TASAWWUF DAN PERKEMBANGANNYA 08
Sesudah Imam Abu Hasan Syadzili wafat, tongkat estafet kemursyidan
diberikan kepad Syekh Abbas al-Mursi, yang dilahirkan di Murcia, Spanyol
(yg juga tempat kelahiran Syekh Akbar Ibn Arabi). Beliau mengabdi
kepada Syekh Hasan Syadzili sampai sang syekh wafat. Setelah diangkat
menjadi mursyid utama, Syekh Abbas al-Mursi menghabiskan waktu hampir
sepanjang hayatnya di Mesir. Berbeda dengan Imam Syadizli yg bersedia
berhubungan dekat dengan penguasa, Syek Abu Abbas Mursi ini justru
menjauhi penguasa dan bahkan menolak semua sumbangan yang diberikan oleh
para Sultan Mamluk.
Syekh Abbas Mursi memiliki murid-murid istimewa yang kelak tersohor di sepanjang zaman. Salah satunya adalah Syekh BUshiri, penyair legendaris dari suku Berber, pengarang Qasidha Burdah dan Hamziyyah. Syair ini sering dibacakan pada setiap peringatan Maulid Nabi sampai sekarang ini. Murid lainnya adalah Syekh Yaqut al-Arsyi, dari Abisinia. Syekh Yaqut ini pernah dikunjungi oleh Ibn Batutah, seorang pengelana musim yang tersohor.
Ibn Batutah sendiri tampaknya sangat tertarik dengan ajaran Syadziliyyah dan karenanya beliau mencatat dan membaca Hizb Bahr selama petualangannya di lautan. Kemudian, murid lainnya yang legendaris adalah Syekh Najmuddin al-Ishfahani, yang lama menetap di Mekah dan menyebarkan Tarekat Syadziliyyah di sana. Beliau adalah guru Syekh Yafi’i, dan melalui Syekh Yafi’i inilah Tarekat Syadziliyyah menjalin hubungan yang baik dengan Tarekat Ni’matullahi. Dan satu lagi, yg dianggap poros generasi ketiga tarekat SYadizliyyah, Syekh Ibn Athaillah as-Askandari.
Syekh Imam Ibn Athaillah al-Sakandari adalah guru utama generasi ketiga dalam Tarekat Syadiziliyyah. Beliau adalah penulis kitab Tasawuf yang amat terkenal, Kitab al-Hikam, sebuah kitab yang berisi wejangan keruhanian dan hakikat-ma’rifat yang bermutu sastra tinggi. Kitab ini banyak diajarkan di berbagai tarekat di seluruh dunia, dan juga di sebagian besar pesantren di Indonesia. Beliau termasuk salah satu syekh Sufi yang telah memadukan ilmu syari’at dan lautan hakikat dan karenanya menempati maqam yang tinggi – banyak yang meyakininya sebagai salah satu Qutub pada zamannya.
Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibn Abi Bakr Muhammad ibn Abi Muhammad Abdul Karim ibn Abdur Rahman ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn al-Husain ibn Athaillah al-Iskandari. Diperkirakan beliau lahir sekitar tahun 650 H. Sejak kecil beliau telah dipersiapkan untuk menjadi ahli fiqh mazhab Maliki. Beliau berguru kepada ulama-ulama yang terbaik di bidangnya, seperti bidang tata bahasa, hadits, tafsir, ilmu kalam dan fiqh. Kakeknya cenderung kurang menyukai ajaran Sufi dan bahkan memusuhi Syekh ABU ABBAS AL-MURSI, guru besar generasi kedua dalam Tarekat Syadziliyyah. Bahkan Syekh Athaillah sendiri pada mulanya berseberangan dengan Syekh Abbas al-Mursi. Pada masa mudanya Syekh Ibn Athaillah sudah terkenal sebagai faqih mazhab Maliki yang mumpuni. Beliau pernah beradu argumentasi dengan beberapa murid Syekh Abu Abbas al-Mursi.
Namun akhirnya beliau menemui langsung Syekh Abu Abbas al-Mursi untuk membahas beberapa masalah agama. Pertemuan ini menjadi saat yang menentukan dalam hidupnya. Beliau akhirnya justru menjadi murid Syekh Abu Abbas al-Mursi dan menjadi salah satu murid kesayangannya. Bahkan Syekh Abu Abbas al-Mursi sudah meramalkan bahwa Syekh Ibn Athaillah tidak akan meninggal sebelum menjadi dai yang menyeru ke Jalan Allah. Dan perkiraannya itu terbukti. Di Kairo, Syekh Ibn Athaillah menghabiskan sisa hidupnya sebagai Guru Sufi sekaligus faqih bermazhab Maliki yang termasyhur.
Selain menjadi Mursyid Tarekat Syadiziliyyah, Syekh Ibn Athaillah juga menjadi juru dakwah dan mengajar di berbagai madrasah dan institusi besar seperti Al-Azhar. Pada masa-masa ini pula Syekh Athaillah dikenal juga membela ajaran Sufi dari serangan Ibn Taimiyyah. Syekh Ibn Athaillah sendiri sempat bertemu dengan Ibn Taimiyyah dan melakukan dialog. Namun dialog ini tidak menimbulkan perdebatan sengit lebih lanjut dan diakhiri dengan sikap saling menghormati. Syekh Ibn Athaillah meninggal pada bulan Jumadilakhir tahun 709 H/1309 M. Makamnya di al-Qarrafah al-Kubra hingga kini terkenal sebagai makam keramat dan diziarahi oleh banyak orang Islam.
