TASAWWUF DAN PERKEMBANGANNYA 06
dalam memimpin tarekat Chistiyyah, Syekh Muinuddin Chisti menetapkan
berbagai aturan yg secara sepintas tampak ekstrim, seperti:
Tak boleh meminjam uang,tidak boleh meminta-minta meski lapar, jika punya kelebihan makanan, uang, panen, dan pakaian, tidak boleh disimpan lebih dari sehari dan harus disedekahkan, tidak boleh mencela orang, tidak boleh menganiaya, jika beramal baik tidak boleh menisbahkan amalnya pada dirinya sendiri dan harus bersyukur kepada ALlah dan berterima kasih kepada “Pir” atau Mursyid, jika melakukan dosa harus segera bertaubat, harus rajin puasa dan shalat wajib dan menghabiskan malam dengan shalat sunnah, harus menyedikitkan bicara dan kalau bicara harus karena ingin mendapat ridho Allah.
Seiring dengan berjalannya waktu, tata-tertib itu kelak mengalami beberapa modifikasi. Syekh Muinuddin Chisti bersahabat baik dengan Syekh Hamid al-din al-Shufi yang kelak membangun pusat kegiatan tarekat di Rajasthan. Salah satu murid Syekh Muinuddin CHisti, Khawajah Qutub al-Din Bakhtiar Kaki yg bermukim di Delhi menjadi ulama berpengaruh di istana, dan bahkan Sultan Syamsuddin Iltutmisy sangat memuliakan beliau. Syekh Bakhtiar Kaki sempat menetap di Baghdad dan bertemu dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, namun beliau tetap memilih menjadi murid Syekh Muinuddin Chisti. Syekh Bakhtiar Kaki sering mengadakan ritual sama’ (konser ruhani) dengan menggunakan musik dan tarian.
Pewaris Syekh Bakhtiar Kaki adalah Fariduddin Mas’ud atau yang lebih dikenal sebagai “Ganj-i-Syakar” atau Baba Farid. Baba Farid ini mendapat latihan ruhani yang keras dari Syekh Bakhtiar Kaki – termasuk dengan berzikir dan membaca Qur’an selama 40 hari dengan bergantungan kaki di atas kepala di bawah (yg dinamakan amalan chilla-yi ma’kus, yang dipertama kali diamalkan oleh Syekh Abu Said al-Khair). Kepopuleran Baba Farid tersebar ke segala penjuru India, dan bahkan para pertapa Yogi sering mengunjunginya untuk berdiskusi soal-soal Ketuhanan tanpa rasa canggung. Baba Farid juga dikenal sebagai penyair sufi.
Penerus Baba Farid adalah Khawaja Nizhamuddin al-Awliya, yg menetap di Delhi sampai akhir hayatnya pada 1325 M. Beliaulah yang mengkristalisasikan ajaran Tarekat Chistiyyah di India bagian utara. Syekh NIzhamuddin al-Awliya dikenal karena ilmu ladunni-nya – dan bahkan para ulama anti0Tasawuf kagum kepadanya.
Sebagaimana tarekat lainnya, Chistiyyah juga mengajarkan wirid dan zikir tertentu. Tarekat ini juga menggunakan teknik khusus yang disebut pan-i anfas (pengendalian nafas) dengan pola duduk mirip postur Yogi. Menurut tradisi Chistiyyah, setiap nafas memiliki hubungan tertentu dengan maqam-maqamruhani. Seorang sufi sejati di tarekat ini sanggup membaca zikir tertentu dengan hanya satu nafas. Bagi yg sudah memiliki maqam tinggi, kemampuan mereka menahan nafas sangat luar biasa. Konon beberapa mursyid CHistiyyah mampu membaca kalimat tahlil 101 kali dalam satu nafas saja.
Tarekat Chistiyyah berakar pada tradisi Sunnui dan menganut mazhab Hanafi. Pengaruh ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi baru masuk ke tarekat ini setelah era Khawajah Muinuddin al-Hasan.Para mursyid Chistiyyah banyak yg berjuang keras untuk berdakwah di dunia yang didominasi oleh ajaran Hindu Bahkan salah satu mursyidnya, Khawajah Bandah Nawaz Gisu daraz mempelajari bahasa Sanskrit agar mampu melakukan debat dengan para brahmana. Peran politiik sufi-sufi Chistiyyah juga tak bisa diremehkan. Para penguasa Mughal, mulai dari Sutan Akbar, bahkan sampai abad 18 M, dipengaruhi oleh para sufi Chistiyyah. Sebagian karena para sufi inilah, maka kolonialisme dan modernisme,westernisasi, dan bahkan salafi-wahhabi tidak mampu meredam perkembangan Tasawuf di India dan sekitarnya.
Namun tentu saja wali-wali Allah yg menjaga ruh Tasawuf tidak hanya dari kalangan Tarekat Chistiyyah. Sumbangan terbesar dari para sufi terhadap pemeliharan ajaran tasawuf dimulai setelah penaklukan India oleh Sultan Mahmud dari Ghaznah. Tarekat-tarekat selain Chistiyyah yg berkembang di sana antara lain Tarekat Kaziruniyyah, yang didirikan oleh Syekh Abu Ishaq Ibrahim ibn Syahruyar. Bahkan ajaran Syekh JUnaid al-Baghdad dikristalkan di india melalui pendirian Tarekat Junaidiyyah. Pendirinya adalah Syekh Abu Fadhil al-Kuttali, yg juga dari guru wali Allah termasyhur, Syekh Abu Utsman Hujwiri al-Jullabi, penulis kitab Kasyful Mahjub yg terkenal itu. Kitab ini membuka jalan bagi pemantapan pemikiran sufi di India, Persia dan Asia Tengah. Karya yg barangkali bisa menandingi kualitas Kasyful Mahjub pada periode itu datang dari sufi dari tarekat Suhrawardiyyah, Syekh Syihabuddin al-Suhrawardi, yakni Awarif al-Ma’arif. Salah satu muridnya, yakni Syekh Bahauddin Zakariyya menjadi tokoh spiritual penting di masa kekuasaan Multan. Invasi Mongol ke wilayah itu berhasil diatasi berkat bantuan dari Syekh Bahauddin Zakariyya ini.
Syekh Bahauddin Zakariyya ini punya menantu yg juga menjadi sangat tersohor di dunia Tasawuf, yakni Syekh Fakhruddin Iraqi, yg menulis risalah syair berjudul Lama’at, yang didasarkan pada pelajaran dari Syekh Sadruddin Qunawi (anak angkat dan menantu dari Syekh Akbar Ibn Arabi dari Andalusia, penggagas wahdat al-wujud).
Fakhruddin Iraqi adalah Wali Allah yang juga penyair yang agung, salah satu tokoh Qalandar yang paling terkenal di dunia Tasawuf. Beliau termasuk salah satu tokoh utama generasi ketiga dalam tradisi ajaran mazhab Muhyiddin IBN ‘ARABI. Syair-syairnya berisi penafsiran ajaran wahdat al-wujud, terutama yang disusun dalam Lama’at. Sajak-sajaknya, yang mengajarkan metafisika eksistensi dan hakikat cinta-ilahi bukan hanya terkenal di kawasan Persia tetapi juga di India dan menjadi bagian integral dari puisi cinta sufi yang didendangkan dengan iringan musik.
Bila aku telah menjadi Kekasih
Lantas siapakah sang pecinta?
