TASAWWUF DAN PERKEMBANGANNYA 05

pada masa yg hampir bersamaan, kawasan Andalusia, Konya, Baghdad, memunculkan tokoh-tokoh besar yang sangat berpengaruh sampai zaman ini. Dan pada saat yang sama pula, di kawasan lain, yakni di Asia Tengah, muncul guru-guru yang meskipun kepopulerannya dibayang-bayangi oleh syekh2 agung lainnya, namun kontribusinya sangat besar pula bagi perkembangan tasawuf di kawasan lain. Sementara kawasan Timur Tengah dan Afrika dan sebagian Eropa tengah bergairah dengan ajaran-ajaran Syekh besar seperti Maulana Rumi, Syekh Akbar ibn Arabi, Hallaj, Robi’aj dan sebagainya, di sebuah kawasan yang agakjauh, tepatnya di Uzbekistan, muncul salah satu guru sufi besar, yang dijuluki Mata Air Tarekat Sufi Khawajagan (Guru-guru Sufi Asia Tengah), karena dari beliaulah benih-benih tarekat besar dari sana muncul. Beliau adalah Syekh Abdul Khaliq al-Gujdwani.

Syekh Khawajah Abdul Khaliq al-Ghujdwani lahir di Ghujadwan, Uzbekistan. Ayahnya adalah Syekh Abdul Jamil, salah satu ulama ternama di era Byzantium. Ibunya masih keturunan dari Sultan Seljuk Anatolia. Sejak kecil beliau mendapat pelajaran Tafsir al-Qur’an, ilmu hadis, bahasa Arab, dan fiqh dari Syekh Sadruddin. Setelah menguasai ilmu syariah, beliau kemudian mendalami Tasawuf dan bahkan beliau diajari langsung oleh Nabi Khidir as. Nabi Khidir memberinya ijazah (izin) yang diterimanya dari Rasulullah kepada Syekh Abdul Khaliq untuk mengamalkan zikir lisan dan hati dengan hitungan tertentu. Kemudian Nabi Khidir memerintahkannya untuk menyelam dalam air dan melakukan zikir membaca “La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah” dalam hati. Beliau melaksanakannya sampai mencapai kasyaf dan mendapat ilham Ilahi.

Ketika Ghauth al-Rabbani Syekh YUSUF HAMADANI berkunjung ke Bukhara, Syekh Abdul Khaliq menemuinya untuk melayaninya. Syekh Abdul Khaliq mengatakan, “Saat aku berumur 22 tahun, Syekh Yusuf memerintahkan Nabi Khidir untuk mendidikku dan mengawasiku sampai aku meninggal.” Beliau kemudian pindah ke Damaskus, dan mendirikan madrasah di sana. Reputasinya sebagai guru spiritual tersebar luas sehingga banyak sekali orang yang mendatanginya untuk berguru kepadanya. Beliau meninggal pada 12 Rabiul Awal 575 H. Syekh Abdul Khaliq memiliki empat khalifah utama, yakni Syekh Ahmad as-Sidiq, Syekh Kabir al-Awliya, Syekh Sulaiman al-Krimani, dan Syekh Arif ar-Riwakri. Kepada syekh keempat itulah Syekh Abdul Khaliq mewariskan rahasia silsilah tarekatnya.

Syekh AbdulKhaliq al-Ghujdwani dikenal terutama karena merumuskan delapan prinsip yang kelak menjadi sendi-sendi ajaran Tarekat Naqsyabandiyyah. Prinsip tersebut adalah: (1) husy dar dam [mengingat Allah dalam setiap tarikan nafasnya]; (2) nazar bar qadam [memerhatikan setiap langkah yang ditempuh, yakni setiap saat dirinya harus mengarah kepada Tuhan]; (3) safar dar watan [melakukan instropeksi, perjalanan ke dalam diri, yakni menelaah batinnya sendiri]’ (4) khalwat dar anjuman [sendiri dalam keramaian, yakni menyibukkan hati dengan Allah saat bergaul dengan banyak orang]; (5) yard kard [berzikir, yakni membaca kalimat tahlil, sedikitnya 5,000 kali atau 10,000 kali]; (6) baz gard [mengendalikan pikiran untuk selalu kembali kepada Allah]; (7) nigah dasht [mengawasi pikiran dan mencegahnya dari setiap penyimpangan dan kelalaian]; (8) yad dasyt [memuliakan Allah dalam ingatan, menghadirkan-Nya di dalam hati di setiap saat]. Dari sinilah tradisi zikir diam (khafi) bermula, dan kelak akan memperoleh bentuk finalnya melalui ajaran salah satu Wali Agung di dunia, Syekh Bahauddin an-Naqsyabandi.