Barangkali al-Hikam adalah karya beliau yang paling terkenal dan dikagumi hingga saat ini. Kitab ini telah melahirkan banyak ulasan (syarah). Menurut keterangan Syekh Zarruq, kitab ini tidak ditulis sendiri oleh Syekh Ibn Athaillah, namun didiktekan kepada muridnya yang bernama Syekh Taqiyyuddin as-Subki, seorang ahli fiqh dan kalam yang terkenal akan ketelitian dan kejujurannya.
Tema dasar kitab ini adalah ma’rifat dan hakikat. Ia berisi penjelasan rinci tentang doktrin “Kesatuan Wujud.” Di dalamnya juga dibeberkan adab spiritual. Ma’rifat bukan sekedar aktivitas intelektual semata; dibutuhkan partisipasi total dalam adab lahir dan batin dalam menjalani ajaran agama. Adab dalam pengertian ini adalah upaya penyesuaian jiwa terhadap kehendak Tuhan.
Kitab ini secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian: aforisme atau pepatah/aksioma spiritual, risalah dan munajat (doa). Aksioma spiritual itu berupa ungkapan pendek-pendek dan mendalam. Meski dalam versi aslinya tidak diberi nomor, secara keseluruhan aksioma itu berjumlah 262 buah dan sebagian pensyarah membaginya menjadi 25 bab. Aksioma-aksioma ditulis dengan gaya sastra yang indah, sehingga sebagian ulama menyebutnya “nyaris seperti al-Qur’an.” Berikut beberapa contoh aforisme spiritual dalam Kitab al-Hikam:
Usahamu untuk mengetahui beberapa kekurangan (cela) yang tersembunyi dalam dirimu adalah lebih baik ketimbang usahamu menyingkap tirai gaib.
Tanamlah dirimu dalam bumi kerendahan hati (ketidakterkenalan), karena segala sesuatu yang tumbuh dari benih yang tidak tertanam akan tidak berbuah dengan sempurna.
Adakalanya orang yang belum sempurna isiqamahnya diberi rezeki karamah.
Kitab al-Hikam juga mengandung doa, namun bukan sekadar meminta atau memuja, melainkan juga doa yang seolah “bertanya” dengan sangat tajam. Akan tetapi, dengan analisis apapun, pertanyaan-petanyaan yang pelik dalam al-Hikam itu tampaknya tidak akan pernah bisa dijawab dengan memuaskan oleh siapapun. Ini seolah-olah menunjukkan bahwa pembaca al-Hikam diajak untuk sterus-menerus mendaki jalan ruhani yg seperti tiada batas akhirnya baik dari segi mahabbah maupun ilmu makrifat, karena Ilmu ALlah tiada batasnya jika dilihat dari perspektif manusia. Dalam banyak bagian al-Hikam, tampak berupa semacam “dialog” dengan Tuhan, sehingga cara membacanya pun sesungguhnya tidaklah sembarangan. Jika dibaca dengan benar dan melalui ijazah dari otoritas mursyid yg berwenang, setiap pembacaan atas teks yg berupa “dialog” itu akan menghasilkan pemhaman yang mendalam dan terus-menerus bertambah dan menaikkan maqam spiritual (dan tentu saja disertai berbagai macam ujian yang akan dihadapi oleh para salik yang membaca dan mengamalkan kandungan Hikam). Itulah salah satu sebabnya mengapa kitab al-Hikam ini menarik banyak sufi dan bahkan kalangan akademisi.
Dalam kitab Hikam ini, Syekh Athaillah juga menggunakan tamsil Al- Qur’an dan ilmu kalam Asyariah, dipadukan dengan saripati dari nasihat2 Syekh JUnayd al-Baghdad dan Muhasibi, dan tentu saja nasihat dari leluhur ruhani Syadiziliyyah, yang semuanya itu bermura pada upaya untuk menjelaskan secara simbolik dua misteri Ketuhanan: Transendensi (tanzih) atau ketakterjangkauan Allah dalam pemahaman manusia namun pada saat yg sama Tuhan sengaja menjadikan DIriNya terjangkau tanpa mengaburkan batas antara Pencipta dan Makhluk.
Kitab karyanya yang lain adalah Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah, yang berisi penjelasan tentang metode zikir. Di dalamnya beliau memaparkan beberapa jenis zikir dan Asma Allah yang cocok untuk berbagai kondisi murid. Kitab At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir merupakan penjelasan ajaran Tarekat Syadiziliyyah tentang berbagai bentuk kebajikan, seperti ikhlas, harapan, cinta, dan sebagainya. Lathaif al-Minan merupakan kitab yang menjelaskan biografi dua tokoh Tarekat Syadziliyyah dan ajaran-ajarannya, yakni biografi Syekh Abu Hasan al-Syadzili dan Syekh Abu Abbas al-Mursi. Di dalamnya juga dipaparkan keterangan tentang Wali Allah dan beberapa amalan utama (zikir, hizb dan doa) dua Wali Allah tersebut. Kitab Al-Qash al-Mujarrad fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrad, yang menyajikan pembahasan ringkas Asma al-Husna, dengan pemaparan teori metafisika Asma al-Husna. Kitab Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib an-Nufus, berisi kutipan-kutipan dari al-Hikam, at-Tanwir dan Lathaif.
