Khalifah Menurut Al Habib Umar bin Hafidz
Mari kita simak persoalan khalifah dari berbagai aspek yang dipaparkan oleh Guru Mulia Al-habib Umar bin Hafidz, Beliau adalah Ulama yang Hapal 100 ribu Hadist (Langka) dan menguasai fiqh 4 mazhab, Murid Beliau sudah tersebar ke berbagai belahan dunia, Beliau juga terbebas dari partai politik dan kepentingan tertentu yang betujuan kepada dunia, Jadi pendapat Beliau sangat pantas tuk kita simak. Terkait Khilafah, Habib Umar bin Hafidz menjelaskan secara panjang yang Insya Allah mampu mengobati dahaga kaum Muslimin yang ingin mengetahui tentang Khilafah, apa yang terpenting bagi umat Islam dan bagaimana sikap umat Islam?.
Berikut penjelasannya:
Tentang khilafah, kerancuan pada dua hal yang amat penting. Pertama,
penyempitan makna khilafah, yang hanya pada pelaksanaan hukum Islam
melalui kekuasaan. Yang kedua, pandangan atas wajibnya menegakkan
khilafah ketika sudah ada pemerintahan di tengah-tengah umat.
Mengenai yang pertama, perlu ditegaskan bahwa kata “khilafah” bila
dikaitkan dengan agama dan syariat, maknanya tak hanya terbatas pada
konteks kekuasaan dengan segala penerapan hukum-hukum publik,
sebagaimana makna khilafah secara etimologis yang memang jauh lebih
luas.
Al Qur’an menggunakan kata ini, bahkan untuk orang yangberbuat buruk,
orang yang menyimpang dari jalan yang benar, juga generasi yang datang
setelah para nabi dan rasul, seperti pada ayat:
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS.19 : 59).
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS.19 : 59).
Jadi, mereka adalah generasi pengganti yang tinggal di tempat
orang-orang sebelumnya, namun mereka tidak mengikuti prinsip dan
perilaku generasi sebelumnya. Sehingga, makna khilafah adalah pergantian
seseorang terhadap orang lain dalam konteks apapun. Mengenai kaitan
khilafah dengan urusan agama, juga perlu dipahami bahwa khilafah yang
diagungkan dan dinyatakan Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi Adam
dan anak-cucunya, dalam firman-Nya:
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS.2 : 30)
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS.2 : 30)
Adalah khilafah ruhaniah, keagamaan, dan ketuhanan, bukan sebatas otoritas politik yang mengatur urusan-urusan lahiriah.
Khilafah tersebut terkait erat dengan tugas mengemban amanah sesuai
kapasitas dan kemampuan seseorang, dalam konteks menegakkan kebenaran,
yaitu syari’at yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya. Inilah
khilafah yang disinggung dalam Al-Qur’an, ketika meletakkan nenek moyang
kita, Nabi Adam AS ke bumi
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tak akan tersesat dan tidak akan celaka.”(QS.20 : 123).
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tak akan tersesat dan tidak akan celaka.”(QS.20 : 123).
Mengamalkan tuntutan Allah, melaksanakan perintah, dan menghindari
larangan-Nya, itulah arti khilafah yang telah ditugaskan Allah kepada
Nabi Adam. Nabi Adam turun padahal di bumi belum ada bangsa apapun yang
bisa menjadi obyek kekuasaan. Ia hanya disertai Ibu Hawa. Lalu, mulai
lahirlah putra-putra dari keluarga Adam. Ia menjalani posisinya sebagai
orang pertama yang memegang khilafah sebelum adanya bentuk pemerintahan
dan kekuasaan publik. Sejarah terus berlangsung dalam wilayah keluarga
itu, yaitu Adam dan putra-putranya. Merekalah yang menghuni bumi.
Lalu keturunannya mulai banyak. Nabi Syits, putra Adam as,
menggantikannya memegang tampuk khilafah. Ia menerima kenabian dan
amanat untuk melaksanakan ikrar manusia kepada Allah.Khilafah merupakan
tugas masing-masing diri kita. Tak ada alasan bagi siapapun untuk
menganggap remeh hal ini, hingga melalaikan dan meninggalkannya lantaran
ketiadaan simbol-simbol fisik khilafah (kekuasaan).
