WAHABI YANG GEMAR MEMBIDAHKAN AMALIYAH MUSLIM LAINNYA

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم


Salah satu ciri kaum literalis sekte Wahabi, dan gerakan Transnasional adalah sangat gampang membid'ahkan mengkafirkan, mengharamkan bahkan berani mengeluarkan/membatalkan keislaman muslim lainnya. Dalam puncak tertinggi seperti ISIS dengan ideology Wahhabi nya, ia berani memenggal kepala muslim lainnya sambil teriak takbir, mirif Ibnu Muljam ketika tikam Sayyidina Ali Kramallahu Wajhah..


Ada seorang santri yang tiba-tiba menghampiri saya dan meminta nomer HP saya kemudian saya beri, setelah ia selesai menulis nomer HP saya. Saya bertanya; “mau ada apa mas?”. Ia menjawab; “saya ingin tanya-tanya konsultasi bila ada hal-hal yang saya tidak mengerti,” saya jawab: “silakan, memangnya ada masalah apa, cerita saja tidak apa apa.” Ia bercerita kalau saudaranya atau familinya sekarang berubah, beraliran yang mirip wahabi. Saya tanya lagi, “bagaimana ciri-cirinya?”, ia menjawab, “banyak ustadz, seperti ia sering membid’ahkan amalan kita yang NU seperti do’a/wiridan setelah shalat dll, serta menuduh amaliyah kita yang lain tidak sesuai dengan tuntunan Al Quran dan As-Sunnah. Sehingga menyebabkan hubungan keluarga agak renggang atau tidak baik. Nah saya mau bertanya, bagaimana caranya ustadz agar sudara saya kembali menjadi NU seperti sediakala, soalnya bawaannya kalau kita dengar omongannya dan kalau kita bantah kebawanya tambah saling marah-marah.”

Saya sampaikan padanya beberapa cara yang bisa ditempuh adalah sebagai berikut;
Pertama, jangan marah atau emosi dengan omongannya. Jadilah pendengar yang baik, utarakan beberapa pertanyaan kepadanya tentang pemahaman terhadap ayat-ayat atau hadis yang menjadi rujukan atau pedoman pemahamannya agar kita bisa memahami kerangka atau alur berfikirnya sehingga kita bisa memahami kenapa mereka bisa memiliki pemahaman seperti itu.
Kedua, jangan dibantah dengan ayat atau hadits lain yang bertentangan, karena biasanya dalil hadis yang kita sebutkan yang berbeda dengan hadis yang mereka pedomani dianggap sebagai hadits dhoif. Atau kita dituduh salah dalam memahami ayat Al Quran.

Ketiga, carilah titik temu pembahasan masalah-masalah keagamaan yang bisa mempererat persaudaraan, karena sepengetahuan saya saat diskusi sepanjang perjalan dari Surabaya ke Jombang bersama atase kedutaan Saudi Arabia yang kewahabiannya tidak diragukan lagi bahwa sebenarnya diantara orang-orang wahabi itu berpedoman pada pendapat madzab imam Hambali, jadi masih ketemu dengan kita yang NU yang berpedoman pada imam empat madzab; Syafii, Maliki, Hanafi, dan Hambali.

Keempat, berdiskusilah dengannya dengan cara yang ahsan (tidak berbantah bantahan) tentang ayat atau hadits yang menjadi rujukan/pedoman pemahaman mereka dengan saling mengutarakan sumber dasar pemaknaan lafadh-lafadhnya, sumber dasar pemahaman terjemahan lafadh-lafadhnya, sumber dasar istimbat hukumnya, sumber dasar penafisiran ayatnya, dan sumber-sumber keilmuan yang lain, karena sebenarnya untuk memahami ayat Al Quran dan Hadis itu memerlukan seperangkat ilmu tersendiri.


Kelima,
yakinlah setiap orang akan menemukan jalan pemikirannya sendiri, bagi kita jalan pemikiran keagamaan kita mengikuti NU, namun saudara kita yang lain bisa jadi mengikuti selain NU seperti Muhammadiyah, Wahabi, LDII, Syiah, Jama’ah tabligh, Jamaah Tarbiyah, dan lain-lain. Itu semua adalah hak mereka untuk memilihnya, sebagaimana hak kita juga untuk memilih mengikuti NU. Jadi bila itu semua adalah hak masing-masing, maka kita harus bisa memahami jalan pemikiran keagamaan mereka dan mereka juga harus bisa memahami jalan pemikiran keagamaan kita. Bila saling memahami jalan pemikiran keagamaan masing masing seperti ini, maka tidak akan saling menyalahkan satu sama lain.

Itulah kenapa pentingnya berdiskusi dengan cara yang baik dengan mereka, sebagaimana sepengalaman saya mereka bisa memahami pemikiran keagaam saya yang berpijak pada manhaj NU, walaupun mereka tidak mau mengikuti pendapat saya, setelah saya sampaikan bahwa saya bisa memahami jalan pemikiran keagamaan mereka dengan menjelaskan sumber atau dasar pemikiran keagamaan mereka dan saya sebutkan bahwa ada sumber-sumber lain yang jauh lebih banyak yang bisa melahirkan pemahaman yang berbeda dengan pemahaman saya dan pemahaman mereka.