Kitab Al-Hikam telah diberi syarah oleh banyak ulama besar, seperti Abdullah As-Syarqawi (Syarh al-Hikam), Abdul Majid as-Syarnubi (Syarh al-Hikam), Syekh Ahmad Zarruq (al-Futuhat ar-Rahmaniyyah dan Miftah al-Fadhail), Ibn Abbad ar-Rundi (Syarh al-Hikam) dan Ibn Ajibah (Iqazh al-Himam). Dan salah satu murid Ibn Athaillah yang ulasannya sangat terkenal adalah Syekh Ibn Abbad ar-Rundi tersebut,
Ibn Abbad ar-Rundi, dari Spanyol, salah satu pengikut tarekat Syadziliyyah ini, merepresentasikan sisi yg agak lain dari sufi tarekat pada umumnya. Beliau mewakili kencenderungan intelektual dan kontemplatif dalam bertasawuf.Beliau masuk ke dunia Sufi secara intensif melalui seorang sufi di luar tarekat, yakni Syekh Ibn Asyir (tokoh penting dalam kebangkitan Tasawuf di luar tarekat di kawasan Afrika, terutama Fez, Maroko). Beliau banyak memberi nasihat ruhani dan menjadi Imam dan Khatib Qayrawiyin di Fez, sebuah lembaga ilmu keagamaan Islam tertua dan paling bergengsi di kawasan Afrika Utara.
Pada masanya, di kawasan Afrika Utara juga sedang terjadi gejolak, dan banyak orang yg kebingungan untuk mendapatkan pembimbing ruhani yg sejati, karena sebagian ulama mulai bererbut pengaruh kekuasaan. Pada saat itu muncul pertanyaan apa yang harus dilakukan oleh orang yg ingin menempuh jalan taasawuf namun situasinya sangat menyulitkan (karena kemaksiatan sudah semakin parah) dan sulit menemukan pembimbing ruhani yang benar. Apakah perlu menunggu, atau menyibukkan diri dengan mencari ke sana kemari?
Menurut Ibn Abbad. pembimbing ruhani yg sejati adalah anugerah dari Allah. Maka akan sia-sia jika seseorang hanya diam menunggu tanpa melakukan aktivitas keruhanian. Salah satu cara awal, menurut beliau, adalah menyucikan niatnya. Seseroang yang menginginkan kehadiran Allah dalam hatinya membutuhkan kebenaran yang sesungguhnya.Sang pencari mesti menjauhi perdebatan yang sia-sia atau hanya mencari menang sendiri, seperti yg kerap dilakukan para ahli teologi pada zaman itu. Dan yg penting adalah sang pencari harus mengamalkan apa yg diperintahkan oleh Nabi dengan sungguh-sungguh sambil terus berdoa agar dipertemukan dengan pembimbing ruhani yang sejati. Di luar latihan keruhanian semacam itu, sang pencari harus tekun mengkaji sejarah dan perikehidupan para Nabi, sufi, dan Wali Allah, karena di dalam kehidupan mereka terkandung banyak pelajaran. Itu berarti bahwa sang pencari tidak boleh malas berpikir dan tidak boleh malas belajar. Pada saat yg sama pencari harus mencari bantuan pada orang yg mencintai para Sufi dengan tulus. Selain itu sang pencari harus menjaga rasa harap dan rasa takutnya kepada Allah. Jenis ketakutan yg paling baik adalah “ketakutan bahwa engkau akan menemui Tuhanmu dan ternyata bahwa apa yang engkau inginkan dan lakukan tidak sama seperti yang dikehendaki Allah.”
Jadi ringkasnya, meskipun mendapatkan guru yg kamil mukammil adalah suatu keharusan, namun kesulitan untuk mendapatkan guru semacam itu tidak boleh menghalangi seseorang untuk terus mencarinya, sambil tetap melakukan amal saleh yg diajarkan Rasulullah. Bahkan jika dimungkinkan, Ibn Abbad menasihatkan kepada para pencari untuk membaca kitab-kitab tasawuf terutama karangan al-Ibadah karya al-Muhasibi, Ihya karya al-Ghazali, Risalah karya al-Qusyairi, Thabaqat Shufiyyah karya al-Sulami, Qutub alQulub karya Abu Thalib al-Makki dan Aawarif al-Maarif karya Suhrawardi, yg semuanya lebih menekankan pada perbaikan akhlak.
Sampai di sini jelas bahwa pertengahan di antara abad 12-13 M yg penuh gejolak itu, yg meredupkan sebagian peradaban Islam, justru memunculkan banyak sufi dan Wali Allah dalam jumlah yang hampir belum pernah terjadi sebelumnya. Sekarang kita tinggalkan sejenak kawasan Afrika untuk menengok apa yg terjadi pada periode itu di kawasan Asia Tengah untuk menunjukkan bagaimana secara hampir serentak, seluruh kawasan di dunia muncul poros-poros ruhani dan pembawa obor nur ilahi untuk mengimbangi keruntuhan kejayaan peradaban lahiriah Islam sebagai efek dari perang salib dan serangan MOngol.
Di kawasan Khiva, Asia Tengah, muncul wali Agung, Sykeh Najmuddin Kubra, yang merupakan pendiri tarekat Kubrawiyyah. Tarekat ini kelak memengaruhi kawsan Persia, Afghanistan, India dan China. Dalam sejarahnya, tarekat Kubrawiyah tak kalah dahsyatnya dengan tarekat semacam Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah atau Syadziliiyyah, dalam melahirkan guru-guru sufi yg luar biasa pengaruhnya. SYekh Najmuddin Kubra awalnya adalah ahli hadits. Beliau masuk total dalam dunia tasawuf sekitar tahun 1180 M setelah dibaiat dalam tarekat Suhrawardiyyah di bawah kemursyidan Syekh Ruzbihan al-Mishri. Sisa usia Syekh Kubra dihabiskan untuk melakukan pendidikan ruhani. Meski muridnya tidak sebanyak syekh besar lainnya, namun hampir semua muridnya menjadi tokoh besar. Karenanya, Syekh Najmuddin Kubra mendapat julukan “Wali Tarasy — “Pemahat atau Pencetak Para Wali”.