– Lama’at, Fakhruddin Iraqi,
Fakruddin Ibrahim al-Iraqi lahir di desa Kamajan dekat kota Hamadzan pada 1213 (610 H), sebagai putra dari keluarga pecinta ilmu pengetahuan dan sastra. Menurut kisah, sebelum beliau lahir, ayahnya bermimpi bertemu Sayyidina Ali ibn Abi Thalib bersama beberapa Wali Allah lain. Seorang Wali maju menyerahkan seorang anak kepada Sayyidina Ali. Sambil memangku anak itu, Sayyidina Ali memanggil ayah Iraqi sambil berkata, “Terimalah Iraqi kita dan rawatlah dengan baik karena ia akan menjadi ‘penguasa’ dunia.” Sejak kecil Syekh Iraqi mendapat pendidikan agama yang baik; pada usia sembilan tahun beliau sudah hafal al-Qur’an. Suaranya sangat merdu jika membaca kitab suci itu – siapapun yang mendengarnya akan terhanyut dan bahkan menangis. Karenanya setiap pagi-pagi banyak orang akan berkumpul di rumahnya hanya untuk mendengarkannya membaca al-Qur’an. Bahkan karamahnya telah tampak sejak beliau masih kecil ini. Alkisah, ketika sedang membaca sebuah ayat, sekelompok orang nonmuslim yang sedang melintas dan mendengarnya langsung terpesona, dan langsung menemui Syekh Iraqi dan mengucapkan kalimat syahadat. Sebelumu usia 20 tahun Syekh Iraqi telah menguasai semua cabang ilmu agama dengan baik, dan menjadi ahli tafsir, hadits, fiqh dan ahli kalam yang mumpuni.
Pertemuannya dengan sekelompok sufi Qalandar mengubah seluruh kehidupannya. Beliau merasakan kerinduan yang begitu besar kepada sufi-sufi Qalandar yang sempat singgah di kotanya. Sejak itu beliau mulai berkelana mencari para Qalandar dan kemudian bergabung dengan mereka. Beliau ikut mengembara bersama mereka ke seluruh kawasan Persia hingga India. Iraqi sempat berguru kepada Syekh Bahauddin Zakariyya Multani, seorang mursyid Tarekat Suhrawardiyah, yang telah menempati kedudukan Qutb al-Awliya. Dibawah pengawasannya, Syekh Iraqi menjalani khalwat 40 hari. Selama khalwat ini Syekh Iraqi mengalami jadzab dan tenggelam dalam cinta ilahi, dan mulai sering menyenandungkan sajak-sajak cinta mistis. Tetapi karena aturan Tarekat Suhrawardiyah cukup ketat, Syekh Iraqi dicurigai para murid lainnya dan mulai dianggap gila.
Mereka mengadukannya kepada Syekh Bahauddin Zakariyya. Namun Syekh Bahauddin Zakariyya mengatakan, “Kelakuan semacam itu mungkin terlarang bagi kalian, namun tidak bagi dia!” Ketika kemudian salah satu sajaknya menjadi amat terkenal di kota, Syekh Bahauddin Multani memanggil Syekh Iraqi dan memberinya khirqah (jubah) kesufian, sebagai tanda kesempurnaan spiritual. Beliau juga dijodohkan dengan putri Syekh Selama 25 tahun berikutnya Syekh Iraqi melayani Syekh Bahauddin Zakariyya dan selama itu pula beliau terus mencipta sajak-sajak yang indah. Sebelum meninggal, Syekh Bahauddin mewariskan kepemimpinan tarekat kepada Syekh Fakhruddin Iraqi. Namun karena murid-murid lainnya tak suka kepadanya, mereka menyebar fitnah dan bersekongkol dengan penguasa (yang sejak lama merasa takut dengan potensi kekuatan tarekat). Para penguasa itu menggunakan kesempatan ini untuk menghancurkan tarekat tersebut. Syekh Fakhruddin Iraqi kemudian memutuskan untuk mengembara lagi dan menjadi lebih terkenal.
Saat haji di Mekah, beliau bermalam tiga hari di dekat pusara Rasulullah saw dan menerima banyak penyingkapan ruhani. Kemudian beliau berangkat ke Damaskus dan Turki dan akhirnya tinggal di Konya, dan bersahabat dengan dua Wali Agung terkemuka pada zamannya, Syekh Shadruddin Qunawi (murid dan putra angkat Syekh Akbar Ibn ‘Arabi) dan Maulana JALALUDDIN RUMI. Melalui Syekh Qunawi inilah Syekh Iraqi mendapat tempaan spiritual kedua. Syekh Qunawi bukan hanya menempanya secara spiritual, tetapi juga secara intelektual. Setiap selesai mengikuti pelajaran Qunawi mengenai kitab Fusush al-Hikam karya Ibn ‘Arabi, Syekh Iraqi menggubah renungan ringkas tentang pelajaran itu dalam bentuk sajak. Koleksi sajak mistis ini kemudian diberinya judul Lama’at (Kilauan Cahaya). Model sajaknya, menurut beliau sendiri, dipengaruhi oleh gaya sajak dalam Sawanih karya AHMAD AL-GHAZALI. Koleksi sajak itu kemudian dibacakan di depan Syekh Sadruddin Qunawi, yang kemudian mengatakan, “Wahai Iraqi, engkau telah menulis suatu rahasia. Sesungguhnya Lama’at adalah inti dari Fusush!”
Syekh Iraqi, sebagai Qalandar, masih senang melakukan pengembaraan. Meski banyak pihak yang memintanya menetap di satu tempat – dan bahkan seorang penguasa membangun sebuah rumah untuknya – namun Syekh Iraqi tetap memilih bebas. kepopulerannya menarik banyak murid, termasuk dari para pejabat. Salah seorang pejabat, bernama Mu’inuddin Parwanah, sebelum tewas dihukum mati oleh kaisar Mongol, menyerahkan seluruh kekayaannya – sekantong penuh permata – kepada Syekh Iraqi, sambil berpesan agar membebaskan anaknya yang ditahan di Kairo. Namun Syekh Iraqi hanya menyimpannya di kamar tanpa pernah membuka, apalagi menyentuh isi kantung itu. Tetapi ada beberapa kalangan yang tak menyukainya dan menyebarkan fitnah. Penguasa Pangeran Kangritay terhasut oleh fitnah itu dan memerintahkan agar Syekh Fakhurddin Iraqi ditangkap untuk dihukum mati. Sahabat-sahabat Iraqi memperingatkannya dan membantunya mengungsi. Syekh Iraqi kemudian pergi ke Mesir. Syekh Iraqi menemui sultan Mesir untuk memintanya membebaskan anak Parwanah. Dihadapan Sultan, Syekh Iraqi menyerahkan sekantung permata itu sambil menceritakan semuanya dari awal hingga akhir, dan kemudian menyampaikan amanat Parwanah itu. Sultan heran ketika mengetahui sekantung permata yang amat mahal itu tidak diambil satupun oleh Syekh Iraqi. Sultan Mesir kemudian membebaskan anak Parwanah dan mengangkat Syekh Iraqi menjadi pemimpin Syekh di Mesir, dan memerintahkan agar esok hari seluruh ulama dan sufi menghadiri acara pengangkatannya. Keesokan harinya ribuan sufi dan ulama menyaksikan bagaimana sultan sendiri yang menaikkan Syekh Fakhruddin Iraqi ke atas kuda milik sultan dan memberinya jubah kehormatan. Tetapi Syekh Iraqi, yang menyadari bahaya bangkitnya ego dan kebanggaan diri, lalu merobek jubah itu. Semua yang hadir heran dan mencemoohnya. Namun sultan justru makin percaya kepada kewalian Syekh Fakhruddin Iraqi.
Syekh Iraqi kemudian memutuskan pergi ke Damaskus meskipun sultan mencoba membujuknya agar tetap tinggal di Mesir. Konon keinginannya ke Damaskus ini karena undangan Syekh Akbar Ibn ‘Arabi lewat mimpinya. Dengan bantuan sultan, Syekh Fakhruddin Iraqi sampai ke Damaskus tanpa aral-melintang dan bahkan disambut hangat penuh suka-cita oleh penduduk setempat. Syekh Fakhruddin Iraqi meninggal di sana pada 12 November 1289 (8 Dzulqaidah 688) dalam usia 78 tahun. Makamnya hingga kini ramai dikunjungi peziarah. Kelak beliau oleh sebagian orang disebut sebagai “samuderanya orang Persia.”
