MADZHAB AZ ZHAHIRI MADZHAB LAINNYA YANG DIAKUI RISALLAH AMMAN
A. Latar Belakang
Dalam masyarakat kita di Indonesia ini berkembang berbagai macam aliran yang berkenaan dengan masalah fiqh. Kendatipun mayoritas umat Islam mengaku bermadzab Syafi’I, tetapi madzab lainpun sedikit banyaknya ada pengaruhnya terhadap umat Islam di sini. Pemikiran ini didasarkan atas kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat kita sehari-hari, bahwa ada saja terlihat perbedaan pendapat yang berkenaan dengan masalah furu’ (cabang-cabang), baik mengenai ibadah, muamalah, dan lain-lainnya.
Perbedaan pendapat yang paling pokok dalam madzab terletak pada penafsiran teks-teks. Di satu titik ekstrim, tedapat kaum bathiniyah, yang menganggap bahwa dalam banyak kasus, sisi eksoteris yang teramati atau yang nampak (Dhahir), menunjukkan sebuah makna batin (bathin) yang kerap dikaitkan dengan signifikansi osoteris, mistis, dan perlambang dari ungkapan keluar.
Kebalikan dari bathiniyah, dalam memahami kandungan nash Al-Qur’an dan sunah. Madzab ini hanya mengambil dzahir (lahir) lafal nash dan sama sekali tidak melakukan takwil terhadap nash tersebut.
Pemikiran fiqh yang kemudian memunculkan alirannya (madzhab) bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang terkenal hingga sekarang ini hanyalah 4 saja. Padahal banyak juga yang mengenal mazhab selain yang 4 seperti mazhab al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid, juga mazhab al-Zaidiyah yang didirikan oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin , juga ada mazhab al-Zahiriyah yang didirikan oleh Daud bin Ali al-Zhahiri dan mazhab-mazhab lainnya.
Sedangkan yang dikenal 4 mazhab sekarang ini adalah karena keempatnya merupakan mazhab yang telah terbukti sepanjang zaman bisa tetap bertahan, padahal usianya sudah lebih dari 1.000 tahun. al-Hanafiyah, al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah adalah empat dari sekian puluh mazhab yang pernah berkembang di masa kejayaan fiqh dan mampu bertahan hingga sekarang ini. Di dalamnya terdapat ratusan tokoh ulama ahli yang meneruskan dan melanggengkan madzhab gurunya. Dan masing-masing memiliki pengikut yang jumlahnya paling besar, serta mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama.
Namun, saat ini mulai kembali banyak orang yang mengkaji lebih mendalam tentang permasalahan Islam melalui jalur pemikiran fiqh Daud al-Zhahiri. Hal ini terjadi karena madzhab al-Zhahiri adalah salah satu diantara madzhab fiqh kalangan ahlusunnah wal jamaah yang didirikan oleh Abu Sualiman Daud Al-Ashfahani Azh-zhahiri yang lahir tahun 202 H di Kufah Iraq dan wafat di tahun 270 H di Baghdad. Nama beliau sering disingkat menjadi Daud al-Zhahiri. Oleh sebab itulah, melalui tulisan ini penulis ingin mencoba untuk mengkaji secara mendalam dan sitematis tentang fiqh Daud al-Zhahiri ini.
Rumusan Masalah.
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapatlah dirumusakan masalahnya, yakni ; bagaimanakah pola pemikiran fiqh yang diterapkan oleh Daud al-Zhahiri ?
A Latar belakang dan Sejarah Mazhab Az-Zhahiri
Daud al-Zhahiri lahir di Kufah pada tahun 200 H/815 M, dan wafat di Baghdad pada tahun 270 H/883 M. Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafiz, dan pendiri Madzhab al-Zhahiri. Nama lengkapnya Daud bin Ali bin Khalaf al-Ishfahani. Tokoh yang dijuluki Abu Sulaiman ini dibesarkan dan berdomisili di Baghdad sampai meninggal dunia.
Pada mulanya, ia merupakan penganut fanatik madzhab al-Syafi’i meskipun ayahnya seorang penganut madzhab Abu Hanifah. Namun ia belajar tidak langsung kepada imam al-Syafi’i, tetapi dari murid dan sahabatnya, karena ia baru berusia 4 tahun ketika imam al-Syafi’i wafat. Guru-gurunya antara lain Ishaq bin Rahawaih (161-238 H), seorang ulama Khurasan (Iran) yang mencapai derajat hafiz dalam bidang hadits, serta penyusun kitab hadits “al-Musnad”.
