TASAWWUF DAN PERKEMBANGANNYA ( 02 )

Pada era Syekh Junayd inilah dunia Islam dikagetkan oleh tindakan dan akhiir yg tragis dari salah satu muridnya yg paling cerdas, yakni al-Hallaj.

Husain Manshur al-Hallaj, adalah sufi agung yang terkenal sekaligus sangat kontroversial hingga sempat mengguncang dunia Islam pada umumnya, dan tasawuf pada khususnya, salah satu syuhada wali Allah yang amat cinta kepada Tuhannya. Beliau dihukum mati dengan cara keji oleh lawan-lawannya, yang menuduhnya sesat karena dianggap mengajarkan panteisme atau ajaran hulul, persatuan lahut (sifat dasar Tuhan) dan nasut (sifat dasar manusia), bersatunya Tuhan dengan manusia. Ucapannya yang terkenal, Ana al-Haqq, bergaung ke seluruh penjuru dunia Islam dan mempengaruhi banyak Sufi dan Wali Allah generasi selanjutnya. Bahkan sebagian sufi menyebutnya sebagai wali yang menempati kedudukan tinggi, yakni Sulthan al-Awliya. Julukan al-Hallaj (penggaru, pemintal) diperolehnya setelah beliau menunjukkan sebuah karamah. Suatu ketika beliau melewati sebuah gudang dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jari-jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu, biji-bijinya langsung terpisah dari serat-serat kapasnya. Beliau juga disebut Hallaj as-Asrar karena mampu membaca pikiran orang dan menjawab pertanyaan bahkan sebelum pertanyaan itu dikemukakan kepadanya.

Lahir dengan nama Abu Mughits al-Husayn ibn Manshur pada 244 H / 858 M di desa Tur, kota Bayda di provinsi Fars sebelah selatan Iran yang sudah dipengaruhi oleh kebudayaan Arab. Orang tuanya berasal dari Persia. Menurut sebuah legenda, ketika hamil ibunya pernah berjanji akan menyerahkan anaknya kepada para fuqara’, yakni para penempuh jalan rohani. Ayahnya adalah seorang pemintal bulu domba (hallaj). Kelak putranya juga menggeluti profesi ini meski tidak selamanya. Ayahnya sering melakukan perjalanan dagang sampai ke pusat-pusat tekstil di Ahwaz, Tustar, Nahr Tira, Qurqub, dan akhirnya pada 255 H / 868 M keluarganya menetap di kota Wasit yang penduduknya adalah kaum Arab Sunni tradisional. Di kota Wasit inilah Syekh al-Hallaj dibesarkan sejak usia 5 tahun. Di kota ini pula Syekh al-Hallaj mendapat pendidikan dasar di sekolah bermazhab Hanbali, antara lain pelajaran seni membaca dan menghafal Qur’an, tata bahasa Arab, menghafal hadits, dan doa. Pada 260 / 873, setelah menamatkan pendidikannya di pusat kota tersebut, Hallaj muda kembali sendirian ke Tustar. Di sana beliau menjadi murid ulama dan sufi terkenal dari mazhab Sunni, Syekh SAHL AL-TUSTARI (w.273). Al-Hallaj tinggal bersama Syekh Sahl selama kurang lebih dua tahun. Sesudah itu beliau sekali lagi melakukan perjalanan ke Irak, kali ini ke Basra.
Pada 877 M Syekh al-Hallaj menikahi putri Abu Ya’qub Aqta, seorang sekretaris (khadam) Syekh Junayd al-Baghdad dan pengikut Amr al-Makki. Dari pernikahannya ini kelak Syekh al-Hallaj dikaruniai tiga putra dan satu orang putri. Salah satu putranya, Hamd, meninggalkan catatan tentang kehidupan dan kesyahidan ayahnya. Menurut catatan ini, pernikahan Hallaj menimbulkan perselisihan antara Syekh Amr al-Makki dengan Syekh al-Hallaj. Syekh Amr al-Makki tidak menyetujui pernikahan itu, dan karenanya Syekh al-Hallaj terpaksa pergi ke Baghdad untuk meminta nasihat kepada Syekh Junayd al-Baghdad. Kecemburuan spiritual semacam itu kelak akan terus membayangi Syekh al-Hallaj disepanjang hayatnya. Kecemburuan-kecemburuan spiritual datang dari guru-guru yang dekat dengannya dan juga, kelak, dari murid-muridnya, yang pada akhirnya menimbulkan perselisihan doktrinal. Syekh Junayd, yang waktu itu diakui sebagai sufi dan ulama terkemuka di Irak, menganjurkan agar Hallaj bersabar seperti yang dilakukan oleh Syekh Hasan al-Basri.