Kitab Lama’at penuh dengan metafisika cinta dan wahdat al-wujud dalam tradisi Syekh Akbar Ibn ‘Arabi. Dalam kitab ini Syekh Iraqi mengidentifikasi apa itu Cinta dalam pengertian hubb dan isyq. Syekh Iraqi menjelaskan, secara puitis, beberapa tahapan menuju ke hakikat kemanusiaan, Insan Kamil. Cinta menurut Syekh Iraqi adalah alasan di balik terciptanya segala wujud yang ada, yang bersumber dari Wujud yang Esa. Zat Allah yang tiada batas memanifestasikan diri-Nya melalui tajalli-Nya yang tak berkesudahan. Tetapi manifestasi yang maujud itu bukan dalam bentuk wujud tersendiri yang independen dari Wujud-Nya. Ini adalah salah satu prinsip dasar dalam ajaran Syekh Ibn ‘Arabi – wahdat al-wujud. Dalam analisis terakhir, awal dan akhir dari Cinta adalah Penyatuan – Wujud dan Insan Kamil pada hakikatnya adalah satu, sebab Wujud hanya ada satu. Si pecinta adalah Yang Dicintai, karena wujudnya lenyap dalam Wujud Kekasih, sedangkan Yang Dicintai tetap dalam keadaan keabadian sebagaimana adanya tanpa penambahan – “Dia sekarang adalah sebagaimana Dia yang dulu.”
Jelas hingga abad 12 M Tasawuf sudah makin kokoh dalam peradaban Islam seiring dengan berkembangnya tarekat-tarekat besar seperti Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah, Suhrawardiyyah dan Chistiyyah (yg telah diuraikan di bagian-bagian tedahulu). Dari satu sisi, dapat dikatakan bahwa perkembangan spiritualitas Islam ini merupakan “kehendak Ilahi” untuk menjaga agar ruh Islam tetap hidup.
Sebagaimana kita tahu, serbuan Mongol yang dahsyat telah meruntuhkan sebagian besar kekhalifahan di Baghdad, pusat peradaban Islam saat itu. Kemegahan dan kejayaan peradaban Islam serta kemewahan duniawi yang diraih oleh para khalifah Islam pada masa itu justru menyebabkan inti ajaran Islam terabaikan oleh penguasa. Para khalifah dan pejabat-pejabat sibuk memperkaya diri dan memperebutkan kekuasaan, yg menyebabkan kekhalifahan menjadi lemah. Meski berprestasi di bidang lain, seperti ilmu pengetahuan dan seni/budaya, ekonomi dan sosial-kemasyarakatan, prestasi-prestasi itu justru menyebabkan para penguasa Islam menjadi lupa pada sisi keruhanian. Untungnya masih banyak Wali Allah yg dengan caranya sendiri menjaga landasan utama bangunan Islam secara keseluruhan, sehingga meski peradaban lahiriah Islam luluh berantakan,namun potensi kekuatan Islam yg sesungguhnya tetap dijaga dengan kokoh oleh para Sufi, Wali Allah dan mursyid-mursyid tarekat. Tanpa mereka, barangkali masyarakat Islam pada umumnya akan lupa landasan eksistensi semesta yg sejati, yakni alam keruhanian/spiritual.
tetapi kehancuran peradaban Islam ini tidak bisa dikatakan total, sebab runtuhnya kekuasaan Baghdad pada saat itu membuka peluang bangkitnya kerajaan-kerajaan ISlam lain di berbagai belahan dunia, seperti misalnya di kawasan India, yg telah diuraikan di bagian sebelumnya. Di Kawasan Maghribi, akhir dari dinasti al-Muwahiddun memberi kesempatan untuk bangkitnya dinasti baru. Di Timur, dinasti Ayyubiyyah mulai porak poranda, yang kemudian lahirlah Dinasti Mamluk. Penguasa Mamluk inilah yang mampu menghentikan upaya penaklukan MOngol ke wilayah Barat.
Dan pusat kekhalifahanpun dipindah dari kawasan irak (yg dihancurkan Mongol pada 1258 M) ke wilayah Kairo, Mesir. Dibawah kekuasaan Mamluk ini di kawasan Timur berkembang pula tarekat-tarekat besar dan muncul Wali-Wali Agung yg pamornya tak kalah dengan para sufi dan Wali Allah di kawasan lain. Tokoh-tokoh yg cemerlang pada masa ini di antaranya adalah ABu Madyan, Ibn Arabi, Abdul Salam al-Masyisy, Ibn Sab’in, Al-Syustari, dan masih banyak lagi.
JIka kita membaca sejarah tasawuf di kawasan Timur, maka kita tak bisa mengabaikan salah satu tarekat terbesar didunia yg lahir di sana, Syadziliyyah. Tarekat Syadziliyyah terus melahirkan syekh-syekh bear yang sebagian dari mereka bergerak mengembara ke seluruh wilayah Masyriq dan belahan lain di dunia ini dan memberi warna tersendiri bagi perkembangan tasawuf di seluruh peradaban Islam di dunia.
Boleh dikatakan tradisi Syadziliyyah berakar kuat dalam tradisi dari Syekh Qutub al-Awliya ABu Madyan yg sangat mewarnai tasawuf di benua Afrika. Salah satu murid Abu Madyan yang menjadi leluhur Tarekat Syadziliyyah adalah Abdul Salam al-Masyisy.
Tidak banyak catatan tentang kelahiran dan masa kecil Abdul Salam ibn Masyisy. Dalam salah satu riwayat beliau sudah menempuh jalan Tasawuf sejak masih kecil. Guru pertamanya adalah Syekh Abdur Rahman al-Madani az-Zayyat yang tinggal di Madinah. Selama pendidikan awalnya ini Syekh Abdus Salam Ibn Masyisy melakukan ibadah dengan tekun melebihi kemampuan murid-murid lainnya.
Setiap malam beliau menjalankan shalat dan setiap selesai shalat, entah dari mana, beliau menemukan makanan sudah tersedia. Suatu malam beliau merasa curiga dengan asal-usul makanan ini, namun Syekh Abdur Rahman al Madani tiba-tiba muncul dan mengatakan, “Makanlah makanan ini, sebab engkau selalu dalam perlindungan Allah.” Kemudian beliau berguru kepada Wali Allah agung lainnya, Syekh ABU MADYAN, yang mempengaruhi hampir seluruh sufi wilayah Maghrib. Setelah puas mereguk ilmu agama dan Tasawuf dari Syekh Abu Madyan, beliau kembali ke negerinya.
Beliau mengabdikan diri untuk berdakwah. Keinginannya adalah menjaga kemurnian ajaran Islam di tengah-tengah suku Berber yang gemar pada praktik perdukunan dan sihir. Belakangan beliau kemudian mengundurkan diri di puncak gunung yang bernama Jabal ‘Alam, yang berada di kawasan Habt di Maghribi. Di sinilah kelak beliau bertemu dengan murid utamanya, yang juga penerus spiritualnya yang masyhur, Syekh Abu Hasan al-Syadzili.
Syekh Abdus Salam meninggal di kawasan Magribi (Maroko) sekitar tahun 1228 M). Menurut salah satu riwayat beliau meninggal akibat dibunuh oleh seorang dari suku Berber yang membenci ajaran-ajaran Tasawuf. Beberapa lawannya menuduhnya sesat dan dianggap menganut paham Syi’ah.
Setidaknya ada tiga tema dasar dalam ajarannya: Kesatuan Wujud (wahdat al-wujud), yang menurutnya hanya bisa dipahami dan direalisasikan melalui zuhud; takut kepada Allah, yakni keyakinan bahwa Allah selalu mengawasi seseorang, dan karenanya seseorang harus berusaha melihat wajah-Nya dibalik segala sesuatu yang diciptakan-Nya; dan seorang salik (murid) baru bisa meninggalkan eksistensinya dan meleburkan sifat-sifatnya ke dalam sifat Allah setelah ia menenggelamkan diri dalam samudera Kesatuan.