Di samping mempelajari fiqh al-Syafi’i, ia juga mempelajari hadits dari para muhaddits semasanya. Ia menerima hadits dari orang-orang yang bermukim di Baghdad, kemudian melawat ke Nisabur, Iran, dan meriwayatkan hadits dari para muhaddits negeri tersebut. Ia menyusun hadits-hadits yang diriwayatkannya di dalam bukunya sehingga (ketika berorientasi ke fiqh al-Zhahiri), fiqh-nya sesungguhnya merupakan kumpulan hadits yang diriwayatkannya sendiri.
Untuk membangun madzhabnya, Daud al-Zhahiri menulis berbagai karya, antara lain :
1. Kitab al-Hujjah (buku tentang argumentasi).
2. Kitab al-Khabar al-Mujib li al-‘Ilm (buku mengenai informasi keilmuan).
3. Kitab al-Khusus wa al-‘Umum (buku tentang penjelasan mengenai lafal khusus dan umum).
4. Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal (buku mengenai lafal yang jelas dan tidak jelas pengertiannya).
5. Kitab Ibthal al-Qiyas (buku yang membahas masalah penolakn terhadap kias).
6. Kitab Ibthal al-Taqlid (buku yang berisi penjelasan mengenai larangan bertaklid).
7. Kitab Khabar al-Wahid (buku tentang hadits ahad).[2]
Pemikiran Fiqh Daud al-Zhahiri.
Fuqaha’ sepakat mengatakan bahwa Daud al-Zhahiri merupakan orang pertama yang berpendapat bahwa syari’at merupakan nash yang zhahir (nyata). Oleh sebab itu, alirannya disebut madzhab al-Zhahiri, sebuah sebutan yang selalu disandarkan kepada namanya. Mazhab ini pernah berkembang di Andalusia dan mencapai puncak keemasannya di abad kelima hijriyah. Namun di abad kedelapan, mazhab ini punah dan habis.[4]
Daud al-Zhahiri mendasarkan madzhabnya atas pengamalan zhahir nash al-Qur’an dan al-sunah. Ia berpendapat bahwa keumuman nash al-Qur’an dan al-sunah dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak ada nash yang menjelaskan suatu masalah, ia menerapkan ijma’ termasuk ijma’ shahabat. Sedangkan bila tidak ada juga dalam ijma’, biasanya mereka menggunakan metode istishab yaitu kaidah bahwa hukum asal sesuatu itu mubah (boleh). Ia menolak metode qiyas, istihsan, sad al-zari’ah, ra’yu dan ta’lil nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil ahkam (hukum). Ia pun menolak dalil taqlid.[5]
Berikut ini beberapa pandangannya tentang ijma’, qiyas dan taqlid.[6]
1. Tentang Ijma’.
Ijma’ yang dimaksud oleh Daud al-Zhahiri hanyalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan sahabat. Ijma’ seperti inilah yang dapat dijadikan hujjah. Sesudah generasi mereka sudah tidak ada lagi ijma’. Alasannya adalah, mengatahui pendapat yang disepakati oleh para mujtahid di masa sahabat adalah mungkin karena mereka dikenal, berjumlah sedikit, dan mudah untuk berkumpul guna membahas suatu masalah secara bersama. Sedangkan jumlah mujtahid pasca generasi sahabat demikian banyak dan tersebar diseluruh penjuru dunia, sehingga tidak mungkin untuk mengetahui pendapat mereka.
Pendapat di atas berbeda dengan pendapat madzhab lain yang tidak membatasi ijma’ pada kesepakatan para mujtahid dari kalangan sahabat, tetapi mencakup tabi’in.
2. Tentang Qiyas.
Pada dasarnya Daud al-Zhahiri menolak penggunaan qiyas dan ra’yu. Ia berpendapat bahwa hukum yang dibentuk dengan qiyas adalah hukum ‘aqliah (berdasarkan akal), sedangkan agama bersifat Ilahiah. Seandainya agama adalah ‘aqliah, tentu hukum yang berlaku akan berbeda dengan hukum yang dibawa oleh al-Qur’an dan al-sunah. Namun, kemudian ia menerapkan qiyas. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengalamannya di dalam menetapkan hukum. Pengalaman itu telah membuatnya meneliti kembali metode yang digunakan oleh ahl al-hadits dan ahl al-ra’yi. Mereka berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunah serta menolak qiyas dan ra’yu sama sekali. Sementara itu, praktek peradilan menuntut adanya perangkat-pembantu lainnya, seperti qiyas ketika referensi dari al-Qur’an dan sunah tidak memadai. Meskipun begitu, menurut pendapatnya, qiyas boleh digunakan hanya apabila nash menyatakan keharaman atau kehalalan sesuatu serta menjelaskan ‘illat-nya. Namun, apabila nash tidak menjelaskan ‘illat (alasan hukum), maka seorang mujtahid tidak berhak untuk membuatnya sendiri, lalu melakukan qiyas dengannya. Dalam hal ini Allah swt berfirman :
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ ذَلِكُمُ اللهُ رَ بِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ {الشورى : 10}
Artinya : “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.”[7]
Artinya, bukan kepada ra’yu dan qiyas. Adapun ia menyebut qiyas yang digunakannya ini dengan nama dalil. Namun, dalil dalam pandangannya termasuk dalam ruang lingkup al-istidlal al-fiqh (deduksi dalil fiqh) yang bersandar pada nash yang jelas, bukan termasuk dalam ruang lingkup qiyas.