“Melepas Khilafah”Jika dikaitkan dengan salah satu jenis kekhilafahan
agung Nabi Muhammad SAW, khilafah adalah terwujudnya penerapan hukum
secara umum, karena kekuasaan dipegang oleh orang-orang jujur, lurus,
dan mendapat petunjuk. Beliau kabarkan, khilafah ini hanya berlangsung
30 tahun terhitung sejak beliau wafat. Ini salah satu mukjizat yang
menunjukkan kebenaran beliau sebagai Nabi.
Rasulullah SAW menyebut batas waktu. Tatkala masa 30 tahun itu telah
usai dan khilafah semacam ini telah hilang, beliau tidak memberi
perintah, “Memberontaklah kepada parapenguasa, perbaiki berbagai
masalah, berjuanglah untuk mengganti mereka dengan orang-orang yang
mirip dengan masa 30 tahun itu!” Rasulullah SAW tidak memerintahkan itu.
Bahkan, meski dalam haditsnya beliau memberi isyarat bahwa cengkeraman
kerajaan akan berlangsung lama. Dalam sebagian riwayat, beliau
menyebutnya adhudh (kekuasaan yang suka menggigit).
Dalam kitab Musnad-nya Imam Ahmad, juga dalam Al-Mustadrak ‘ala
Ash-Shahihaiankarya Al-Hakim,
disebutkan, Rasulullah SAW bersabda:
“Khilafah sepeninggalku 30 tahun, kemudian menjadi kerajaan.” (HR.Ahmad)
Mari kita cermati sabda beliau yang menyebutkan secara jelas periode khilafah ini. Ternyata, sahabat Ali KWH dibunuh pada bulan Ramadhan, sementara Rasulullah SAW wafat pada bulan Rabi’ul Awwal. Untuk sampai 30 tahun, masih ada jeda enam bulan. Masa enam bulan inilah masa kepemimpinan Sayyidina Al-Hasan bin ‘Ali RA, cucunda Nabi, hingga ia mundur dari khilafah pada bulan Rabi’ul Awwal, persis di akhir masa 30 tahun sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW. Lagi-lagi ini merupakan salah satu tanda kenabian, mukjizat agung Rasulullah Muhammad SAW, sekaligus pemberitahuan beliau mengenai hal-hal rahasia (ghaib) yang beliau dapat dari Allah SWT.
Di Al-Mustadrak juga ada riwayat yang dinyatakan shahih oleh Adz-Dzahabi :
“Setelah Al-Hasan mundur sebagai khalifah, ada orang berkata kepadanya, “Orang-orang berkata bahwa Anda menginginkan khilafah.”Al-Hasan menoleh kepada orang itu. Ia berkata, “Aku meninggalkan jabatan khalifah pada saat orang-orang kuat berada di tanganku. Mereka mengikuti perintahku, siap memerangi orang yang aku perangi dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku meninggalkan khilafah) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan pertumpahan darah sesama muslimin. Lalu, apakah aku akan berupaya mendapatkan khilafah dengan keputus-asaan orang-orang Hijaz. Pergilah, aku tidak menginginkan khilafah itu.”
“Setelah Al-Hasan mundur sebagai khalifah, ada orang berkata kepadanya, “Orang-orang berkata bahwa Anda menginginkan khilafah.”Al-Hasan menoleh kepada orang itu. Ia berkata, “Aku meninggalkan jabatan khalifah pada saat orang-orang kuat berada di tanganku. Mereka mengikuti perintahku, siap memerangi orang yang aku perangi dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku meninggalkan khilafah) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan pertumpahan darah sesama muslimin. Lalu, apakah aku akan berupaya mendapatkan khilafah dengan keputus-asaan orang-orang Hijaz. Pergilah, aku tidak menginginkan khilafah itu.”