Syekh Bahauddin Naqsyabandi dianggap sebagai pendiri tarekat Naqsyabandiyyah karena beliaulah yang merumuskan untuk pertama kalinya sistematika zikir diam. Syekh Bahauddin Naqsyabandi memperoleh ijazah zikir khafi ini melalui modus barzakhi, sebab Syekh Bahauddin Naqsyabandi lahir setelah Syekh Abdul Khaliq meninggal, dengan jarak sekitar 100 tahun.

Khwajah Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al-Uwaysi al-Bukhari al-Naqsyabandi lahir di desa Qasr al-Arifan, Bukhara pada 711 H atau 1317 M. Sejak kecil beliau telah menunjukkan banyak keajaiban. Saat masih muda beliau berguru kepada seorang Wali Allah terkemuka, yg juga murid dari Syekh Abdul Khaloq Gujdwani, yakni Maulana Syekh Muhammad Baba as-Samasi. Di sini beliau menjalani disiplin ruhani yang ketat. Menurut riwayat, setiap sujud terakhir dalam shalat Tahajud, beliau berdoa, “Ya Allah, berilah daku kekuatan untuk menanggung kesulitan dan kepedihan demi Cinta-Mu.” Namun Syekh Baba Samasi kemudian melarangnya dan menyuruhnya mengubah doanya menjadi “Ya Allah karuniakanlah ridho kepada hamba-Mu yang lemah ini.” Menurut Syekh Baba Samasi, Allah tidak menginginkan hamba-Nya meminta kesulitan. Walau Allah dengan Kebijaksanaan-Nya kadang memberi kesulitan kepada hamba-hamba-Nya untuk mengujinya, namun hamba tidak boleh meminta kesulitan. Sebab hal itu menunjukkan adab yang tidak baik kepada Tuhan.

Setelah Syekh Baba Samasi wafat, Syekh Bahauddin berguru kepada Syekh Sayyid Amir Kulal. Beberapa guru lainnya yang disebutkan oleh beliau sendiri adalah Maulana Syekh Arif ad-Din Karani dan Maulana Kuthum. Beliau juga sering berziarah ke makam-makam Wali Allah.
Syekh Bahauddin mendapat bimbingan secara ruhaniah dari ruh Syekh ABDUL KHALIQ AL-GHUJDWANI, yang telah meninggal 100 tahun lebih sebelum kelahiran Syekh Bahauddin. Hubungan guru-murid di alam barzakh ini dalam tradisi tarekat dikenal sebagai hubungan Uwaisy – mengacu kepada sahabat Uwaysi yang tak pernah berjumpa secara fisik dengan Rasulullah SAW namun tetap mendapat bimbingan ajaran Islam dari Rasulullah SAW. Bahkan Syekh Bahauddin juga mengatakan bahwa dirinya juga menerima bimbingan khusus rahasia-rahasia spiritual dari ruh Uways al-Qarani. Menurut beliau sendiri, Syekh Uways inilah yang amat mempengaruhi dirinya untuk meninggalkan keduniawian dan menenggelamkan diri sepenuhnya dalam persoalan-persoalan keruhanian dan keahiratan.

Menjelang akhir masa hidupnya Maulana Syaikh Bahauddin lebih sering mengurung diri di kamarnya. Banyak orang yang datang mengunjungi Beliau. Semakin banyak orang yang berkunjung ketika sakitnya makin parah. Saat ajal menjelang, beliau memerintahkan agar dibacakan Surah Yasin. Selesai dibacakan Surah Yasin beliau mengangkat tangan sambil membaca dua kalimat syahadat dan lantas wafat pada tanggal 3 Rabiul Awwal, 791 H/1388 M, pada hari Senin malam. Sesuai permintaannya beliau dimakamkan di taman miliknya. Mengenai kejadian ini seorang Wali Allah, Abdul Wahab asy-Syarani, berkata: “Ketika Syaikh dimakamkan, di makamnya terbukalah untuk beliau sebuah jendela ke surga, sehingga makamnya menjadi sebuah taman surga. Dua mahluk ruhani berpenampilan memesona datang dan memberi salam kepada Beliau sambil berkata “Kami telah menanti sekian lama untuk melayani Anda sejak Allah menciptakan kami dan sekarang waktunya telah tiba bagi kami untuk melayani Anda.” Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband menjawab “Aku tidak butuh apapun selain Dia [Allah]. Aku tidak butuh kamu, aku butuh Dia.” Syekh Bahauddin meninggalkan banyak murid hebat, dan salah satu yang menonjol adalah Muhammad ibn Mahmud al-Hafizi, atau lebih dikenal sebagai Muhammad Parsa, penulis kitab Risalah al-Qudsiyya yang terkenal.

