Maulana berdiri di mimbarnya, beliau tampak gelisah, mengamati sesuatu di dinding belakang. Tiba-tiba, tanpa mempedulikan tatapan heran pada hadirin, Maulana Rumi berteriak,”Siapa engkau yang berdiri di tembok belakang sana.” Semua menoleh, tetapi tak ada siapapun di sana. Orang-orang mulai ramai dan menggerutu. Seorang ulama berdiri dari duduknya dan berteriak dihadapan hadirin, “Ini gila. Mawar Rum telah busuk.” Lalu ia pergi dari majelis. Maulana Rumi mendadak berkata sambil menunjuk ke arah tembok, “Rasul Ilyas. Dia Ilyas as.” Semua orang heran, marah, takut, benci, dan menghina. Akhirnya Maulana Rumi memerintahkan putranya, SULTAN WALAD, untuk mencari Syekh Syamsuddin, dan Syekh Syamsuddin ditemukan lalu dibawa kembali ke Konya. Tetapi, sekali lagi, Syekh Syamsuddin meminta pintu madrasah dikunci dan sekali lagi Maulana Rumi asyik bersama sang guru, menjalani perenungan spiritual, menari dan bermusik. Akhirnya kemarahan tak tertahankan. Pada suatu malam, pada tahun 1247, Syekh Syamsuddin tak kembali lagi ke kamarnya. Kali ini Syams pergi dari Konya untuk selama-lamanya. Desas-desus mengatakan bahwa Syekh Syamsuddin dibunuh oleh sekelompok murid yang dipimpin oleh Alauddin. Ini menjelaskan mengapa Maulana Rumi tidak menghadiri pemakaman Alauddin yang wafat pada 1260 (658 H).

Setelah Syekh Syamsuddin tak ada lagi, orang-orang berharap Maulana Rumi kembali ke kehidupan “normal” dan mengajar. Tetapi beliau justru mencurahkan perhatian dan persahabatan dengan seorang tukang emas sederhana Syekh Shalahuddin Zarkub. Menurut cerita ketika Maulana Rumi sedang menarik di jalanan, konsentrasinya pecah oleh suara dentuman suara palu pengrajin emas yang berirama, yang sedang menempa sepotong perak. Maulana Rumi terpesona dan tak beranjak memandang sang tukang emas. Karena segan, Syekh Zarkub meneruskan memukul-mukul perak itu hingga selesai. Maulana Rumi menulis, “Aku temukan kebahagiaan di bengkel hiasan emas. Alangkah indahnya, alangkah cantik dan anggunnya.” Syekh Shalahuddin ini adalah juga murid Syekh Burhanuddin Muhaqqiq. Maulana Rumi bersahabat dengan Syekh Shalahuddin selama sepuluh tahun. Bahkan beliau menikahkan putranya, Sultan Walad, dengan putri Shalahuddin, Fatima Khatun, salah satu “Wali Allah perempuan di muka bumi,” meski tampaknya Sultan Walad tidak begitu antusias dengan perjodohan ini. Setelah Syekh Shalahuddin wafat, Maulana Rumi akhirnya bersahabat akrab dengan muridnya, Syekh Husamuddin Syalabi. Kepadanyalah Maulana Rumi mempersembahkan salah satu karya besarnya, Matsnawi.

Maulana Rumi menjelang akhir hayatnya mengalami sakit parah. Beliau akhirnya meninggal pada 16 Desember 1273 (5 Jumadil Akhir 672 H).