Keenam, didoakan yang baik-baik saudaranya. Berdoa agar kita semua sama-sama memiliki keluasan pemahaman dalam beragama Islam agar kita sama-sama tetap bisa berkasih sayang dalam perbedaan pendapat masalah-masalah furuiyah, sehingga kita tidak membenci saudara kita sesama muslim yang berbeda madzab atau pemahaman dengan kita.

Ketujuh, bila yang dikaji adalah ayat Al Quran ajaklah memahaminya dengan menggunakan ilmu-ilmu yang digunakan oleh para ulama dalam memahami Al Quran sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Ulumul Quran, bila yang dikaji itu adalah hadis Nabi, maka ajaklah memahaminya dengan menggunakan ilmu-ilmu yang digunakan oleh para ulama untuk memahami hadits-hadis Nabi sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Ulumul Hadits.

Kedelapan, bila itu ranah ijtihat, maka yang harus dipedomani adalah pemahaman yang kita ikuti belum tentu benar, demikian pula pemahaman yang mereka ikuti juga belum tentu benar atau bisa jadi pemahaman kita benar dan pemahaman mereka benar, karena kebenaran sangat banyak. Bila toh kalau pemahaman kita salah atau pemahaman mereka salah, kita semua masih sama-sama dapat satu pahala yaitu pahala ijtihat, demikian juga bila pemahaman kita benar dan pemahaman mereka benar, kita semua juga dapat dua pahala yaitu pahala ijtihat dan palaha kebenaran.

Ingatlah sejarah umat Islam pada zaman dahulu yang saling berperang, bermusuhan, bahkan saling membunuh satu sama lain karena mereka saling merasa benar sendiri dan menyalahkan yang lainnya, padahal perbedaan pendapat merupakan sunnatullah.
Mari kita perkuat persatuan umat Islam di dunia ini dengan saling berkasih sayang, saling tolong menolong, dan menebar kebaikan yang lainnya di antara sesama umat Islam.


Sebelum memvonis semua amal ibadah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah adalah sesat dan pahalanya tertolak, alangkah baik nya jika kita tinjau uraian uraian dibawah ini terlebih  dahulu:

1. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” mengatakan:

“Pada mulanya, bid’ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar’i, bid’ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid’ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid’ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid’ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bidطah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid’ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam”.

2. Pembukuan Al-Qur’an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang Secara historis, Islam berdiri di atas bid’ah. Jika semua yang tidak dicontohkan Rasulullah disebut bid’ah, kita, generasi akhir zaman ini, tidak akan bisa mengenal Islam dari sumber terpercaya. Sumber Islam paling pokok adalah al-Qur’an dan Sunnah, baru kemudian ijtihad ulama melalui ijma’ dan qiyas. Kita bisa mengenal al-Qur’an dan Hadis karena bid’ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah. Al-Qur’an di zaman Rasulullah dan sahabat tersimpan terutama di dada para ada para penghafal al-Qur’an. Belum ada mushaf utuh. Catatatan al-Qur’an terberai di tangan para sahabat, ditulis di daun lontar, tulang, dan batu.

Seusai perang Yamamah, banyak sahabat penghafal al-Qur’an gugur. Kepada Khalifah Abu Bakar, Sahabat Umar RA usul agar dihimpunmushaf untuk menjaga otentisitas al-Qur’an. Abu Bakar menolak dan berkata: “Kaifa naf’alu sya’an lam yaf’alhu Rasulullah?”: “Bagaimana kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?” Umar bergeming, terus meyakinkan Abu Bakar dan berkata: “Hadzâ wallâhi khairun”: “Demi Allah ini kebaikan.” Akhirnya, setelah terus diyakinkan Umar, dada Abu Bakar terbuka, menyetujui usul Umar dan memerintahkan Zaid ibn Tsabit memimpin tim penghimpunan al-Qur’an (Jalaluddîn as-Suyûthi, al-Itqân fî Ulûmil Qur’ân, Beirut: Dar –l Fikr, 2005, Juz 1, hal. 82). Seandainya kita ikuti kelompok literalis, menganggap semua hal yang tidak dilakukan Rasulullah sebagai bid’ah, kita sekarang tidak bisa baca al-Qur’an! Di zaman Utsman, kodifikasi mushaf digalakkan besar-besaran, dibagikan secara massif keluar tanah Hijaz.

Dengan demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru. Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh).

Ada juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. Jika bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar sebagai­mana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan haram. Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat tersebut.

3. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-­nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra’, yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.

Jika demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat sebagai orang yang berbuat bid’ah dan sesat? Apakah para sahabat yang menyetu­juinya juga dianggap pelaku bid’ah dan sesat?

Di antara contoh bid’ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah, mengkhatamkan Al-Qur’an dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama. Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti mengingat Allah dan hal-hal mubah.

Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid’ah adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta secara tidak langsung mereka telah menganggap bahkan menghina semua sahabat sebagai orang-­orang yang berbuat bid’ah dan sesat.

Kaum literalis yang mengusung ajaran pemurnian Tauhid dengan slogan kembali ke Al-Qur’an dan Hadist hendaknya memperhatikan uraian uraian diatas sebelum mengambil kesimpulan.
Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.