Kisah ini memiliki sanad riwayat yang shahih melalui mata rantai para perawi yang dipercaya oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Dalam kisah ini terdapat sebuah penjelasan bahwa mundur dari khalifah
pada saat terjadinya perpecahan adalah khalifah sejati. Khalifah hakiki
yang diajarkan Nabi ini bersemayam dengan sempurna dalam diri Al-Hasan
bin ‘Ali. Dengan menyerahkan kekuasaan lahiriah, tidak berarti warisan
Nabi menjadi berkurang pada dirinya, tidak berarti ada kekurangan pada
posisinya sebagai pengganti kakeknya, Muhammad SAW. Justru dengan
demikian, Al-Hasan menampakkan ciri khas yang paling agung dari
kekhilafahan Rasulullah SAW, yaitu dalam wilayah ilmu, taqwa, pekerti,
belas kasih, dan perhatian terhadap umat. Karena itu, sangatlah layak
apa yang disabdakan Rasulullah SAW mengenai Sayyidina Hasan:
“Sungguh anakku (cucuku) ini adalah seorang pemimpin. Allah akan mendamaikan dua kubu besar kaum muslimin dengan perantaranya.” (HR.Bukhari)
“Sungguh anakku (cucuku) ini adalah seorang pemimpin. Allah akan mendamaikan dua kubu besar kaum muslimin dengan perantaranya.” (HR.Bukhari)
Pandangan Nabawiyyah dalam hadits tadi dijelaskan bahwa Nabi mengabarkan:
“Masa setelah itu kekuasaan berada di tangan para
penguasa yang berbuat hal-hal yang kalian (para sahabat) ingkari. Kalian
melihat mereka tidak teguh dalam mengikuti ajaran Islam.”
Mereka (para sahabat) bertanya, “Apa yang engkau (ya Rasulullah)
perintahkan kepada kami? Haruskah kami membuat kekhalifahan baru,
pemerintahan lain, dan berjuang untuk menyingkirkan mereka?”Nabi SAW
bersabda, “Kalian harus patuh dan taat (kepada pemimpin kalian).”
(HR.Bukhari dan Ahmad)
Siapa yang menegaskan hal ini? Ini bukan gagasan kelompok-kelompok tertentu dalam Islam. Ini adalah arahan dari pemegang kenabian dan kerasulan, seorang yang menerima wahyu dari Allah SWT.Lalu, sampai kapan kami harus patuh pada pemimpin?
Siapa yang menegaskan hal ini? Ini bukan gagasan kelompok-kelompok tertentu dalam Islam. Ini adalah arahan dari pemegang kenabian dan kerasulan, seorang yang menerima wahyu dari Allah SWT.Lalu, sampai kapan kami harus patuh pada pemimpin?
“Sampai yang menjadi pemimpin kalian adalah orang yang
jelas-jelas kafir, sudah tidak mungkin ditakwil bahwa dia adalah seorang
muslim. Atau, orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, mengingkari
ajaran-ajaran pokok agama yang sudah pasti. Ia secara terang-terangan
memusuhi agama dan melanggarnya.”Dalam sebuah hadits disebutkan, “Hingga
kalian melihat kekufuran yang sangat jelas.” (HR.Bukhari, Muslim,
Ahmad, dan Baihaqi).
Dalam riwayat yang lain: “Selagi mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian.” (HR.Muslim, Ad-Darimi, dan Baihaqi)
Pada riwayat lainnya, “Berikanlah kepada mereka apa yang menjadi hak mereka. Mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian (karena mereka sudah tidak berlaku adil kepada kalian dan tidak memberikan hak-hak kalian)”. (HR.Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi)Batasan-batasan itulah yang Rasulullah sampaikan kepada kita.
Pada riwayat lainnya, “Berikanlah kepada mereka apa yang menjadi hak mereka. Mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian (karena mereka sudah tidak berlaku adil kepada kalian dan tidak memberikan hak-hak kalian)”. (HR.Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi)Batasan-batasan itulah yang Rasulullah sampaikan kepada kita.