Dalam deduksi dalil terdapat banyak teknik. Sebagai contoh, nash mengemukakan dua premis tanpa mengemukakan kesimpulannya : “Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar adalah haram” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud dari Ibnu Umar). Kesimpulannya ialah bahwa setiap yang memabukkan adalah haram. Hukum ini tidak ditemukan melalui qiyas, tetapi melalui dilalah alfaz (indikasi lafal) atau (seperti diistilahkan oleh para ahli mantik) al-qiyas al-idmari (qiyas yang menyembunyikan). Teknik lain adalah ta’mim al-syart (generalisasi kata kerja syarat). Umpamanya terdapat nash dari firman Allah swt :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ اْلأَوَّلِينَ {الأنفال : 38}
Artinya : “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu”.”[8]
Nash ini turun berkenaan dengan orang-orang kafir, tetapi hukumnya berlaku bagi setiap orang yang melakukan maksiat. Artinya, apabila orang yang melakukan maksiat berhenti dan bertobat dari perbuatannya, maka ia akan mendapat ampunan dari Allah swt. Generalisasi ini datang dari zhahir-nya nash, bukan dari qiyas.
3. Tentang Taqlid.
Daud az-Zahiri melarang taqlid secara mutlak. Orang yang sangat awam pun harus berijtihad. Jika tidak mampu berijtihad, ia harus bertanya kepada orang lain. Akan tetapi, ia baru boleh menerima pendapat orang lain itu jika disertai dengan dalil dari al-Qur’an, atau al-sunah, atau ijma’. Jika orang itu tidak mengemukakan dalilnya, maka ia harus bertanya kepada orang lain lagi.
Adapun hasil pemikiran fiqh-nya adalah :[9]
1. Membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan di dalam hadis Nabi saw, yaitu emas, perak, jelai, gandum, buah kurma, dan garam (HR. Muslim). Menurut fuqaha’ mazhab lain, pengharaman riba terhadap keenam jenis itu mempunyai ‘illat dan karenanya dapat dilakukan qiyas terhadap barang lain yang mempunyai kesamaan ‘illat dengannya. Daud az-Zhahiri menolak pendapat fuqaha’ tersebut. Menurutnya, Rasulullah saw telah membatasi barang-barang yang dapat ditakar, dimakan, dan disimpan sebagai makanan pokok, pada empat jenis. Seandainya riba berlaku pada semua barang yang ditimbang atau dimakan, tentu ia akan mengatakan, umpamanya, “janganlah kamu menjual barang-barang yang dimakan dengan barang-barang yang dimakan secara riba.” Kata-kata ini lebih ringkas dan lebih berfaedah. Karena ia tidak mengatakan demikian, tetapi hanya menyebut kempat jenis, maka pengharaman riba terbatas pada keempat jenis tersebut.
2. Orang yang dalam keadaan junub dan tidak mempunyai wudhu boleh menyentuh mushaf al-Qur’an. Pendapat ini mempunyai hubungan dengan pendapatnya tentang al-Qur’an dalam surah al-Waqi’ah ayat 78-79, Allah swt menyebutkan al-Qur’an antara lain sebagai berikut, “la yamassuhu illa al-mutahharun” (tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan) dan “fi kitab maknum” (pada kitab yang terpelihara [Lauh Mahfuz]). Menurut pendapatnya, al-Qur’an yang digambarkan oleh Allah swt dengan firman-Nya tersebut bukanlah makhluk, melainkan kalam Allah yang merupakan satu kesatuan dengan Zat-Nya. Sementara itu, al-Qur’an dalam arti tulisantulisannya, yang ada pada manusia serta boleh disentuh oleh orang yang haid dan orang yang junub adalah makhluk.
Abu al-Faraj Muhammad bin Abi Ya’qub Ishaq al-Waraq al-Baghdadi yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Nadim (w. 385 H/995 M), penyusun buku “al-Fihris” menyebutkan bahwa sejumlah besar topik fiqh karya Daud al-Zhahiri seperti tentang bersuci, haid, shalat, haji, nikah, dan thalak. Namun semua karya Daud al-Zhahiri ini menurut informasi dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah (Ensiklopedi Islam) sudah tidak ada lagi.[3] Akan tetapi dari jalan madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut membuat kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer dikalangan ahli fiqh yaitu “al-Muhalla” dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam” dalam masalah ushul fiqh.