Syekh Abdus Salam Ibn Masyisy juga mengajarkan cinta Ilahi (mahabbah). Menurut beliau cinta datang dari Allah, yakni ketika Allah mengungkapkan pancaran Cahaya Keindahan dan Keagungan-Nya, maka seseorang akan jatuh dalam cinta ilahiah. Beliau menganjurkan para muridnya untuk mencintai Allah disertai dengan kesucian lahir dan batin.
Karenanya beliau berpesan, “Hendaknya anda sekalian melazimkan thaharah (bersuci) dari segala dosa dan syirik; maka ketika anda berhadas, yakni terlena dalam keduniawian, cepat-cepatlah bersuci dari “kenajisan dunia,” dan setiap kali anda condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai kesucian dan menggelincirkan dirimu.” Para salik hendaknya selalu berzikir, sampai ia mampu mereguk “minuman dengan piala-piala dari cahaya Jamal-Nya dan kesucian Jalal-Nya … regukan minuman (syarab al-mahabbah) akan menghasilkan percampuran Sifat Ilahi dengan sifat manusia, Cahaya dengan cahaya, Nama dengan nama …”
Belaiu juga menyatakan bahwa rahasia pengetahuan terdalam (hakikat) ada dalam pengetahuan mengenai rahasia kosmis Nabi Muhammad, atau pengetahuan tentang Nur Muhammad, yang merupakan pokok azali dari alam semesta.
Abu Hasan al-Syadzili dilahirkan di wilayah Ghumarah, dekat Ceuta yang sekarang berada di utara Maroko sekitar tahun 1197 M, saat Dinasti al-Muwahiddun mencapai titik nadirnya. Pada mulanya Syekh Syadzili dikenal sebagai ulama yg mahir berdebat. Namun kerinduannya akan nilai-nilai mistis/ruhani menyebabkan beliau mengembara mencari para syekh sufi sampai akhirnya bertemu dengan Wali Qutub Abdul Salam ibn Masyiyi. Pertemuan mereka mengandung ajaran simbolik yg sangat mendalam. Dikisahkan:
Ketika Abu Hasan menemuinya, Syekh Ibn Masyisy bertanya, “Apakah engkau sudah wudhu?” Abu Hasan menjawab, “Ya, sudah.” Tetapi Ibn Masyisy menukas, “Engkau tak bisa menemui kami dalam keadaan tak suci, kembalilah dan ambil wudhu.” Lalu Abu Hasan turun dari gunung dan memperbarui wudhunya, lalu mendaki lagi menemui Syekh Ibn Masyisy dan berharap kali ini diterima sebagai muridnya.
Tetapi Syekh Ibn Masyisy mengatakan, “Sudah kukatakan engkau harus mensucikan dirimu dengan wudhu.” Sekali lagi Abu Hasan turun gunung sambil merenungi penolakan dari Syekh Ibn Masyisy itu. Kemudian beliau mendapat pemahaman dari ujian awal ini, dan beliau mengetahui makna terdalam dari wudhu ini. Kemudian beliau berlatih berwudhu secara hakiki, bukan hanya mengerjakan tertib wudhu lahiriah tetapi juga sekaligus mengosongkan dirinya dari segala hal yang beliau ketahui, atau yang dianggapnya tahu, mengosongkan diri dari semua hal yang pernah dipelajarinya dari guru-guru lainnya; beliau juga mengosongkan seluruh atribut, gambaran dan pendapat/opini yang diyakininya, sampai beliau merasakan kekosongan dalam dirinya, kekosongan yang siap untuk diisi sesuatu. Kini beliau sudah pasrah sepenuhnya kepada gurunya. Beliau mendaki gunung lagi dan kali ini disambut oleh Syekh Ibn Masyisy.
Atas perintah sang guru, Imam Abu Hasan Syadzili membangun sebuah zawiyah (tempat latihan suluk) di Tunisia pada 1228 M, berbarengan dengan datangnya Abu Zakariyya, yg kelak menjadi penguasa Dinasti Hafshiyyah. Tarekat baru yg didiirikan oleh Imam Abu Hasan Syadzili ini sangat sukses dan menarik anggota dari segala lapisan masyarakat. Namun kepopulerannya menyebabkan banyak ulama lain merasa iri. Di masa tuanya, penguasa Ayyubiyah di Mesir mewakafkan tanah yg luas kepada Imam Abu Hasan di Alexandria. Karena terus-menerus diganggu oleh ulama fiqih dan ulama nonsufi, maka beliau kemudian hijrah ke Mesir, ke Alexandria.
Di Mesir, banyak petinggi istana yang menjadi murid dari Abu Hasan Syadzili. Menjelang hari tuanya, Syekh Abu Hasan Syadzili mengalami kebutaan. Meskipun buta, beliau tak tinggal diam ketika tentara salib mencoba merangsek ke Alexandria. Dengan caranya sendiri, beliau ikut dalam pertempuran di al-Manshurah, Mesir, dan berhasil menghalau pasukan Salib VII yg dipimpin oleh Santo Louis dari Perancis.
Imam Abu Hasan Syadzili meninggalkan warisan pengetahuan dan amalan yg sangat berharga. Yg terkenal di antaranya adalah Hizb Bahr (yg diilhamkan oleh Allah kepadanya saat beliau menyebrangi laut merah saat hendak menunaikan ibadah haji) atau Hizb al-Anwar.
Lebih dari selusin hizib susunan beliau menjadi sangat termasyhur dan diberi syarah (penjelasan) oleh para syekh sufi di seluruh dunia. Dalam hubungannya dengan fungsi hizib sebagai amalam untuk mengkonsentrasikan pikiran pada Tuhan, beliau melengkapinya dengan dawa’ir (jamak dari da’irah, lingkaran), semacam perlambgan geometris, umumnya berbentuk lingkaran atau persefi yg memuat ayat-ayat Al-Qur’an atau asma al-husna atau nama-nama malaikat, yg kadang-kadang difungsikan sebagai semacam “jimat”.
Mereka juga tidak mengenakan baju yg unik untuk menonjolkan dirinya. Syekh Syadzili sendiri tidak selalu mengenakan baju kumuh atau sederhana, tetapi bahkan terkadang beliau mengenakan pakaian yg indah dan mahal. Anggota tarekat Syadziliyyah diwajibkan mencari nafkah melalui profesi yg mereka bisa, entah itu sebagai pedagang, tabib, pejabat negara, dan sebagainya.
Mereka dilarang melarikan diri dari kehidupan duniawi, atau eskapisme, dan lebih baik mereka menempuh jalan ruhani di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Karena pada dasarnya tarekat Syadiziliyah ini lahir di lingkungan urban, maka ajarannya terutama menarik banyak kalangan profesional dan cendekiawan, sehingga menampakkan warna tarekat yg lebih tenang, intelektual dan penuh perenungan. Di kawasan mesir dan Afrika pada umumnya, Abu Hasan Syadzili, dan juga dua penerus terbesarnya, Syekh Abu Abbas Mursi dan Ibn Athaillah al-Askandari, adalah terkenal sebagai pembela utama ajaran Tasawuf pada umumnya, dan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi pada saat itu, terutama dari serangan dari salah seorang ulama yg juga terkenal pada masa itu, Ibn Taimiyyah.
selanjutnya
Tak boleh meminjam uang,tidak boleh meminta-minta meski lapar, jika punya kelebihan makanan, uang, panen, dan pakaian, tidak boleh disimpan lebih dari sehari dan harus disedekahkan, tidak boleh mencela orang, tidak boleh menganiaya, jika beramal baik tidak boleh menisbahkan amalnya pada dirinya sendiri dan harus bersyukur kepada ALlah dan berterima kasih kepada “Pir” atau Mursyid, jika melakukan dosa harus segera bertaubat, harus rajin puasa dan shalat wajib dan menghabiskan malam dengan shalat sunnah, harus menyedikitkan bicara dan kalau bicara harus karena ingin mendapat ridho Allah.