Memahami Realitas yang Berbeda Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
berdo’a, “Ya Allah, curahkanlah rahmat kepada para
khalifah/penggantiku.”Ketika beliau ditanya, siapa para khalifah itu,
beliau tidak menggunakan pengertian khilafah seperti saat beliau
bersabda “Khilafah setelahku berlangsung selama 30 tahun”, tapi beliau
menggunakan pengertian lain tentang khilafah, yaitu khilafah keagamaan.
Beliau bersabda, “Orang-orang yang hidup sepeninggalku, mereka
meriwayatkan hadits-haditku dan mengajarkannya kepada manusia.”
Beliau menyatakan,orang-orang yang memiliki perhatian tinggi terhadap
sunnah beliau dan mengajarkannya kepada orang lain adalah para khalifah
para penerus beliau. Hal itu diperkuat oleh hadits tentang ulama yang
menjadi pewaris para Nabi. Juga, sebagaimana disebutkan dalam
kitab-kitab tafsir bahwa isi dari lafal Ulul Amri yang disebutkan di
sebagian ayat adalah para ulama, orang-orang yang dianugerahi ilmu
syari’at dan menjadi pemikul amanat ilmu syari’at tersebut. Misalnya,
ayat
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (Qs. 4: 83)
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (Qs. 4: 83)
Menurut pendapatpara mufassir, yang dimaksud ulil-amri disini adalah ulama. Sebagaimana jugadalam firman Allah: أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ“…taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil-amridiantara kalian.” (QS.4 : 59)
Sementara, mengenai kekuasaan lahiriah, hukumnya dalam syari’at adalah:
“Bila mereka memerintah dengan baik, jadi baik bagi mereka dan bagi kalian. Jika mereka memerintah dengan buruk, jadi baik bagi kalian dan jadi buruk bagi mereka.” (HR.Thabrani)
Jadi, dari sunnah Rasulullah SAW, kita bisa melakukan pemilahan terhadap
dua sikap. Pertama, meninggalkan khilafah untuk menjaga kemaslahatan
kaum muslimin karena memperhatikan kondisi nyata mereka. Kedua, menolak
untuk meninggalkan jabatan khalifah hanya karena tuntutan dari
orang-orang bodoh atau menyerahkannya kepada orang yang tidak layak,
dengan catatan hal itu tidak menimbulkan kekacauan. Yang kedua inilah
yang disabdakan Rasulullah SAW kepada Sayyidina Utsman.
Perhatikanlah, Rasulullah SAW memuji cucunya, Al-Hasan, karena rela
melepas kekhilafahan lahiriah demi kebaikan kaum muslimin. Di sisi lain,
beliau bersabda kepada Sayyidina Utsman RA:
“Mereka hendak melepas baju yang dipakaian Allah kepadamu. Jangan turuti mereka hingga engkau menyusulku.” (HR.Thabrani)
Ada beberapa orang yang datang kepada Utsman RA, memintanya untuk mundur dari khalifah. Ternyata, mereka bukan orang yang layak untuk menggantikan beliau. Sementara itu, kekacauan bukan ditimbulkan karena sikap Utsman RA mempertahankan khalifah. Kekacauan justru timbul jika orang-orang seperti mereka menerima khalifah. Mereka akan mempermainkannya.
“Mereka hendak melepas baju yang dipakaian Allah kepadamu. Jangan turuti mereka hingga engkau menyusulku.” (HR.Thabrani)
Ada beberapa orang yang datang kepada Utsman RA, memintanya untuk mundur dari khalifah. Ternyata, mereka bukan orang yang layak untuk menggantikan beliau. Sementara itu, kekacauan bukan ditimbulkan karena sikap Utsman RA mempertahankan khalifah. Kekacauan justru timbul jika orang-orang seperti mereka menerima khalifah. Mereka akan mempermainkannya.
Latar belakang dan realitasnya berbeda. Maka, dalam kondisi seperti itu,
Rasulullah memberikan arahan kepada Utsman RA agar tidak menuruti
kemauan mereka hingga akhirnya mereka membunuhnya. Ia mati syahid di
jalan Allah sebagai orang yang berdakwah. Ia terbunuh dalam keadaan
membaca Al Qur-an dan tetesan darahnya yang pertama mengenai ayat:
فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ“Maka Allah akan menjaga engkau dari mereka, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.2 : 137).