Syekh al-Hallaj tumbuh dalam abad yang menjadi saksi berdirinya Bayt al-Himah yang tersohor, sebuah pusat penerjemahan di Baghdad yang bertujuan menyebarluaskan pandangan dan ide-ide Yunani. Pusat ini berada di bawah perlindungan khalifah al-Ma’mun yang anti-tradisionalis dan sedikit berbau Syi’ah. Keahlian debat Syekh al-Hallaj, baik dalam soal keadilan maupun persoalan yang menyangkut Qur’an, mulai diasah pada periode yang penuh ketegangan ini. Sikapnya yang terbuka terhadap perspektif dan tradisi agama lainnya berasal dari kecenderungannya untuk menentang “ortodoksi” Sunnni di bidang intelektual, politik dan kultural. Ini adalah periode yang membuat karakternya menjadi rawan terhadap bahaya sektarianisme spiritual, sebuah ciri yang telah lama muncul dalam sejarah Islam dan telah diperingatkan sejak dulu oleh Syekh Hasan al-Basri kepada umat; dan bahaya inilah yang ikut serta membawa al-Hallaj kelak menuju kematiannya demi memperjuangkan keadilan dan persatuan seluruh umat.

Beliau kemudian umroh dan menetap di Mekah selama setahun. Konon pada masa ini beliau berpuasa terus-menerus untuk mempersiapkan diri menerima panggilan spiritual yang lebih tinggi. Ia memilih berbagai bentuk kewajiban dan anjuran agama yang paling berat bagi nafsunya. Seperti Hasan al-Basri dan Sufi-sufi generasi selanjutnya, Syekh al-Hallaj menganggap bahwa penyucian hati adalah syarat utama untuk merealisasikan panggilan moral dan spiritual atas nama umatnya. Kemungkinan besar pengalaman di masa mudanya inilah yang memperkuat keyakinannya terhadap makna dari sayha bi’l Haqq, seruan untuk menegakkan keadilan sebagai saksi atas Realitas Tuhan dan Kebenaran Keesaan Tuhan yang transendental. Setelah itu beliau tampaknya semakin kuat menentang ekstremisme politik dan tirani jenis apapun. Beliau juga menentang kesufian yang menyendiri dan tenang yang dinisbahkannya kepada para gurunya sendiri, termasuk Syekh al-Junayd. Menurutnya, Syekh al-Junayd merepresentasikan penarikan diri dari aktivitas politik dan hanya menitikberatkan pada ibadah. Penolakan terhadap corak sufisme yang tenang ini menjadikan Syekh al-Hallaj berseberangan dengan pandangan asketik yang pada mulanya diajarkan Syekh HASAN AL-BASRI yang menganjurkan orang agar bersabar dalam menghadapi tirani dan menanamkan rasa takut dan sedih (al-khauf wa al-huzn).

Kira-kira pada periode inilah Syekh al-Hallaj ikut dalam diskusi yang melibatkan tiga orang sufi terkemuka. Diskusi ini menunjukkan perkembangan pandangannya tentang inspirasi personal dari Tuhan (ilham): di Mekah beliau berdiskusi dengan Syekh Amr Makki; di Kufa dengan Syekh IBRAHIM AL-KHAWAS; dan di Baghdad dengan Syekh al-Junayd. Dalam catatan biografisnya Hamd menyebutkan sebuah pertemuan antara ayahnya dan Junayd dengan sekelompok sufi (fuqara) di mana saat itu diajukan sebuah pertanyaan yang berhubungan dengan “keinginan untuk mendapatkan misi pribadi (mudda’i).” Syekh Al-Junayd waktu itu memberi nasihat kepada al-Hallaj muda yang masih bersemangat ini agar tenang dan bersabar. Namun sumber lainnya menyebutkan bahwa pertemuan ini terjadi saat krisis pernikahan dan merupakan satu-satunya pertemuan yang mereka adakan. Yang penting di sini adalah bahwa Syekh al-Hallaj tampak berbeda pandangan dengan aliran Sufi tradisional seperti yang dianut oleh mazhab di Baghdad. Akan tetapi di Basra, tempat Syekh al-Hallaj berkumpul kembali dengan istrinya setelah menyendiri di Mekah, beliau mulai menarik banyak pengikut dan memulai melakukan “misi pribadinya.” Setahun kemudian, Syekh al-Hallaj meninggalkan Basra menuju ke Tustar bersama istrinya dan saudara misannya, seorang anggota keluarga Karba’i yang beraliran Syi’ah. Di sana beliau mulai berdakwah (baik dalam bahasa Arab maupun Persia) kepada penduduk setempat dan dakwahnya ini mendapat keberhasilan. Tetapi Syekh al-Hallaj masih terus mendapat kecaman dari bekas gurunya, Syekh Amr al-Makki. Serangan-serangan ini menjadi faktor penting dibalik keputusan Syekh al-Hallaj untuk memutuskan ikatannya dengan guru Sufi itu dan menanggalkan jubah Sufinya, meskipun jubah ini kelak menjadi satu-satunya “pakaian” yang dikenakannya selama melakukan perjalanan dan saat kelak berada di penjara.

Di sekitar pusat kota Tustar dan Ahwaz, beliau sering menjadi tamu dikalangan tuan tanah, birokrat kelas atas, orang-orang kaya, kelompok yang lebih dikenal sebagai abna al-dunya. Meskipun Syekh al-Hallaj dikenal sebagai dai yang tersohor, namun gaya bahasanya makin lama semakin abstrak dan dialektis, mengikuti gaya ucap di bidang filsafat (falsafa) kaum Muslim non-tradisionalis (yakni Mu’tazilah dan Syi’ah) di kawasan itu.