Seiring dengan berjalannya waktu, tata-tertib itu kelak mengalami beberapa modifikasi. Syekh Muinuddin Chisti bersahabat baik dengan Syekh Hamid al-din al-Shufi yang kelak membangun pusat kegiatan tarekat di Rajasthan. Salah satu murid Syekh Muinuddin CHisti, Khawajah Qutub al-Din Bakhtiar Kaki yg bermukim di Delhi menjadi ulama berpengaruh di istana, dan bahkan Sultan Syamsuddin Iltutmisy sangat memuliakan beliau. Syekh Bakhtiar Kaki sempat menetap di Baghdad dan bertemu dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, namun beliau tetap memilih menjadi murid Syekh Muinuddin Chisti. Syekh Bakhtiar Kaki sering mengadakan ritual sama’ (konser ruhani) dengan menggunakan musik dan tarian.
Pewaris Syekh Bakhtiar Kaki adalah Fariduddin Mas’ud atau yang lebih dikenal sebagai “Ganj-i-Syakar” atau Baba Farid. Baba Farid ini mendapat latihan ruhani yang keras dari Syekh Bakhtiar Kaki – termasuk dengan berzikir dan membaca Qur’an selama 40 hari dengan bergantungan kaki di atas kepala di bawah (yg dinamakan amalan chilla-yi ma’kus, yang dipertama kali diamalkan oleh Syekh Abu Said al-Khair). Kepopuleran Baba Farid tersebar ke segala penjuru India, dan bahkan para pertapa Yogi sering mengunjunginya untuk berdiskusi soal-soal Ketuhanan tanpa rasa canggung. Baba Farid juga dikenal sebagai penyair sufi.
Penerus Baba Farid adalah Khawaja Nizhamuddin al-Awliya, yg menetap di Delhi sampai akhir hayatnya pada 1325 M. Beliaulah yang mengkristalisasikan ajaran Tarekat Chistiyyah di India bagian utara. Syekh NIzhamuddin al-Awliya dikenal karena ilmu ladunni-nya – dan bahkan para ulama anti0Tasawuf kagum kepadanya.
Sebagaimana tarekat lainnya, Chistiyyah juga mengajarkan wirid dan zikir tertentu. Tarekat ini juga menggunakan teknik khusus yang disebut pan-i anfas (pengendalian nafas) dengan pola duduk mirip postur Yogi. Menurut tradisi Chistiyyah, setiap nafas memiliki hubungan tertentu dengan maqam-maqamruhani. Seorang sufi sejati di tarekat ini sanggup membaca zikir tertentu dengan hanya satu nafas. Bagi yg sudah memiliki maqam tinggi, kemampuan mereka menahan nafas sangat luar biasa. Konon beberapa mursyid CHistiyyah mampu membaca kalimat tahlil 101 kali dalam satu nafas saja.
Tarekat Chistiyyah berakar pada tradisi Sunnui dan menganut mazhab Hanafi. Pengaruh ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi baru masuk ke tarekat ini setelah era Khawajah Muinuddin al-Hasan.Para mursyid Chistiyyah banyak yg berjuang keras untuk berdakwah di dunia yang didominasi oleh ajaran Hindu Bahkan salah satu mursyidnya, Khawajah Bandah Nawaz Gisu daraz mempelajari bahasa Sanskrit agar mampu melakukan debat dengan para brahmana. Peran politiik sufi-sufi Chistiyyah juga tak bisa diremehkan. Para penguasa Mughal, mulai dari Sutan Akbar, bahkan sampai abad 18 M, dipengaruhi oleh para sufi Chistiyyah. Sebagian karena para sufi inilah, maka kolonialisme dan modernisme,westernisasi, dan bahkan salafi-wahhabi tidak mampu meredam perkembangan Tasawuf di India dan sekitarnya.
Namun tentu saja wali-wali Allah yg menjaga ruh Tasawuf tidak hanya dari kalangan Tarekat Chistiyyah. Sumbangan terbesar dari para sufi terhadap pemeliharan ajaran tasawuf dimulai setelah penaklukan India oleh Sultan Mahmud dari Ghaznah. Tarekat-tarekat selain Chistiyyah yg berkembang di sana antara lain Tarekat Kaziruniyyah, yang didirikan oleh Syekh Abu Ishaq Ibrahim ibn Syahruyar. Bahkan ajaran Syekh JUnaid al-Baghdad dikristalkan di india melalui pendirian Tarekat Junaidiyyah. Pendirinya adalah Syekh Abu Fadhil al-Kuttali, yg juga dari guru wali Allah termasyhur, Syekh Abu Utsman Hujwiri al-Jullabi, penulis kitab Kasyful Mahjub yg terkenal itu. Kitab ini membuka jalan bagi pemantapan pemikiran sufi di India, Persia dan Asia Tengah. Karya yg barangkali bisa menandingi kualitas Kasyful Mahjub pada periode itu datang dari sufi dari tarekat Suhrawardiyyah, Syekh Syihabuddin al-Suhrawardi, yakni Awarif al-Ma’arif. Salah satu muridnya, yakni Syekh Bahauddin Zakariyya menjadi tokoh spiritual penting di masa kekuasaan Multan. Invasi Mongol ke wilayah itu berhasil diatasi berkat bantuan dari Syekh Bahauddin Zakariyya ini.
Syekh Bahauddin Zakariyya ini punya menantu yg juga menjadi sangat tersohor di dunia Tasawuf, yakni Syekh Fakhruddin Iraqi, yg menulis risalah syair berjudul Lama’at, yang didasarkan pada pelajaran dari Syekh Sadruddin Qunawi (anak angkat dan menantu dari Syekh Akbar Ibn Arabi dari Andalusia, penggagas wahdat al-wujud).
Fakhruddin Iraqi adalah Wali Allah yang juga penyair yang agung, salah satu tokoh Qalandar yang paling terkenal di dunia Tasawuf. Beliau termasuk salah satu tokoh utama generasi ketiga dalam tradisi ajaran mazhab Muhyiddin IBN ‘ARABI. Syair-syairnya berisi penafsiran ajaran wahdat al-wujud, terutama yang disusun dalam Lama’at. Sajak-sajaknya, yang mengajarkan metafisika eksistensi dan hakikat cinta-ilahi bukan hanya terkenal di kawasan Persia tetapi juga di India dan menjadi bagian integral dari puisi cinta sufi yang didendangkan dengan iringan musik.
Bila aku telah menjadi Kekasih
Lantas siapakah sang pecinta?
– Lama’at, Fakhruddin Iraqi,
Fakruddin Ibrahim al-Iraqi lahir di desa Kamajan dekat kota Hamadzan pada 1213 (610 H), sebagai putra dari keluarga pecinta ilmu pengetahuan dan sastra. Menurut kisah, sebelum beliau lahir, ayahnya bermimpi bertemu Sayyidina Ali ibn Abi Thalib bersama beberapa Wali Allah lain. Seorang Wali maju menyerahkan seorang anak kepada Sayyidina Ali. Sambil memangku anak itu, Sayyidina Ali memanggil ayah Iraqi sambil berkata, “Terimalah Iraqi kita dan rawatlah dengan baik karena ia akan menjadi ‘penguasa’ dunia.” Sejak kecil Syekh Iraqi mendapat pendidikan agama yang baik; pada usia sembilan tahun beliau sudah hafal al-Qur’an. Suaranya sangat merdu jika membaca kitab suci itu – siapapun yang mendengarnya akan terhanyut dan bahkan menangis. Karenanya setiap pagi-pagi banyak orang akan berkumpul di rumahnya hanya untuk mendengarkannya membaca al-Qur’an. Bahkan karamahnya telah tampak sejak beliau masih kecil ini. Alkisah, ketika sedang membaca sebuah ayat, sekelompok orang nonmuslim yang sedang melintas dan mendengarnya langsung terpesona, dan langsung menemui Syekh Iraqi dan mengucapkan kalimat syahadat. Sebelumu usia 20 tahun Syekh Iraqi telah menguasai semua cabang ilmu agama dengan baik, dan menjadi ahli tafsir, hadits, fiqh dan ahli kalam yang mumpuni.
