SEKILAS MENGENAI FIRQOH SALAFY WAHHABI

Seringkali kita menemukan dalam tulisan-tulisan atau pun orang-orang yang mengaku dirinya sebagai pengikut manhaj salaf (madzhab salaf). Dikatakan oleh mereka bahwa orang yang mengikuti manhaj salaf disebut Salafi atau Salafiyyun atau Salafiyyah. Dikatakan pula bahwa manhaj salaf adalah manhaj yang paling benar yang harus diikuti karena satu-satunya manhaj yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah yang mengikuti pemahaman salafush sholeh.

Sejauh ini istilah Salafi atau manhaj salaf sendiri tidak pernah dikenal baik di zaman Rasulullah SAW maupun Sahabat dan tidak pernah pula diketahui nama para ulama yang menyepakati adanya manhaj/ madzhab Salaf, karena penisbatan nama manhaj/ madzhab kepada nama perorangan yang melakukan ijtihad dan istinbat, atau nama ulama yang telah diakui berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.

Asy-Sayikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya yang berjudul As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, La Mazhab Islami menjelaskan bahawasanya, “Istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai Salafi, tetapi istilah salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat Islam”.

Dan kalau kita telusuri, istilah manhaj salaf itu berasal dari dua kata, yaitu manhaj dan salaf. Dalam bahasa Arab kata manhaj berasal dari akar kata nahaj yanhaju nahjan wa manhajan yang artinya mengambil atau meniti jalan. Sedangkan kata salaf berasal dari kata salafa yaslufu salafan yang memiliki arti yang telah berlalu dan terdahulu.

Jadi orang yang bermanhaj salaf itu dapat diartikan sebagai orang yang memahami dan menjalankan Islam sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka memahami Islam dengan pemahaman yang intregral bukan parsial dan sepotong-sepotong.

Siapa pun mereka yang mengikuti ajaran Rasulullah SAW, para sahabat dan yang mengikutinya dapat dikatakan sebagai seorang yang bermanhaj salaf atau salafi yang sesungguhnya. Para Imam 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dan para pengikutnya dalah salah satu contoh nyata orang-orang yang bermanhaj salaf atau salafi, begitupun dengan Imam Asy’ariyyah dan Maturidiyah adalah juga pengikut manhaj salafush sholeh. Mereka semuanya berada di jalan yang lurus.

Akan tetapi, akhir-akhir ini istilah salafi mempunyai arti yang lebih sempit yang diklaim oleh kelompok tertentu. Salafi sekarang ini identik dengan sebuah gerakan/ aliran yang tidak jauh dari pemahaman Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim, dan Muhammad bin Abdul Wahhab pendiri Wahabi yang merupakan cikal bakal aliran Salafi.

Sebagian besar pengikut aliran Salafi mengklaim menganut fiqihnya adalah fiqih madzhab Hanbali meski sebenarnya sering berlawanan dan condong untuk tidak mengikuti salah satu madzhab. Dalam pembahasan kali ini yang dimaksud Salafi adalah aliran salaf pengikut madzhab Hanbali tersebut atau Salafiyah-Hanbaliyah atau firqoh Salafi. Makna salaf yang akan dijelaskan selanjutnya di sini adalah terkait dengan kelompok yang menamakan dirinya Salafi yang saat ini telah terpecah belah menjadi banyak golongan seperti Salafi Haraki, Salafi Yamani, Salafi Jihadi, Salafi Ikhwani, Salafi Hijazi, Salafi Turotsi, Salafi Ghuroba, dan pecahan-pecahan lainnya. Salafi inilah yang kami maksudkan dalam tulisan-tulisan berikutnya, bukan Salafi dalam artian umum pengikut ahlussunnah wal jama’ah dan bukan pula sebagai istilah yang sering digunakan oleh pondok-pondok pesantren salafiyyah yang kesehariannya bergelut dengan kitab-kitab kuning ulama salaf, akan tetapi salafi yang kami maksudkan di sini adalah sebagai sebuah aliran dalam Islam atau dikenal sebagai Wahhabi atau al-Muwahidun.