Sekitar tahun 887, saat usianya 30 tahun, beliau ditangkap oleh agen pemerintah Sunni dan dihukum cambuk di muka umum di Nahiyat al-Jabal, yang terletak di antara Sus di Iran dan Wasit di Irak. Syekh al-Hallaj dituduh sebagai penghasut politik, dan dituduh menjadi seorang agen gerakan Qarmathian, yakni kaum radikal sayap kiri dari golongan Syi’ah yang berkeinginan untuk menggulingkan pemerintahan Abbasiyah dan para pendukungnya. Dakwah-dakwahnya memang membahayakan di bidang politik, walaupun dalam kenyataannya beliau tak lagi aktif dalam bidang politik setelah pemberontakan Zanj dipadamkan.

Selama lima tahun kemudian dia berkeliling menjalankan “misi” ke seluruh pusat-pusat kota yang telah diarabkan (arabicized) di Iran barat, Khurasan dan di sepanjang Sungai Oxus. Pada tahun 893 beliau berkumpul bersama istrinya di Ahwaz. Menjelang akhir tahun ini di sini anak ketiganya lahir, yakni Hamd. Di sini pula beliau mendapat julukan hallaj al-asrar atau hallaj al-qulub, pemintal atau pembaca rahasia hati terdalam. Mulailah beredar kisah-kisah tentang karamahnya, dan pada saat yang sama beliau berhasil menyangkal tuduhan melakukan praktik perdukunan yang dilancarkan oleh kaum Mu’tzailah dan Syi’ah. Hal ini membuatnya makin terkenal dan mendapat lebih banyak pengikut. Pada 894 beliau melakukan perjalanan keduanya ke Mekah melalui Basra dan pusat gerakan Qarmathian di Teluk Persia. Menurut keterangan beliau tiba di Kota Suci Mekah bersama 400 pengikutnya yang berpakaian sederhana dan lusuh dan menjalani kehidupan fakir. Beliau kemudian tinggal di pusat tekstil di Baghdad selama setahun. Pada masa ini beliau kembali menjalin hubungan dengan para sufi, terutama dengan sufi yang individualistik seperti Syekh Abu Hasan al-Nuri (w. 295/907) dan Syekh ABU BAKAR AL-SHIBLI (w. 334/945).


Setelah itu al-Hallaj bepergian melalui laut ke India bersama seorang utusan Mu’tadid yang kelak menjadi khalifah. Ini menandai perjalanan panjang keduanya selama lima tahun di mana “misinya” adalah untuk berdakwah kepada orang kafir Turki di luar Sungai Oxus dan kepada penduduk India barat yang baru sedikit diislamkan oleh misionaris syi’ah radikal. Pada periode inilah beliau menjalin hubungan baik dengan tokoh-tokoh penting dinasti Samanid di Khurasan. Mereka ini tetap setia dan membela Syekh al-Hallaj dari tuduhan dan kecaman penguasa Abbasiyah di Baghdad saat beliau hendak dihukum mati pada 309/922. Syekh al-Hallaj berdakwah menentang ajaran dualisme Manichean (zandaqa) yang dianut oleh kaum Uyghur Turki dan orang-orang kafir lain yang berada di luar Dar al-Islam tetapi, ironisnya, pada saat Syekh al-Hallaj diadili kelak, beliau dituduh mengajarkan ajaran sesat tersebut.

Setelah kembali ke Baghdad sekitar tahun 290/902, muncul penentangan terhadapnya. Tokoh terpenting yang menentangnya adalah seorang ulama dan pengikut neo-Platonis yang menguasai persoalan tentang ajaran cinta, yakni Muhammad Ibn Dawud (w. 296/908). Tokoh inilah yang mengawali kecaman resmi kepada Syekh al-Hallaj (melalui karyanya Fatwa bi takfir al-Hallaj). Tuduhan ini langsung dilaporkan kepada Khalifah Mu’tadid. Tetapi muncul pembelaan dari ulama terkemuka lainnya, Ibn Surayj yang bermazhab Syafii (w. 305/917), yang menulis fatwa (Fatwa bi tawaqquf … hal al-Hallaj) yang menyatakan bahwa inspirasi mistis (ilham) adalah bidang yang berada diluar kompetensi ulama fiqh atau syariah. Persoalan ilham ini, yang sering dihubungkan dengan ajaran Syekh al-Hallaj dan sufi-sufi yang tenggelam dalam “cinta ekstatis,” sesungguhnya sudah sejak lama diperdebatkan dalam kerangka perintah dan larangan hukum agama (syariat).
Untuk menghindari penyidikan oleh lembaga resmi, Syekh al-Hallaj kemudian melakukan ibadah haji yang ketiga, kali ini beliau tinggal selama dua tahun untuk menyendiri, merenungi Qur’an, melakukan ibadah yang ketat, membersihkan hati, yang kelak membuatnya mampu mengeluarkan ucapan ekstatik (shath). Ini adalah persiapan final dari “kesaksian kehadiran” (shahid ani) cinta abadi. Murid-muridnya percaya bahwa keadaan ini ditunjukkan oleh tanda-tanda dari ibadahnya yang ekstrim dan ketaatannya yang luar biasa dalam menjalankan ritual dasar ajaran Islam. Salah satu tandanya adalah ucapannya saat berada di padang Arafat, di mana beliau menyatakan kesiapannya untuk menjadi korban, mengalami hujatan dan kematian seperti yang dialami Nabi Isa, demi menyucikan umatnya. Beliau bahkan memohon kepada Tuhan agar mengizinkan dirinya mati dikutuk oleh umat Islam yang keadaannya sudah memburuk dan terpecah-belah. en Beliau juga memohon agar setiap aspek dari dirinya bisa “lenyap” melalui “Cinta-Mu.”

