TASAWWUF DAN PERKEMBANGANNYA 07

Sebelum kita lanjutkan menengok pada peran spiritual dari para syekh sufi, kita tengok sebentar peran sosial tarekat yg berkembang pada abad pertengahan ini, sebab setelah akhir periode 1200 dan awal periode 1300, perkembangan tasawuf mulai bergerak ke arah bentuk yg sedikit berbeda. lagipula, pada periode setelah 1300-an ini “perseteruan” mulai lebih sengit antara penganut tasawuf dengan anti-tasawuf (terutama sejak Ibn Taimiyyah) dan antara pengikut tasawuf dan kaum nonmuslim. lagipula, pertemuan Islam dengan peradaban Barat modern ikut memengaruhi perkembangan pemikiran Islam pada umumnya dan pemikiran tasawuf pada khususnya.


Kini tampak bahwa 5 abad setelah wafatnya Rasulullaah SAW, ajaran Tasawuf yg pada awalnya disebarkan oleh sufi-sufi individual, secara bertahap menemukan bentuk baru sebagai semacam organisasi. Tarekat-tarekat generasi awal sebagian mendominasi sebagian wilayah tertentu, dan sebagian lainnya mendominasi wilayah lainnya. Karena itu beberapa tarekat berperan sangat penting dalam konteks lokal dan regional. Namun meskipun tarekat-tarekat telah mapan, masih banyak sufi individual yang tidak berafiliasi atau mendirikan tarekat, seperti misalnya Ibn Arabi, meskipun ajarannya memengaruhi banyak tarekat di seluruh dunia.

Jika kita lihat konteks abad pertengahan ini tampak bahwa sebagian besar umat Muslim pada saat itu menjadi anggota tarekat atau setidaknya berafiliasi dengan tarekat atau syekh sufi tertentu, meski tidak sedikit pula yg memusuhinya, terutama dari kalangan penguasa dan ulama yang memiliki kepentingan pribadi (misalnya kecemburuan karena kalah pamor, keinginan dekat dengan penguasa, ulama2 su’ yg menjual agama, dan sebagainya).

Karena proses perkembangan tawawuf dan pemantapan organisasi tarekat terjadi di masa yg penuh gejolak, mau tak mau pengaruh situasi ikut mewarnai proses berdirinya tarekat itu. Boleh dikatakan sebagian besar mursyid dan ikhwan tarekat pada masa itu adalah generasi awal yang berperan besar dalam mempertahankan peradaban Islam dari kehancuran total. Perang Salib yg berlangsung sampai 200 tahun terjadi bersamaan dengan proses perkembangan dan pemantapan ajaran tasawuf pada umumnya, dan tarekat pada khususnya.

Perang Salib yang pecah pertama kali pada sekitar tahun 1090-an, mengawali sebuah periode di mana Islam yang pada awalnya terpusat di kawasan Timur Tengah, Mesopotamia dan Persia menjadi tersebar ke belahan lain di dunia. Perang Salib menyebabkan bertemunya dua peradaban yang pada mulanya tidak saling menyapa. Penyebaran ini diperluas setelah pasukan Mongol menyerbu jantung peradaban Islam pada abad pertengahan tersebut.

Pada saat yg sama, para sufi dan mursyid dan ikhwan tarekat ikut terlibat langsung dalam berbagai pertempuran menghadapi tentara salib, entah itu dengan terjun langsung (seperti yg dilakukan oleh Wali Qutub Abu Madyan), atau secara tak langsung dengan memberikan kontribusi doa atau ijazah (atau “suwuk) untuk memperkuat mental pejuang Islam, seperti yg dilakukan oleh Imam Abu Hasan Syadzili. Bahkan para sufi dari tarekat Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah banyak yang menempati kedudukan tinggi di pusat pemerintahan, dan sebagian besar syekh dari tarekat Naqsyabandi menjadi penasihat spiritual dari para sultan dalam mengelola pemerintahan, seperti misalnya Khawajah Ubadilillah Ahrar di kawasan Asia Tengah, atau yg lebih belakangan, Imam Rabbani Syekh Ahmad Sirhindi di India.