Istilah aliran Salaf (Salafi), sering dinisbatkan kepada para pengikut Ibnu Taimiyah (661-728 H) yang juga bermazhab Hanbali dalam fiqih. Di samping itu di masa sekarang ini telah marak gerakan (harokah) dakwah yang menamakan diri “Salafi” sehingga aliran Salafi ini menjadi tren aliran tersendiri yang berbeda dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena menisbatkan diri dengan faham Wahabi yang dikembangkan Muhammad bin Abdul Wahhab. Padahal mazhab Hanbali yang asli dalam theologi sebenarnya alirannya sama dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah/ Maturudiyah). Namun, untuk selanjutnya yang dimaksud istilah aliran/ kaum salaf dalam pembahasan di sini adalah kaum Salafi Hanbaliyah yang berkembang menjadi Salafi-Wahabiyyah.

Seiring berjalannya waktu “Aliran Salaf” ini mengalami perkembangan, pergeseran dan metamorfosa dalam 9 periode waktu yang diwakili oleh pemikiran tokoh-tokoh utamanya pada masing-masing periode, yaitu:

1.Periode Generasi Sahabat Nabi.

Pada periode ini belum muncul yang namanya “Aliran Salaf” karena secara umum tiga generasi awal ini memiliki manhaj dan karakteristik yang masih “original” sesuai dengan masa kenabian, terutama dalam bidang akidah dan teologi (ilmu kalam).

2.Periode Imam Malik Bin Anas (91 H – 167 H)

Pada periode ini mulai muncul orang-orang yang menanyakan tentang ayat al-Qur’an yang tasybih, yaitu perbuatan Allah yang mirip dengan perbuatan mahkluk.

Suatu hari ada orang yang menanyakan kepada Imam Malik : “Bagaimana Allah ber-Istiwa’ (bersemayam) diatas Arsy ?”

Imam Malik menjawab : “maksud istiwa'(bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya kita tidak mengetahuinya. Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakan bagaimana caranya adalah bid’ah”.

Sikap Imam Malik yang mengimani ayat-ayat mutasyabih tanpa mau menakwilkannya itulah ciri “Aliran Salaf” pada saat itu.

3.Periode Imam Ahmad bin Hanbal ( 164 H – 261 H)

Beliau salah satu dari empat imam mazhab fiqih yang muktabar (terkenal dan diakui). Ciri fiqihnya adalah mengutamakan hadits dan atsar daripada dengan qiyas. Imam Ahmad bin Hanbal lebih suka berhujjah dengan hadits dhaif dari pada berijtihad dengan qiyas atau ihtihsan.

Pada masa itu Aliran Mu’tazilah sedang mencapai puncak kejayaannya, karena didukung penuh oleh Khalifah al-Ma’mun dari Bani Abbas. Aliran Mu’tazilah yang didukung penguasa mengkampanyekan pemikiran bahwa “al-Qur’an adalah makhluk”.

Semua ulama dan rakyat dipaksa mengikuti pemikiran tersebut, semuanya tidak ada yang berani menentang kecuali Imam Ahmad bin Hanbal, yang berpendapat bahwa “al-Qur’an adalah kalamullah”

4. Periode Imam Ibnu Hazm al-Andalusi (384 H-456)

Beliau seorang ulama kelahiran Cordova Andalusia, mula-mula bermazhab Maliki, kemudian berpindah bermazhab Syafi’ii kemudian berpindah lagi ke mazhab Zahiri, yaitu berpegang pada makna zahir ayat (literalis). Pada periode sebelumnya muncul teologi Imam Abu Hasan Asy’ari (260 H-330 H), yang pada mulanya seorang pengikut Mu’tazilah yang kemudian menyatakan keluar dari Aliran Mu’tazilah.

