PERSIAPAN JALUR KERETA SAUDI ISRAEL

NANTI, KALAU MAU JALAN JALAN KE iSRAEL ATAU TEL AVIV TINGGAL NAEK KERETA SAJA DARI SAUDI KARENA RENCANA PEMBANGUNAN REL KERETA API YANG MENGHUBUNGKAN KEDUA NEGARA TERSEBUT SEMAKIN MATANG PERENCANAANYA.

Pemerintah Israel mulai mempersiapkan rencana membangun jalur kereta api untuk menghubungkan negara itu dengan Arab Saudi. Demikian dikabarkan harian Al-Araby Al-Jadeed, pada Rabu (17/1/2018). Sementara itu, harian terbitan Israel Yedioth Ahronoth mengabarkan, anggaran sebesar 4,5 juta dolar AS atau sekitar Rp 83 miliar disiapkan untuk proyek ambisius itu. Rencana awal proyek ini adalah membangun stasiun kereta api di kota Bisan atau Beih She'an di wilayah utara Israel.

Dari kota itu nantinya akan dibangun jaringan jalan kereta api melintasi Jordania menuju ke Irak dan Arab Saudi. Saat ini, masih menurut Yediot Ahronoth, Israel mengangkut komoditi yang tiba di pelabuhan Haifa menuju ke Irak, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk yang lain melalui Jordania. Negara-negara Teluk ini menggunakan pelabuhan Haifa sejak perang melanda Suriah, sehingga pelabuhan di negeri itu tak aman untuk digunakan. Menurut harian itu, Menteri Transportasi Israel Yisrael Katz menyebut jaringan kereta api ini adalah sebuah "jalur perdamaian".

Dia menambahkan, Israel juga akan membuka perbatasan komersial baru untuk melayani barang-barang ekspor negara-negara Teluk yang melalui pelabuhan-pelabuhan Israel. Menurut media Israel, Komisi Perkeretapian telah membentuk tim pakar untuk mematangkan rencana yang diyakini akan meningkatkan status Israel di mata dunia di saat jalur kereta api Eropa-Timur Tengah tersambung. Baca juga : Mungkinkah Arab Saudi dan Israel Jalin Kerjasama Ekonomi? Sejak perang di Suriah pecah pada 2011, Israel membuka pelabuhan Haifa untuk menyalurkan berbagai komoditas yang datang dari Turki dan Eropa. Dari Haifa, berbagai komoditas itu diangkut truk ke negara-negara Arab. Namun, arus perdagangan ini amat terbatas karena kapasitas yang kecil dan masalah politik.



Israel-Arab Saudi mulai menindaklanjuti pembangunan jalur rel kereta api yang menghubungkan negara tersebut dengan negara-negara Arab. Pembangunan ini menelan anggaran Israel sebesar 4,5 juta Dollar AS.

Harian Al Araby Al Jadeed mengungkapkan proyek rel kereta api ini merupakan bagian kerja sama megaproyek ekonomi kedua negara. Rel ini akan digunakan untuk distribusi barang dan orang di Israel maupun negara-negara Arab yang dilalui.

Situs berita Israel yang berbasis di London, Inggris, Yedioth Ahronoth, menyebutkan pemerintah Israel telah mengalokasikan anggaran sebesar 15 juta New Israel Shekel (NIS) atau setara 4,5 juta Dollar AS dalam anggaran 2019.

Rencananya stasiun pemberangkatan dari Israel akan dibangun di Bisan. Jalur kereta akan melintasi Yordan, Irak, dan Arab Saudi untuk membawa berbagai barang yang ditampung di Pelabuhan Haifa.
Menteri Transportasi Israel, Yisrael Katz menyebut jalur kereta ini sebagai 'jalur perdamaian' yang membuka jalur perdagangan baru bagi negara teluk melalui pelabuhan Israel.
Pembangunan rel ini merupakan proyek ambisius Katz. Pada pertengahan Januari 2018 ia menyebutkan jalur baru ini akan disambungkan dengan jalur kereta dari Beit She'an Timur ke perlintasan Sheikh Hussein di Yordania.