Syekh Kubra wafat ketika kota yg ditinggalinya, Urgench, Khawarzam, diserbu MOngol. Sebenarnya beliau ditawari perlindungan, tetapi beliau lebih memilih terjun langsung bertempur di garis depan untuk menghadapi pasukan Mongol sampai beliau menjadi syuhada.
Salah satu murid Syekh Kubra adalah Syekh Bahauddin Walad, yang merupakan ayahanda Maulana Jalaluddin Rumi. Murid syekh Kubra lainnya yang terkenal adalah Najmuddin Dayah Razi, salah seorang penulis sufi yg mengagumkan pada abad 13 M, dan salah seorang tokoh pemersatu yg membawa misi menyatukan para penguasa Muslim untuk menghadapi serbuan Mongol. Karya Syekh Dayah Razi yg terkenal adalah tafsir mistis tentang Qur’an, Bahr al-Haqaiq (Samudera Hakikat).Karya lain dari beliau, yg juga terkenal, adalah kitab Mirshad al-Ibad min al-Mabda’ ila al-Ma’ad.Tokoh lain dari tradisi Kubrawiyyah adalah Nuruddin al-Isfara’ini, pengarang kitab Kasyif al-Asrar, yang menjelaskan rahasia dari ajaran Tarekat Kubrawiyyah. Murid beliau, Syekh Ala al-Daulah al-Simnani,menjadi tokoh penting dalam Tasawuf Persia.
Al-Simnani ini pernah mengabdi pada penguasa Mongol, Arghun Il Khan. Setelah berdiskusi dengan para pendeta Budha Mongol, al-Simnani kemudian mengundurkan diri dari pekerjaannya dan menempuh jalan Sufi. Al-Simnani terkenal karena ta’wil-nya atas ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut beliau, teks al-Qur’an memiliki tujuh lapis makna batin, yang tiap-tiap lapisan itu berkaitan dengan organ ruhani insan, lathaif, di mana organ ruhani ini baru bisa diaktifkan setelah melalui inisiasi di jalan sufi, misalnya dengna metode zikir atau wirid tertentu.
Al-Simnani juga menjelaskan bahwa setiap pusat lathifah ini berhubungan dengan Nabi tertentu dan memilik cahaya tertentu (kelak ini akan diuraikan lebih gamblang oleh para sufi, terutama dari kalangan Naqsyabandi dan cabang-cabangnya). Misalnya, salah satu lathaif itu dinamakan lathifah Qalb (para pengikut Kubrawi dan Naqsyabandi atau Qadiri wa Naqsyabandi, tentu akrab dengan istilah ini).
Lathifah Qalb ini merepresentasikan penciptaan tubuh atau cetakan (qalib) baru dalam “diri ruhani” dan merupakan wilayah Nabi Adam, atau dalam istilah Simnani, lathifah ini adalah “Nabi Adam pada wujudmu.” Lathifah lainnya juga merupakan domain Nabi tertentu – jadi dalam diri manusia ada “Nabi Ibrahim pada wujudmu” atau “Nabi Musa dalam wujudmu” dan seterusnya. Yang tertinggi dan terdalam tentunya adalah “Nabi Muhammad pada wujudmu.” Dengan kata lain, dalam tiap-tiap diri manusia menyimpan potensi ruhani tertentu yg dibawakan oleh Nabi tertentu. Potensi ini bisa dibangkitkan dengan petunjuk dan bimbingan yang benar.
Dan pengejawantahan potensi ini paling jelas ada pada sosok Wali Allah – sehingga sering kita dengan ada Wali musawi, wali isawi, wali Muhammadi dan sebagainya (wali dalam modus Musa, seperti Syekh Ahmad Badawi, wali dalam modus Isa seperti Syekh Alawi, atau wali dalam modus Muhammad seperti Syekh Ibn Arabi, dan sebagainya). Cahaya yang dipancarkan dari lathifah wilayah Muhammad adalah hijau, demikian menurut Simnani.
Apa yang digambarkan di atas hanyalah penjelasan kasar dan dangkal dari ajaran Simnani yg sedalam samudera. Tetapi paling tidak gambaran sederhana di atas dapat mengindikasikan pada kita kontribusi penting dari Syekh Simnani dan tarekat Kubrawiyyah terhadap metodologi ajaran ruhani dan ajaran metafisika sufi.
Di India, tarekat Kubrawiyyah dikembangkan oleh Sayyid Ali Hamadani, yg kelak mendirikan cabang Kubrawiyyah, yang diBeri nama dengan nisbahnya, Tarekat Hamadaniyyah. Pada masa perang dingin dan sesudahnya, Tarekat Kubrawiyyah in, bersama dengan Naqsyabandiyyah, dan cabang-cabang kedua tarekat besar itu, merupakan penjaga ruh Islam utama di kawasan Uni Soviet yg sosialis-ateis.