Selain peran politik dan sosial, peran ekonomi para sufi dan tarekat generasi awal sangat kentara sekali. Pusat-pusat zawiyah dan knahaqah sufi menjadi semacam sumber perekonomian umat kelas bawah. Para sufi dari berbagai tarekat semisal Qadiriyyah, Mawlawiyyah, Naqsybandiyah, dan sebagainya telah berperan sebagai “bufffer” atau penyangga perekonomian umat kelas bawah, melalui mekanisme sedekah, zakat, perdagangan, dan pemberdayaan ekonomi, kesenian dan kesusastraan.

Misalnya, dari segi pemberdayaan ekonomi, syekh-syekh dari Tarekat Syadiziliyyah, Naqsyabandiyya, Qodiriyyah dan Ni’matullah mendorong anggotanya untuk mandiri secara ekonomi. tarekat Ni’matullah, misalnya, melarang anggotanya untuk menggantungkan nafkahnya dari belas kasih orang lain – mereka diajak untuk bertani. dan ajakan ini tidak sekadar himbauan, tetapi mursyidnya turun tangan langsung membantu, entah itu dengan menyediakan pinjaman lunak, menyewakan lahan – bahkan pendiri tarekat Ni’matullah tidak hanya memberi saran, tetapi juga tauladan dengan ikut langsung bergulat dengan cangkul dan lumpur di lahan pertanian miliknya.
Di sisi lain, para sufi juga berperan besar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dasar, seperti filsafat, seni arsitektur, politik dan terutama ilmu agama. Cukup kita sebut contoh Syekh Ibn Arabi untuk menunjukkan betapa besar sumbangsihnya pada kajian filsafat-religius di dunia Islam. Bahkan dewasa ini ajaran Ibn Arabi, dan juga ajaran para Syekh Sufi pada umumnya, menjadi bahan kajian yg menarik bagi cabang filsafat yg diberi nama filsafat perennial.

Nanti, pada periode yg lebih modern, para periode kolonialisme yg berkecamuk, justru ajaran-ajaran tasawuf-falsafi inilah yang membuka jalur untuk masuknya ajaran Islam ke jantung peradaban Kristen-Barat di Eropa dan Amerika, sebelum kemudian diikuti oleh masuknya gelombang tarekat yang lebih formal dan membawa serta ajaran syariat Islam secara lebih komprehensif ke dunia Barat pada awal abad 18 M.
Maka jelas bahwa tesis bahwa ajaran tasawuf menyebabkan kemunduran dan anti-dunia adalah pendapat yg keliru.

Kekeliruan ini bisa dipahami mengingat orang yg sudah tidak senang dengan ajaran para sufi lebih suka melihat tasawuf dari sisi mistis-nya belaka, terutama pada syekh-syekh sufi kontroversial generasi awal semacam al-Hallaj,Abu Yazid, Ibn Arabi dan yg lainnya. Lagipula para penentang tasawuf umumnya enggan membaca sejarah lengkap perkembangan dan ajaran tasawuf secara obyektif, sehingga pendapat mereka lebih banyak dipenuhi prasangka buruk yg tidak berdasar. Adalah benar bahwa selalu ada penyimpangan dalam tradisi agama apapun. Tetapi, jika ada nabi palsu yg menyesatkan, itu bukan berarti semua nabi adalah palsu.

Demikian pula, jika ada sufi palsu dan sesat, itu bukan berarti semua sufi adalah sesat. Sayangnya, sebagian umat Muslim generasi belakangan lebih senang melihat pada sufi-sufi palsu yg menyimpang dan menyamaratakan sufi palsu itu dengan para sufi sejati yg benar-benar mengajarkan ajaran tasawuf berdasarkan Qur’an dan Sunnah Nabi.

Sekarang mari kita kembali menengok perkembangan tasawuf dari dalam. Sampai bagian ini sudah kelihatan oase-oase besar keruhanian bermunculan di berbagai tempat. Mulai dari jazirah Arab, Timur Tengah, kawasan Persia, Asia Tengah, sebagian Eropa abad pertengahan, India dan Asia Kecil, para sufi dan syekh tarekat menyebarkan ajarannya.