Sementara do’a terakhir yang terdengar dari lisannya adalah, “Ya Allah, persatukan umat Muhammad. Ya Allah, persatukanlah umat Muhammad.” (Kisah ini dituturkan Al-Ghazali dalam Al-Ihya’ 4/479). Beberapa orang sahabat dan tabi’in, bila teringat kejadian ini, berkata, “Utsman, semoga Allah merahmatimu. Dalam kondisi genting, perhatianmu masih tertuju pada umat Muhammad. Seandainya engkau berdoa agar mereka tidak bersatu, niscaya mereka tak akan pernah bersatu selamanya.”
فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ“Maka Allah akan menjaga engkau dari mereka, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.2 : 137).
Sementara do’a terakhir yang terdengar dari lisannya adalah, “Ya Allah, persatukan umat Muhammad. Ya Allah, persatukanlah umat Muhammad.” (Kisah ini dituturkan Al-Ghazali dalam Al-Ihya’ 4/479). Beberapa orang sahabat dan tabi’in, bila teringat kejadian ini, berkata, “Utsman, semoga Allah merahmatimu. Dalam kondisi genting, perhatianmu masih tertuju pada umat Muhammad. Seandainya engkau berdoa agar mereka tidak bersatu, niscaya mereka tak akan pernah bersatu selamanya.”
Ternyata, didetik-detik ancaman mati dan pembunuhan, yang ada dalam
pikirannya adalah umat. Ia memohon kepada Allah agar mempersatukan umat
sepeninggalnya. Ia berdoa “Ya Allah, persatukan umat Muhammad” sampai
dua kali. Itu sebabnya, jangan sampai urusan kekuasaan menjadi kekacauan
atau mempermainkan agama.
Khilafah bagi setiap Muslim Kita juga tidak bisa sekadar melaksanakan
fungsi khalifah hanya yang terkait pada diri kita saja. Setiap kita
memiliki amanat menjadi penerus atau khalifah, dalam mata, telinga,
lidah, kelamin, perut, tangan, kaki, dan hatinya. Maka, laksanakanlah
kewajiban khalifah dari Rasulullah. Semua ini adalah hal yang harus
engkau pelihara. Engkau pemimpin semua ini, semua urusan-urusannya
diserahkan kepadamu. Maka, jadilah penerus yang baik dari Rasulullah
dalam memelihara anggota tubuhmu agar selalu mematuhi syari’at dan
menerapkan hukum Allah.
Di wilayah lain, engkau memiliki kekuasaan dalam hal-hal yang terkait
dengan urusan keluarga, teman, dan tetangga. Juga, dalam hal yang
terkait dengan orang yang mendengarkan nasihat darimu, menerima saran
dan arahanmu, baik orang dekatmu atau bukan. Laksanakan kewajiban
khilafah dalam semua itu.
Menegakkan syariat, dalam bentuk apapun, merupakan khilafah dari Allah
dan Rasul-Nya, dalam arti yang umum. Sedangkan khilafah dalam arti
khusus adalah khilafah yang dalam hadits Rasulullah SAW, yang dinyatakan
berlangsung selama 30 tahun setelah wafatnya beliau. Setelah itu,
kerajaan yang menggigit. Setelah itu, kekuasaan yang diktator. Inilah
yang terjadi pada mayoritas penguasa saat itu. Lalu pada akhirnya
khilafah kembali seperti ajaran Rasulullah SAW. Ini sesuatu yang akan
terjadi, dan telah diberitakan Rasulullah SAW.
Kabar tentang khilafah ini jangan dipertentangkan dengan
perintah-perintah Rasulullah terhadap umatnya: bagaimana mengatur, apa
yang harus dilakukan, bagaimana seharusnya menghadapi berbagai persoalan
yang terjadi, menghadapi para penguasa, menghadapi rakyat, dan
bagaimana bersikap terhadap pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat
ataupun jauh.