Imam Abu Hasan Asy’ari (bermazhab Syafi’i dalam fikih) merumuskan teologi yang berpihak kepada pemikiran ulama salaf sebelumnya yaitu (Imam Malik dan Imam Hanbali) tapi dengan metode pembahasan yang menggunakan metode scholastik, ilmu mantiq (logika) kaum Mu’tazilah. Imam Ibnu Hazm telah mempelajari filsafat Yunani, filsafat Islam, teologi mu’tazilah, teologi Hanbaliyah dan teologi Asy’ariyah. Imam Ibnu Hazm merumuskan teologi Hanbali-Literalis, yang lebih memegangi makna literalis nash dan tidak membolehkan memberi sifat kepada Allah.

Menurutnya Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, dan sebagainya itu adalah “asma” bukan “sifat” karena memberi sifat kepada Allah dianggap menyerupakan Allah dengan makhluk. Ibnu Hazm mengakui mu’jizat yang ada pada diri Nabi dan Rasul, namun beliau menolak adanya karomah pada diri Wali atau orang-orang saleh. Sikap Literalis-Hanbalis inilah yang menjadi ciri “Aliran Salaf” pada periode Imam Ibnu Hazm.

5. Periode Kaum Hanbaliyin (469 H)

Teologi Asy’ariyah yang telah disebut sebelumnya, walaupun berpihak kepada Aliran Salaf tetapi masih tetap dicurigai dan tidak diterima oleh “ahlul hadits/ahlul atsar” dan orang-orang yang mengaku mengikuti teologi Imam Ahmad bin Hanbal. Dengan alasan teologi Asy’ariyah memberikan porsi yang besar kepada “akal” disamping itu karena Imam Asy’ari ber mazhab Syafi’i. Tampaknya pada masa itu fanatisme mazhab telah menjalar ke tubuh umat Islam. Sejak masa pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil (205-247 H), banyak menteri yang diangkat dari kalangan Hanbaliyin, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Jadi lingkungan istana didominasi oleh ulama-ulama Hanbaliyin.

Keadaan seperti itu berlangsung terus sampai pada masa pemerintahan Khalifah al-Qaim Biamrillah (391-467 H). Salah seorang menterinya yang bernama ‘Amid al Mulk sampai-sampai mengeluarkan praturan-peraturan yang mendiskreditkan orang-orang penganut Asy’ariyah. Setelah masa Khalifah al-Mutawakkil, pengaruh orang-orang Turki mulai besar pada pemerintahan dan militer. Banyak orang Turki yang menduduki kursi menteri dan komandan tentara. Orang-orang turki sangat setia kepada pemimpin kaum mereka. Demikian besarnya Kekuasaan mereka, hingga mereka bisa dengan sesuka hati menunjuk dan mencopot Khalifah. Jadi mereka mengakui Khalifah sebagai Amirul Mukminin sekedar dijadikan simbol dan icon, kekuasaan secara militer yang sebenarnya ada ditangan para Sultan.

Pada masa pemerintahan Khalifah al-Qaim Billah yang menjadi Sultan adalah Alp Arselan (wafat 465 H) dari Turki Seljuk, beliau mempunyai seorang wazir (perdana menteri) yang sangat cakap bernama Nizamul Mulk (wafat 485 H). Perdana Menteri Nizamul Mulk dengan dukungan Sultan Alp Arselan mendirikan Universitas NIZAMIYAH, pusat ilmu dan studi Islam pada zaman itu. Yang menjadi pemimpin (rektor) Universitas Nizamiyah adalah ulama besar Imamal-Juwainy, penganut Asy’ariyah dan bermazhab Syafi’i. Nizamul Mulk dengan Universitas Nizamiyahnya menjadikan Theologi Asy’ariyah sebagai theologi resmi dan menjadikan ajaran Asy’ariyah satu-satunya theologi yang diajarkan. Kebijaksanaan Pedana Menteri Nizamul Mulk yang lain adalah menghapuskan semua peraturan-peraturan yang mendiskreditkan orang-orang Asy’ariyah yang pernah diberlakukan oleh menteri ‘Amid al Mulk.