Dan pada periode yng hampir sama (awal 1300-an) para sufi sudah menginjakkan kaki hingga ke wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di Afrika, misalnya, hampir sezaman dengan perkembangan awal tarekat Syadziliyyah, muncul wali besar lain yg sangat berpengaruh di Mesir. Wali besar ini, dengan tradisi yg sedikit berbeda dengan tradisi Syadziliyyah, berdakwah terutama dikalangan petani. Beliau adalah Syekh Ahmad Badawi, pendiri tarekat Badawiyyah yg masyhur. Siapakah wali agung yg ketenarannya terasa hingga ke seluruh kawasan Mesir ini?

Dalam periode yang berdekatan dengan masa kebangkitan tarekat Syadzili, di bagian lain kawasan Mesir muncul satu wali agung Syekh Ahmad Badawi. Tokoh yang satu ini jelas tak bisa diabaikan dalam pembicaraan perkembangan tasawuf, terutama di kawasan Mesir dan sekitarnya.

Syekh Ahmad Badawi tergolong Wali Allah yang menempati maqam Qutb al-Awliya al-Ghauts al-Adhim, ahli Futuwwah (Kekesatriaan Mistis) terbesar di Mesir, yang kemasyhurannya dikenal oleh banyak orang. Beliau juga terkenal sebagai Wali pelindung anak-anak. Makamnya di kota Tanta menjadi pusat ziarah utama di Mesir. Diyakini Allah Yang Maha Tinggi mengabulkan doa-doa dari mereka yang berziarah di makamnya, lantaran berkah dan karamah Wali Allah ini. Perayaan Maulid Syekh Ahmad al-Badawi senantiasa dihadiri oleh setidaknya dua juta orang. Syekh Ahmad Badawi adalah pendiri Tarekat Badawiyyah. Gelarnya banyak sekali, mencapai 29 buah gelar, diantaranya adalah Syihabudiin, Al-Aqthab, Abu al-Fityah, Syaikh al-Arab, Qutb an-Nabawy, Shahibul Barakat wa al-Karamat, dan sebagainya.

Syekh Ahmad al-Badawi lahir pada 596 H di Fez (Maroko). Beliau masih keturunan dari Rasulullah saw melalui jalur sayyidina Husain. Ayahnya adalah Sayyid Ali ibn Ibrahim, Ibundanya, yang bernama Fathimah, masih termasuk keturunan bangsawan di kerajaan Maroko pada waktu itu. Syekh Ahmad al-Badawi adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Ketika Syekh Ahmad Badawi berusia tujuh tahun, sang ayah mendengar perintah Tuhan lewat mimpinya untuk pindah ke Mekah. Selama di Mekah ini Syekh Ahmad Badawi yang usianya masih sekitar 12 tahun memperdalam ilmu agamanya, dan berhasil menghafal al-Qur’an dan menguasai tujuh cara qira’at atau bacaannya.

Beliau mendalami fiqh mazhab Imam Syafi’i. Saat di Mekah ini keluarga Syekh Ahmad Badawi kedatangan seorang tamu misterius. Lelaki misterius ini, yang belum pernah bertemu Syekh Ahmad Badawi, mengemukakan detail ciri-ciri, tanda-tanda, dan kepribadian Syekh Badawi, dan bahkan mengutarakan berbagai kelebihannya dan kedudukannya di masa depan. Menurut lelaki itu, “Aku bermimpi bertemu Rasulullah saw, yang memberi tahuku bahwa dirinya [Syekh Ahmad Badawi] akan dikaruniai sebaik-baik ahwal (keadaan spiritual), dan darinya akan lahir banyak sebaik-baik rijal Allah (yakni Wali-wali Allah).” Bahkan lelaki misterius ini mengatakan bahwa Syekh Ahmad Badawi akan selalu menutup mukanya (gelar Badawi ini dikarenakan kebiasaannya menutup muka, seperti kebiasaan orang-orang badui – atau badwi dalam bahasa Arab).