Beliau meninggalkan kota suci Mekah dan Medinah untuk terakhir kalinya, dan kembali ke Baghdad melalui Yerusalem. Beliau kembali tinggal bersama keluarganya, kawan-kawan dan murid-muridnya di Tustar. Beliau membangun miniatur kabah yang diagungkannya secara simbolik dan secara pribadi di sekitar miniatur kabah ini beliau melakukan ritual ibadah haji yang biasanya dilakukan dalam ibadah haji yang sesungguhnya di Mekah. Karena tindakannya ini, dan karena beliau diduga pernah menyatakan bahwa diperbolehkan melakukan ibadah haji di miniatur kabah ini untuk mengganti ibadah haji di Kota Suci jika seseorang tidak mampu secara finansial atau fisik untuk melakukan perjalanan ke Mekah, maka oleh musuh-musuhnya beliau dituduh hendak merusak sendi-sendi hukum Islam. Meskipun demikian, sebenarnya ada beberapa fakta historis tentang penggantian tersebut, seperti yang dilakukan oleh seorang khalifah yang membangun miniatur kabah di Samarra pada tahun 830-an untuk para tentara bayaran dari Turki. Pada periode ini pula dakwah Syekh al-Hallaj semakin bersemangat dan difokuskan demi kerinduannya untuk mati syahid: atas nama hukum Islam dan demi kebaikan umat.

Selama sembilan tahun berikutnya, yakni sekitar 913-921/922, ruang gerak Syekh al-Hallaj dibatasi hanya di seputar istana di bawah pengawalan ketat Bendaharawan Agung Nasr dan pendukung lainnya. Pada periode ini Hallaj menulis karya-karyanya yang terakhir. Di antara karyanya ini yang paling utama adalah kitab Ta Sin al-Azal. Pada tahun 921 beliau dipindahkan selama “sekitar setahun” ke penjara, di sebuah bangunan yang terpisah dari istana di mana beliau masih bisa menerima tamu. Kemudian muncul peristiwa politik selanjutnya yang membuat pengadilan Hallaj menjadi tak terhindarkan. Intrik-intrik politik di dalam istana menyeret Syekh al-Hallaj. Abu Muhammad Hamid ibn al-Abbas, seorang pejabat tinggi, yang juga musuh utama Syekh al-Hallaj, melakukan manuver-manuver politik untuk menyingkirkan para lawan politiknya, seperti Ibn Isa dan Bendaharawan Nasr, yang mendukung Syekh al-Hallaj.

Karena waktu itu Syekh al-Hallaj dituduh menyebarkan bid’ah dan juga adalah tokoh yang didukung oleh Ibn Isa dan Nasr, maka Hamid memanfaatkan Syekh al-Hallaj untuk memperoleh kembali kekuasaannya. Jika ia bisa membawa al-Hallaj ke pengadilan, maka ini akan sangat berpengaruh terhadap Ibn Isa dan Nasr. Rencananya adalah meminta Muqtadir untuk tidak melibatkan Ibn Isa dalam kasus Syekh al-Hallaj dan membawanya ke pengadilan, sekaligus membatasi keterlibatan Nasr. Tokoh lainnya, yakni Ibn Mujahid, ulama penghafal Qur’an yang memusuhi Hallaj dan para sufi lainnya, mendukung proses rencana ini. Para pendukung Syekh al-Hallaj dari penganut mazhab Hanbali melakukan demonstrasi menentang Hamid dengan alasan yang sama seperti yang diajukan oleh murid Syekh al-Hallaj paling setia, Ibn Atta, yang pernah menjadi saksi pembela Syekh al-Hallaj di pengadilan terdahulu. Tetapi demonstrasi ini justru menguntungkan rencana Hamid karena demonstrasi membuktikan bahwa Syekh al-Hallaj dan para pengikutnya adalah ancaman bagi hukum dan ketertiban. Ulama dan sejarawan terkemuka yang bermazhab Sunni, Tabari (w.310/923), yang juga salah seorang kawan Ibn Isa, tidak mau turut campur dalam kasus ini dengan alasan dia tidak mau terlibat dalam kekerasan. Sikapnya ini membuat kaum Hanbali berdemonstrasi di depan rumahnya.