Syaikh Bahauddin Naqsyabandi membangun tarekatnya berdasarkan pengamalan al-Qur’an dan pengajaran Sunnah. Ketika orang-orang bertanya kepada beliau, “Apa persyaratan bagi yang ingin mengikuti tarekat anda?” Beliau menjawab, “Mengikuti Sunnah Rasulullah.” Beliau lalu melanjutkan, “Tarekat kami adalah sesuatu yang langka. Yang menjaga ‘Urwat ul-Wutsqa, ikatan yang tak terputuskan, dan tak meminta apapun dari pengikutnya melainkan untuk selalu memegang teguh Sunnah yang murni dari Rasulullah SAW dan mengikuti jalan para Sahabat dalam ijtihad mereka.”

Menurut Syekh Bahauddin Naqsyabandi, pencari Tuhan akan bisa mencapai pengetahuan ma’rifat melalui tiga cara – muraqaba (kontemplasi), mushahada (penyaksian, visi) dan muhasaba (menghisab diri sendiri).

Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyyah adalah dari Syekh Ghujdwani. Dalam berzikir, Syekh Bahauddin lebih menekankan pada zikir diam atau dengan hati (khafi). Metode ini berasal dari ajaran Syekh Ghujdwani, bukan dari Syekh Amir Kulal yang mempraktikkan zikir keras (jahr). Dan menurut keterangan zikir diam ini bersumber dari pelajaran yang diterima oleh Sayyidina Abu Bakar dari Rasulullah saat bersembunyi di gua menghindari kejaran kaum kafir Qurays. Julukan Naqsyabandi didasarkan pada kaidah zikir ini. Makna naqsy adalah “menyembunyikan jejak,” “mengukir atau membuat kesan” atau “membuat cap”; sedangkan band berarti “menyegel kesan atau jejak kesempurnaan pada hati pencari kebenaran.” Dengan demikian dalam konteks zikir ini diartikan bahwa efek dari zikir asma Allah telah terukir dalam hati. Untuk mencapai kedalaman spiritual semacam ini dibutuhkan komitmen manusa untuk melestarikan zikir sebagaimana diajarkan oleh Syekh Abdul Khaliq Ghujdwani.

Syekh Bahauddin Naqsyabandi menambahkan 3 asas ruhani untuk delapan asas yang dikemukakan oleh Syekh Abdul Khaliq Ghujdwani. Jadi selain delapan asas, yakni husy dar dam (sadar saat bernafas), nazhar bar qadam (menjaga langkah), safar dar wathan (perjalanan di tanah kelahiran), khalwat dar anjuman (sepi di tengah keramaian), yad krad (ingat atau menyebut), baz gasht (kembali atau memperbarui), nigah dast (waspada), dan yad dasyt (mengingat kembali), Syekh Bahauddin menambahkan wuquf zamani (memeriksa penggunaan waktu), wuquf adadi (memeriksa hitungan zikir) dan wuquf qalbi (menjaga hati). Wuquf zamani bermakna bahwa seseorang harus setiap saat mengawasi kecenderungan dirinya untuk lalai agar dapat mencegah kelalaian itu terjadi. Salik harus tahu berapa banyak waktu yang dipakai untuk menempuh jalan ruhani dan mengetahui maqamnya dalam perjalanan ke hadirat Ilahi. Pada akhirnya sang salik harus menghabiskan seluruh waktunya demi Allah semata dan menyadari bahwa Allah setiap saat dan selalu melihat apapun yang dilakukan dirinya baik itu yang terang-terangan maupun yang tersembunyi.

Syekh Bahauddin menjelaskan bahwa salik harus menyadari dirinya setiap waktu. Jika ia mengikuti syariah, maka dia harus bersyukur, dan jika sebaliknya, ia harus terus memohon ampun. Singkatnya, kata Syekh Bahauddin, “Anda harus menilai bagaimana anda menghabiskan waktu anda; apakah anda mencurahkan waktu anda dalam keadaan selalu menyadari (ingat, zikir) kepada Allah, ataukah dalam keadaan lalai.”

Menurut asas wuquf adadi, salik yang berzikir harus menghitung jumlah bilangan penyebutan asma Allah di dalam hati. Penghitungan ini dimaksudkan untuk menjaga hati dan pikiran dari lintasan-lintasan pikiran atau bisikan nafsu,dan untuk lebih berkosnetrasi pada asma yang dizikirkan. Syekh Bahauddin menyatakan, “Menghitung jumlah zikir adalah langkah pertama untuk mendapatkan ilmu ladunni.” Sedangkan mengenai asas wuquf qalbi, maksudnya adalah demi mengarahkan hati salik ke hadirat Ilahi, di mana ia tidak akan mencari sesuatu selain Allah saja. Ini berarti mengalami tajalli-Nya dalam setiap keadaan. Zikir adalah untuk mengontrol hati dan pikiran dari turbulensi yang berkecamuk di dalam hati.