Pertemuannya dengan sekelompok sufi Qalandar mengubah seluruh kehidupannya. Beliau merasakan kerinduan yang begitu besar kepada sufi-sufi Qalandar yang sempat singgah di kotanya. Sejak itu beliau mulai berkelana mencari para Qalandar dan kemudian bergabung dengan mereka. Beliau ikut mengembara bersama mereka ke seluruh kawasan Persia hingga India. Iraqi sempat berguru kepada Syekh Bahauddin Zakariyya Multani, seorang mursyid Tarekat Suhrawardiyah, yang telah menempati kedudukan Qutb al-Awliya. Dibawah pengawasannya, Syekh Iraqi menjalani khalwat 40 hari. Selama khalwat ini Syekh Iraqi mengalami jadzab dan tenggelam dalam cinta ilahi, dan mulai sering menyenandungkan sajak-sajak cinta mistis. Tetapi karena aturan Tarekat Suhrawardiyah cukup ketat, Syekh Iraqi dicurigai para murid lainnya dan mulai dianggap gila.
Mereka mengadukannya kepada Syekh Bahauddin Zakariyya. Namun Syekh Bahauddin Zakariyya mengatakan, “Kelakuan semacam itu mungkin terlarang bagi kalian, namun tidak bagi dia!” Ketika kemudian salah satu sajaknya menjadi amat terkenal di kota, Syekh Bahauddin Multani memanggil Syekh Iraqi dan memberinya khirqah (jubah) kesufian, sebagai tanda kesempurnaan spiritual. Beliau juga dijodohkan dengan putri Syekh Selama 25 tahun berikutnya Syekh Iraqi melayani Syekh Bahauddin Zakariyya dan selama itu pula beliau terus mencipta sajak-sajak yang indah. Sebelum meninggal, Syekh Bahauddin mewariskan kepemimpinan tarekat kepada Syekh Fakhruddin Iraqi. Namun karena murid-murid lainnya tak suka kepadanya, mereka menyebar fitnah dan bersekongkol dengan penguasa (yang sejak lama merasa takut dengan potensi kekuatan tarekat). Para penguasa itu menggunakan kesempatan ini untuk menghancurkan tarekat tersebut. Syekh Fakhruddin Iraqi kemudian memutuskan untuk mengembara lagi dan menjadi lebih terkenal.
Saat haji di Mekah, beliau bermalam tiga hari di dekat pusara Rasulullah saw dan menerima banyak penyingkapan ruhani. Kemudian beliau berangkat ke Damaskus dan Turki dan akhirnya tinggal di Konya, dan bersahabat dengan dua Wali Agung terkemuka pada zamannya, Syekh Shadruddin Qunawi (murid dan putra angkat Syekh Akbar Ibn ‘Arabi) dan Maulana JALALUDDIN RUMI. Melalui Syekh Qunawi inilah Syekh Iraqi mendapat tempaan spiritual kedua. Syekh Qunawi bukan hanya menempanya secara spiritual, tetapi juga secara intelektual. Setiap selesai mengikuti pelajaran Qunawi mengenai kitab Fusush al-Hikam karya Ibn ‘Arabi, Syekh Iraqi menggubah renungan ringkas tentang pelajaran itu dalam bentuk sajak. Koleksi sajak mistis ini kemudian diberinya judul Lama’at (Kilauan Cahaya). Model sajaknya, menurut beliau sendiri, dipengaruhi oleh gaya sajak dalam Sawanih karya AHMAD AL-GHAZALI. Koleksi sajak itu kemudian dibacakan di depan Syekh Sadruddin Qunawi, yang kemudian mengatakan, “Wahai Iraqi, engkau telah menulis suatu rahasia. Sesungguhnya Lama’at adalah inti dari Fusush!”
Syekh Iraqi, sebagai Qalandar, masih senang melakukan pengembaraan. Meski banyak pihak yang memintanya menetap di satu tempat – dan bahkan seorang penguasa membangun sebuah rumah untuknya – namun Syekh Iraqi tetap memilih bebas. kepopulerannya menarik banyak murid, termasuk dari para pejabat. Salah seorang pejabat, bernama Mu’inuddin Parwanah, sebelum tewas dihukum mati oleh kaisar Mongol, menyerahkan seluruh kekayaannya – sekantong penuh permata – kepada Syekh Iraqi, sambil berpesan agar membebaskan anaknya yang ditahan di Kairo. Namun Syekh Iraqi hanya menyimpannya di kamar tanpa pernah membuka, apalagi menyentuh isi kantung itu. Tetapi ada beberapa kalangan yang tak menyukainya dan menyebarkan fitnah. Penguasa Pangeran Kangritay terhasut oleh fitnah itu dan memerintahkan agar Syekh Fakhurddin Iraqi ditangkap untuk dihukum mati. Sahabat-sahabat Iraqi memperingatkannya dan membantunya mengungsi. Syekh Iraqi kemudian pergi ke Mesir. Syekh Iraqi menemui sultan Mesir untuk memintanya membebaskan anak Parwanah. Dihadapan Sultan, Syekh Iraqi menyerahkan sekantung permata itu sambil menceritakan semuanya dari awal hingga akhir, dan kemudian menyampaikan amanat Parwanah itu. Sultan heran ketika mengetahui sekantung permata yang amat mahal itu tidak diambil satupun oleh Syekh Iraqi. Sultan Mesir kemudian membebaskan anak Parwanah dan mengangkat Syekh Iraqi menjadi pemimpin Syekh di Mesir, dan memerintahkan agar esok hari seluruh ulama dan sufi menghadiri acara pengangkatannya. Keesokan harinya ribuan sufi dan ulama menyaksikan bagaimana sultan sendiri yang menaikkan Syekh Fakhruddin Iraqi ke atas kuda milik sultan dan memberinya jubah kehormatan. Tetapi Syekh Iraqi, yang menyadari bahaya bangkitnya ego dan kebanggaan diri, lalu merobek jubah itu. Semua yang hadir heran dan mencemoohnya. Namun sultan justru makin percaya kepada kewalian Syekh Fakhruddin Iraqi.
Syekh Iraqi kemudian memutuskan pergi ke Damaskus meskipun sultan mencoba membujuknya agar tetap tinggal di Mesir. Konon keinginannya ke Damaskus ini karena undangan Syekh Akbar Ibn ‘Arabi lewat mimpinya. Dengan bantuan sultan, Syekh Fakhruddin Iraqi sampai ke Damaskus tanpa aral-melintang dan bahkan disambut hangat penuh suka-cita oleh penduduk setempat. Syekh Fakhruddin Iraqi meninggal di sana pada 12 November 1289 (8 Dzulqaidah 688) dalam usia 78 tahun. Makamnya hingga kini ramai dikunjungi peziarah. Kelak beliau oleh sebagian orang disebut sebagai “samuderanya orang Persia.”