Di tengah maraknya perkembangan tarekat besar dan cabang-cabangnya, masih berkembang pula sufi-sufi yang tidak secara resmi berafiliasi tarekat, dan merupakan sisi lain dari tasawuf yg juga menjadi perhatian banyak orang, baik dari kalangan tasawuf, islam pada umumnya, maupun orientalis. Sufi-sufi di luar tarekat ini kadang menunjukkan perilaku yang seperti meneruskan tradisi kemabukan Abu Yazid atau al-Hallaj – para sufi majdzub, para qalandar dan kaum malamatiyyah…
Syekh Abbas Mursi memiliki murid-murid istimewa yang kelak tersohor di sepanjang zaman. Salah satunya adalah Syekh BUshiri, penyair legendaris dari suku Berber, pengarang Qasidha Burdah dan Hamziyyah. Syair ini sering dibacakan pada setiap peringatan Maulid Nabi sampai sekarang ini. Murid lainnya adalah Syekh Yaqut al-Arsyi, dari Abisinia. Syekh Yaqut ini pernah dikunjungi oleh Ibn Batutah, seorang pengelana musim yang tersohor.
Ibn Batutah sendiri tampaknya sangat tertarik dengan ajaran Syadziliyyah dan karenanya beliau mencatat dan membaca Hizb Bahr selama petualangannya di lautan. Kemudian, murid lainnya yang legendaris adalah Syekh Najmuddin al-Ishfahani, yang lama menetap di Mekah dan menyebarkan Tarekat Syadziliyyah di sana. Beliau adalah guru Syekh Yafi’i, dan melalui Syekh Yafi’i inilah Tarekat Syadziliyyah menjalin hubungan yang baik dengan Tarekat Ni’matullahi. Dan satu lagi, yg dianggap poros generasi ketiga tarekat SYadizliyyah, Syekh Ibn Athaillah as-Askandari.
Syekh Imam Ibn Athaillah al-Sakandari adalah guru utama generasi ketiga dalam Tarekat Syadiziliyyah. Beliau adalah penulis kitab Tasawuf yang amat terkenal, Kitab al-Hikam, sebuah kitab yang berisi wejangan keruhanian dan hakikat-ma’rifat yang bermutu sastra tinggi. Kitab ini banyak diajarkan di berbagai tarekat di seluruh dunia, dan juga di sebagian besar pesantren di Indonesia. Beliau termasuk salah satu syekh Sufi yang telah memadukan ilmu syari’at dan lautan hakikat dan karenanya menempati maqam yang tinggi – banyak yang meyakininya sebagai salah satu Qutub pada zamannya.
Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibn Abi Bakr Muhammad ibn Abi Muhammad Abdul Karim ibn Abdur Rahman ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn al-Husain ibn Athaillah al-Iskandari. Diperkirakan beliau lahir sekitar tahun 650 H. Sejak kecil beliau telah dipersiapkan untuk menjadi ahli fiqh mazhab Maliki. Beliau berguru kepada ulama-ulama yang terbaik di bidangnya, seperti bidang tata bahasa, hadits, tafsir, ilmu kalam dan fiqh. Kakeknya cenderung kurang menyukai ajaran Sufi dan bahkan memusuhi Syekh ABU ABBAS AL-MURSI, guru besar generasi kedua dalam Tarekat Syadziliyyah. Bahkan Syekh Athaillah sendiri pada mulanya berseberangan dengan Syekh Abbas al-Mursi. Pada masa mudanya Syekh Ibn Athaillah sudah terkenal sebagai faqih mazhab Maliki yang mumpuni. Beliau pernah beradu argumentasi dengan beberapa murid Syekh Abu Abbas al-Mursi.
Namun akhirnya beliau menemui langsung Syekh Abu Abbas al-Mursi untuk membahas beberapa masalah agama. Pertemuan ini menjadi saat yang menentukan dalam hidupnya. Beliau akhirnya justru menjadi murid Syekh Abu Abbas al-Mursi dan menjadi salah satu murid kesayangannya. Bahkan Syekh Abu Abbas al-Mursi sudah meramalkan bahwa Syekh Ibn Athaillah tidak akan meninggal sebelum menjadi dai yang menyeru ke Jalan Allah. Dan perkiraannya itu terbukti. Di Kairo, Syekh Ibn Athaillah menghabiskan sisa hidupnya sebagai Guru Sufi sekaligus faqih bermazhab Maliki yang termasyhur.
Selain menjadi Mursyid Tarekat Syadiziliyyah, Syekh Ibn Athaillah juga menjadi juru dakwah dan mengajar di berbagai madrasah dan institusi besar seperti Al-Azhar. Pada masa-masa ini pula Syekh Athaillah dikenal juga membela ajaran Sufi dari serangan Ibn Taimiyyah. Syekh Ibn Athaillah sendiri sempat bertemu dengan Ibn Taimiyyah dan melakukan dialog. Namun dialog ini tidak menimbulkan perdebatan sengit lebih lanjut dan diakhiri dengan sikap saling menghormati. Syekh Ibn Athaillah meninggal pada bulan Jumadilakhir tahun 709 H/1309 M. Makamnya di al-Qarrafah al-Kubra hingga kini terkenal sebagai makam keramat dan diziarahi oleh banyak orang Islam.
Barangkali al-Hikam adalah karya beliau yang paling terkenal dan dikagumi hingga saat ini. Kitab ini telah melahirkan banyak ulasan (syarah). Menurut keterangan Syekh Zarruq, kitab ini tidak ditulis sendiri oleh Syekh Ibn Athaillah, namun didiktekan kepada muridnya yang bernama Syekh Taqiyyuddin as-Subki, seorang ahli fiqh dan kalam yang terkenal akan ketelitian dan kejujurannya.