Betapapun, jika misalnya ada kesempatan bagi seseorang untuk membela
agama Allah, dalam bentuk apapun, dan dalam sisi kehidupan apapun, ia
memiliki tanggung jawab besar untuk melaksanakan kewajiban itu, namun
apa yang ia lakukan itu ternyata menimbulkan efek negatif yang lebih
besar atau membawa badai besar di tengah-tengah kaum muslimin,
tinggalkan dan jauhi hal itu. Sebab, untuk bisa lebih mempersatukan umat
Islam diperlukan langkah-langkah yang lebih lembut dan berdasarkan
kasih sayang terhadap umat.
Inilah teladan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Ini pula yang
dijalani oleh para pendahulu umatini.Insan-insan Khalifah Terbaik
Al-Hasan menginginkan perdamaian umat. Ia juga rindu bertemu kakeknya,
Rasulullah SAW. Maka, tidak ada yang perlu ia cari dengan menggunakan
kekuasaan dunia, atau dengan tetap hidup di dunia. Hari-hari berlalu,
dan ia tahu bahwa ia diracun, yang mengantarkannya pada kesyahidan.
Khilafah ideal berlalu saat Al-Hasan menyerahkan kekuasaan kepada
Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia meninggalkan khilafah lahiriah ini hingga
wafat. Ia memilih menjadi khalifah Rasulullah SAW dalam menyampaikan
kebenaran, memberikan bimbingan, mengajar, memberi petunjuk, berbudi
pekerti luhur, bersikap belas kasih dan sifat-sifat mulia lain yang
telah dilekatkan oleh Allah dalam dirinya. Inilah buah dari didikan
Rasulullah, Muhammad SAW.
Kalau kita bercermin pada yang dilakukan adiknya, Al-Husain, setelah
itu, mungkin akan ada yang bertanya: Bagaimana bisa Al-Husain keluar
(dari Makkah) untuk memenuhi permintaan penduduk Irak (menghadapi
“Khalifah” Yazid)?
Beberapa hal yang harus dipahami mengenai keberangkatannya ke Irak.
Diantaranya adalah, pertama, adanya surat ajakan yang dikirim penduduk
Irak dan itu peluang untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang sesuai
dengan syari’at. Ternyata mereka menipunya, tidak mempercayainya,
mengkhianatinya, dan meninggalkannya. Namun, ia rela.
Kedua, ia sudah memperkirakan pengkhianatan ini. Namun, mati syahid
tampak di depan mata. Sepeninggal kakaknya, Al-Hasan, giliran ia yang
menyimpan rindu bertemu kakeknya. Al-Husain membuat keputusan tegas
demi kebaikan umat. Juga, agar mereka tahu bahwa ia tak mau tertipu
kekuasaan lahiriah, namun juga tak ingin melampaui batas dalam memahami
wajibnya patuh kepada penguasa. Ia ingin mengajari umat agar tidak
memiliki dugaan keliru bahwa jika kita sudah diperintah untuk patuh
kepada penguasa, kendatipun kita tahu bahwa mereka tidak baik, berarti
kita harus meyakini bahwa para penguasa itu adalah orang-orang yang
benar dan menjadi landasan dalam berbagai hal. Yang bisa dijadikan
landasan adalah ilmu syari’at dan agama Allah.
Jadi, gerakan Al-Husain adalah untuk menjelaskan prinsip ini dengan cara
yang sempurna. Dan, telah kami singgung dalam pembahasan tadi, ia
memang hendak menerjunkan dirinya ke dalam kesyahidan. Ia begitu rindu
untuk bertemu kakeknya. Demi Allah, kekeliruan terjadi kalau yang
melakukan adalah orang-orang seperti kita. Sayyidina Husain tidak sama
dengan kita. Orang-orang yang dididik di bawah penjagaan dan pengawasan
Rasulullah, mereka adalah teladan bagi umat manusia. Mereka contoh atas
kesesuaian perkataan dan tindakan yang benar.