Orang-orang Muslim, Kristen dan Yahudi bergabung untuk memberikan penghormatan pada acara pemakamannya. Sebelum wafat, Maulana Rumi menyatakan bahwa kematiannya adalah “Malam Pernikahan” yang akan membawanya berjumpa dengan Kekasihnya yang sejati, Allah swt, dan karenanya mesti disikapi dengan gembira dan dirayakan dengan sama’. Menurut salah satu biografinya, sesaat setelah Maulana meninggal, semua penduduk Konya larut dalam duka dan menjalankan ritual selama 40 hari penuh, dan terjadi “hiruk pikuk luar biasa bagaikan Hari Kebangkitan.” Kucing kesayangan Maulana Rumi ikut bersedih. Kucing itu tak mau makan dan minum sejak Maulana wawfat. Akhirnya kucing itu mati seminggu kemudian, dan dimakamkan oleh Malika Khatun, putri Maulana dari istri kedua, Kira Khatun, di sebelah makam Maulana Rumi.
Warisan Maulana Rumi yang terkenal adalah Diwan-i Shams Tabriz, Mathnawi-i Ma’nawi. Diwan-i Shams Tabriz adalah sajak pujian atau semacam qasidah, yang dilhami oleh persahabatannya dengan Syekh Syamsuddin Tabriz. Tema utamanya adalah Cinta transendental, cinta Ilahiah. Diwan ini terdiri tak kurang dari 36.000 bait puisi. Sementara Mathnawi, yang ditulis untuk memenuhi permintaan Husamuddin, berisi ajaran rahasia-rahasia ilmu Tasawuf dalam bentuk karya sastra. Kitab ini berisi tak kurang dari 25.000 bait prosa-liris, tetapi sebagian peneliti menyebut 40.000 bait. Abdul Rahman al-Jami, seorang Wali Allah Persia abad 15, menyatakan bahwa Mathnawi adalah “tafsir al-Qur’an yang indah dalam bahasa Persia.” Karyanya yang menggunakan gaya prosa-liris, “Fi ma Fihi” menyajikan ikajinasi puitis untuk argumentasi logisnya dalam memberikan beberapa pelajaran ruhani.

Pada intinya Maulana Rumi mengajarkan bahwa untuk memahami kehidupan dan agar sampai kepada Tuhan manusia bisa menempuh Jalan Cinta. Karenanya ia senantiasa mengundang para murid dan pembaca kitab-kitabnya untuk mampir “kedai persatuan” dengan mereguk “anggur cinta.” Menurut Maulana Rumi semua agama mengajarkan pentingnya cinta yang merupakan dasar dari penciptaan semesta. Nyanyian merdu dan musik dapat membantu orang-orang untuk mencapai cinta dengan mengingatkan mereka kembali pada kenangan suara indah yang pernah didengarnya di alam pra-eksistensi yang tak terbatasi oleh ruang dan waktu. Karenanya Maulana Rumi melukiskan cinta abadi yang tak terbatas adalah sebuah “rumah yang atap dan pintunya tercipta sepenuhnya dari sajak dan lagu.”

Namun dalam memberikan pelajarannya beliau tidak berangkat dari pembahasan metafisika, teologi, kosmologi atau psikologi secara sistematis. Sajak-sajaknya sepenuhnya mengalir dari pemahaman dan pengalaman ruhaninya. Maulana tak menyusun filsafat mistis sistematis yang menyeluruh dengan cara seperti yang dilakukan salah seorang sahabatnya, Sadruddin al-Qunawi (murid utama Syaikh Akbar IBN ‘ARABI). Tujuannya adalah mengisahkan kepada para pecinta dan membuka pintu menuju pengalaman alam gaib, yang berpuncak pada “persatuan dengan Sang Kekasih.”
Tetapi untuk berjalan di atas Jalan Cinta ini manusia tak cukup hanya menari dan menyanyi. Seperti Wali Allah lainnya, Maulana Rumi menegaskan agar manusia tahu apa itu arti cinta yang hakiki, dan karenanya tahu tujuan dan makna dari kehidupan ini, maka manusia mesti berjuang melepaskan hawa nafsunya. Segala bentuk ibadah, zikir, membaca al-Qur’an, puasa dan sebagainya pada dasarnya adalah penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), agar hati yang merupakan cermin Ilahi atau singgasana Ilahi di dalam mikrokosmos mampu memantulkan Keindahan (Jamal) sekaligus Keagungan (Jalal).

Melalui pantulan inilah manusia akan mampu menyaksikan segala bentuk Keindahan yang niscaya akan membuat mereka “jatuh cinta” dan pada akhirnya merasakan sendiri dengan segenap keberadaan dirinya yang hakiki apa itu Cinta yang sesungguhnya. Dengan jiwa yang bersih dan senantiasa ingat kepada-Nya (zikir) maka Hujan Cinta akan menyirami ruh manusia yang pada dasarnya selalu merindukan pertemuan dengan Tuhannya. Tetapi karena di dunia ini manusia masih terpisah dengan Kekasihnya, maka kerinduan pecinta kadang amatlah perih, seperti alunan pilu “suara seruling bambu yang dipisahkan dari batang pokoknya, yang membuatnya sesak dan pilu.” Jadinya seorang pecinta niscaya akan mengalami semacam “luka,” tetapi luka inilah yang menjadi tempat persemaian benih cinta.