Tema dasar kitab ini adalah ma’rifat dan hakikat. Ia berisi penjelasan rinci tentang doktrin “Kesatuan Wujud.” Di dalamnya juga dibeberkan adab spiritual. Ma’rifat bukan sekedar aktivitas intelektual semata; dibutuhkan partisipasi total dalam adab lahir dan batin dalam menjalani ajaran agama. Adab dalam pengertian ini adalah upaya penyesuaian jiwa terhadap kehendak Tuhan.
Kitab ini secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian: aforisme atau pepatah/aksioma spiritual, risalah dan munajat (doa). Aksioma spiritual itu berupa ungkapan pendek-pendek dan mendalam. Meski dalam versi aslinya tidak diberi nomor, secara keseluruhan aksioma itu berjumlah 262 buah dan sebagian pensyarah membaginya menjadi 25 bab. Aksioma-aksioma ditulis dengan gaya sastra yang indah, sehingga sebagian ulama menyebutnya “nyaris seperti al-Qur’an.” Berikut beberapa contoh aforisme spiritual dalam Kitab al-Hikam:
Usahamu untuk mengetahui beberapa kekurangan (cela) yang tersembunyi dalam dirimu adalah lebih baik ketimbang usahamu menyingkap tirai gaib.
Tanamlah dirimu dalam bumi kerendahan hati (ketidakterkenalan), karena segala sesuatu yang tumbuh dari benih yang tidak tertanam akan tidak berbuah dengan sempurna.
Adakalanya orang yang belum sempurna isiqamahnya diberi rezeki karamah.
Kitab al-Hikam juga mengandung doa, namun bukan sekadar meminta atau memuja, melainkan juga doa yang seolah “bertanya” dengan sangat tajam. Akan tetapi, dengan analisis apapun, pertanyaan-petanyaan yang pelik dalam al-Hikam itu tampaknya tidak akan pernah bisa dijawab dengan memuaskan oleh siapapun. Ini seolah-olah menunjukkan bahwa pembaca al-Hikam diajak untuk sterus-menerus mendaki jalan ruhani yg seperti tiada batas akhirnya baik dari segi mahabbah maupun ilmu makrifat, karena Ilmu ALlah tiada batasnya jika dilihat dari perspektif manusia. Dalam banyak bagian al-Hikam, tampak berupa semacam “dialog” dengan Tuhan, sehingga cara membacanya pun sesungguhnya tidaklah sembarangan. Jika dibaca dengan benar dan melalui ijazah dari otoritas mursyid yg berwenang, setiap pembacaan atas teks yg berupa “dialog” itu akan menghasilkan pemhaman yang mendalam dan terus-menerus bertambah dan menaikkan maqam spiritual (dan tentu saja disertai berbagai macam ujian yang akan dihadapi oleh para salik yang membaca dan mengamalkan kandungan Hikam). Itulah salah satu sebabnya mengapa kitab al-Hikam ini menarik banyak sufi dan bahkan kalangan akademisi.
Dalam kitab Hikam ini, Syekh Athaillah juga menggunakan tamsil Al- Qur’an dan ilmu kalam Asyariah, dipadukan dengan saripati dari nasihat2 Syekh JUnayd al-Baghdad dan Muhasibi, dan tentu saja nasihat dari leluhur ruhani Syadiziliyyah, yang semuanya itu bermura pada upaya untuk menjelaskan secara simbolik dua misteri Ketuhanan: Transendensi (tanzih) atau ketakterjangkauan Allah dalam pemahaman manusia namun pada saat yg sama Tuhan sengaja menjadikan DIriNya terjangkau tanpa mengaburkan batas antara Pencipta dan Makhluk.
Kitab karyanya yang lain adalah Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah, yang berisi penjelasan tentang metode zikir. Di dalamnya beliau memaparkan beberapa jenis zikir dan Asma Allah yang cocok untuk berbagai kondisi murid. Kitab At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir merupakan penjelasan ajaran Tarekat Syadiziliyyah tentang berbagai bentuk kebajikan, seperti ikhlas, harapan, cinta, dan sebagainya. Lathaif al-Minan merupakan kitab yang menjelaskan biografi dua tokoh Tarekat Syadziliyyah dan ajaran-ajarannya, yakni biografi Syekh Abu Hasan al-Syadzili dan Syekh Abu Abbas al-Mursi. Di dalamnya juga dipaparkan keterangan tentang Wali Allah dan beberapa amalan utama (zikir, hizb dan doa) dua Wali Allah tersebut. Kitab Al-Qash al-Mujarrad fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrad, yang menyajikan pembahasan ringkas Asma al-Husna, dengan pemaparan teori metafisika Asma al-Husna. Kitab Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib an-Nufus, berisi kutipan-kutipan dari al-Hikam, at-Tanwir dan Lathaif.