Mazhab az-Zhahiri merupakan salah satu dari ulama fikih yang pernah ada dan muncul pertama kali di Spanyol dan Afrika Utara. Selain nama Az-Zhahiri, mazhab ini juga dikenal dengan nama mazhab al-Daudi. Para pengikut mazhab ini disebut Ahl az-Zhahir atau az-Zahiriyah (penganut ajaran lahiriah). Pemikiran-pemikiran fikih mazhab ini sampai sekarang masih dapat ditemukan, bahkan sering dijadikan bahan perbandingan ketika melakukan pembahasan disekitar masalah-masalah fikih dizaman kontemporer ini. Mazhab az-Zhahiri berkembang sejak abad ketiga sampai abad kedelapan .
Mazhab az-Zhahiri dibangun oleh seorang fakih besar yang bernama Daud bin Khalaf al-Isfahani yang memiliki nama julukan Abu Sulaiman (Daud az-Zhahiri)
Daud az-Zhahiri sebagai pengikut mazhab as-Syafi’i, dengan tekun mendalami fikih dan ushul fikih (sitem ijtihad) Imam as-Syafi’i dan murid-muridnya. Dari penelitian yang mendalam nampak bagi Daud az-Zhahiri bahwa dalam berijtihad Imam al-Syafi’i dan murid-muridnya ternyata menggunakan nalar (rasio). Penggunaaan nalar secara intensif dan efektif oleh Imam as-Syafi’i dan pengikutnya terlihat jelas ketika mereka menggunakan qias sebagai pendekatan dalam berijtihad. Oleh karena itu, Imam Daud az-Zhahiri menilai bahwa mazhab as-Syafi’i dengan pendekatan qias dan mazhab Hanafi dengan pendekatan istikhsan sesungguhnya relative sama dengan penggunaan akal atau nalar ketika berusaha menggali dan menetapkan hukum Islam.
Disamping itu, mulai abad kedua H. bermunculan berbagai aliran dalam rangka memahami sumber hukum Islam. Aliran muktazilah yang lebih menonjol dalam bidang teologi terkenal dengan pemikiran tentang kemampuan akal aliran batiniah. Satu sekte dalam mazhab Syiah , terkenal sebagai kelompok yang menakwilkan ayat al-Qur’an secara berlebihan. Kedua aliran tersebut menurut pemikiran Imam Daud az-Zhahiri sudah melampui batas dalam hal menggunakan akal dalam memahami nash.
Ketika akal diperlakukan sebagai sesuatu yang memilki kekuatan yang begitu tinggi, termasuk dalam mazhab as-Syafi’i dan mazhab Hanafi, Imam Daud az-Zhahiri menanggapinya dengan membangun mazhab baru, suatu mazhab yang justru membatasi secara ketat intervensi akal terhadap wahyu ketika terjadi proses ijtihad. Penganut mazhab ini menggali hukum dari nash dan sunnah sebatas yang dapat ditangkap oleh makna zahir (makna yang jelas dan kuat) sementara makna yang marjuh (makna yang tidak jelas dan tidak kuat) mereka tolak. Penakwilan (penjelasan) hanya dilakukan ketika ada indikasi (qarinah) atau dalil yang mendukung penakwilan tersebut. Namun demikian, bukan berarti mazhab az-Zhahiri menolak kehadiran akal sebagai media memahami nash. Hanya saja sikap lebih berhati-hati mereka lebih dominan.
B. Perkembangannya Mazhab Az-Zhahiri
Pada abad keempat H. mazhab Zhahiri ttidak hanya berkembang di Irak dan Iran, tetapi juga sampai pada wilayah Sind dan Oman.Di dunia timur mazhab az-Zhahiri sebagai mazhab yang memiliki pengikut berlanjut sampai pertengahan abad kelima. Pada saat itu muncul Husain ibn Muhammad ibn Ya’la al-Farra’ al-Hanbali (w.458 H/1056), tokoh penganut mazhab Hanbali, ahlu ushul fikih dan berpengetahuan luas dan mendalami dalam bidang al-Qur’an dan Hadis, dalam kapasitas sebagai hakim atau qadi, berhasil menggeser posisi mazhab az-Zhahiri dan saat itu pamor mazhab az-Zhahiri mulai menurun dan sebaliknya, mazhab Hanbali mulai menaik.
Pada abad kelima yakni saat mazhab az-Zhahiri mulai mundur didunia belahan Timur, tetapi sebaliknya didunia belahan barat, tepatnya di Spanyol, justru muncul Ibn Hazm menyebarkan dan membangun mazhab az-Zhahiri, sehinnga mazhab az-Zhahiri mrnjadi besar dan mempunyai pengikut yang banyak.
