PADA SAAT ITU INDONESIAPUN MENANGIS DENGAN DITANDATANGANINYA FREEPORT
Payung hukum formal bagi Freeport untuk beroperasi di Indonesia adalah Undang-undang No 1 tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, yang disahkan pada tanggal 10 Januari 1967, saat Indonesia secara teori masih dipimpin oleh Presiden Soekarno. Namun sangat disangsikan apakah Soekarno pernah meneken pengesahan Undang-undang tersebut, dan seandainya pernah meneken, apakah dengan sukarela ataukah dengan tekanan dan paksaan.
Freeport Sulphur adalah perusahaan asing PERTAMA yang masuk dan beroperasi di Indonesia dengan dasar UU PMA 1967 ini. Dan bahkan menurut seorang penulis Amerika, Bradley R. Simpson, UU PMA 1967 ini sejak awal perancangannya, telah melibatkan pihak asing, Amerika Serikat khususnya, dalam merumuskan, menyusun dan mengkoreksi pasal-demi pasal sampai pada saat pengesahannya (Simpson, R. Bradley , Economic with Guns : Amerika Serikat, CIA dan Munculnya Rezim Pembangunan Otoriter Orde Baru, Gramedia, Jakarta 2011, hal. 311- 314). Sebuah perusahaan konsultan Amerika, yang berkantor pusat di Denver, Van Sickle Associates, telah “membantu” para pejabat ekonomi Orde Baru (dengan mengabaikan sama sekali keberadaan Soekarno yang notabene saat itu adalah Presiden Indonesia yang resmi dan sah) untuk menyusun RUU PMA ini sejak bulan September tahun 1966, empat bulan sebelum disahkan menjadi Undang-undang. Antara Freeport dan UU PMA 1967 ini memang hubungannya sangat erat, kait-mengkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. UU PMA ini boleh jadi bukan hanya merupakan Undang-undang yang menguntungkan bagi para kapitalis asing, namun lebih jauh lagi- mereka (Freeport dkk) juga terlibat dalam proses kelahirannya-. Dan memang menurut penulis diatas (Bradley) , hanya dalam hitungan bulan setelah meletusnya peristiwa G 30 S dan melemahnya posisi Presiden Soekarno, tepatnya pada bulan April 1966, pihak Freeport telah memberi tahu Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, bahwa mereka (Freeport) membutuhkan seperangkat aturan hukum yang “pro pengusaha” sebagai syarat investasi mereka di Indonesia, yaitu perjanjian perlindungan penanaman modal, iklim investasi yang “layak” serta hak konsesi penuh tanpa adanya keharusan bagi – hasil (Bradley, hal. 308) . Freeport dan para kapitalis asing yang serakah ini benar-benar melihat kepemimpinan Presiden Soekarno yang anti “barat”, anti kapitalis dan anti kolonialis ini, sebagai batu sandungan yang sangat besar bagi ambisi-ambisi kapitalistik mereka, dan kejatuhan Soekarno adalah hari bahagia yang paling dinantikan.
Dan saat itu akhirnya tiba, setelah Presiden Soekarno akhirnya bisa dipaksa untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Jendral Soeharto pada tanggal 12 Maret 1967 - sebulan setelah UU PMA disahkan – dan sebulan sebelum kontrak karya Freeport ditekan, pada tanggal 7 April 1967, 45 tahun yang lalu. (Sumber foto : The Netherlands National Press Agency/ANP, April 1967)
Post a Comment