DALAMNYA LUBANG FREEPORT SEDALAM LUKA SAKIT INDONESIA

Soemitro Djojohadikusumo, The Hidden Story of Freeport.

“Salah satu hal yang paling prinsipil dari pergantian kepemimpinan di Indonesia, dari Soekarno ke Suharto adalah bergantinya karakter Indonesia dari sebuah bangsa yang berusaha menerapkan kemandirian berdasarkan kedaulatan dan kemerdekaan, menjadi sebuah bangsa yang bergantung pada kekuatan imperialisme dan kolonialisme Barat,” – Suar Suroso (Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008).


SABTU, 3 Maret 1973. Sejarah mencatat Presiden Soeharto meresmikan tambang tembaga milik Freeport Sulphur, (sebuah perusahaan tambang terkemuka asal Amerika Serikat) sekaligus meresmikan berdirinya kota Tembagapura. Saat memberikan pidato sambutan, Soeharto begitu sumringah.
“Perusahaan ini adalah pelopor penanaman modal asing di Indonesia; dan lebih istimewa lagi dalam modal yang sangat besar. Tuan-tuan datang ke Indonesia dalam keadaan kami yang masih sulit pada tahun 1966,” ujarnya.
Bagi Soeharto, gelontoran uang yang diinvestasikan Freeport ke bumi Papua merupakan bentuk kepercayaan kepada Indonesia untuk membangun masa depan. Kepercayaan itu juga telah mendorong penanam-penanam modal asing lain untuk datang ke Indonesia. Selain itu, Soeharto juga menyatakan kepercayaannya bahwa kegiatan pertambangan akan membantu memajukan masyarakat lokal disitu.

 “Karena itu, saya sangat gembira dapat meresmikan pembukaan tambang ini. Saya ucapkan selamat kepada Freeport Indonesia, kepada pimpinannya dan kepada seluruh karyawannya,” kata Soeharto yang lantas menutup pidatonya dengan ucapan terimakasih.


Pegunungan Erstberg tak hanya menyimpan tembaga. Salah satu gunung bernama Grasberg juga mengandung cadangan emas yang melimpah. Grasberg disebut-sebut sebagai tambang emas terbesar di dunia. Lewat kontrak karya berdasarkan UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang diizinkan pemerintah Soeharto, Freeport memiliki hak istimewa untuk merambahnya.
Kehadiran Freeport langsung mengancam penduduk asli dari suku Amungme yang berdiam di dataran tinggi sekitar proyek tambang. Suku Amungme sangat terikat dengan tanah leluhur. Bagi mereka, Gunung Grasberg dianggap suci. Puncak Grasberg dikiaskan sebagai kepala ibu. Orang Amungme sangat menghormati kawasan keramat itu.

Ketika beroperasi, aktivitas penambangan Freeport telah mengubah bentang alam Gunung Grasberg menjadi lubang raksasa sedalam 700 meter. Danau Wanagon sebagai danau suci orang Amungme ikut hancur karena dijadikan pembuangan batuan limbah yang sangat asam dan beracun. Freeport juga mencemari tiga badan sungai utama di wilayah Mimika: Aghawagon, Otomona, dan Ajkwa. Ketiga sungai dijadikan tempat pembuangan limbah sisa produksi yang disebut tailing.   
“Lebih dari 200.000 ton tailing dibuang setiap harinya ke Sungai Aghwagon, yang kemudian mengalir ke Sungai Otomona dan Sungai Ajkwa,” ungkap Harsutejo dalam Kamus Kejahatan Orba.  Sungai-sungai di sekitar Tembagapura, sebagaimana disaksikan Harsutedjo tampak berwarna coklat tua pekat bagaikan adonan jenang gosong.
Tak hanya invasi modal asing. Suku Amungme dan suku-suku lainnya juga terjepit oleh migrasi pendatang dari luar Papua. Sekira sejuta hektare lahan mukim suku Amungme berpindah tangan ke tangan para pendatang. Inilah imbas dari program transmigrasi yang digalakkan pemerintah Orde Baru.