Jalur di perbatasan sepanjang 15 kilometer rencananya akan dibangun dengan reljalur ganda, jembatan, dan terowongan. Teknologi khusus akan digunakan untuk menundukkan medan yang bergunung. Selain itu pos pemeriksaan tetap akan dibangun di bagian perbatasan. Jalur kereta api ini akan menurunkan jumlah operasional truk yang rawan kecelakaan di kawasan itu.

Di Israel, dua pelabuhan (Haifa dan Ashdod) sudah dipersiapkan sebagai terminal menampung barang-barang negara Teluk untuk diekspor ke Amerika dan Eropa. Jika pembangunan rel ini selesai jalur distribusi yang dimodali Israel ini menjadi jalur distribusi tanpa hambatan.

Situs Wall Street Journal menyebutkan proyek pembangunan ini sudah bertahun-tahun dipersiapkan oleh Israel. Catatan yang mereka peroleh dari otoritas bandar udara Israel menyebutkan kargo dan truk yang melalui jalur ini pada rentang 2010-2015 meningkat empat kali lipat.
 
Berbagai muatan dibawa truk dari pelabuhan Haifa menuju Yordania, Arab Saudi, dan Irak, membawa muatan jeruk Spanyol, tekstil Yordania, dan onderdil kendaraan dari Eropa.

Bekas sopir truk asal Turki yang biasa membawa barang dari Haifa menyebutkan ia biasa membongkar muatan di Mersin, Turki. Ia pun melayani rute menembus Suriah untuk mendapatkan sayuran dan buah dibawa ke Amman, Yordania. Sekarang jalur distribusi akan lebih mudah jika melalui Terusan Suez, ke Arab Saudi atau melalui jalur darat menembus Israel. "Jalur Israel merupakan jalan terbaik untuk bisnis. Rute ini cukup menjanjikan," ucapnya.
 
Konsep pembangunan jalur rel itu sendiri tak jauh berbeda dengan masa kejayaan Kekaisaran Ottoman. Kerajaan itu membangun jalur rel kereta uap untuk menghubungkan Laut Meditarania menuju pasar-pasar di Damaskus dan ke kota suci Madinah di Arab Saudi.

KEMESRAAN SAUDI ISRAEL YANG BUKAN SEBUAH RAHASIA


Middle East Eye (MEE) sedang rutin menerbitkan laporan yang menguliti intrik dua pemain besar di Timur Tengah: Israel dan Arab Saudi. Baru-baru ini, misalnya, sejumlah sumber terpercaya MEE mengungkap upaya Pangeran Saudi Mohammad bin Salman (MBS) dalam membujuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk memulai konflik dengan Hamas di Gaza.

Perang dinilai akan mengalihkan perhatian Presiden AS Donald Trump, mendorong Washington untuk kembali fokus ke peran Saudi dalam memperkuat kepentingan strategis Israel, dan meredam kericuhan yang semakin berkembang akibat kasus pembunuhan jurnalis Washington Post Jamal Khashoggi.

Pada 2 Oktober 2018, Khashoggi lenyap setelah menginjakkan kaki di Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul, Turki. Meski telah membantah terlibat dalam kasus hilangnya sang jurnalis, otoritas Saudi tetap dicurigai sebagai dalang mengingat rekam jejak yang sangat buruk untuk urusan kebebasan pers.

 Jurnalis MEE David Hearst menulis perancang skenario tersebut adalah satu tim satuan tugas (satgas) darurat yang terdiri dari pejabat istana kerajaan, kementerian luar negeri, kementerian pertahanan, dan dinas intelijen Saudi. “Mereka memberi arahan kepada putra mahkota (MBS) setiap enam jam,” tulis Hearst.

Kedekatan Israel dan Saudi, setidaknya yang terlihat di permukaan, berusia cukup muda. Beberapa analis memperkirakan hubungan itu baru terjalin selama lima tahun terakhir. NBC News pernah melaporkan selama jangka waktu tersebut kedua negara sebenarnya telah mengadakan pertemuan-pertemuan informal.

Dalam pandangan tradisional, nampak aneh jika Israel dan Saudi bergandengan tangan. Sejarah mencatat kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik. Sejak berdirinya Israel, Saudi juga bergabung dalam rombongan negara-negara Arab yang mendukung kemerdekaan Palestina.
Anaknya, Pangeran Faisal, punya pendirian yang lebih militan, reformis, sekaligus menolak pendudukan Israel. Usai PBB mengeluarkan resolusi pemecahan wilayah Palestina, Faisal mendesak ayahnya untuk memutus hubungan dengan Amerika Serikat selaku sekutu utama Israel.