Munculnya Ibn Hazm dibarat bukan berarti mazhab az-Zhahiri baru di Spanyol pada periode Ibn Hazm tersebut. Pada abad ketiga bagi Ibn Khallad, Ibn Waddah, dan Qasim bin Asbag. Ketiganya ahli fikih dari Spanyol, sekembalinya dari menuntut ilmu dari dunia timur, membawa ajaran mazhab az-Zhahiri ke Spanyol. Mereka dimaksud adalah Abdullah bin Qasim bin Qasim as-Syyar (w. 272 H.) dam Munzir bin Sa’id al-Khayyar. tokoh yanh disebut terakhir ini merupakan seorang mujtahid yang memiliki kebebasan berpikir dan menjadi guru utama bagi Ibn Hazm dan mempelajari dan mendalami ajaran Mazhab az-Zhahiri.
Ibn Hazm merupakan tokoh yang menjadikan mazhab az-Zhahiri berkembang pesat di dunia barat. Ibn Hazm menulis berbagai karya mengkader beberapa orang muridnya sebagai usaha memperjuangkan dan mengembangan mazhab az-Zhahiri, sehingga, menurut penilaian Muhammad Abu Zahrah (fakih kontemporer Mesir), tidak dapat satu suku di Spanyol yang tidak memilki tokoh bermazhab az-Zhahiri dan tidak ada pelosok Spanyol yang tidak menganut mazhab az-Zhahiri.
Daerah-daerah selain Spanyol yang sempat dijangkau oleh murid-murid Ibn Hazm dalam rangka menyebarkan dan mengembangan mazhab az-Zhahiri antara lain adalah : 1) Maroko (Magrib), 2) Baghdad, 3) Iskandariah (Mesir).
Perkembangan mazhab az-Zhahiri di Suriah tidak hanya sebatas pada sisi ajaran keagamaan saja, tetapi juga pada masalah politik praktis. Pada tahun 788 H. sebagian dari tokoh mazhab ini, di bawah pimpinan Syihabbuddin Abu Hasyim Ahmad Ibnu Muhammad Bin Ismail Bin Abdur Rahman Bin Yusuf (704-792 H.), melakukan pemberontakan terhadap pemerintah mamluk yang berkuasa pada saat itu. Pemberontakan tersebut dapat di gagalkan oleh pemerintah dan pelaku pemberontakan di tangkap. Akan tetapi, tidak semua tokoh mazhab az-Zhahiri ikut dalam pemberontakan tersebut, sehingga mereka terhindar dari penangkapan. Diantara tokoh yang tidak ikut adalah Musa Bin Amir Syarafuddin az-Zanji dan Ahmad bin Muhammad Bin Mansur Abdullah Syihabuddin al-Asymuni.
Pada akhir abad ke-8, awal abad ke-9 H., madzhab az-Zhahiri mengalami kemerosotan jumlah pengikut. Penyebab kemerosotan itu antara lain disebabkan oleh munculnya buku al-Khutat (catatan-catatan sejarah) yang memuat informasi negatif mengenai madhab az-Zhahiri. Buku tersebut ditulis oleh Ahmad Bin Ali Bin Abdul Qadir Abu al-Abas al-Husain al-Ubaidi Taqiyuddin al-Maqrizi, ahli sejarah klasik dari Persia.
Adapun yang mendukung penyebaran mazhab az-Zhahiri antara lain adalah:
(1) Daud az-Zhahiri menulis beberapa karya yang memuat pendapatnya yang dilengkapi dalil yang cukup.
(2) jasa murid-muridnya yang berfungsi sebagai penerus, pendukung, dan penyebar mazhabnya.
(3) terdapat orang-orang yang berpengaruh didalam pemerintahan Bani Umayyah, antara lain adalah Qadi Abu al-Qasim Ubaidillah bin Ali an-Nakha’i (w. 376 H) yang menjadi hakim di Khurasan, Iran, yang menganut mazhab ini.
C. Metode Istimbath Mazhab Az-Zhahiri
Inti dari ajaran dan paham yang berkembang dalam mazhab az-zhahiri berkisar pada persoalan hukum Islam dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami sumber tersebut. Konsekuensi logis dari pendapat tersebut adalah adanya perbedaaan pendapat dalam masalah fikihnya.
Seperti telah disebutkan, Imam Daud az-Zhahiri menolak al-qias dan mengajukan al-Dalil sebagai cara memahami nash. Dalam cara mempertegas ijtihadnya, Imam Daud az-Zhahiri berkata :
اِنَّ اْلاُصُوْلَ : أَلْكِتَابُ وَ السُنَّةُ وَاْلإِ جْمَاعُ
“Sumber hukum pokok hanyalah al-Qur’an, Sunnah, Ijmak.”