Kitab Lama’at penuh dengan metafisika cinta dan wahdat al-wujud dalam tradisi Syekh Akbar Ibn ‘Arabi. Dalam kitab ini Syekh Iraqi mengidentifikasi apa itu Cinta dalam pengertian hubb dan isyq. Syekh Iraqi menjelaskan, secara puitis, beberapa tahapan menuju ke hakikat kemanusiaan, Insan Kamil. Cinta menurut Syekh Iraqi adalah alasan di balik terciptanya segala wujud yang ada, yang bersumber dari Wujud yang Esa. Zat Allah yang tiada batas memanifestasikan diri-Nya melalui tajalli-Nya yang tak berkesudahan. Tetapi manifestasi yang maujud itu bukan dalam bentuk wujud tersendiri yang independen dari Wujud-Nya. Ini adalah salah satu prinsip dasar dalam ajaran Syekh Ibn ‘Arabi – wahdat al-wujud. Dalam analisis terakhir, awal dan akhir dari Cinta adalah Penyatuan – Wujud dan Insan Kamil pada hakikatnya adalah satu, sebab Wujud hanya ada satu. Si pecinta adalah Yang Dicintai, karena wujudnya lenyap dalam Wujud Kekasih, sedangkan Yang Dicintai tetap dalam keadaan keabadian sebagaimana adanya tanpa penambahan – “Dia sekarang adalah sebagaimana Dia yang dulu.”
Jelas hingga abad 12 M Tasawuf sudah makin kokoh dalam peradaban Islam seiring dengan berkembangnya tarekat-tarekat besar seperti Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah, Suhrawardiyyah dan Chistiyyah (yg telah diuraikan di bagian-bagian tedahulu). Dari satu sisi, dapat dikatakan bahwa perkembangan spiritualitas Islam ini merupakan “kehendak Ilahi” untuk menjaga agar ruh Islam tetap hidup.
Sebagaimana kita tahu, serbuan Mongol yang dahsyat telah meruntuhkan sebagian besar kekhalifahan di Baghdad, pusat peradaban Islam saat itu. Kemegahan dan kejayaan peradaban Islam serta kemewahan duniawi yang diraih oleh para khalifah Islam pada masa itu justru menyebabkan inti ajaran Islam terabaikan oleh penguasa. Para khalifah dan pejabat-pejabat sibuk memperkaya diri dan memperebutkan kekuasaan, yg menyebabkan kekhalifahan menjadi lemah. Meski berprestasi di bidang lain, seperti ilmu pengetahuan dan seni/budaya, ekonomi dan sosial-kemasyarakatan, prestasi-prestasi itu justru menyebabkan para penguasa Islam menjadi lupa pada sisi keruhanian. Untungnya masih banyak Wali Allah yg dengan caranya sendiri menjaga landasan utama bangunan Islam secara keseluruhan, sehingga meski peradaban lahiriah Islam luluh berantakan,namun potensi kekuatan Islam yg sesungguhnya tetap dijaga dengan kokoh oleh para Sufi, Wali Allah dan mursyid-mursyid tarekat. Tanpa mereka, barangkali masyarakat Islam pada umumnya akan lupa landasan eksistensi semesta yg sejati, yakni alam keruhanian/spiritual.
tetapi kehancuran peradaban Islam ini tidak bisa dikatakan total, sebab runtuhnya kekuasaan Baghdad pada saat itu membuka peluang bangkitnya kerajaan-kerajaan ISlam lain di berbagai belahan dunia, seperti misalnya di kawasan India, yg telah diuraikan di bagian sebelumnya. Di Kawasan Maghribi, akhir dari dinasti al-Muwahiddun memberi kesempatan untuk bangkitnya dinasti baru. Di Timur, dinasti Ayyubiyyah mulai porak poranda, yang kemudian lahirlah Dinasti Mamluk. Penguasa Mamluk inilah yang mampu menghentikan upaya penaklukan MOngol ke wilayah Barat.
Dan pusat kekhalifahanpun dipindah dari kawasan irak (yg dihancurkan Mongol pada 1258 M) ke wilayah Kairo, Mesir. Dibawah kekuasaan Mamluk ini di kawasan Timur berkembang pula tarekat-tarekat besar dan muncul Wali-Wali Agung yg pamornya tak kalah dengan para sufi dan Wali Allah di kawasan lain. Tokoh-tokoh yg cemerlang pada masa ini di antaranya adalah ABu Madyan, Ibn Arabi, Abdul Salam al-Masyisy, Ibn Sab’in, Al-Syustari, dan masih banyak lagi.
JIka kita membaca sejarah tasawuf di kawasan Timur, maka kita tak bisa mengabaikan salah satu tarekat terbesar didunia yg lahir di sana, Syadziliyyah. Tarekat Syadziliyyah terus melahirkan syekh-syekh bear yang sebagian dari mereka bergerak mengembara ke seluruh wilayah Masyriq dan belahan lain di dunia ini dan memberi warna tersendiri bagi perkembangan tasawuf di seluruh peradaban Islam di dunia.
Boleh dikatakan tradisi Syadziliyyah berakar kuat dalam tradisi dari Syekh Qutub al-Awliya ABu Madyan yg sangat mewarnai tasawuf di benua Afrika. Salah satu murid Abu Madyan yang menjadi leluhur Tarekat Syadziliyyah adalah Abdul Salam al-Masyisy.
Tidak banyak catatan tentang kelahiran dan masa kecil Abdul Salam ibn Masyisy. Dalam salah satu riwayat beliau sudah menempuh jalan Tasawuf sejak masih kecil. Guru pertamanya adalah Syekh Abdur Rahman al-Madani az-Zayyat yang tinggal di Madinah. Selama pendidikan awalnya ini Syekh Abdus Salam Ibn Masyisy melakukan ibadah dengan tekun melebihi kemampuan murid-murid lainnya.
Setiap malam beliau menjalankan shalat dan setiap selesai shalat, entah dari mana, beliau menemukan makanan sudah tersedia. Suatu malam beliau merasa curiga dengan asal-usul makanan ini, namun Syekh Abdur Rahman al Madani tiba-tiba muncul dan mengatakan, “Makanlah makanan ini, sebab engkau selalu dalam perlindungan Allah.” Kemudian beliau berguru kepada Wali Allah agung lainnya, Syekh ABU MADYAN, yang mempengaruhi hampir seluruh sufi wilayah Maghrib. Setelah puas mereguk ilmu agama dan Tasawuf dari Syekh Abu Madyan, beliau kembali ke negerinya.
Beliau mengabdikan diri untuk berdakwah. Keinginannya adalah menjaga kemurnian ajaran Islam di tengah-tengah suku Berber yang gemar pada praktik perdukunan dan sihir. Belakangan beliau kemudian mengundurkan diri di puncak gunung yang bernama Jabal ‘Alam, yang berada di kawasan Habt di Maghribi. Di sinilah kelak beliau bertemu dengan murid utamanya, yang juga penerus spiritualnya yang masyhur, Syekh Abu Hasan al-Syadzili.
Syekh Abdus Salam meninggal di kawasan Magribi (Maroko) sekitar tahun 1228 M). Menurut salah satu riwayat beliau meninggal akibat dibunuh oleh seorang dari suku Berber yang membenci ajaran-ajaran Tasawuf. Beberapa lawannya menuduhnya sesat dan dianggap menganut paham Syi’ah.
Setidaknya ada tiga tema dasar dalam ajarannya: Kesatuan Wujud (wahdat al-wujud), yang menurutnya hanya bisa dipahami dan direalisasikan melalui zuhud; takut kepada Allah, yakni keyakinan bahwa Allah selalu mengawasi seseorang, dan karenanya seseorang harus berusaha melihat wajah-Nya dibalik segala sesuatu yang diciptakan-Nya; dan seorang salik (murid) baru bisa meninggalkan eksistensinya dan meleburkan sifat-sifatnya ke dalam sifat Allah setelah ia menenggelamkan diri dalam samudera Kesatuan.
Syekh Abdus Salam Ibn Masyisy juga mengajarkan cinta Ilahi (mahabbah). Menurut beliau cinta datang dari Allah, yakni ketika Allah mengungkapkan pancaran Cahaya Keindahan dan Keagungan-Nya, maka seseorang akan jatuh dalam cinta ilahiah. Beliau menganjurkan para muridnya untuk mencintai Allah disertai dengan kesucian lahir dan batin.