Sejak masih remaja Syekh Ahmad Badawi menunjukkan kemahirannya dalam menunggang kuda dan memainkan pedang. Para periode ini pula beliau sudah tertarik dengan ajaran Tasawuf. Guru pertamanya adalah Syekh Abdul Jalil ibn Abdurrahman an-Naisaburi. Beliau juga mendapat ijazah tarekat dari Syekh al-Birri al-Iraqi, seorang mursyid Tarekat Rifaiyyah.

Sesudah beberapa waktu mendalami Tasawuf beliau lebih suka menyendiri dan berkhalwat. Riyadhah dan mujahadahnya tergolong luar biasa. Menurut satu riwayat beliau pernah 40 hari berpuasa tanpa putus. Selama riyadhah beliau tak pernah bicara dengan orang, dan kalau bertemu orang beliau menggunakan bahasa isyarat.

Seluruh tarikan nafasnya diisi dengan zikir dan shalawat. Beliau juga sering berkhalwat di Jabal Abu Qubais. Beliau juga tak pernah melepaskan tutup wajahnya. Ini disebabkan beliau dikaruniai oleh cahaya ilahiah yang amat terang sehingga bahkan mata dan wajahnya memancarkan cahaya yang bisa membuat siapa saja yang menatapnya akan pingsan atau bahkan buta – bahkan menurut satu riwayat, apa yang ditatapnya bisa terbakar. Pada suatu malam pada bulan Syawal 633 H beliau dikunjungi oleh ruh Sulthan al-Awliya Syekh ABDUL QADIR AL-JILANI dan Syekh AHMAD RIFA’I.

Kedua Wali Allah agung itu menyuruh Syekh Ahmad Badawi pergi ke Irak untuk menziarahi makam mereka dan juga makam wali-wali lain. Kemudian bersama kakaknya, Syekh Hasan, beliau berangkat menuju ke Irak. Syekh Ahmad Badawi menyempatkan diri berziarah ke Imam Musa al-Kazim, salah seorang leluhurnya. Selama perjalanan ziarah ini beliau mengalami banyak penyingkapan ilahiah dan anugerah berbagai ilmu rahasia ilahi yang tiada putus-putusnya. Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan Syekh Ahmad Rifa’i akhirnya langsung menyambut beliau di alam arwah. Kedua wali agung itu menawarkan kepada beliau kunci-kunci kerajaan spiritual di Irak, Yaman, Rum (Turki), dan juga kunci kerajaan ruhani Timur dan Barat, karena keduanyalah yang memegang kunci-kunci itu. Namun Syekh Badawi menolaknya karena beliau akan mengambilnya langsung dari pemilik segala kunci, al-Fattah, yakni Allah swt. Penolakan ini bukan lantaran ketidaksopanan atau penentangan, tetapi karena pada saat itu Syekh Ahmad Badawi mengalami ekstase (jadzab), tenggelam dalam kemabukan Ilahi sehingga beliau hanya menyaksikan Allah dengan segala Keagungan dan Keindahan-Nya.

Selepas melakukan perjalanan ziarah ke makam-makam Wali Allah, Syekh Ahmad Badawi dan Syekh Hasan sempat diganggu dan diserang oleh para ahli sihir dan tenung. Tetapi berkat pertolongan Allah melalui kekuatan spiritualnya semua gangguan itu bisa diatasi. Syekh Ahmad Badawi kemudian menuju ke Umm Abidah, daerah asal Syekh Ahmad Rifa’i. Setelah dari sini Syekh Hasan pulang ke Mekah, sedangkan Syekh Ahmad Badawi menuju ke suatu tempat untuk menemui ahli mistik wanita yang jelita dan sakti sekali, bernama Fathimah. Perempuan ini sudah berhasil memperdayai banyak lelaki, bahkan termasuk dari golongan shalihin. Kemudian terjadilah “pertempuran” antara Syekh Ahmad Badawi dengan Fathimah.