Bagi penganut az-Zhahiri keumuman nash al-Qur’an sudah cukup menjawab semua tantangan dan masalah. Pendirian tersebut berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl: 89.
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَى هَؤُلاءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“ (dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
Bagi Imam Daud Az-Zhahiri, makna yang digunakan dari al-Qur’an dan sunnah adalah makna zhahir atau makna tersurat; ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari ‘illat seperti yang dilakukan oleh ulama yang mengakui al-Qias sebagai cara ijtihad, seperti Imam ibn Idris al-Syafi’i. menurut Imam Daud az-Zhahiri, Syariat Islam tidak boleh diintervensi oleh akal.
Ulama yang mengakui al-Qias biasanya ingin mengetahui makna tersirat dari suatu ketentuan al-Qur’an dan sunnah. Dalam rangka mengetaui dalil dibalik teks, ulama melakukan pengetahuan sehingga diketaui ‘illat hukumnya, baik ‘illat yang terdapat dalam Nash secara tekstual (‘illat manshuhah) maupun ‘illat yang diperoleh setelah melalui penelitian (‘illat mustanbathah). Bagi Imam Daud az-Zhahiri, tujuan penentuan syari’ah adalah Ta’abbudi (bukan ta’aquli).
Adapaun al-dalil yang merupakan langkah-langkah ijtihad yang ditempuh oleh Imam Daud az-Zhahiri dibangun oleh Ibnu Hazm.
Ad-dalil adalah suatu metode pemahaman suatu nash yang menurut ulama mazhab az-Zhahiri, pada hahikatnya tidak keluar dari nas dan atau ijmak itu sendiri. Dengan pendekatan ad-dalil dilakukan pendekatan kepada nash atau ijmak melalui dilalah (petunjuknya) secara langsung tanpa harus mengeluarkan ‘illatnya terlebih dahulu. Dengan demikian, konsep ad-Dalil tidak sama dengan qias, sebab untuk melakukan qias diperlukannya kesamaan ‘illat secara kasus asal dan kasus baru. Sedangkan pada ad-Dalil tidak diperlukan mengetahui ‘illat tersebut.
8. Contoh Hasil Istimbath Hukum Mazhab Zhahiri
Diantara pendapat Daud az-Zahiri adalah sebagai berikut :
1. Orang yang junub boleh menyentuh Al-Qur’an
Imam Abu Daud berpendapat bahwa Al-Qur’an yang tidak disentuh kecuali oleh yang disucikan (Q.S. al-waqi’ah: 79)
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”
Adalah al-Qur’an yang ada di lauh al-Mahfuzh . Menurut pendapatnya, Al-Qur’an yang digambarkan oleh Allah SWT dengan firman-Nya tersebut bukanlah makhluk, melainkan kalam Allah yang merupakan satu kesatuan dengan dzat-Nya. Sedangkan al-Qur’an yang ditulis dalam kertas dan beredar dikalangan manusia adalah makhluk; ia (mushaf) boleh disentuh oleh yang sedang haid dan junub.
2. Membatasi pengharaman riba
Imam Daud az-Zhahiri membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan dalam hadis Nabi SAW. Barang itu adalah emas, perak, jelai, gandum, buah kurma, dan garam. Menurut fuqaha mazhab lain, pengharaman riba pada enam jenis itu mempunyai ilat dan karenanya dapat dilakukuan qias terhadap barang yang lain yang mempunyai kesamaan ilat dengannya.
Menurut imam Maliki, ‘illat pada gandum, jelai, dan buah kurma adalah bahwa ketiganya dapat ditakar, dimakan, dan disimpan sebagai makanan pokok, lauk-pauk, dan buah-buahan. Ilat ini terdapat juga pada beras, kacang kedelai, dan kacang tanah; maka pengharaman riba juga berlaku kepada ketiga jenis barang tersebut.
Menurut fukaha kufah, ilat bagi keenam barang itu adalah “dapat ditimbang dan ditakar”. menurut Imam as-Syafi’i ilat pada gandum adalah “dapat dimakan, baik disimpan, ditakar, atau ditimbang maupun tidak“ sedangkan ilat pada emas dan perak adalah “memiliki nilai ganti dan harga jual.“
Daud az-Zhahiri menolak pendapat fukaha tersebut. Menurutnya, rosul telah membatasi barang-barang yang dapat ditakar, dikaman, dan disimpan sebagai makanan pokok, pada empat jenis. Seandainya riba berlaku pada semua barang yang ditimbang atau dimakan, tentu ia akan mengatakan, umpanya “janganlah kamu menjual barang-barang yang dimakan dengan barang-barang yang dimakan secara riba“ kata-kata ini lebih ringkas dan lebih berfaedah. Karena ia tidak mengatakan demikian, tetapi hanya menyebutkan empat jenis, maka pengharaman riba terbatas keempat jenis tersebut.