Kitab Al-Hikam telah diberi syarah oleh banyak ulama besar, seperti Abdullah As-Syarqawi (Syarh al-Hikam), Abdul Majid as-Syarnubi (Syarh al-Hikam), Syekh Ahmad Zarruq (al-Futuhat ar-Rahmaniyyah dan Miftah al-Fadhail), Ibn Abbad ar-Rundi (Syarh al-Hikam) dan Ibn Ajibah (Iqazh al-Himam). Dan salah satu murid Ibn Athaillah yang ulasannya sangat terkenal adalah Syekh Ibn Abbad ar-Rundi tersebut,
Ibn Abbad ar-Rundi, dari Spanyol, salah satu pengikut tarekat Syadziliyyah ini, merepresentasikan sisi yg agak lain dari sufi tarekat pada umumnya. Beliau mewakili kencenderungan intelektual dan kontemplatif dalam bertasawuf.Beliau masuk ke dunia Sufi secara intensif melalui seorang sufi di luar tarekat, yakni Syekh Ibn Asyir (tokoh penting dalam kebangkitan Tasawuf di luar tarekat di kawasan Afrika, terutama Fez, Maroko). Beliau banyak memberi nasihat ruhani dan menjadi Imam dan Khatib Qayrawiyin di Fez, sebuah lembaga ilmu keagamaan Islam tertua dan paling bergengsi di kawasan Afrika Utara.
Pada masanya, di kawasan Afrika Utara juga sedang terjadi gejolak, dan banyak orang yg kebingungan untuk mendapatkan pembimbing ruhani yg sejati, karena sebagian ulama mulai bererbut pengaruh kekuasaan. Pada saat itu muncul pertanyaan apa yang harus dilakukan oleh orang yg ingin menempuh jalan taasawuf namun situasinya sangat menyulitkan (karena kemaksiatan sudah semakin parah) dan sulit menemukan pembimbing ruhani yang benar. Apakah perlu menunggu, atau menyibukkan diri dengan mencari ke sana kemari?
Menurut Ibn Abbad. pembimbing ruhani yg sejati adalah anugerah dari Allah. Maka akan sia-sia jika seseorang hanya diam menunggu tanpa melakukan aktivitas keruhanian. Salah satu cara awal, menurut beliau, adalah menyucikan niatnya. Seseroang yang menginginkan kehadiran Allah dalam hatinya membutuhkan kebenaran yang sesungguhnya.Sang pencari mesti menjauhi perdebatan yang sia-sia atau hanya mencari menang sendiri, seperti yg kerap dilakukan para ahli teologi pada zaman itu. Dan yg penting adalah sang pencari harus mengamalkan apa yg diperintahkan oleh Nabi dengan sungguh-sungguh sambil terus berdoa agar dipertemukan dengan pembimbing ruhani yang sejati. Di luar latihan keruhanian semacam itu, sang pencari harus tekun mengkaji sejarah dan perikehidupan para Nabi, sufi, dan Wali Allah, karena di dalam kehidupan mereka terkandung banyak pelajaran. Itu berarti bahwa sang pencari tidak boleh malas berpikir dan tidak boleh malas belajar. Pada saat yg sama pencari harus mencari bantuan pada orang yg mencintai para Sufi dengan tulus. Selain itu sang pencari harus menjaga rasa harap dan rasa takutnya kepada Allah. Jenis ketakutan yg paling baik adalah “ketakutan bahwa engkau akan menemui Tuhanmu dan ternyata bahwa apa yang engkau inginkan dan lakukan tidak sama seperti yang dikehendaki Allah.”
Jadi ringkasnya, meskipun mendapatkan guru yg kamil mukammil adalah suatu keharusan, namun kesulitan untuk mendapatkan guru semacam itu tidak boleh menghalangi seseorang untuk terus mencarinya, sambil tetap melakukan amal saleh yg diajarkan Rasulullah. Bahkan jika dimungkinkan, Ibn Abbad menasihatkan kepada para pencari untuk membaca kitab-kitab tasawuf terutama karangan al-Ibadah karya al-Muhasibi, Ihya karya al-Ghazali, Risalah karya al-Qusyairi, Thabaqat Shufiyyah karya al-Sulami, Qutub alQulub karya Abu Thalib al-Makki dan Aawarif al-Maarif karya Suhrawardi, yg semuanya lebih menekankan pada perbaikan akhlak.
Sampai di sini jelas bahwa pertengahan di antara abad 12-13 M yg penuh gejolak itu, yg meredupkan sebagian peradaban Islam, justru memunculkan banyak sufi dan Wali Allah dalam jumlah yang hampir belum pernah terjadi sebelumnya. Sekarang kita tinggalkan sejenak kawasan Afrika untuk menengok apa yg terjadi pada periode itu di kawasan Asia Tengah untuk menunjukkan bagaimana secara hampir serentak, seluruh kawasan di dunia muncul poros-poros ruhani dan pembawa obor nur ilahi untuk mengimbangi keruntuhan kejayaan peradaban lahiriah Islam sebagai efek dari perang salib dan serangan MOngol.
Di kawasan Khiva, Asia Tengah, muncul wali Agung, Sykeh Najmuddin Kubra, yang merupakan pendiri tarekat Kubrawiyyah. Tarekat ini kelak memengaruhi kawsan Persia, Afghanistan, India dan China. Dalam sejarahnya, tarekat Kubrawiyah tak kalah dahsyatnya dengan tarekat semacam Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah atau Syadziliiyyah, dalam melahirkan guru-guru sufi yg luar biasa pengaruhnya. SYekh Najmuddin Kubra awalnya adalah ahli hadits. Beliau masuk total dalam dunia tasawuf sekitar tahun 1180 M setelah dibaiat dalam tarekat Suhrawardiyyah di bawah kemursyidan Syekh Ruzbihan al-Mishri. Sisa usia Syekh Kubra dihabiskan untuk melakukan pendidikan ruhani. Meski muridnya tidak sebanyak syekh besar lainnya, namun hampir semua muridnya menjadi tokoh besar. Karenanya, Syekh Najmuddin Kubra mendapat julukan “Wali Tarasy — “Pemahat atau Pencetak Para Wali”.