Dalam keadaan luka dan kepedihan yang sangat mendalam, manusia dipaksa untuk berhenti, untuk berubah, dan beralih ke arah yang baru, untuk memusatkan perhatian pada apa-apa yang tersembunyi dalam kepedihan rindu itu, yakni Allah, Sang Kekasih. Kerinduan yang membara membuat manusia bisa berkonsentrasi hanya pada satu obyek tujuan saja: Allah yang Maha Indah lagi Maha Tinggi. Agar bisa berkonsentrasi sepenuhnya, manusia harus melakukan mujahadah dan riyadhah untuk mensucikan dirinya, sebuah perjuangan yang sering melelahkan dan menyakitkan. Pada titik tertentu dalam pengalaman duka ini, sang pecinta akan merasakan “mati sebelum mati,” sebuah pengalaman yang dalam dunia Sufi disebut-sebut sebagai pengalaman menyakitkan tetapi perlu dialami siapa saja yang ingin bersatu kembali dengan Tuhannya. Seperti dijelaskan Maulana Rumi sendiri, “Rasa sakitlah yang membimbing kita. Seseorang tidak akan berusaha mencapai tujuan jika hal itu tidak mengandung rasa sakit, godaan dan hasrat cinta.”

Setiap orang akan memahami rasa sakit ini ketika ia ditarik dan dilepaskan dari jerat kebodohan hawa nafsu dan dimatangkan oleh kesulitan dan duka cita yang tak terperi. Gelap harus dibabat habis agar cahaya cinta terhampar nyata di lubuk hati. Seperti ditulis Maulana Rumi: “Matahari menghunus pedang dan menumpahkan darah fajar; dan darah dari ribuan fajar sungguh halal ditumpahkan demi Wajah-Nya.” Ini adalah momen kebangkitan ruhani, momen kemunculan cahaya ruh. Menurut Maulana Rumi, tubuh adalah laksana Maryam. Setiap dari kita mengandung Isa dalam diri kita, tetapi sebelum kita merasakan nyeri dalam diri kita, nyeri yang mengawali kelahiran, maka “Isa dalam diri kita tak akan dilahirkan.” Yakni, sebelum mengalami derita dan dukacita mati sebelum mati, ruh kita yang suci kita tak akan bangkit menguasai dunia jiwa rendah. Saat Isa dalam diri kita telah dilahirkan, maka kita akan mendapatkan kebangkitan keimanan yang sesungguhnya, sebuah kebahagiaan yang tiada batasnya dalam genggaman Cinta.

Maka, dalam analisis terakhir, manusia akan menyadari bahwa sumber kebahagiaan, dan kebahagiaan itu sendiri, bukan berasal dari dalam diri yang masih diliputi oleh hawa nafsu, tetapi dari sesuatu yang lain, sumber dari segala sumber: Allah. Ketika hati yang merupakan singgasana Allah telah dikosongkan maka sang pemilik Singgasana akan berkenan “bertahta” di hatinya, dan Cintapun akan menjadi sesuatu yang “permanen” di dalam hati sang pecinta.