3. Dalam memahami hadis :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَ كُلُّ خَمْرِ حَرَامٌ
“tiap-tiap yang memabukkan itu khamar, dan tiap- tiap khamar itu haram”
Mereka tidak memerlukan qias ataupun natijah (kesimpulan), yaitu:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“tiap-tiap yang memabukkan hukumnya haram”.
Jadi untuk menetapkan bahwa tiap-tiap yang memabukkan itu haram, tidak diperlukan qias.dari lafal hadis itu pun sudah dapat diambil suatu kesimpulan tentang keharaman benda-benda yang memabukkan.
Demikian juga halnya dalam memahami ayat
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir; jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu …….” (QS. Al-Anfal: 38)
Nash tersebut diatas memang ditujukan kepada orang-orang yang kafir. Tetapi pengertian yang dapat difahami dari lafalnya, termasuk juga orang-orang yang melakukan perbuatan maksiat. Bila orang yang berbuat maksiat itu bertaubat, maka orang ini pun akan mendapat pengampunan dari Allah. Cara memahami ayat tersebut, cukup melihat zhahir nash saja, tidak perlu dengan qias.
4. Menurut az-Zahiri, seorang istri yang mampu (kaya), wajib membiayai suaminya yang miskin (kurang mampu). jalan pikiran mazhab ini adalah bahwa suami istri waris-mewarisi apabila salah seorang meninggal dunia. Sangat logis apabila dalam mengatasi biaya hidup rumah tangga pun saling membantu. Sesuai dengan Surat al-Baqarah ayat 228:
.......وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ...........
“......Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf”.
Selain dari ayat tersebut, juga berdasarkan ayat surat al-Maidah ayat 2:
.......وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى........
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa”
Ayat tersebut memerintahkan agar tolong menolong dalam mengerjakan kebaikan. Menolong dan membantu suami dalam dalam keadaan susah dan sulit mendapatkan biaya hidup, adalah termasuk tolong menolong dalam mengerjakan kebajikan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mazhab az-Zhahiri dibangun oleh seorang fakih besar yang bernama Daud bin Khalaf al-Isfahani yang memiliki nama julukan Abu Sulaiman (Daud az-Zhahiri)
Yang mendukung penyebaran mazhab az-Zhahiri antara lain adalah: (1) Daud az-Zhahiri menulis beberapa karya yang memuat pendapatnya yang dilengkapi dalil yang cukup. (2) jasa murid-muridnya yang berfungsi sebagai penerus, pendukung, dan penyebar mazhabnya. (3) terdapat orang-orang yang berpengaruh didalam pemerintahan Bani Umayyah, antara lain adalah Qadi Abu al-Qasim Ubaidillah bin Ali an-Nakha’i (w. 376 H) yang menjadi hakim di Khurasan, Iran, yang menganut mazhab ini.
Seperti telah disebutkan, Imam Daud az-Zhahiri menolak al-qias dan mengajukan al-Dalil sebagai cara memahami nash. Bagi Imam Daud Az-Zhahiri, makna yang digunakan dari al-Qur’an dan sunnah adalah makna zhahir atau makna tersurat; ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari ‘illat seperti yang dilakukan oleh ulama yang mengakui al-Qias sebagai cara ijtihad, seperti Imam ibn Idris al-Syafi’i. menurut Imam Daud az-Zhahiri, Syariat Islam tidak boleh diintervensi oleh akal.
Diantara pendapat Daud az-Zahiri adalah sebagai berikut : Orang yang junub boleh menyentuh Al-Qur’an, Imam Daud az-Zhahiri membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan dalam hadis Nabi SAW, Menurut az-Zahiri, seorang istri yang mampu (kaya), wajib membiayai suaminya yang miskin (kurang mampu).
Berdasarakan seluruh pemaparan di atas, maka dapatlah disimpulkan isi dari makalah ini, yakni :
1. Daud al-Zhahiri adalah seorang mujtahid baru dengan membentuk madzhab sendiri setelah adanya empat madzhab yang mu’tabar. Nama madzhabnya adalah madzhab al-Zhahiri.
2. Pemikiran fiqh Daud al-Zhahiri merupakan pengamalan zhahir nash al-Qur’an dan al-sunah. Ia berpendapat bahwa keumuman nash al-Qur’an dan al-sunah dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak ada nash yang menjelaskan suatu masalah, ia menerapkan ijma’ termasuk ijma’ shahabat.