Adu kesaktian dimenangkan oleh Syekh Ahmad Badawi. Bahkan 2000 ekor unta milikk Fathimah langsung mati, dan kemudian dihidupkan lagi oleh Syekh Ahmad Badawi. Sesudah itu Syekh Ahmad Badawi memerintahkan bumi menelan Fathimah sekaligus kudanya. Akhirnya Fathimah mengaku kalah dan bertaubat, dan menawarkan diri untuk menjadi istrinya. Tetapi Syekh Ahmad Badawi menolak dan melanjutkan ziarah ke makam Syekh Adi ibn Musafir al-Hakkari, pendiri Tarekat Adawiyyah. Sesudah itu barulah beliau kembali ke Mekah.

Pada tahun 634 H beliau menerima hatif (bisikan ilahi) untuk pergi ke Mesir dan menetap di Tanta. Sesampainya di Tanta beliau tinggal di rumah Syekh Rukain ibn Syuhait. Syekh Rukain sendiri telah diberitahu oleh seorang Wali Allah bernama Syekh Salim al-Maghribi bahwa Syekh Ahmad Badawi akan datang dan akan tinggal di rumah Syekh Rukain.

Di atas rumah Syekh Rukain ini Syekh Ahmad Badawi melakukan khalwat 40 hari 40 malam dan terus-menerus memandang langit, bahkan di siang hari sekalipun. Karenanya, sekeluarnya dari tempat khalwat ini kornea matanya menjadi berwarna merah membara, laksana menyala bak api, karena menatap matahari setiap hari. Syekh Ahmad Badawi selanjutnya tinggal di loteng atas rumah itu selama 12 tahun, dibantu oleh beberapa muridnya. Pada masa itu pula tamu-tamu mulai ramai berdatangan dan keadaan perekonomian Syekh Rukain dan kawasan Tanta menjadi lebih baik. Bahkan Sultan Al-Zahir Baybars sangat menghormatinya dan ketika mengunjunginya dia mencium kaki Syekh Ahmad Badawi.

Ketika Perang Salib mulai berkecamuk di sekitar Mesir, Syekh Ahmad Badawi ikut terjun langsung dalam peperangan. Beliau menggunakan seluruh kemampuannya berkuda dan memainkan pedang untuk bertempur dan memperoleh banyak kemenangan. Kemasyhurannya makin bertambah dan makin banyak orang berdatangan membawakan banyak hadiah, mulai dari golongan rakyat jelata sampai para bangsawan dan pangeran, dan bahkan raja Mesir juga menghormatinya. Syekh Ahmad Badawi meninggal dunia pada tahun 675 H/1276 M (tanggal 24 Agustus). Pemakamannya dihadiri ratusan ribu orang, sehingga kawasan itu tak muat dipenuhi peziarah. Dari sinilah berkembang tradisi perayaan maulid Wali Sayyid Ahmad al-Badawi, yang diawali sejak abad 14. Makam wali itu telah dipugar dan diperbesar pada masa pemerintahan Anwar Sadat.

Warisan utama Syekh Ahmad Badawi adalah Tarekat Badawiyyah yang didrikannya di Tanta, setelah mendapat izin untuk membuat tarekat tersendiri di luar Tarekat Rifa’iyyah yang ditekuninya. Tarekat ini kelak berkembang menjadi cabang-cabang tersendiri seperti Tarekat Anbabiyyah, Tarekat Bandariyyah, Tarekat Baiyumiyyah, Tarekat Halabiyyah, Tarekat Hammudiyyah, Tarekat Kannasiyyah, Tarekat Salamiyyah, Tarekat Syinnawiyyah, Tarekat Sutuhiyyah, dan Tarekat Zahidiyyah. Syekh Ahmad Badawi tidak menulis kitab. Tetapi beliau mewariskan amalan shalawat yang masyhur bukan hanya dikalangan pengikuti Tarekat Badawiyyah tetapi di kalangan umat islam dan penganut tarekat pada umumnya. Salah satu yang terkenal adalah Shalawat Syajarat al-Ashli, yang menurut beberapa pengamalnya, jika diamalkan secara istiqamah dibaca 3 kali setiap Subuh dan Mahgrib, maka akan bisa mendatangkan anugerah penyingkapan hal-hal rahasia. Dalam memberikan pelajaran beliau sering menggunakan kisah-kisah dan tamsil untuk memudahkan pemahaman. Karamah Syekh Ahmad Badawi amat banyak, sehingga Imam Sya’rani sampai mengatakan bahwa seandainya karamah-karamah beliau ditulis dalam satu buku tebal, niscaya satu buku tidak akan muat.