Kebijaksanaan itu tentu saja tidak disukai oleh orang-orang Salafiah-Hanbaliyah. Pada tahun 469 H datang ke Universitas Nizamiyah seorang ulama bernama Abu Nashr bin Abu Qasim al-Qusyairi memberikan pengajian umum yang memberi penjelasan yang mendetail mengenai theologi Asy’ariah. Hal itu menjadi pemicu kemarahan orang-orang Hanbaliyah, maka pada tahun 469 H terjadilah huru-hara dan keonaran besar di kota Baghdad, yang berupa tindakan anarkis orang-orang Hanbaliyin terhadap para pendukung teologi Asy’ariyah khususnya dan para penganut mazhab Imam Syafi’i pada umumnya.

Kaum Hanbaliyah merusak kedai yang dijumpai menjual khamr, mematahkan papan catur, menyerang rumah tokoh-tokoh Syafi’iyah dan perbuatan anarkis lainnya, tercatat sampai menimbulkan korban jiwa yang tentu saja dilawan oleh para pengikut Asy’ariyah-Syafi’iyah. Peristiwa huru-hara Kaum Hanbaliyyin di Kota Baghdad ini sangat terkenal dalam sejarah. Tindakan keras dan agresif kaum Salafiah-Hanbaliyah inilah yang menjadi ciri “Aliran Salaf” pada abad IV Hijriah.

6. Periode Ibnu Taimiyah (661 H – 728 H)


Seorang ulama besar abad 7 H, nama lengkapnya Ahmad Taqiyuddin bin Syihabuddin Ibnu Taimiyah. Kelahiran Haran Palestina, bermazhab Hanbali dalam fikih, menguasai hampir semua ilmu ke-Islaman dan banyak mengarang kitab dalam berbagai bidang ilmu. Beliau mengkritik gejala taqlid dan kemunduran ijtihad yang berjangkit pada umat, menyerukan agar umat kembali meneladani manhaj dan perilaku para generasi salafus-shaleh. Beliau juga mengkritik pengaruh filasat Yunani, dalam pemikiran Islam, filsafat Persia dalam konsep Imamah Syiah, penakwilan ayat-ayat mutasyabih berdasarkan akal, dan filsafat India dalam Tasawuf (ittihad, hulul).

Kritik dan Fatwa Ibnu Taimiyah yang keras, tajam dan vulgar tentunya membuat merah telinga ulama-ulama bahkan yang sama-sama bermazhab Hanbali dan pihak lain yang tidak sependapat dengan fatwanya, termasuk para penguasa. Apalagi penguasa Bani Buwaihi dikenal mendukung tarekat-tarekat Tasawuf. Jadi banyak pihak yang tersinggung dan tidak senang dengan ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah yang disampaikan secara terbuka pada majelis-majelis pengajiannya.

Dalam buku Rihlah Ibnu Batutah (catatan perjalanan Ibnu Batutah), salah satu sumber sejarah yang sangat terkenal dan telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, Inggris, Perancis dan Jerman, Ibnu Batutah telah melakukan perjalanan pengembaraan selama 29 tahun kebanyak negeri-negeri mulai dari Mesir, Syria, Palestina, Hijaz (Arab Saudi), Irak, Persia, Turki, Bukhara, Afghanistan, India, Bangladesh, Cina, Sumatera, Indonesia dan terus ke Afrika.