Karenanya beliau berpesan, “Hendaknya anda sekalian melazimkan thaharah (bersuci) dari segala dosa dan syirik; maka ketika anda berhadas, yakni terlena dalam keduniawian, cepat-cepatlah bersuci dari “kenajisan dunia,” dan setiap kali anda condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai kesucian dan menggelincirkan dirimu.” Para salik hendaknya selalu berzikir, sampai ia mampu mereguk “minuman dengan piala-piala dari cahaya Jamal-Nya dan kesucian Jalal-Nya … regukan minuman (syarab al-mahabbah) akan menghasilkan percampuran Sifat Ilahi dengan sifat manusia, Cahaya dengan cahaya, Nama dengan nama …”
Belaiu juga menyatakan bahwa rahasia pengetahuan terdalam (hakikat) ada dalam pengetahuan mengenai rahasia kosmis Nabi Muhammad, atau pengetahuan tentang Nur Muhammad, yang merupakan pokok azali dari alam semesta.
Salah satu warisan dari Ibn Masyiyi yg tersisa dan paling terkenal adalah shalawat susunan beliau yg diamalkan bukan hanya oleh pengikut tarekat Syadziliyyah namun juga para pengamal tasawuf pada umumnya. Dan Ibn Masyiyi pula yang meramalkan bahwa kelak muridnya, Abu Hasan al-Syadzili akan menjadi salah satu Sulthan al-Awliya pada zamannya.
Abu Hasan al-Syadzili dilahirkan di wilayah Ghumarah, dekat Ceuta yang sekarang berada di utara Maroko sekitar tahun 1197 M, saat Dinasti al-Muwahiddun mencapai titik nadirnya. Pada mulanya Syekh Syadzili dikenal sebagai ulama yg mahir berdebat. Namun kerinduannya akan nilai-nilai mistis/ruhani menyebabkan beliau mengembara mencari para syekh sufi sampai akhirnya bertemu dengan Wali Qutub Abdul Salam ibn Masyiyi. Pertemuan mereka mengandung ajaran simbolik yg sangat mendalam. Dikisahkan:
Ketika Abu Hasan menemuinya, Syekh Ibn Masyisy bertanya, “Apakah engkau sudah wudhu?” Abu Hasan menjawab, “Ya, sudah.” Tetapi Ibn Masyisy menukas, “Engkau tak bisa menemui kami dalam keadaan tak suci, kembalilah dan ambil wudhu.” Lalu Abu Hasan turun dari gunung dan memperbarui wudhunya, lalu mendaki lagi menemui Syekh Ibn Masyisy dan berharap kali ini diterima sebagai muridnya.
Tetapi Syekh Ibn Masyisy mengatakan, “Sudah kukatakan engkau harus mensucikan dirimu dengan wudhu.” Sekali lagi Abu Hasan turun gunung sambil merenungi penolakan dari Syekh Ibn Masyisy itu. Kemudian beliau mendapat pemahaman dari ujian awal ini, dan beliau mengetahui makna terdalam dari wudhu ini. Kemudian beliau berlatih berwudhu secara hakiki, bukan hanya mengerjakan tertib wudhu lahiriah tetapi juga sekaligus mengosongkan dirinya dari segala hal yang beliau ketahui, atau yang dianggapnya tahu, mengosongkan diri dari semua hal yang pernah dipelajarinya dari guru-guru lainnya; beliau juga mengosongkan seluruh atribut, gambaran dan pendapat/opini yang diyakininya, sampai beliau merasakan kekosongan dalam dirinya, kekosongan yang siap untuk diisi sesuatu. Kini beliau sudah pasrah sepenuhnya kepada gurunya. Beliau mendaki gunung lagi dan kali ini disambut oleh Syekh Ibn Masyisy.
Atas perintah sang guru, Imam Abu Hasan Syadzili membangun sebuah zawiyah (tempat latihan suluk) di Tunisia pada 1228 M, berbarengan dengan datangnya Abu Zakariyya, yg kelak menjadi penguasa Dinasti Hafshiyyah. Tarekat baru yg didiirikan oleh Imam Abu Hasan Syadzili ini sangat sukses dan menarik anggota dari segala lapisan masyarakat. Namun kepopulerannya menyebabkan banyak ulama lain merasa iri. Di masa tuanya, penguasa Ayyubiyah di Mesir mewakafkan tanah yg luas kepada Imam Abu Hasan di Alexandria. Karena terus-menerus diganggu oleh ulama fiqih dan ulama nonsufi, maka beliau kemudian hijrah ke Mesir, ke Alexandria.
Di Mesir, banyak petinggi istana yang menjadi murid dari Abu Hasan Syadzili. Menjelang hari tuanya, Syekh Abu Hasan Syadzili mengalami kebutaan. Meskipun buta, beliau tak tinggal diam ketika tentara salib mencoba merangsek ke Alexandria. Dengan caranya sendiri, beliau ikut dalam pertempuran di al-Manshurah, Mesir, dan berhasil menghalau pasukan Salib VII yg dipimpin oleh Santo Louis dari Perancis.
Imam Abu Hasan Syadzili meninggalkan warisan pengetahuan dan amalan yg sangat berharga. Yg terkenal di antaranya adalah Hizb Bahr (yg diilhamkan oleh Allah kepadanya saat beliau menyebrangi laut merah saat hendak menunaikan ibadah haji) atau Hizb al-Anwar.
Lebih dari selusin hizib susunan beliau menjadi sangat termasyhur dan diberi syarah (penjelasan) oleh para syekh sufi di seluruh dunia. Dalam hubungannya dengan fungsi hizib sebagai amalam untuk mengkonsentrasikan pikiran pada Tuhan, beliau melengkapinya dengan dawa’ir (jamak dari da’irah, lingkaran), semacam perlambgan geometris, umumnya berbentuk lingkaran atau persefi yg memuat ayat-ayat Al-Qur’an atau asma al-husna atau nama-nama malaikat, yg kadang-kadang difungsikan sebagai semacam “jimat”.
Ajaran Tarekat Syadzili murni didasarkan pada Qur’an dan al-hadits dengan penekanan pada kandungan metafisik dan ruhani dari ajaran Tauhid. Salah satu ciri menonjol dari tarekat Syadizliyyah ini adalah beliau tidak memisahkan tarekatnya dari kehidupan keduniawian secara ekstrim.
Mereka juga tidak mengenakan baju yg unik untuk menonjolkan dirinya. Syekh Syadzili sendiri tidak selalu mengenakan baju kumuh atau sederhana, tetapi bahkan terkadang beliau mengenakan pakaian yg indah dan mahal. Anggota tarekat Syadziliyyah diwajibkan mencari nafkah melalui profesi yg mereka bisa, entah itu sebagai pedagang, tabib, pejabat negara, dan sebagainya.
Mereka dilarang melarikan diri dari kehidupan duniawi, atau eskapisme, dan lebih baik mereka menempuh jalan ruhani di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Karena pada dasarnya tarekat Syadiziliyah ini lahir di lingkungan urban, maka ajarannya terutama menarik banyak kalangan profesional dan cendekiawan, sehingga menampakkan warna tarekat yg lebih tenang, intelektual dan penuh perenungan. Di kawasan mesir dan Afrika pada umumnya, Abu Hasan Syadzili, dan juga dua penerus terbesarnya, Syekh Abu Abbas Mursi dan Ibn Athaillah al-Askandari, adalah terkenal sebagai pembela utama ajaran Tasawuf pada umumnya, dan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi pada saat itu, terutama dari serangan dari salah seorang ulama yg juga terkenal pada masa itu, Ibn Taimiyyah.
selanjutnya
Tidak ada komentar