Syekh Kubra wafat ketika kota yg ditinggalinya, Urgench, Khawarzam, diserbu MOngol. Sebenarnya beliau ditawari perlindungan, tetapi beliau lebih memilih terjun langsung bertempur di garis depan untuk menghadapi pasukan Mongol sampai beliau menjadi syuhada.
Salah satu murid Syekh Kubra adalah Syekh Bahauddin Walad, yang merupakan ayahanda Maulana Jalaluddin Rumi. Murid syekh Kubra lainnya yang terkenal adalah Najmuddin Dayah Razi, salah seorang penulis sufi yg mengagumkan pada abad 13 M, dan salah seorang tokoh pemersatu yg membawa misi menyatukan para penguasa Muslim untuk menghadapi serbuan Mongol. Karya Syekh Dayah Razi yg terkenal adalah tafsir mistis tentang Qur’an, Bahr al-Haqaiq (Samudera Hakikat).Karya lain dari beliau, yg juga terkenal, adalah kitab Mirshad al-Ibad min al-Mabda’ ila al-Ma’ad.Tokoh lain dari tradisi Kubrawiyyah adalah Nuruddin al-Isfara’ini, pengarang kitab Kasyif al-Asrar, yang menjelaskan rahasia dari ajaran Tarekat Kubrawiyyah. Murid beliau, Syekh Ala al-Daulah al-Simnani,menjadi tokoh penting dalam Tasawuf Persia.
Al-Simnani ini pernah mengabdi pada penguasa Mongol, Arghun Il Khan. Setelah berdiskusi dengan para pendeta Budha Mongol, al-Simnani kemudian mengundurkan diri dari pekerjaannya dan menempuh jalan Sufi. Al-Simnani terkenal karena ta’wil-nya atas ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut beliau, teks al-Qur’an memiliki tujuh lapis makna batin, yang tiap-tiap lapisan itu berkaitan dengan organ ruhani insan, lathaif, di mana organ ruhani ini baru bisa diaktifkan setelah melalui inisiasi di jalan sufi, misalnya dengna metode zikir atau wirid tertentu.
Al-Simnani juga menjelaskan bahwa setiap pusat lathifah ini berhubungan dengan Nabi tertentu dan memilik cahaya tertentu (kelak ini akan diuraikan lebih gamblang oleh para sufi, terutama dari kalangan Naqsyabandi dan cabang-cabangnya). Misalnya, salah satu lathaif itu dinamakan lathifah Qalb (para pengikut Kubrawi dan Naqsyabandi atau Qadiri wa Naqsyabandi, tentu akrab dengan istilah ini).
Lathifah Qalb ini merepresentasikan penciptaan tubuh atau cetakan (qalib) baru dalam “diri ruhani” dan merupakan wilayah Nabi Adam, atau dalam istilah Simnani, lathifah ini adalah “Nabi Adam pada wujudmu.” Lathifah lainnya juga merupakan domain Nabi tertentu – jadi dalam diri manusia ada “Nabi Ibrahim pada wujudmu” atau “Nabi Musa dalam wujudmu” dan seterusnya. Yang tertinggi dan terdalam tentunya adalah “Nabi Muhammad pada wujudmu.” Dengan kata lain, dalam tiap-tiap diri manusia menyimpan potensi ruhani tertentu yg dibawakan oleh Nabi tertentu. Potensi ini bisa dibangkitkan dengan petunjuk dan bimbingan yang benar.
Dan pengejawantahan potensi ini paling jelas ada pada sosok Wali Allah – sehingga sering kita dengan ada Wali musawi, wali isawi, wali Muhammadi dan sebagainya (wali dalam modus Musa, seperti Syekh Ahmad Badawi, wali dalam modus Isa seperti Syekh Alawi, atau wali dalam modus Muhammad seperti Syekh Ibn Arabi, dan sebagainya). Cahaya yang dipancarkan dari lathifah wilayah Muhammad adalah hijau, demikian menurut Simnani.
Apa yang digambarkan di atas hanyalah penjelasan kasar dan dangkal dari ajaran Simnani yg sedalam samudera. Tetapi paling tidak gambaran sederhana di atas dapat mengindikasikan pada kita kontribusi penting dari Syekh Simnani dan tarekat Kubrawiyyah terhadap metodologi ajaran ruhani dan ajaran metafisika sufi.
Di India, tarekat Kubrawiyyah dikembangkan oleh Sayyid Ali Hamadani, yg kelak mendirikan cabang Kubrawiyyah, yang diBeri nama dengan nisbahnya, Tarekat Hamadaniyyah. Pada masa perang dingin dan sesudahnya, Tarekat Kubrawiyyah in, bersama dengan Naqsyabandiyyah, dan cabang-cabang kedua tarekat besar itu, merupakan penjaga ruh Islam utama di kawasan Uni Soviet yg sosialis-ateis.
Di tengah maraknya perkembangan tarekat besar dan cabang-cabangnya, masih berkembang pula sufi-sufi yang tidak secara resmi berafiliasi tarekat, dan merupakan sisi lain dari tasawuf yg juga menjadi perhatian banyak orang, baik dari kalangan tasawuf, islam pada umumnya, maupun orientalis. Sufi-sufi di luar tarekat ini kadang menunjukkan perilaku yang seperti meneruskan tradisi kemabukan Abu Yazid atau al-Hallaj – para sufi majdzub, para qalandar dan kaum malamatiyyah…
Tidak ada komentar