Maka, Sayyidina Husain memberikan penjelasan mengenai perbedaan berbagai
hal tersebut, dengan cara maju dan mengorbankan nyawanya untuk
menyambut janji Allah kepada Rasul-Nya bahwa suatu saat sekian banyak
keluarganya gugur sebagai syahid dalam sehari. Hal itu menjadi tragedi
yang sangat pedih dalam sejarah umat Muhammad SAW.
Khilafah agung Nabawiyah yang bukan sekadar kekuasaan lahiriah itu
kemudian digantikan oleh Ali Zainal Abidin. Ia benar-benar hiasan indah
bagi para ahli ibadah. Perjalanan hidupnya penuh dengan fenomena ibadah.
Ia banyak melakukan shalat. Dua pipinya bergaris hitam karena aliran
air mata, gambaran rasa takut yang mendalam kepada Allah. Lalu, apa yang
ia lakukan? Apakah ia berjuang untuk merengkuh kekuasaan? Apa ia
mengajak kaum muslimin untuk membai’atnya? Apa ia membuat rencana kudeta
terhadap penguasa yang ada? Semua ini tidak terjadi pada Ali Zainal
Abidin.
Apakah ia tidak tahu apa-apa tentang agama? Aku bersaksi bahwa ia
termasuk orang yang paling alim mengenai agama. Demi Allah, ia bukan
orang bodoh. Dimasanya, ia adalah pewaris agung bagi Rasulullah SAW.
Namun demikian, ia menyibukkan hidupnya dengan memperbanyak shalat,
membaca Al-Qur-an, menangis, bersedekah, dan berbuat kebajikan kepada
orang lain. Ia sama sekali tak pernah menyinggung urusan kekuasaan. Ia
juga tidak pernah memaki-maki, melaknat, dan mengucapkan
pernyataan-pernyataan buruk kepada para pembunuh ayah dan
saudara-saudaranya.
Inilah khalifah sejati. Inilah yang dilakukan generasi terbaik umat ini.
Mereka mengikuti jejak Rasulullah SAW, jejak Ahlul Bayt, Sahabat,
Tabi’in, dan para pengikut mereka.Setelah itu, putranya, Muhammad
Al-Baqir. Setelah itu, putra Al-Baqir, yaitu Ja’fa rAsh-Shadiq. Mereka
semua meneladani ayah-ayahnya dalam kemuliaan dan jalan ini.
Pada masa itu mereka diikuti oleh para pemuka tabi’in. Bahkan, saat
Al-Hasan menyerahkan kekhilafahan lahiriah, masih banyak pemuka sahabat.
Apa pandangan mereka? Adakah mereka menyatakan “Kami bersama Anda, kami
berperang bersama Anda untuk Allah. Sekarang Anda meninggalkan kami dan
menyerahkan khilafah kepada orang lain?” Tidak. Al-Hasan patuh (pada
tuntunan agama), merekapun ikut patuh.
Tibalah masa tabi’in. Saat itu, kekuasaan dipegang oleh Yazid bin
Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia dikenal fasik dan buruk. Saat itu, ada Hasan
Al-Bashri, Said bin Al-Musayyib, juga para tabi’in senior. Ada Ali
Ibnul Husain, juga putra-putra Al-Hasan. Adakah diantara mereka yang
membuat kekacauan? Atau melawan penguasa, atau melakukan sesuatu yang
tidak sesuai dengan teladan para penghulu dan ajaran Rasulullah SAW?
Khilafah berlanjut. Tibalah masa para Imam : Abu Hanifah, Malik bin
Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal. Apa mereka semua hidup di
tengah-tengah kekhilafahan yang lurus atau hidup di tengah-tengah
kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa mereka harus
membuat rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan
itu?
Mereka sibuk menjaga Islam, menjaga syari’at di tengah-tangah umat,
dengan segala kesungguhan dan daya upaya. Mereka mengorbankan waktu,
jiwa-raga, dan harta untuk menjelaskan hakikat syari’at kepada umat
manusia serta membawa mereka untuk bisa mengamalkannya. Mereka adalah
khalifah terbaik dari Rasulullah SAWdan saat itu terdapat begitu banyak
tokoh ulama dari kalangan tabi’in dantabi’ut tabi’in.