Menurut antropolog Austria Christian Warta, ideologi Soeharto tentang “pemindahan penduduk” tersebut didasarkan pada asumsi tentang keunggulan pendatang baru. Soeharto melihat para pendatang membawa modernitas ke daerah-daerah terpencil Papua. Di sisi lain, rakyat Papua dipandang sebagai masyarakat tertinggal yang harus dijadikan berbudaya dan beradab.
“Akibatnya, banyak masyarakat Papua merasa terpinggirkan oleh meningkatnya jumlah pendatang tersebut,” tulis Warta dalam “Perkembangan Masalah Agama di Papua: Sengketa Antaragama dan Pencegahan Konflik” termuat di kumpulan tulisan Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas dan Kewarganegaraan pada masa Pasca Orde Baru suntingan Martin Ramsted. “Ketakutan menjadi minoritas di tanah sendiri ini lah yang secara wajar memicu nasionalisme Papua.”


Harga yang Dibayar

Keberadaan Freeport memantik konflik dengan masyarakat setempat. Bagi orang Amungme, Freeport seperti pencuri yang menjarah kediaman orang lain tanpa izin. Freeport sendiri sempat menjanjikan kompensasi fasilitas sosial kepada suku Amungme berupa sekolah, pasar, hingga perumahan. Namun kesepakatan tak pernah terjadi karena salah urus dari pemerintah daerah.
Pada 1977, protes suku Amungme dan enam suku lainnya memuncak jadi perlawanan terbuka. Mereka memotong pipa penyalur bijih tembaga, membakar gudang, dan melepaskan kran tangki persediaan bahan bakar milik Freeport. Insiden ini terdengar sampai Jakarta. Soeharto kemudian menerapkan kebijakan keras lewat pendekatan keamanan. ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) pun diturunkan.  
“Kebun dan rumah-rumah dihancurkan, sejumlah orang dibantai. Pemerintah mengumumkan jumlah orang yang meninggal di Tembagapura sebanyak 900 orang. Para saksi lapangan memperkirakan dua kali lipatnya,” tulis Harsutejo. Sebagian besar warga Amungme ditangkap dan dinterogasi tentara. Yang melarikan diri memilih tinggal di hutan sekitar Lembah Tsinga selama tiga tahun. Mereka dipandang sebagai pengacau macam Organisasi Papua Merdeka (OPM).


Represi lanjutan dilakukan dengan menetapkan Irian Jaya sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) selama dua puluh tahun (1978-1998). Pemerintah juga memindahkan warga Amungme ke dataran rendah untuk dijadikan petani. Karena lingkungan yang tak cocok, sebanyak 20 persen anak-anak Amungme meninggal karena malaria. Bisnis Freeport jalan terus.
Menurut penelitian Amiruddin Al Rahab dan Aderito Jesus de Soares dalam Perjuangan Amungme: Antara Freeport dan dan Militer, selama 14 tahun pertama beroperasi Freeport meraup keuntungan sebesar 14,9 milyar dolar AS. Sedangkan penerimaan negara dari pajak dan royalti berjumlah 5,4 milyar dolar AS. 
Bagaimana dengan aliran dana di jalur yang lain? Sejak 1980, Presiden Soeharto menerima upeti setiap tahunnya sebesar 5 sampai 7 juta dolar AS tiap tahun. Selain itu, menurut Prospek 13 Juli 1998 sebagaimana dikutip Amiruddin dan Aderito, Freeport telah menyerahkan uang kepada Yayasan Dana Sejahtera yang didirikan oleh Soeharto sebesar 20,3 juta dolar AS berdasarkan Kepres No. 92/1996.