Tapi Raja Abdulaziz tak merealisasikannya karena saat itu Saudi sedang menjajaki hubungan dagang dengan AS. Sepeninggal Abdulaziz, tongkat estafet raja beralih ke saudara laki-laki Faisal, Saud bin Abdulaziz.

Saud gagal memimpin karena tidak berkompeten sekaligus penuh skandal keuangan yang merugikan kerajaan. Saud pun digulingkan dan Faisal naik tahta sejak 2 November 1964. Faisal langsung tancap gas untuk membuat kebijakan-kebijakan luar negeri yang pro-Palestina. Ia menyerukan agresi militer untuk membela Al-Quds (Yerussalem) dan menghentikan pemekaran wilayah Israel.

 Semangat ini disambut baik oleh Mesir dan Suriah. Ketiganya kemudian membentuk koalisi dan melahirkan Perang Enam Hari (1967). Meski kalah dan ditinggal kawan-kawannya, Faisal tidak patah arang. Ia kemudian menyerukan perang ekonomi terhadap AS dengan cara mengembargo ekspor minyak. Hal ini melahirkan krisis ekonomi yang melumpuhkan sektor industri dan transportasi AS pada tahun 1973.

Dua tahun berselang, Faisal ditembak mati oleh keponakannya sendiri. Merujuk kembali ke laporan NBC News, retorika Saudi tetap bertahan pada dukungan untuk kemerdekaan Palestina. Tapi sejak akhir 1970-an mereka sesungguhnya mengurangi perhatian terhadap konflik Israel-Palestina.
Mereka lebih fokus memuluskan suksesi politik sekaligus merealisasikan proyek modernisasi negara. Lima tahun belakangan, David Hearst adalah satu dari sekian analis yang membongkar permainan dua kaki Saudi.

Mereka melakukan pertukaran informasi intelijen dengan Israel, melalui pertemuan reguler yang bersifat rahasia. Baca juga: Iran Diuntungkan oleh Normalisasi Hubungan Saudi-Israel Hearst, dalam laporannya untuk MEE, menjalin kooperasi karena punya musuh bersama: Iran. Penghancuran rezim Saddam Hussein di Irak pada 2003 mengubah peta koalisi. AS mengalihkan fokus ke rezim Syiah Iran, dan Saudi digandeng sebagaimana AS setia membekingi Israel. Lalu datanglah Musim Semi Arab (Arab Spring).

Gerakan anti-pemerintah menggoyang banyak rezim, termasuk Presiden Suriah Bashar al-Assad. Keputusan Iran untuk mendukung Assad membuat polarisasi kian mengental. Rusia turut satu sikap dengan Iran, sementara AS mendukung pasukan gerilya yang berusaha menumbangkan Assad. Pasca-Musim Semi Arab, mulai sekitar tahun 2012, Israel memandang Saudi sebagai penjamin stabilitas di Timur Tengah.

Pertemuan-pertemuan informal mulai dijalankan, terutama untuk menangkal pengaruh Iran dan mengerahkan dukungan militer untuk kelompok-kelompok militan di berbagai negara. Retorika “perdamaian” kemudian makin sering keluar dari mulut para pejabat kedua negara. Ofer Zalzberg dari International Crisis Group pernah berkata pada Linah Alsaafin dari Al Jazeera bahwa perubahan peta politik ini memang harus mempertimbangan parameter terpokok: masa depan perdamaian Israel-Palestina.

Parameter tersebut tidak bisa dicapai tanpa keterlibatan sekutu terpenting Israel, AS, yang kini di bawah kendali Trump. Kembali merujuk laporan Hearst untuk MEE, wajar jika kini Pangeran MBS sedang bersusah payah untuk kembali menggaet kepercayaan AS yang mengendur akibat kasus pembunuhan Khashoggi. “Lahirnya aliansi Saudi-Israel yang makin terbuka akan menghalangi Iran.