Pada akhir Maret 922 Hamid diangkat kembali menjadi menteri setelah manuver politiknya yang brutal berhasil menyingkirkan pendukung Hallaj dari kekuasaan. Dia mendapat mandat dari Khalifah untuk menegakkan ketertiban dan keamanan dengan cara apa saja, mulai dari penangkapan, pengadilan sampai penghukuman mati. Para ahli fiqh dan ulama yang pernah menentang Syekh al-Hallaj kini memperkarakan kembali soal ajarannya yang membolehkan mengganti ibadah Haji ke Mekah dengan ibadah haji di rumah. Ajaran ini dianggap sebagai bukti bahwa Syekah al-Hallaj ingin menghancurkan hukum Islam. Ibn Ata’, ahli fiqh dan murid terdekat Syekh al-Hallaj, menolak menandatangani pernyataan bahwa al-Hallaj bersalah. Tetapi dia berhasil dibunuh oleh Hamid sebelum pengadilan atas Syekh al-Hallaj dilakukan. Tetapi beberapa sumber lain menyatakan bahwa Hamid memaksa Ibn Ata’ untuk bunuh diri. Upaya terakhir Nasr dan Ratu Shaghab untuk membujuk Khalifah Muqtadir agar membatalkan pengadilan mengalami kegagalan. Karena desakan Hamid, akhirnya khalifah menyetujui hukuman mati atas diri al-Hallaj, dengan hukuman yang akan dilakukan dengan cara yang paling kejaam!

Menurut kisah putra Syekh al-Hallaj, yakni Hamd, ayahnya, setelah melakukan shalat tahajud mengulangi kata-kata ‘makr,’ “tipu daya,” sampai malam hampir berakhir. Kemudian, setelah lama terdiam, beliau meneriakkan kata al-Haqq, “Kebenaran.” Kemudian mengenakan jubahnya, menghadap ke arah Mekah dan membaca munajat-nya.

Ketika pagi tiba, mereka menyeretnya dari penjara, dengan dirantai. Beliau mengatakan, “Sahabatku memberi aku minum dari cangkirnya, seperti ketika menjamu tamu; tetapi setelah cangkir berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya, Dia membawakan tikar untuk hukuman mati dan kemudian pedang akan menebas orang yang meminum anggur bersama sang singa di tengah panasnya musim panas.” Mereka membawanya ke tiang penggantungan di hadapan massa yang membludak. Mereka memotong tangan dan kakinya setelah mencambuknya sebanyak 500 kali. Menurut penjelasan Attar (dalam Tadhkirat), Syekh al-Hallaj “melumurkan darah dari tangannya yang dipotong ke wajahnya, sehingga tangan dan wajahnya berlumuran darah.”
“Mengapa engkau melakukan itu,” tanya orang-orang.
“Telah banyak darah yang keluar dari tubuhku,” jawabnya. “Aku tahu wajahku akan pucat. Kalian mungkin mengira wajahku pucat karena aku takut. Aku melumuri darah ke wajahku agar pipiku tampak merah di mata kalian. Kosmetik para pahlawan adalah darah mereka.”
“Tetapi mengapa engkau juga melumuri tanganmu?”
“Aku melakukan wudlu.”
“Wudlu apa?”

“Ketika seseorang shalat dua rakaat karena cinta,” jawab Hallaj, “wudlunya tidak akan sempurna kecuali dilakukan dengan darah.”

“Algojo kemudian mencungkil kedua matanya; kemudian massa melemparinya dengan batu. Setelah itu telinga dan hidungnya diiris. Dia memohonkan ampunan kepada mereka saat mereka hendak memotong lidahnya. Seorang perempuan tua berteriak, “Apa hak pemintal kain ini (hallaj) untuk berbicara tentang Tuhan?” Hallaj kemudian berkata, “Cukuplah bagi pecinta untuk melenyapkan dirinya di hadapan keesaan Yang Maha Esa.” Beliau kemudian digantung di tiang salib. Selama digantung semalaman ini beliau berdoa: “Ya Tuhanku, aku sekarang berada di tempat yang kuinginkan, tempat aku merenungi keagungan-Mu. Ya Tuhanku, aku tahu Engkau memperlihatkan cinta-Mu bahkan kepada orang-orang yang bersalah kepada-Mu; jadi bagaimana mungkin Engkau tidak memperlihatkan cintamu kepada orang [yakni al-Hallaj sendiri] yang diperlakukan tidak adil karena Diri-Mu?”

Sahabatnya, Syekh Abu Bakar Shibli, mendekati tiang gantungan dan membacakan ayat “Bukankah kami telah dilarang untuk menerima tamu dari golongan malaikat dan manusia?” [Q.S. 15:70]. Kemudian Syekh al-Shibli bertanya kepada Syekh al-Hallaj, “Apa itu Tasawuf?” Beliau menjawab, “Tingkat yang terendah yang dapat dicapai adalah yang sedang engkau lihat saat ini.” Syekh Shibli kemudian bertanya lagi, “Lalu apa tingkat yang lebih tinggi?” Syekh al-Hallaj menjawab, “Tingkatan itu diluar jangkauanmu; tetapi besok engkau akan melihatnya, sebab tingkatan itu adalah sebagian dari misteri ilahi yang telah aku saksikan tetapi tidak akan terlihat olehmu.” Saat tiba waktu Isya, datang perintah untuk memenggal kepala Hallaj. Akan tetapi petugas mengatakan “Sekarang sudah malam; kami akan memenggalnya esok hari.”