Pada 1996, sekira 2000 personel dari kesatuan Kopassus dan Kostrad dikerahkan langsung di bawah perintah Presiden Soeharto demi menjaga Freeport. Untuk itu, Freeport memberikan lagi dana kepada Soeharto sebesar 40 juta dolar AS. Freeport mau melakukan itu agar situasi di Papua stabil dan mereka dapat mengeduk emas lebih banyak lagi demi target mendapatkan superprofit. Sebaliknya, bagi pemerintah, Freeport adalah pendulang uang yang harus diamankan dari apapun.
“Jika orang Papua mengganggu atau menuntut Freeport, aparat akan melakukan tindakan,” tulis Amiruddin dan Aderito. 
Pundi-pundi devisa negara bertambah lewat tangan pengeruk Freeport. Ini menjadi penghasilan terbesar dari Papua untuk Indonesia. Akan tetapi, yang diuntungkan dari kerja sama ini hanyalah penguasa Orde Baru, segelintir elite Papua, dan sang pemilik modal. Soeharto -yang berjuluk Bapak Pembangunan Nasional- telah mengingkari harapannya untuk membangun masyarakat lokal di Papua.


Sekilas Perjalanan Freeport di Indonesia

Spoiler for Freeport’s History
lensaindonesia..com:
Lisa Pease, seorang penulis asal Amerika Serikat, membuat artikel menarik berjudul “JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur”. Artikel heboh ini dimuat dalam Majalah Probe, edisi Maret-April 1996. Kemudian, artikel ini disimpan di dalam National Archive di Washington DC, Amerika Serikat.
Paling menarik, dalam artikelnya Lisa Pease menulis penjarahan Freeport atas gunung emas di Papua sudah dimulai sejak tahun 1967. Namun, kiprah Freeport sendiri di Indonesia sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya.

Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan terjadi. Berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun selalu pula menemui kegagalan.


Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.

Pada saat itu, Gruisen bercerita bahwa dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Mountain Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan Belanda. Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan membacanya.

Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pimpinan Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lainnya di seluruh dunia. Kandungan biji tembaga yang ada di Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah.
Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.

Selama beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survei dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi. Karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah.

Dari udara, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari. Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak! luar biasa.

Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold Mountain, bukan Ersberg Mountain atau Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar dan dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal.

Pimpinan Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur menekan kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.

Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.

Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat.

Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.
Ketika itu, sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada di gunung tersebut.

Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pimpinan Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan.

Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan Kenndey merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika.

Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil siap yang bertolak-belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya.

Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C Long. Ia juga salah seorang anggota dewan direksi Freeport. Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia.
Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Caltex, sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.

Augustus C Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya. Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C Long juga aktif di Presbysterian Hospital, New York di mana dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.
Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun sementara sebagai pimpinan Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu yang di Indonesia dikenal sebagai masa yang paling krusial.

Lisa mendapakan data jika pada Maret 1965, Augustus C Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelijen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri.

Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang disebutnya sebagai “our local army friend”.

Salah satu bukti adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan ada kelompok Jenderal Suharto yang akan mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi jika hal itu benar adanya.

Setelah Soeharto berkuasa, maka Freeport dengan leluasa menjarah Gunung Ersberg yang disamping terkandung tembaga juga terdapat kandungan emas dan perak, bahkan terdapat kandungan uranium.

Skenario Pesta Kenduri Bancakan SDA Indonesia di Genewa-Swiss Tahun 1967

Quote:Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira Washingon. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang laksana peti harta karun yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika oleh Soekarno kunci peti harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti harta karun ini malah digadaikan dengan harga murah kepada Amerika Serikat.

