Dina Sulaeman: Trump, Saudi, dan Gerakan ‘Ganti Presiden’ di Indonesia
Trump baru-baru ini berpidato, “AS yang
melindungi Saudi selama ini. Kalau saja tidak ada AS, hanya dua minggu,
sudah tumbang itu kerajaan! Jadi saya bilang ke King Salman, ‘King! Anda
harus bayar perlindungan ini!’”
Buat sebagian fesbuker pengamat Timteng,
pidato Trump ini hanya membuka kedok. Selama ini kita juga tahu bahwa
AS adalah ‘centeng’-nya Saudi. Tapi, fakta ini ditutupi oleh gaya
diplomatis presiden-presiden AS sebelumnya. Sementara Trump, justru
fakta ini dipakai untuk menyombongkan dirinya.
Yang perlu dicatat di sini: mengapa
Saudi bisa runtuh hanya dua pekan kalau saja tidak ada AS? Mudah sekali
jawabannya, rezim Bani Saud yang bercorak monarkhi ini memang didirikan
atas bantuan Barat. Lebih dari itu, sejarah mencatat betapa pembentukan
rezim ini diwarnai dengan proses penaklukan dan peperangan. Selama 3
tahun terakhir rezim ini pun dengan berdarah dingin membantai warga
Yaman dan memblokade mereka sehingga menderita wabah kelaparan dan
kolera yang parah.
Selama era Perang Dunia I, Inggris
memberikan senjata dan uang kepada klan Saud (untuk membantu Inggris
melawan Ottoman), lalu pada 1915 Inggris mengakui klan Saud sebagai
pemimpin di provinsi Nejed. Saat itu, Bani Saud menerima £5,000 per
bulan dari Inggris.
Di masa yang sama, wilayah Hijaz
(termasuk di dalamnya, Mekkah dan Madinah) dipimpin oleh Sharif Hussein.
Bani Saud pun, dengan bantuan Inggris, memerangi Sharif Hussein untuk
merebut kekuasaan di Hijaz. Bani Saud yang didukung oleh pasukan berani
mati bernama “Ikhwani” yang sudah dicuci otak dengan ideologi Wahhabisme
(menghalalkan darah orang-orang yang mereka anggap kafir) menang perang
dan mendirikan kerajaan Saudi Arabia [nama klan dijadikan nama negara]
pada 1930.
Rentang waktu antara 1920-1930 diisi
dengan penaklukan berbagai wilayah yang kini menjadi bagian dari
Kerajaan Saudi Arabia. Penaklukan tanah Arab telah merenggut 400.000
nyawa, dan terusirnya lebih dari sejuta orang ke negara-negara sekitar.
Lalu, pada Perang Dunia II, AS masuk
menggantikan dominasi Inggris di Timur Tengah. Sejak 1943, AS
menggantikan Inggris dalam pemberian subsidi tahunan kepada Bani Saud.
Kemudian, sumber-sumber minyak Saudi dieksplorasi oleh
perusahaan-perusahaan AS, dan Saudi Arabia menjelma menjadi negara kaya
raya. Saudi pun menjadi pengimpor senjata terbesar buatan AS. Kini,
Trump pun dengan blak-blakan berkata, bahwa Saudi harus membayar jasa
‘centeng’ kepada AS.
Rezim Saud adalah rezim monarkhi
absolut. Jangan harap akan ada kontrol atas kinerja pemerintahan.
Demokrasi? Kritikan? Ke laut saja. Para pengkritik tak punya tempat di
Arab Saudi. Syeh Nimr yang berceramah mengecam pemerintah, tewas
diipenggal (2016). Baru-baru ini, jurnalis Saudi yang gemar mengkritik,
Jamal Khashoggi, menghilang setelah masuk ke Kedubes Saudi di Turki.
Pihak Turki setelah menyelidiki, menyatakan Jamal tewas dimutilasi oleh
orang Saudi.
Pemerintahan seperti inikah yang
diidolakan oleh pencinta khilafah? Ah, mungkin saja mereka menolak
mengaku. Tapi karakteristiknya ‘kebetulan’ sama. Hizbut Tahrir menolak
demokrasi. Mereka mendukung milisi-milisi teror di Suriah yang ingin
mendirikan khilafah dengan cara berdarah-darah. Mereka menyebut milisi
teror itu “mujahidin”. Silahkan saja mengelak, tapi rekam jejak digital
tak bisa dihapus. Artinya, mereka sejatinya mendukung cara-cara yang
sama yang dilakukan rezim Saud: sword for power (pedang adalah simbol di
bendera Saudi).
(NB: Ada faksi khilafah versi lain,
yaitu kelompok Ikhwanul Muslimin yang di Indonesia menjelma jadi partai
anu, mereka mengidolakan Erdogan. Meski beda ‘gaya’ dari Hizbut Tahrir,
tapi Suriah membuka kedok mereka: sama saja, bagi mereka kekuasaan itu
harus direbut dengan pertumpahan darah)
Untuk isu Suriah, para fans khilafah ini
membangkitkan semangat “jihad” dengan menebar hoax soal Assad dan
mazhab Syiah. Di Indonesia, mereka berteriak-teriak “ganti presiden dan
ganti sistem”, juga dengan hoax. Jejaring mereka dengan Saudi juga
terlihat jelas.
Begitu banyak ‘kebetulan’ kesamaannya.
Tapi tidak ada kebetulan dalam politik. Demikian, sekedar info untuk
yang mau berpikir.
Sumber Akun Facebook Dina Sulaeman
Post a Comment