Dalam banyak hal, adalah sangat rasional untuk memajukan proses perdamaian Israel-Palestina melalui poros Washington-Riyadh,” kata Zalzberg. Baca juga: Israel-AS Sambut Baik Penunjukan Putra Mahkota Arab Saudi Kobi Michael, peneliti senior di Institite for National Security Studies di Tel Aviv University, Israel, berkata pada Alsaafin bahwa Saudi dan negara-negara Arab (termasuk Mesir tapi kecuali Qatar) punya dua ancaman strategis. Pertama, Iran; dan kedua, gerakan Salafi atau gerakan Islam radikal.

“Sayangnya, ketiadaan AS membuat Rusia dan Iran bisa dengan mudah menginfiltrasi Suriah. Israel dipandang sebagai sekutu paling potensial dan yang paling bisa diandalkan. Ini saat yang tepat bagi Saudi untuk berteman baik dengan Israel.” Saudi kini tidak punya kewajiban sebesar dahulu untuk mendukung kemerdekaan Palestina, kata Michael. Ia menambahkan Saudi juga punya kesempatan untuk memperkuat basis keagamaan mereka berkat status sebagai penguasa Mekah dan Madinah, dua kota paling penting untuk umat Islam, termasuk untuk yang tinggal di Iran.

 Satu dekade yang lalu kemesraan Israel-Saudi bak rahasia umum: semua orang tahu, tapi pejabat kedua negara tak menampilkannya ke muka publik. Kini situasinya pelan-pelan berubah. Netanyahu dan MBS makin vokal mengomentari berbagai isu politik, dan sinyal yang terbaca adalah makin solidnya kolaborasi kedua negara.

Awal April lalu, The Atlantic menerbitkan wawancara eksklusif Jefrey Goldberg dengan MBS. Salah satu pertanyaan Goldberg adalah meminta pendapat MBS terkait hak bagi orang Yahudi untuk memiliki negara sendiri Timur Tengah—setidaknya di bagian yang diklaim sebagai tanah leluhur.

Jawaban MBS, meski selaras dengan sikapnya selama ini, tetap menjadi sensasi di berbagai media massa. “Saya percaya bahwa tiap orang, di manapun ia berada, memiliki hak untuk hidup di negara yang damai. Saya percaya orang Palestina dan Israel punya hak untuk memiliki tanahnya sendiri.”

MBS kemudian menambahkan pendapat yang khas: “Tapi kita harus memiliki sebuah kesepakatan damai untuk menjamin stabilitas untuk semua orang dan untuk memiliki hubungan yang normal.” Bagi MBS, Israel adalah negara dengan ekonomi raksasa jika dibandingkan dengan luas wilayahnya. Pertumbuhannya yang pesat membuat Saudi membangun relasi kerjasama. Sekali lagi, MBS menekankan syaratnya adalah stabilitas kawasan.

Inilah jawaban untuk pertanyaan Goldberg soal benarkah Iran membuat Saudi dan Israel makin mesra. Di kesempatan yang berbeda, Netanyahu turut bersuara dalam nada-nada yang menyenangkan di telinga MBS. Tentang pembunuhan Khashoggi, misalnya. Saat para pemimpin dan warga dunia melancarkan kutukan keras, Netanyahu kembali menegaskan bahwa yang terpenting adalah kestabilan Saudi. “Apa yang terjadi di konsulat Istanbul mengerikan dan harus diusut. Tetapi di saat bersamaan, Arab Saudi mesti tetap stabil sebab sangat penting bagi stabilitas kawasan dan dunia,” katanya berkunjung ke Varna, Bulgaria, sebagaimana dikutip Times of Israel.

Meski keluar dari topik Khasoggi, Netanyahu tak lupa untuk menyinggung Iran selaku musuh besar Israel. Baginya Iran adalah masalah yang lebih besar ketimbang kasus Khashoggi, dan pemerintahannya sedang memastikan agar Iran tidak lagi jadi masalah bagi dunia. “Kami telah membantu mengungkap dua serangan teroris—satu di Paris, dan satu lagi di Kopenhagen—yang diinisiasi oleh dinas rahasia Iran. Memblokir Iran adalah puncak dari agenda kami dari segi keamanan. Bukan hanya untuk Israel tetapi saya percaya juga untuk Eropa dan dunia.”

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.