Catatan perjalanannya oleh sebagian besar ahli sejarah, dianggap cukup teliti dan dijadikan salah satu “sumber sejarah”. Dalam catatan perjalanan Ibnu Batutah diterangkan bahwa dia singgah di Damaskus Syiria dan kebetulan mendengarkan Ibnu Taimiyah memberikan pengajian di mimbar Masjid Umayyah, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Tuhan Allah itu duduk di atas Arsy dan duduk-Nya itu serupa dengan duduknya Ibnu Taimiyah di atas mimbar. Tuhan Allah itu turun tiap-tiap akhir malam ke langit dunia dan turunnya itu sepeti turunnya Ibnu Taimiyah dari atas mimbar ke bawah.

Mendengar uraian itu, jama’ah pengajian menjadi ribut, kacau balau, sehingga ada yang melempari Ibnu Taimiyah dengan sandalnya. Akhirnya perkataan Ibnu Taimiyah sampai kepada penguasa. Ibnu Batutah memberi komentar bahwa Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama besar tetapi “fi aqlihi syaiun” (pikirannya guncang), demikian keterangan Ibnu Batutah.

Namun keterangan tersebut masih perlu diteliti lagi, bisa jadi ada kesalah pahaman dalam menafsirkan ajaran Ibnu Taimiyah atau bisa jadi peristiwa kekacauan majelis pengajian beliau sudah direkayasa lawan-lawannya untuk memfitnahnya. Ajaran dan fatwa-fatwanya yang dianggap terlalu keras, tidak sopan dan melawan arus menyebabkan banyak ulama dan penguasa Bani Buwaihi tersinggung dan tidak suka kepada beliau, disamping itu ajaran theologinya dianggap cenderung kepada “anthropomorpist” akhirnya menyebabkan beliau ditangkap oleh pihak penguasa dan keluar masuk penjara, bahkan beliau meninggal dalam penjara. Pemakamannya diiringi oleh ratusan ribu orang yang menaruh simpati kepada beliau.

Jadi seruan kembali kepada manhaj salafus-shaleh, kritik yang keras kepada taqlid dan kemandekan ijtihad, penyimpangan akidah (ziarah dan berdoa di kuburan orang suci), superioritas akal dalam pemahaman agama, konsep imamah kaum Syiah dan penyimpangan ajaran ittihad, hulul dalam tasawuf itulah ciri khas ajaran Ibnu Taimiyah.

7. Periode Muhammad bin Abdul Wahab (1115 H -1206 H)

Terkenal dengan gerakan Wahabi, yang didukung oleh Muhammad bin Saud seorang warlord (kepala suku badui, komandan lapangan). Duet serasi ulama-penguasa ini mengantarkan keduanya menduduki tahta kerajaan di jazirah Arab yang dinamai Arab Saudi (Kerajaan Arabnya Saud).

Muhammad bin Abdul Wahab dikenal sebagai ulama bermazhab Hanbali dan seorang penganut dan pendukung fanatik pemikiran Ibnu Taimiyah. Setelah berkuasa, mazhab Wahabi ini dijadikan mazhab resmi pemerintah kerajaan Arab Saudi sampai sekarang. Gerakan wahabi berciri khas pada pemurnian akidah, tauhid dengan menempuh kekerasan dan bahkan melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap mereka yang berbeda faham. Silahkan lihat selengkapnya tentang Biografi Muhammad bin Abdul Wahab, Perjalanan Hidup dan Alirannya.

Dari semua periode-periode yang telah diuraikan di atas sampai pada periode Muhammad bin Abdul Wahab dengan gerakan Wahabinya, kaum Salafiyin-Hanbaliyin dapat dikatakan sudah “berbeda” dan keras dalam masalah akidah dan theologi namun tidak sampai pada masalah fikih-amaliah, apalagi sampai pada masalah furu’iyah (cabang) yang khilafiah.