Sama’ dan tarian gasing dalam ajaran Rumi adalah ekspresi dari kerinduan semesta kepada Tuhannya. Tetapi tujuan utama dari tarian ini bukanlah untuk mendapatkan ekstase atau jadzab, meskipun banyak yang mengalaminya saat menari. Ekstase dan kegembiraan ruhani dalam tarian ini bukan tujuan, tetapi hanya merupakan salah satu tahap dari perjalanan yang lebih tinggi kualitasnya. Tujuan utama dan paling mendasar adalah menyelaraskan diri dengan semesta – mulai “dari sel yang terkecil hingga ke bintang-bintang di angkasa” – untuk mengingat, menyaksikan Keagungan dan Keindahan Allah Yang Maha Tinggi, dan bersyukur kepada-Nya lalu pasrah kepada ketentuan-Nya – dengan kata lain tarian Maulana Rumi adalah demi mengaktualkan hakikat ajaran Islam itu sendiri. Ciri penting dari ritual ini adalah tarian dan sama’ memadukan tiga komponen utama manusia: pikiran, hati dan tubuh. Media musik dan sajak dipakai untuk mempengaruhi penari. Musik dan metafora yang indah dalam sajak akan mempengaruhi tubuh dan pikiran – dan secara bersama-sama akan mengubah keadaan lahir dan batin pendengarnya. Musik dan metafora dalam puisi dipakai sebagai kunci untuk memahami, bukan dengan akal (sebab kata Maulana Rumi, “Dihadapan Cinta, akal tak berdaya), tetapi dengan hati dan mukasyafah. Musik dan puisi menyampaikan sekaligus “menciptakan” makna yang berada di luar fenomena yang empiris, yang berarti pula di luar batas-batas logika, analisis dan rasionalitas. Musik dan puisi langsung menyentuh dunia emosi, intuisi moral dan spiritual (ruhani). Jadi, sama’ adalah sebentuk perjalanan ruhani, sebuah pendakian melalui tangga Cinta, mengatasi hawa nafsu, dengan pedoman kebenaran, dan akhirnya mencapai kesempurnaan, yakni merasakan “persatuan dengan Tuhan,” lalu “turun” lagi ke dunia dengan keadaan yang jauh berbeda – mampu mencintai dan melayani seluruh ciptaan tanpa diskriminasi, sebab manusia diciptakan dengan cinta untuk mencintai.

Maulana Rumi memiliki banyak karamah, diantaranya adalah beberapa kisah berikut.
Ketika Maulana berkhalwat di biliknya, beliau dikunjungi enam Wali Allah secara ghaib yang menghadiahkan sebuah bunga yang masih segar, padahal bunga itu berasal dari India yang jauh sekali dari Turki. Maulana kemudian menyerahkan bunga itu kepada istrinya. Warna dan keharuman bunga itu tidak pernah pudar. Seorang saksi lainnya, yakni murid Maulana, mengisahkan, suatu ketika memasang pelana kuda dan kemudian memacu kudanya ke arah negeri Qibla di Selatan. Malam harinya beliau kembali dengan pakaian penuh debu dan kusut. Beliau minta disediakan kuda lagi, lalu memacu kudanya kembali dengan cepat seperti terburu-buru. Kejadian ini dilakukannya selama tiga hari berturut-turut. Beberapa hari kemudian datang sepasukan tentara yang mengisahkan kemenangan tentara Islam melawwn pasukan Hulagu Khan di Damaskus.

Setelah Rumi meninggal, karya-karyanya segera dikenal di seluruh kawasan Persia dan bahkan menyebar ke anak benua India. Di Bengala Timur bahkan sajak-sajaknya sangat berpengaruh sampai-sampai dikatakan “Brahmana yang salah harus membaca mathnawi.” Tarekat Maulawiyyah, yang dibentuk oleh putranya, Sultan Walad, menyebarkan gagasan dan sajak Rumi melalui dinasti Utsmaniyyah, dan bahkan Sultan Walad menjalin hubungan yang erat dengan para penguasanya. Para wali-wali dari Tarekat Chistiyyah di India, mulai dari era Nizamuddin Awliya, mendalami mtasnawi. Syamsuddin Tabriz menjadi tokoh legendaris di sana. Kaisar-kaisar kerajaan Moghul di India, terutama Sutan Akbar, menyukai sajak Rumi. Para penguasa seperti Shah Jihan dan Aurangzeb konon selalu menangis jika sajak-sajak Rumi dibacakan. Sufi kontroversial Dara Sikuh juga selalu meneteskan air mata saat membaca sajak-sajak Rumi.

Penafsiran atas karya Rumi merebak di berbagai penjuru dunia ISlam, mulai dari Jawahir al-Asrar (Kamaluddin Khwarazami) hingga ke filsuf Islam termasyhur, Muhammad Iqbal di abad 20. Di kalangan Tarekat Naqsyanbandiyyah, Maulana Rumi juga mendapat tempat khusus. Syekh Abdul Lathif dan Muhammad Nur Allah al-Ahrari menulis tafsir tentang matsnawi. Di era Modern, sajak-sajak Rumi bahkan dikagumi sampai ke Amerika Serikat, berkat terjemahan COleman Bark dan H. Kabir, dua pengikut Maulawiyah yang tinggal di AS.

selanjutnya

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.