Peran Khilafah para Nabi Bagitulah khilafah di tengah-tengah mereka.
Bahkan, demikian pula yang kita lihat dalam Al Qur’an dan dijalani para
nabi di masa-masa lampau.
Apakah Nuh AS seorang khalifah di atas muka bumi ini? Ya. Ia khalifah
selama 950 tahun. Lalu apakah kekuasaan berada di tangannya atau di
tangan orang-orang kafir? Selama itu pula ternyata kekuasaan bukan
berada ditangannya, tapi tangan orang-orang kafir.
Lalu, apakah tugas khalifah dari Allah hidup atau mati? Tegak di tangan
siapa, di tangan orang-orang kafir?Tidak, khilafah tegak berada di
tangan Nabi Nuh AS dan pengikutnya. Padahal yang beriman kepadanya hanya
segelintir orang. Namun, segelintir orang ini memiliki kedudukan dan
peran yang besar, hingga Allah memuliakan mereka dengan memusnahkan
seluruh umat manusia kecuali yang berada di kapal Nuh. Itu adalah
balasan atas kesabaran dan ketabahannya selama 950 tahun melaksanakan
tugas khilafah dengan peran yang sangat baik.Nabi Musa memikul tugas
khilafah dari Allah. Ia mendatangi Fir’aun, dan kekuasaan berada di
tangan Fir’aun. Hari pertama, kedua, dan ketiga, muncullah
mukjizat-mukjizatnya. Para tukang sihir pun beriman. Mereka menjadi
pembela agama Allah dan pasukan Allah. Mereka juga memikul khilafah dari
Allah. Namun, kekuasaan tetap berada di tangan Fir’aun, sampai datang
waktunya kemudian ketika Allah menghancurkan Fir’aun dan bala
tentaranya.
Sementara itu, pada kisah khilafah Sayyidina Isa, Bani Israil datang
hendak membunuhnya. Allah pun mengangkat Nabi Isa ke langit.Apakah Nabi
Isa seorang khalifah Allah? Demi Allah, ia adalah seorang khalifah
Allah. Bahkan, termasuk Rasul Ulul ‘Azmi, termasuk utusan Allah yang
istimewa.
Begitu pula Sayyidina Ibrahim, ia berada di bawah kekuasaan Namrudz
beberapa kali. Sampai ketika mukjizatnya muncul, ia keluar dari kobaran
api yang menjadi dingin dan menjadi keselamatan baginya. Waktu itu,
kekuasaan masih berada di tangan Namrudz, dan Nabi Ibrahim berada di
bawah kekuasaan itu. Ia tidak memikirkan soal kulit permukaan kekuasaan
ini hingga Allah SWT menolongnya.
Inilah poin terpenting dalam tema khilafah, juga pandangan para salaf
mengenai hal itu. Sekian banyak nabi pun melewati keadaan ini. Begitulah
pengertian khilafah. Pengertian yang memiliki kaitan erat dengan
kewajiban untuk melaksanakan syari’at dalam diri kita, keluarga kita,
dan anak-anak kita. Demikian itu, agar kita tidak melanggar prinsip umum
dan prinsip khusus khilafah, juga tidak menghalangi sebab-sebab
datangnya pertolongan Allah dengan hal-hal yang diembuskan musuh-musuh
Allah yang ingin merusak moral kita. Mereka memasukkan budaya-budaya
buruk yang bertentangan dengan syari’at ke tengah-tengah kita.
Semoga Allah menolak keburukan orang-orang kafir dan orang-orang jahat
dari kita. Semoga Allah menurunkan berkah kepada kita dan kepada para
ulama disini, juga ulama-ulama lain di Indonesia dan di negara-negara
lainnya. Yakni, orang-orang yang senantiasa gigih menjaga agama dan
syari’at ini dengan upaya yang sempurna.Dan, hanya Allah-lah yang
menganugerahi taufiq dan ampunan.
Post a Comment