Sebelum kita kembali menengok perkembangan tasawuf di Mesir selanjutnya, perlu disebutkan satu kawasan lagi yg menjadi salah satu pusat tasawuf yang khas, yg perkembangannya juga tak lepas dari situasi sosial-politik di kawasan Irak yg sedang bergejolak. Sementara banyak sufi hijrah dari baghdad dan Basra ke berbagai kawasan di luar jazirah Arab dan Timur Tengah, ada satu kelompok sufi dari keturunan Kanjeng Rasulullah yng bergerak ke arah Yaman, yakni di kawasan Hadhramaut.

Salah satu tokoh sufi agung yg merintis perkembangan tasawuf yg khas di sana adalah Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir yg berasal dari Basra, Irak. Kepindahan beliau tak lain adalah untuk menjauhkan diri dari pergolakan sosial-politik di Irak yang semakin degradatif dari segi akhlak dan keruhanian. Imam al-Muhajir mula-mula ke Mekah dan Madinah sebelum akhirnya menetap di kawasan Hadramaut, dan melalui beliaulah akan muncul Tareakt Alawiyyin yg populer di sana sampai sekarang.

Pengaruh Alawiyyin ini kelak terasa sampai ke berbagai kawasan Islam, termasuk di Indonesia. Di Hadhramaut, SYekh al-Muhajir pada awalnya harus berjuang keras menghadapi kelompok khawarij sampai akhirnya berhasil mengalahkan mereka.Putra-putra Syekh Ahmad Isa alMuhajir juga menjadi sesepiuh wali yang termasyhur. Hampir satu generasi kemudian di Tarim muncul tokoh tasawuf penting, Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Boleh dikatakan al-Faqih al-Muqaddam ini adalah perintis apa yang kelak dikenal sebagai tarekat Alawiyyin. Jubah otoritas kesufiannya diperoleh dari Qutub agung Syekh Abu Madyan, melalui perantara wakilnya.

Kemudian kelak kawasan Hadramaut ini akan dikenal sebagai salah satu wilayah yg banyak dihuni oleh para Wali Agung, seperti Abdurrahman as-Saqaf, Abu Bakar as-Sakran, Habib Abdullah ibn Alwi al-Haddad (penulis ratib al-Haddad yang sangat masyhur), Abdurrahman ibn Abdullah bilfaqih, Abu Bakar ibn Salim, Syekh Habib Umar al-Attas (penulis ratib al-Attas) dan masih banyak lagi generasi habaib yg muncul sejak periode 1300 M.

Jadi jelas bahwa hingga akhir 1200-an atau 600 tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, ajaran tasawuf sudah berkembang hampir ke separuh wilayah dunia. tak sampai satu generasi selanjutnya, para wali-wali dari berbagai tarekat di kawasan magribi dan masyriqi mulai menyebar. Sufi-sufi terutama dari Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah, Syadziliyyah dan Kaum Alawiyyin bergerak hingga ke belahan lain, terutama ke kawasan Asia. Tetapi sebagian tarekat, seperti Suhrawardiyyah, Mawlawiyyah, Chistiyyah, perkembangannya tidak seluas tarekat lain.

Salah satu tokoh penting yg berasal dari satu tarekat tetapi pengaruhnya melampaui batas organisasi tarekat adalah tokoh generasi ketiga dari tradisi Syadizliyyah, yakni Syekh Ibn Athaillah as-Askandari, murid dari sufi agung Abu Abbas al-Mursi.


selanjutnya

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.