8. Periode Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani

Pengikut Salafi menyebutnya sebagai seorang ulama ahli hadits abad 20 M, sangat dihormati di Kerajaan Arab Saudi. Diia menyerukan agar umat mempelajari al-Qur’an dan Hadits serta mencela kebiasaan taqlid, yaitu hanya mengikuti saja pendapat seorang imam tanpa mengetahui dalil dan argumennya. Sepeninggalnya timbul fenomena baru, yaitu ketika para pengikutnya mengikuti semua perkataan Albani, sehingga yang terjadi bukannya bebas mazhab melainkan menjadikan dia sebagai mazhab kelima disamping empat mazhab fikih yang sudah ada. Fanatik pada ahli hadits inilah yang menjadi ciri “Aliran Salaf” periode al-Albani.

9. Periode Salafi Kotemporer

Pada masa kotemporer sekarang ini muncullah kelompok yang menamakan diri “Salafi”. Kelompok inilah yang mewarisi dan meneruskan “Aliran Salaf” seperti yang telah diuraikan sebelumnya, tentunya dengan karakteristik yang sedikit banyak juga mewarisi “Aliran Salaf” periode-periode sebelumnya dengan beberapa fenomena baru pula.

Salafi kotemporer tidak mempunyai institusi formal, sebab mereka lebih bersifat aliran pemikiran umum (aliran theologi sekaligus mazhab fiqih). Kadang terdiri atas beberapa kelompok yang masing-masing mengaku sebagai Salafiyin, di antaranya :

        Jama’ah Anshar As-Sunnah di Mesir dan Sudan.
        Jam’iyyah Ihya’ At-Turats (menghidupkan Qur’an & Hadits) di Kuwait.

Tapi ada juga yang tidak berupa organisasi, melainkan pengikut tokoh ulama Salafiyin tertentu, seperti :

        Salafiyun Albaniyun, seperti telah disebut sebelumnya di atas (periode 8), yaitu para pengikut al-Albani.
        Salafiyah Politik, adalah salafiyin yang terpengaruh pemikiran Ihwanul Muslimin dalam mengkritisi pemerintahan yang dianggap kurang berpihak pada ajaran Islam. Kelompok ini menentang kebijaksanaan Kerajaan Arab Saudi yang menempatkan tentara Amerika di Dahran, mengkritik dukungan Kerajaan Arab Saudi kepada Sekutu pada perang Teluk II. Tokoh-tokohnya diantaranya : Dr. Aidh Al Qarni, Salman Audah, Safat al-Hawali, mereka pernah ditangkap dan dipenjara oleh penguasa Kerajaan Arab Saudi. Dr. Aidh Al Qarni setelah dibebaskan dari penjara, lebih banyak menulis buku tentang “personality empowerment“. Bukunya yang sedang Best Seller adalah ” La Tahzan”.
        Salafiyah Politik Khilafah, adalah salafiyin yang terpengaruh pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani tokoh asal Kota Haifa Israel yang bercita-cita menegakkan khilafah dunia. Gagasan utamanya persis dengan konsep Imperium Global, khilafah dunia yang ingin diwujudkan tokoh-tokoh Israel lewat jaringan organisasi Illuminatie, Protocol Zion, Round Table, Federal Reserve, Council on Foreign Relations, Club of Rome, Bilderberger, dan Trilateral.
        Salafiyun Al-Jamiyun (Salafi Ekstrim). Kelompok salafi garis keras dengan tokohnya seperti Rabi’ al-Madkhali. Kelompok ini tidak punya kreasi lain kecuali menyalahkan dan menyerang orang lain, termasuk ulama-ulama yang tidak sehaluan dengan mereka. Tidak ada figur yang selamat dari serangan kelompok ini, baik ulama klasik maupun modern. Termasuk Imam Ghazali, Imam Nawawi dan Ibnu Hajar al-Asqolani, dan lain-lain,  hanya karena mereka penganut teologi Asy’ariyyah.  Ulama kontemporer pun tidak segan-segan diserang, seperti : Hasan al-Banna, Syeikh Muhammad al-Ghazali, DR. Yusuf Qardhawi, Muhammad ‘Imarah, Fahmi Huwaidi, Ali Ath- Thantawi, dan lain-lain. Kelompok Salafi Ekstrim ini juga menulis buku yang menyerang dan membeberkan kejelekan-kejelekan, melemparkan tuduhan terhadap pemikiran dan tingkah-laku ulama-ulama yang di luar kalangan mereka. Di samping itu ada juga kelompok salafiyin pengikut Abdul Azis bin Baz dan Muhammad bin Salih al-Utsaimin (ulama-ulama Arab Saudi). Belakangan, sebagian kalangan pemikir muda Ahlussunnah wal-Jama’ah menganggap kelompok Salafi Ekstrim ini sudah bukan umat Islam lagi.