Secara garis besar ada dua macam zikir dalam tarekat Syekh Bahauddin, yakni zikir ism al-dzat, yakni mengingat asma Allah berulang-ulang dalam hati tanpa henti hingga efek dari asma itu tercetak dan tersegel dalam hati dan zikir tauhid yakni dengan kalimat laa ilaha illa Allah. Selain itu ada yang dinamakan zikir lathaif, yakni zikir pada lathifah (organ batin) manusia – lathifah al qalbi, lathifah ar-ruh, lathifah as-sirr, lathifah al-khafi, lathifah al-akhfa, lathifah al-nafsi al-nathiqah, dan lathifah kull al-jasad. Namun fungsi dan nama organ-organ ruhaniah ini kelak akan lebih gamblang dijelaskan oleh salah satu guru terkemuka dari tradisi Naqsyabandi, yakni Syekh Mujaddid alif tsani al Imam Rabbani Ahmad Sirhindi di India…


Kini sesudah masuk ke abad 12 M, Tarekat-tarekat mulai mengkristal, dan tradisi silsilah (mata rantai ruhani) pun mulai mapan. Proses kristalisasi yang dimulai sejak era Abu Said al-Khair dimulai dari pusat-pusat peradaban Islam dan sekitarnya, seperti Baghdad, Khurasan, dan sebagainya. Kurang lebih seabad setelah proses kristalisasi tarekatdi pusat peradaban, menjelang akhir abad 12 M ajaran Tarekat mulai menyentuh ke wilayah yang jauh dari pusat kekhalifahan awal, atau dapat dikatakan tarekat-tarekat mulai sampai ke wilayah periferal (pinggiran) dunia Islam. Ancaman dari pasukan Mongol menyebabkan banyak orang ISlam beremigrasi, termasuk juga para ulama sufi. Pada bagian ini, kita akan menengok ke wilayah lain di luar pusat kekuasaan Islam yang pelan-pelan tapi pasti tersentuh oleh dakwah ulama Sufi dan kelak beberapa abad kemudian akan menjadi pusat kekuasaan Islam yang baru.

Sebagian Sufi beremigrasi dari Bahgdad atau Persia atau Asia Tengah menuju ke Afghanistan, dan sebagian lainnya terus bergerak ke arah anak benua India. Pengaruh al-Hallaj dan syiah di kawasan India saat itu cukup besar, namun kemunculan tarekat baru dimulai sekitar pertengahan akhir abad 11 ketika para pengikut Tarekat Suhrawardiyyah pindah ke bagian barat laut India dan kemudian menetap di sana.

Sebelum tarekat mulai mengkristal dalam bentuk yang relatif mapan, kebangkitan dinasti Ghaznavid yang berhasil menaklukkan kawasan Punjab dan Lahore mempercepat akselerasi masuknya kaum Sufi individual ke jantung negeri India namun tidak mendirikan organisasi tarekat. Ada bukti historis bahwa kaum Sufi sudah banyak yang berdiam di India sejak pertengahan abad 11 M. Di bawah kekuasaan Ghaznavid, kota Lahore menjadi pusat aktivitas Tasawuf yang masyhur.Salah satu sufi pertama yang beremigrasi ke sana adalah Syekh Abu Utsmanibn Ali al-Jullabi al-Hujwiry, yang lebih dikenal dengan julukan Data Ganj Baskhsh. Beliau adalah penulis risalah Tasawuf tertua dalam bahasa Persia, yang berjudul Kasyful Mahjub.

Ali ibn Utsman al-Hujwiri lahir di Ghanzi, Afghanistan. Beliau berguru kepada Syekh Abu al-Qasim al-Gurgani (seorang mursyid tarekat Naqsyabandiyah) dan Khwaja Muzhaffar dan Syekh Abu Fadhl al-Khuttali, yang memerintahkannya untuk pindah dan berdakwah di Lahore. Karya terpentingnya, Kasyful Mahjub, masih ada sampai sekarang. Karya ini adalah karya Tasawuf terlengkap pertama yang berbahasa Persia, berisi banyak materi penting: biografi tokoh-tokoh sufi penting, pembahasan maqam-maqam ruhani, ucapan-ucapan para SYaikh, aliran-aliran Tasawuf dan ajarannya, serta makna esoteris atau makna ruhani dari beragam konsep syariat dan Tasawuf. Salah satu ciri yang menarik dari karya ini adalah kisah-kisah sufistik yang diperolehnya selama melakukan perjalanan di Iran, Asia Tengah dan Timur Tengah.