Saat pagi tiba, mereka menurunkannya dari tiang salib dan menyeretnya untuk dipenggal. Beliau berteriak dan berkata dengan keras, “Yang penting bagi seorang sufi adalah bahwa hanya Yang Maha Esa-lah yang akan membawanya ke Kesatuan.” Kemudian beliau membacakan ayat, “Orang-orang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan; tetapi orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa kiamat itu adalah benar” [Q.S. 42:18]. Ini adalah kata-katanya yang terakhir, sebab kemudian lidahnya dipotong oleh sang algojo. Kepalanya dipenggal, tubuhnya dibungkus dengan tikar jerami, disiram minyak, dan kemudian dibakar. Abunya dibawa ke puncak menara di Ra’s al-Manara yang terletak di sungai Tigris untuk disebarkan. Dikisahkan konon darah yang mengalir dari tubuh Syekh al-Hallaj membentuk huruf arab Ana al-Haqq .

Seperti apakah ajaraannya?

 Meski jazadnya telah hancur, namun warisannya seolah kekal. Syekh al-Hallaj meninggalkan beberapa karya. Karyanya yang paling utama adalah kitab Ta Sin al-Azal (Tawasin). Dalam karya ini dikisahkan Iblis melakukan pembelaan diri sebagai monoteis murni, yang mengakui transendensi (tanzih) Tuhan dengan menolak bersujud kepada manusia yang merupakan makhluk ciptaan yang rendah dan tidak bersih. Karena itu si Iblis ini menjadi pecinta mistik yang utama yang menjadi saksi kemahakuasaan Tuhan yang tak bisa dipahami, tetapi pada saat yang sama, karena penalarannya yang ekstrim tentang Tuhan sebagai Ide Murni, tidak bisa bersikap rendah hati, sebuah sikap yang dibutuhkan untuk mengakui realitas kreativitas Tuhan. Dalam monolog Syekh al-Hallaj yang halus ini Iblis menandai batas kesombongan spiritual mistikus dan berani melewatinya dengan menjustifikasi pembangkangannya kepada Tuhan yang membawanya kepada nasib yang tragis. Karya ini adalah semacam esai dalam bentuk fiksi, dan sebuah karya yang kaya akan pandangan mistisisme yang mendalam. Karya ini menunjukkan pengetahuan psikologi religius pengarangnya yang jauh lebih mendalam ketimbang para ahli lain di bidang mistisisme atau psikologi. Iblis adalah saksi negatif dari Kesatuan Yang Maha Esa. Iblis hanya mengakui cinta, dan cintanya kepada Tuhan lebih murni dan tegas ketimbang manusia. Karena itu menurut Syekh al-Hallaj, Iblis adalah guru cinta kontemplatif, meskipun dia juga tokoh yang bernasib tragis karena kekeliruannya yang fatal. Setan dalam karya Syekh al-Hallaj adalah tokoh yang menyendiri yang tidak punya sahabat selain Tuhan. Iblis menyampaikan pesan yang sangat halus kepada para manusia agar percaya bahwa mereka tidak pernah bisa menggapai hadirat Ilahi, apalagi menyatu dengan-Nya, sebab manusia kedudukannya lebih rendah. Keadaan sesungguhnya dari manusia adalah terpisah dari Tuhan dan berada dalam kesendirian yang menyedihkan , sebuah keadaan yang paling ditakuti sehingga dalam sajak-sajaknya Hallaj sering menulis tentang perpisahan dan keterasingan yang kemudian diikuti oleh momen penyatuan dengan Sang Kekasih, momen-momen yang menguatkan keyakinannya tentang KEKELIRUAN Iblis. Sebagai sebuah karya, Kitab Tawasin mengkombinasikan tema-tema utama dari misinya dengan pengalaman hidupnya dalam bentuk drama yang melengkapi karya-karya sajak didaktik dan prosa-liriknya.

Selain itu Syekh al-Hallaj juga merupakan salah satu Sufi pertama yang memaparkan konsep doktrin “Nur Muhammad” yg kelak akan sangat memengaruhi ajaran Sufi generasi selanjutnya, termasuk ajaran martabat tujuh. Menurutnya, Nabi Muhammad memiliki dua hakikat, qadimah dan haditsah. Haqiqat al-qadimah adalah nur azali yang telah ada sebelum terciptanya alam semesta, hakikat yang menjadi sumber ilmu dan irfan, serta titik awal munculnya semua nabi, rasul dan wali Allah. Sedangkan haqiqat al-haditsah adalah perwujudan Nabi sebagai putra Abdullah. Pada hakikat yang pertama tadilah konteks Nur Muhammad itu. Dengan berdasarkan hadits bahwa ciptaan pertama adalah Nur-Nya, Syekh al-Hallaj mengatakan bahwa segala sesuatu di alam adalah dari Nur Muhammad. Nur Muhammad ini bersifat azali dan qadim. Maka Muhammad dalam bentuk hakikinya (Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad) adalah Nur Allah yang azali dan qadim, mendahului makhluk, sedang dalam kedudukannya sebagai rasul beliau adalah manusia yang bersifat baru, menjadi khatam al-anbiya. Jadi Nur Muhammad, meski mewujud paling akhir, namun ia muncul paling awal. Posisinya paling dekat dengan Tuhan. Jadinya manifestasi Nur Muhammad dalam wujud “manusia” Nabi Muhammad adalah Insan Kamil, manusia sempurna, tempat Allah bertajalli secara paripurna melalui sifat-sifat-Nya. Mengenai Nur Muhammad ini, Syekh al-Hallaj menulis dalam kitab Tawasin-nya:

Semua cahaya para rasul bermula dari cahayanya [Muhammad]; ialah yang mendahului semuanya, namanya tertera dalam kitab yang terpelihara; ia dikenal sebelum segala benda, segala makhluk, dan akan tetap ada sesudah segala sesuatu berakhir. Melalui bimbingannyalah semua mata melihat … Segala pengetahuan hanyalah setetes darinya, segala kearifan hanyalah secawan dari samudera kearifannya, seluruh waktu hanyalah sejam dari kehidupannya.

Syekh al-Hallaj juga dikenal sebagai penyair, menggubah banyak sajak mistik yang memerikan kerinduannya akan Tuhan. Salah satu sajaknya menggambarkan ajaran “kesatuan” yang kontroversial itu. Karena nada sajaknya demikian terang, maka banyak ulama zahir yang anti-tasawuf, yang hanya melihat pada teks lahiriah belaka, mengkafirkan Syekh al-Hallaj. Salah satu sajaknya yang terkenal dan menggambarkan metafora persatuan adalah seperti ini:

Aku mencoba untuk bersabar, tetapi bagaimana aku bisa bersabar jika pusat hatiku sedang resah?
Ruh-Mu bercampur dengan ruh-ku sedikit demi sedikit melalui penyatuan ulang dan perpisahan.
Dan kini aku adalah Engkau, eksistensi-Mu adalah eksistensiku, dan kehendak-Mu adalah kehendakku
Engkau kuasai hatiku, dan aku mengembara di setiap lembah
Hatiku tertutup, semua kantukku menghilang
Aku terasing sepi sendiri; berapa lama lagi kesendirianku akan berlangsung?

Ungkapan Ana al-Haqq, “Akulah Kebenaran,” yang menjadi sasaran utama kecaman ulama zahir, merupakan ringkasan dari doktrin Sufi yang rumit. Sesungguhnya Syekh al-Hallaj sendiri tidak hanya mengajarkan imanensi (tasybih) Ilahiah, tetapi juga transendensi-Nya (tanzih). Karena itu, ungkapan ini, menurut banyak ulama tasawuf, seperti Imam al-Ghazali dan al-Hujwiri, tidak boleh diartikan secara harfiah. Dalam beberapa tulisannya Syekh al-Hallaj dengan tegas menunjukkan transendensi (tanzih) Tuhan: “Engkau [Allah] adalah mengatasi segalanya … mengatasi segala pengertian.” Seperti doktrin mistisisme lainnya, ajaran Syekh al-Hallaj dari permukaan tampak paradoks. Di satu sisi beliau seperti menyatakan kesamaan Tuhan-makhluk, tetapi di sisi lain beliau dengan tegas membedakan keduanya.

Karena itu, untuk memahami ungkapan ini amat penting untuk menengok pada kondisi kejiwaan dan spiritual yang melatarbelakangi ucapan ini. Ketika manusia makin erat dan dekat hubungannya dengan Tuhan, maka Allah akan makin sering “mengunjungi” tahta-Nya yang ada di dalam hati hamba-hamba-Nya, dalam lubuk sirr. Ketika pengalaman itu begitu intim dan memuncak, hamba akan segera diliputi oleh kemahakuasaan-Nya, dan sang hamba tidak melihat apapun selain Tuhannya, bahkan tidak melihat dirinya sendiri. Karena segala yang dilihatnya adalah Tuhan, jiwanya menjadi guncang, tak mampu menerima karunia yang begitu dahsyat, hingga bahkan dirinya sendiri tenggelam dan ketertenggelaman itu, fana al-fana, penghapusan dalam penghapusan. Seluruh aspek keberadaannya terserap dalam Keberadaan Ilahi, sehingga terjadilah apa yang dikatakan dalam hadits qudsi: “Ketika Aku mencintai-Nya, maka Aku menjadi penglihatannya yang dengannya dia melihat, pendengarannya yang dengannya ia mendengar ….” Pada saat inilah Allah “meminjam” lidah kemanusiaannya untuk menyatakan Kebenaran sejati dari Ke-Aku-an-Nya. Sesungguhnya tidak ada apapun selain “Aku,” yakni yang mengatakan ini. Maka dalam “persatuan” ini tidak boleh ada yang menghalangi, sehingga Syekh al-Hallaj pernah berucap, “Di antara aku dan Engkau ada “aku” yang menyiksaku, ya Allah dengan rahmat-Mu ambillah “aku” di antara kita.” Jadi yang bicara bukan “aku” al-Hallaj, sebab seorang hamba yang senantiasa bersama Allah “aku”-nya tiada lagi berperan.