Sudah menjadi opini umum bahwa Salafi kotemporer yang sekarang ini sedikit banyak mewarisi ciri “Aliran Salaf” periode sebelumya, yaitu :
1. Hanbalis-Literalis dalam fiqih.
2. Keras dalam masalah akidah dan tauhid
3. Agresif – tidak toleran.

Setelah melihat sepak terjang dan rekam jejak sejarah lahirnya kelompok Salafi ini maka tidak heran jika sekarang kita sering melihat kaum Salafi lebih suka menyerang muslim lain yang berbeda pendapat. Tuduhan-tuduhan keji seperti bid’ah, syirik, sesat, dan kafir pun seolah menjadi menu dakwah keseharian yang mesti dijalani. Kalau belum seperti itu maka belum dikatakan Salafi karena mereka memandang hanya kelompoknya saja yang paling benar, yang paling sesuai Qur’an dan Hadits, sementara kelompok di luarnya sudah mengalami banyak penyimpangan, yang harus diperangi.

Padahal kalau kita telusuri lebih mendalam, Salafi itu telah terpecah belah menjadi bermacam-macam golongan yang mana masing-masing golongan mengklaim hanya golongan merekalah yang benar-benar Salafi. Perpecahan di tubuh Salafi pun semakin hari semakin tidak terbendung. Akibatnya muncul berbagai kelompok Salafi baru seperti Salafi Haraki, Salafi Yamani, Salafi Jihadi, Salafi Ikhwani, Salafi Hijazi, Salafi Turotsi, Salafi Ghuroba, dan pecahan-pecahan lainnya. Masing-masing golongan Salafi tersebut punya ciri khas sendiri-sendiri. Tetapi pada dasarnya sama, dimana sesama Salafi saling baku hantam, serang menyerang dan saling tuduh menuduh dan ini dapat ditemukan dalam kajian-kajian mereka, tulisan dan ucapan Syeikh-Syeikh mereka bahkan diikuti oleh ustadz-ustad dan para pengikutnya. Kalimat-kalimat yang tidak mencerminkan akhlaq seorang muslim keluar dari mulut-mulut mereka untuk menyerang sesamanya. Contoh kecilnya adalah seperti dituliskan dalam web Salafi ISNAD.net atau situs Untuk Para Pencari Al Haq atau website ilmoe atau web darussalaf, dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Silahkan simak sedikit penjelasan salah satu situs berita Islam ahlussunnah Muslimedianews betapa dahsyatnya tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh sesamanya demi membela dirinya satu-satunya Salafi yang benar dan yang lain salah.

Jadi, Salafi manakah yang benar-benar Salafi? Salafi yang suka mencaci maki atau Salafi yang bagaimana? Cukuplah bagi kita sebagai umat Islam untuk berpegang teguh kepada pemahaman Salafush Sholeh dari para Imam 4 Madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali dalam fiqihnya dan juga Imam Asy’ari atau Maturidiy dalam aqidahnya, serta menempuh jalan Tasawuf/ Sufi, jalan orang-orang yang lurus, yang sudah diakui oleh jumhur ulama dan diikuti oleh muslimin sebagai ahlussunnah wal jama’ah.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.