Menurut al-Hujwiry, tujuannya menulis kitab ini adalah untuk mengemukakan sebuah “sistem” tasawuf yang komprehensif, jadi bukan sekedar menghimpun sejumlah besar ujaran Syekh Sufi dan Wali Allah. Beliau menjelaskan banyak doktrin dan praktik Sufi. Bab yang amat mengagumkan dalam Kasyaf al-Mahjub adalah bab yang membahas “Doktrin-Doktrin Pelbagai Mazhab Sufi,” di mana beliau mencantumkan 12 mazhab tasawuf dan menguraikan doktrin-doktrin khususnya.
Beliau juga yang menjelaskan panjang lebar untuk doktrin fana di India untuk pertama kalinyanya. Beliau berpendapat bahwa makna sesungguhnya dari ajaran Islam bisa dijumpai dalam inti ajaran Tasawuf. Mengenai deskripsi Tasawuf, beliau mengutip pernyataan al-Junayd al-Baghdad:
Tasawuf didasarkan pada delapan sifat yang dicontohkan oleh delapan rasul: kedermawanan Ibrahim, yang mengorbankan putranya; kepasrahan Ismail, yang menyerahkan dirinya pada perintah Tuhan dan menyerahkan hidupnya; kesabaran Ayub, yang sabar menahan penderitaan penyakit borok dan kecemburuan dari Yang Maha Pemurah; perlambang Zakaria, yang menerima sabda Tuhan, “Kau tak akan bicara dengan manusia selama 3 hari kecuali dengan menggunakan lambang-lambangmu” (Q. S. 3: 36) dan “tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut” (Q. S. 19:2); keterasingan Yahya, yang terasing di negerinya sendiri dan di tengah kaumnya sendiri; perjalanan ruhani Isa, yang meninggalkan benda duniawi sehingga ia hanya menggunakan sebuah cangkir dan sebuah sisir – bahkan cangkir itu dibuangnya ketika melihat seseorang minum dengan telapak tangannya, dan dibuang pula sisirnya ketika dia melihat seseorang menyisir dengan jemarinya; jubah wool Musa; dan kefakiran Muhammad, yang dianugerahi kunci segala harta yang ada di muka bumi, di mana Allah bersabda, “Jangan menyusahkan diri sendiri, tetapi nikmati kemewahan ini,” namun Rasulullah menjawab, “Ya Allah, hamba tidak menghendakinya; biarkan hamba sehari kenyang dan sehari lapar.”

Kelak Syekh Hujwiri ini memengaruhi secara ruhani atas salah satu wali Allah terbesar di India, Syekh Muinuddin Chisti dan karenanya menjadi rujukan bagi tarekat Chistiyyah.
Sesudah itu, pada era 1100 M tarekat mulai muncul, meski boleh dikatakan masih dalam bentuk embrio. Dua tarekat pertama yang memberi dampak luas pada anak benua India adalah Suhrawardiyyah dan Chistiyah, namun tampaknya hanya Chistiyyah yang terus dominan di negeri itu sampai sekarang.

Tarekat Chistiyyah mulai mengkristal dan terkenal setelah kedatangan Syekh Muinuddin Chisti, yang hidup hampir sezaman dengan Ibn Arabi dan Maulana Rumi.
Dengan demikian, pelan-pelan akan segera muncul pusat baru Tasawuf yang akan segera dengan cepat menyebar ke seluruh India hingga ke Asia Tenggara. Kebangkitan tarekat di India akan mengawali babak baru dalam sejarah peradaban Islam belahan lain dunia Islam. Tampaknya serangan pasukan Mongol yang meluluhlantakkan Baghdad di satu sisi memberikan hikmah tersendiri, sebab pertemuan peradaban Islam dengan Mongol, dan hijrahnya para sufi ke berbagai penjuru dunia telah menyebabkan ajaran tasawuf berkembang di mana-mana. Bahkan sebagian penguasa Mongol nanti masuk Islam dan generasi penerus raja-raja Mongol akan berperan penting dalam pengembangan peradaban Islam yang baru.


Kini kita tengok secara ringkas perkembangan Tasawuf di anak benua India dan sekitarnya. Wilayah ini secara spiritual sangat penting dalam perkembangan Tasawuf di dunia, terutama karena pengaruhnya yang merembes hingga ke kawasan Asia Tenggara (Thailand, Vietnam, Filipina sampai ke Nusantara).