Karena Allah berada di atas segala-galanya, maka seorang sufi lantas akan mengakui bahwa gagasan yang dibuatnya mengenai Allah adalah tidak lagi memadai atau bahkan tak lagi bermakna, dan bahkan menjadi hijab tersendiri, dan karenanya dia lalu membuang gagasannya itu supaya Allah sendiri yang mengajarkan kepadanya, supaya Dia menerangkan sendiri. Hingga pada titik tertentu, ketika pengalaman kedekatan ini makin intensif, dia diangkat derajatnya oleh Allah sendiri, dia akan dikuasai-Nya, bahkan ungkapan-ungkapannya juga akan “diambil” oleh Allah dan Allah memaksanya untuk melepaskan semua ungkapan-ungkapan semacam itu. Sang sufi menjadi “tidak ada”, fana, sebab “segala sesuatu adalah fana selain Allah,” lalu siapa lagi yang tersisa selain Allah yang berseru Ana al-Haqq? Dengan demikian, “penyatuan” cinta ini begitu mesra dan intim, tetapi kedua belah pihak, Tuhan dan manusia, tetap tidak identik, tetap berbeda:: makhluk tetap makhluk, dan Tuhan adalah Tuhan, seperti dikatakan Syekh al-Hallaj sendiri dalam kitab Tawasin: “Yang Haqq tetap Haqq, Pencipta tetap Pencipta, dan yang diciptakan tetap makhluk. Ini akan tetap senantiasa demikian adanya.”

Namun kebenaran dibalik Ana al-Haqq ini terlampau luas dan mendalam untuk diringkas dalam berjilid-jilid buku. Karenanya, sebagian sufi memandang bahwa kesalahannya bukan pada ungkapan atau maknanya itu, tetapi pada “kesalahan metodologis” Syekh al-Hallaj yang “membocorkan rahasia Ilahi” kepada orang-orang yang belum siap atau belum berhak menerimanya. Secara pedagogis, apa yang dilakukan Syekh al-Hallaj tidaklah efektif, dan bahkan berbahaya. Karenanya, Syekh Junaid al-Baghdad, ketika dimintai fatwanya untuk mengesahkan hukuman mati atas Syekh al-Hallaj, menolak permintaan itu. Baru setelah ketiga kalinya permintaan diajukan, Syekh Junaid menanggalkan khirqah kesufiannya, lalu mengenakan jubah keulamaannya, dan mengatakan, “Secara syari’at dia keliru, tetapi secara hakikat, Allah lebih tahu.”

Boleh dikatakan, secara historis, Al-Hallaj adalah titik puncak Tasawuf generasi awal. Sebagian menyebutnya sebagai ambang batas masa-masa pergeseran penekanan Tasawuf ke arah yg lebih tenang, tidak meledak-ledak seperti al-Hallaj. “”Jadzab” model al-Hallaj menjadi berkurang dalam periode selanjutnya. Sebagian yg dikuasai oleh jadzab biasanya lebih suka menyembunyikan keadaannya, seperti yg dilakukan oleh salah satu sahabat al-Hallaj, Abu Bakar as-Shibli. Beliau berpura-pura gila, sehingga dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan karenanya selamat dari hukuman mati. Dan melalui tokoh-tokoh sufi tersembunyi semacam Shibli inilah ajaran al-Hallaj menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam.

Pada periode transisi ke arah tasawuf yg lebih tenang ini, sesekali masih muncul penyair-penyair sufi yang jadzab, seperti Ruzbihan Baqli dan Niffari, dua penyair sufi yang rumit sajak-sajaknya. Tetapi sampai tingkat tertentu bisa dikatakan bahwa abad 10 ini mulai muncul sufi-sufi yg menyertakan argumen syariah yg lebih kokoh. Selama periode dinasti Abbasiyyah, efek dari doktrin al-Hallaj dianggap mulai berlebihan dan cenderung tidak baik secara pedagogis. Karenanya dirasakalah kebutuhan untuk mulai menyusun kitab-kitab yang bisa menjelaskan ajaran-ajaran mistis sufisme dengan cara yang lebih moderat dan disertai dalil. Peristiwa al-Hallaj menyebabkan para sufi menghadapi risiko diburu-buru oleh penguasa. Salah satu tokoh Sufi awal yg menyusun karya uraian ajaran Sufi dengan gemilang adalah Abu Nasr as-Sarraj, dengan kitabnya yang berjudul “Kitab Luma’ fi al-tashawuf. Persoialan-persoalan yang pelik dan berbahaya, seperti peristiwa al-Hallaj, dijelaskan dengan terang. Nasr as-Sarraj, yg dekat dengan sufi besar seperti Ibn Khafif, memiliki kepiawaian tersendiri dalam menyusun penjelasan yang lebih renyah, meski as-Sarraj sendiri sering dikuasai oleh jadzab.

SELANJUTNYA

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.