Sejak akhir 1940-an, AS sesungguhnya sudah mengamati gerak-gerik dua tokoh PSI bernama Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko yang berasal dari kalangan elit. AS mengetahui jika keduanya menentang sikap Soekarno. Baik Soedjatmoko maupun Soemitro diketahui menyambut baik Marshall Plan. Bahkan Soedjatmoko berkata, “Strategi Marshall Plan untuk Eropa tergantung pada dapat dipergunakannya sumber-sumber alam Asia.” Koko, demikian panggilan Soedjatmoko, bahkan menawarkan suatu model Indonesia yang terbuka untuk bersekutu dengan Barat. Awal 1949, Soemitro di School of Advanced International Studies yang dibiayai Ford Foundation menerangkan jika pihaknya memiliki model sosialisme yang membolehkan dieksploitasinya kekayaan alam Indonesia oleh Barat ditambah dengan sejumlah insentif bagi modal asing (Suroso; Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008.p.301. Lihat juga Weisman dan Djojohadikoesoemo 1949: 9).

Prosesi digadaikannya seluruh kekayaan alam negeri ini kepada jaringan imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi di Swiss, November 1967.

Jenderal Suharto mengirim sat tim ekonomi dipimpin Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo. Tim ini kelak disebut sebagai Mafia Berkeley, menemui para CEO korporasi multinasional yang dipimpin Rockefeller. Dalam pertemuan inilah tanah Indonesia yang kaya raya dengan bahan tambang dikapling-kapling seenaknya oleh mereka dan dibagikan kepada korporasi-korporasi asing, Freeport antara lain mendapat gunung emas di Irian Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss ini yang kemudian dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The NewRulers of the World). Dan jangan lupa, semua COE korporasi asing tersebut dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.

Ane kutip apa yang ditulis oleh John Pilger dalam bukunya yang berjudul “The New Rulers of the World.” Ane terjemahkan seakurat mungkin ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :
“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto (Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo) yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top”.

Di halaman 39 ditulis : “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. ‘Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.

Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.”

Demikian gambaran yang diberikan oleh Brad Simpson, Jeffrey Winters dan John Pilger tentang suasana, kesepakatan-kesepakatan dan jalannya sebuah konferensi yang merupakan titik balik masuknya kembali bangsa Indonesia kepada penjajahan ekonomi gaya baru, Neo-Liberalism.
Sejak Konferensi Jenewa bulan November 1967 yang digambarkan oleh John Pilger, dalam tahun itu juga lahir UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang disusul dengan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan serangkaian perundang-undangan dan peraturan beserta kebijakan-kebijakan yang sangat jelas menjurus pada liberalsasi. Dalam berbagai perundang-undangan dan peraturan tersebut, kedudukan asing semakin lama semakin bebas, sehingga akhirnya praktis sama dengan kedudukan warga negara Indonesia. Kalau kita perhatikan bidang-bidang yang diminati dalam melakukan investasi besar di Indonesia, perhatian mereka tertuju pada pertumbuhan PDB Indonesia yang produknya untuk mereka, sedangkan bangsa Indonesia hanya memperoleh pajak dan royalti yang sangat minimal.

Bidang-bidang ini adalah pertambangan dan infra struktur seperti listrik dan jalan tol yang dari tarif tinggi yang dikenakan pada rakyat Indonesia mendatangkan laba baginya.
Bidang lain adalah memberikan kredit yang sebesar-besarnya dengan tiga sasaran : pertama, memperoleh pendapatan bunga, kedua, proyek yang dikaitkan dengan hutang yang diberikan di mark up (korupsi), dan dengan hutang kebijakan Indonesia dikendalikan melalui anak bangsa sendiri, terutama yang termasuk kelompok Mafia Berkeley untuk ekonomi dan kelompok The Ohio Boys untuk bidang politik.

Keseluruhan ini sendiri merupakan cerita yang menarik dan bermanfaat sebagai bahan renungan introspeksi betapa kita sejak tahun 1967 sudah dijajah kembali dengan cara dan teknologi yang lebih dahsyat.

Sejak tahun 1967, pengerukan dan penyedotan kekayaan alam Indonesia oleh kekuatan asing, terutama mineral yang sangat mahal harganya dan sangat vital itu dilakukan secara besar-besaran dengan modal besar dan teknologi tinggi. Para pembantunya adalah bangsa sendiri yang berhasil dijadikan kroni-kroninya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.