Tarekat awal yang berpengaruh di India adalah Suhrawardiyyah dan Chistiyyah, namun tampaknya yang masih dominan sampai sekarang adalah Tarekat Chistiyyah. Asal muasal tarekat Chistiyah dapat dilacak sejak abad 9 M di kota Chist, Afghanistan, sebelah timur Herat. Silsilahnya sampai ke Hasan al-Basri. Dalam silsilah ini mereka memberikan kedudukan yg sangat tinggi bagi Syekh ABu Said ibn Abi al-Khair yg telah kami singgung di bagian sebelumnya. Kini saatnya kita telisik lebih jauh sufi agung ini.

Syekh Abu Said al-Khair adalah Sufi dan penyair masyhur, tokoh Sufi pertama yang merancang prinsip-prinsip aturan lembaga kerohanian atau tarekat bagi para pengikutnya. Beliau dianggap sebagai penemu pertama metode khalwat yang disebut sebagai chilla-yi ma’kus, yakni khalwat selama empat puluh hari dengan posisi badan terbalik, kepala tergantung di bawah – metode yang kelak dipakai oleh mursyid tarekat Chistiyah di India.

Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id Fadhl Allah ibn Abi al-Khair, lahir pada 1 Muharram 357 H (atau 967 M) di Khawaran, Khurasan. Ayahnya, Abu al-Khair, atau dikenal sebagai Babu Bu al-Khair adalah ahli obat yang saleh dan religius, serta akrab dengan syariat dan tarekat. Sang ayah ini biasa berkumpul tiap malam dan jika ada tamu Sufi, biasanya mereka akan melakukan sama’ atau konser musik spiritual. Syekh Abu Sa’id ibn Abi al-Khair mendapat pendidikan pertama kali dari Abu Muhammad al-Ayyari, yakni dalam bidang membaca Qur’an. Beliau belajar tata bahasa Arab kepada Abu Sa’id al-Ayyari dan pelajaran dasar-dasar Islam dari Abu al-Qasim Bisyr-i Yasin. Syekh Bisyr ini tampaknya merupakan salah satu tokoh penting dalam pendidikan spiritual Syekh Abu Sa’id. Syekh Bisyr mengajari muridnya untuk berzikir, dan memberinya ijazah sebuah doa, yang kelak diakui oleh Syekh Abu Sa’id sebagai doa yang “melalui barokah dalam kata-kata [doa] itu maka jalan menuju Tuhan terbuka bagiku saat aku masih kanak-kanak.” Doa itu berbentuk syair munajat yang artinya kurang lebih:

Tanpa-Mu, wahai Kekasih, aku tiada dapat bersandar/Kasih sayang-Mu padaku tak dapat kuperikan/Walau tiap helai rambut di tubuhku menjadi lidah/ seperseribu syukurku pada-Mu tak kan terucap.

Syekh Abu Sa’id memang suka ada sajak, dan sejak muda konon beliau sudah hafal sekitar 30,000 syair puisi pra-Islam. Salah satu tokoh Sufi penting bagi kehidupan spiritualnya adalah Syekh Abu al-Fahdl al-Hasan; menurut Syekh Abu Sa’id, penyebab dari kesempurnaan tingkatan tasawufnya adalah “berkat tatapan dari Syekh Abu Fadhl kepadaku … saat aku berjalan di tepian sungai, Syekh Abu Abu Fadhl al-Hasan berjalan kepadaku dari arah berlawanan dan memandangku. Sejak saat itu, semua pencapaian spiritual adalah hasil dari tatapan itu.”
Atas perintah guru ini, Syekh Abu Sa’id kemudian menyepi ke sebuah ruang di rumahnya di Mayhana selama tujuh tahun. dan setiap hari tiada putus-putusnya berzikir dengan ism al-Dzat, “Allah, Allah, Allah” sepanjang siang dan malam, hingga akhirnya setiap sel dalam tubuhnya ikut berzikir “Allah, Allah, Allah.”

Setelah tujuh tahun ini, Syekh Abu Sa’id kembali kepada gurunya, Syekh Abu al-Fadhl al-Hasan untuk melanjutkan pelatihan ruhaninya. Kemudian beliau merawat ibunya, sembari tetap melakukan mujahadah dan riyadah spiritual. Pada masa ini beliau sering mengunjungi sebuah tempat khalwat yang disebut “Biara Tua” di Merv. Beberapa rekannya menggambarkan disiplin ketat Syekh Abu Sa’id seperti berikut: beliau tak pernah duduk bersandar, tak pernah merebahkan badan, hanya mengenakan satu pakaian yang terus bertambah berat sebab, setiap kali, beliau akan menempelkan tambalan padanya; beliau tak pernah bertengkar, jarang bicara kecuali yang perlu saja, berpuasa setiap hari dan hanya berbuka dengan sepotong roti atau seteguk air, selama di kamar beliau hanya berzikir, menyumbat telinganya dengan kapas dan tetap berkonsentrasi mengawasi dunia batinnya sendiri (muraqabah al-sirr).

Syekh Abu Sai’d, menurut salah satu biografinya, mencapai kesempurnaan spiritual pada periode kedua pelatihan ruhaninya, yakni setelah menjalani tirakat dan riyadhah spiritual yang ketat selama tujuh tahun di kawasan pegunungan Mayhana hingga usia 40 tahun. Selama periode ini beliau berkelana sendirian dan kerap menghilang selama beberapa bulan. Kadang-kadang orang yang menjumpainya melihat beliau berjalan bersama seorang lelaki tua, yang belakangan oleh Syekh Abu Sa’id diungkapkan bahwa orang tua itu adalah Nabi Khidir as. Sang ayah, yang mengkhawatirkan keadaan anaknya, akhirnya memintanya pulang. Tetapi Syekh Abu Sa’id selalu keluar setiap malam ke Biara Tua. Sang ayah pernah mengikuti anaknya itu secara diam-diam, dan kemudian memberikan kesaksian tentang metode chilla-yi ma’kus yang dijalani anaknya di tempat khalwat itu, seperti berikut:

… Dia masuk dan menutup pintu, sementara aku naik ke atap untuk mengintipnya … ada sebuah tongkat di lantai, dengan tali. Dia mengambil tongkat itu dan mengikatkan ujung tali di kedua kakinya. Kemudian dia meletakkan tongkat itu menyilang di atas sebuah liang yang berada di sudut kamar. Dia menggantungkan dirinya dengan kepala di baawah dan mulai melafalkan ayat-ayat al-Qur’an. Dia tetap dalam posisi tergantung terbalik seperti itu hingga fajar datang. Selesai mengkhatamkan al-Qur’an [selama semalam itu] dia lalu bangkit keluar dari liang, meletakkan tongkatnya di tempat semula, lalu keluar kamar dan berwudhu [untuk shalat Subuh].
Sekembalinya ke Mayhana, oleh Syekh Abu al-Fadhl menyuruhnya untuk berdakwah. Namun Syekh Abu Sa’id justru menambah latihan asketiknya dan bertambah tekun. Beliau bahkan rutin melaksanakan shalat 400 rakaat dengan berdiri di ujung jari kaki, yang menurutnya adalah meniru Nabi yang pernah shalat dengan berdiri dengan ujung jari kaki akibat kakinya terluka saat perang Uhud. Setelah Syekh Abu al-Fadhl al-Hasan wafat, beliau pergi ke Amul di Thbaristan, tempat berkumpulnya para Sufi di kediaman Syekh Abu al-Abbas al-Qasysyab yang terkenal di sana. Kemudian bersama beberapa sahabatnya beliau berkelana hingga ke Nasa’ – sebuah kota suci karena konon terdapat 400 makam wali-wali Allah. Pada akhirnya, setelah bertahun-tahun bermujahadah dan riyadhah demikian kerasnya, beliau mencapai kesempurnaan. Hijab-hijab kedirian lenyap. Beliau mencapai maqam spiritual di mana “pencerahan ruhani” yang dialaminya tidak pernah terhenti sedetikpun. Saat bercakap-cakap dengan seorang wali Allah agung, Syekh Abu Ali al-Daqqaq, Syekh Abu Sa’id bertanya kepadanya tentang apakah pengalaman ini bisa permanen. Syekh al-Daqqaq menjawab tidak. Setelah tiga kali diulang pertanyaan itu, akhirnya Syekh al-Daqqaq menjawab, “Jika bisa permanen, maka hal itu sangat jarang terjadi.” Mendengar ini, Syekh Abu Sa’id gembira karena “yang jarang terjadi” itu adalah pengalaman yang dialaminya.

Pencerahan sempurna tiada batas ini terjadi saat beliau berumur 40 tahun. Sejak itu beliau kerap bepergian, di antaranya ke Nisyapur dan Kharaqan, di mana beliau mengunjungi seorang wali Allah terkenal bernama Abu Hasan al-Kharaqani. Syekh Abu Hasan al-Kharaqani ini kemudian menjadi sahabatnya. Dalam suatu kesempatan Syekh Abu Hasan al-Kharaqani berkata kepada Syekh Abu Sa’id al-Khair: “Bersikaplah bijak dan waspadalah, sebab engkau senantiasa bersama Allah. tidak ada sifat manusia yang tersisa di sini, tidak ada nafs yang tertinggal di sini. Semua di sini adalah Allah, semua adalah Allah.” Syekh Abu Hasan juga menyaksikan bahwa Ka’bah datang dan berthawaf mengelilingi Syekh Abu Sa’id al-Khair.

Selama di Nisyapur beliau berjumpa dengan ABU QASIM AL-QUSYAIRI, penulis kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah fi ilm al-Tashawwuf yang terkenal itu. Pada periode ini pula Syekh Abu Sa’id sudah sering melakukan sama’ dan tarian ekstase. Selama di Nisyapur ini Syekh Abu Sa’id dimusuhi oleh para hakim dan teolog dan ulama zahir, yang menganggapnya sesat dan pernah hendak dihukum gantung, meski hukuman itu gagal karena kekuatan karamah Syekh Abu Sa’id. Selama di Nisyapur, pola kehidupan Syekh Abu Sa’id agak berubah. Beliau menjalani hidup yang relatif nyaman secara lahiriah, banyak menjamu makan untuk para sahabatnya. Orang yang pernah menemuinya menggambarkannya sebagai wali Allah yang “bertubuh gemuk, kulit putih, dengan jenggot panjang hingga ke perut, berpakaian jubah bertambal-tambal; memegang tongkat dan bungkusan; sajadah terselempang di bahunya, membawa pisau cukur dan sikat gigi; mengenakan serban Sufi dan sepatu kain; serta cahaya memancar dari wajahnya.” Tetapi kemasyhurannya sebagai wali Allah semakin besar. Beliau juga mengelola dan memimpin khanaqah, sebuah tempat untuk pertemuan dan pelatihan Sufi.

Syekh Abu Sa’id al-Khair hidup selama 1000 bulan (83 tahun 4 bulan). Beliau wafat di Mayhana pada 1049 M (4 Sya’ban 440 H), di makamkan di sebelah masjid di seberang rumahnya. Di makamnya terdapat tulisan dalam bahasa Arab yang dipilihnya sendiri, dan salah satu kalimatnya adalah: Tuliskan pada batu nisanku: Ini adalah makam insan yang mengenal cinta.

Salah satu ajarannya yang menonjol adalah ajaran tentang aturan bagi penghuni khanaqah yang dipimpinnya. Beliaulah tokoh yang pertama kali mengorganisasikan semacam lembaga tarekat, dan pertama kali menyusun aturan yang terperinci. Sepuluh aturan itu adalah:

1. Murid atau salik harus menjaga kesucian dan kebersihan pakaian dan diri mereka sendiri.
2. Murid dilarang bergunjing di dalam masjid atau tempat suci lainnya.
3. Murid, terutama pemula, dianjurkan untuk selalu shalat berjamaah.
4. Murid dianjurkan selalu melakukan shalat malam (tahajud) dan berdoa.
5. Pada waktu subuh murid harus banyak-banyak berdoa memohon ampunan atau beristighfar.
6. Selepas subuh murid harus banyak membaca al-Qur’an; tidak boleh bicara sampai matahari terbit kecuali membaca Qur’an, mengucap istighfar atau zikir lainnya.
7. Di antara waktu maghrib dan isya’ murid harus menyibukkan diri dengan zikir dan wirid di bawah tuntunan mursyidnya.
8. Murid atau Sufi harus menyambut hangat kaum miskin, orang yang membutuhkan dan semua orang yang berada dalam kekurangan, dan bersabar dalam kesulitan (menjaga dan menghadapi) mereka.
9. Tidak diperkenankan makan sendirian, harus dengan teman.
10. Tidak diperkenankan pergi dari khanaqah tanpa izin. (Peraturan ini dimaksudkan untuk menjaga murid dari bahaya yang tersembunyi di jalan ruhani.)
Demikianlah sekilas perikehidupan sufi agung yg meletakkan dasar organisasi tarekat yang kelak akan terus berkembang. Kebanyakan mursyid tarekat Chistiyyah menempuh amalan ruhani 40 hari seperti yg dilakukan oleh Syekh ABu Said al-Khair.

Tarekat Chistiyyah sendiri. meski tradisi amalannya sudah ada sejak Khwajah Utsman al Harwani, namun secara resmi dianggap dibentuk oleh Syekh Muinuddin Chisti, yang hidup sezaman dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Beliau sempat bertemu dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan mengambil barokah darinya. Syekh Muinuddin Chisti kemudian mengembara sampai ke Iran, berjumpa dengan syekh Utsman yang memerintahkannya pergi ke India, di mana tasawuf sudah mulai mapan di kawasan Punjab dan Sindh.

Beliau sampai di Lahore dan kemudian menuju Delhi. belakangan beliau pindah lagi ke Ajmer yang telah ditaklukkan oleh Sultan Delhi pada 1195/96 M. Ajmer dipimpin oleh gubernur Muslim. Lantas bagaimanakah sepak terjang Syekh Muinuddin Chisti hingga Tarekat Chistiyyah bisa sedemikian kuat dan berpengaruh di India sampai sekarang?


selanjutnya

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.