3. Daud al-Zhahiri menolak metode qiyas, istihsan, sad al-zari’ah, ra’yu dan ta’lil nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil ahkam (hukum). Ia juga menolak dalil taqlid.
REFERENSI
https://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Zhahiri
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/07/03/nqwmc923-menelusuri-mazhab-azzahiri-kaum-tekstual-pengusung-sunah
http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Artikel/Efbe/BIOGRAFI%20DAN%20METODE%20USHUL%20FIQH%20IMAM%20DAUD%20AL-ZHAHIRI.htm
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan, 2001.
Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab. Semarang: PT Pustaka rizki Putra, 1997.
Saeful Rijal, Lc, www.Saeful-Rijal-CintaRosul.blogspot.com/Ijtihad/Zhahiri//cc/c/s/(Disampaikan dalam diskusi ISC, tanggal 15 Oktober 2009), Diakses pada tenggal 23 Desember 2009.
PM, Abdullah. Abd-allah.blogspot/sejarah/zhahiriyah/co.id. Diakses pada tanggal 23 Desember 2009.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos. 1997.
Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006
Abu Qisthi, “Mazhab Zahiri”, dalam http://www.syariahonline.com, 7 Januari 2009
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press, 2006
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 56
Dalam masyarakat kita di Indonesia ini berkembang berbagai macam aliran yang berkenaan dengan masalah fiqh. Kendatipun mayoritas umat Islam mengaku bermadzab Syafi’I, tetapi madzab lainpun sedikit banyaknya ada pengaruhnya terhadap umat Islam di sini. Pemikiran ini didasarkan atas kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat kita sehari-hari, bahwa ada saja terlihat perbedaan pendapat yang berkenaan dengan masalah furu’ (cabang-cabang), baik mengenai ibadah, muamalah, dan lain-lainnya.
Perbedaan pendapat yang paling pokok dalam madzab terletak pada penafsiran teks-teks. Di satu titik ekstrim, tedapat kaum bathiniyah, yang menganggap bahwa dalam banyak kasus, sisi eksoteris yang teramati atau yang nampak (Dhahir), menunjukkan sebuah makna batin (bathin) yang kerap dikaitkan dengan signifikansi osoteris, mistis, dan perlambang dari ungkapan keluar.
Kebalikan dari bathiniyah, dalam memahami kandungan nash Al-Qur’an dan sunah. Madzab ini hanya mengambil dzahir (lahir) lafal nash dan sama sekali tidak melakukan takwil terhadap nash tersebut.
Pemikiran fiqh yang kemudian memunculkan alirannya (madzhab) bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang terkenal hingga sekarang ini hanyalah 4 saja. Padahal banyak juga yang mengenal mazhab selain yang 4 seperti mazhab al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid, juga mazhab al-Zaidiyah yang didirikan oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin , juga ada mazhab al-Zahiriyah yang didirikan oleh Daud bin Ali al-Zhahiri dan mazhab-mazhab lainnya.
Sedangkan yang dikenal 4 mazhab sekarang ini adalah karena keempatnya merupakan mazhab yang telah terbukti sepanjang zaman bisa tetap bertahan, padahal usianya sudah lebih dari 1.000 tahun. al-Hanafiyah, al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah adalah empat dari sekian puluh mazhab yang pernah berkembang di masa kejayaan fiqh dan mampu bertahan hingga sekarang ini. Di dalamnya terdapat ratusan tokoh ulama ahli yang meneruskan dan melanggengkan madzhab gurunya. Dan masing-masing memiliki pengikut yang jumlahnya paling besar, serta mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama.
Namun, saat ini mulai kembali banyak orang yang mengkaji lebih mendalam tentang permasalahan Islam melalui jalur pemikiran fiqh Daud al-Zhahiri. Hal ini terjadi karena madzhab al-Zhahiri adalah salah satu diantara madzhab fiqh kalangan ahlusunnah wal jamaah yang didirikan oleh Abu Sualiman Daud Al-Ashfahani Azh-zhahiri yang lahir tahun 202 H di Kufah Iraq dan wafat di tahun 270 H di Baghdad. Nama beliau sering disingkat menjadi Daud al-Zhahiri. Oleh sebab itulah, melalui tulisan ini penulis ingin mencoba untuk mengkaji secara mendalam dan sitematis tentang fiqh Daud al-Zhahiri ini.
Rumusan Masalah.
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapatlah dirumusakan masalahnya, yakni ; bagaimanakah pola pemikiran fiqh yang diterapkan oleh Daud al-Zhahiri ?
A Latar belakang dan Sejarah Mazhab Az-Zhahiri
Daud al-Zhahiri lahir di Kufah pada tahun 200 H/815 M, dan wafat di Baghdad pada tahun 270 H/883 M. Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafiz, dan pendiri Madzhab al-Zhahiri. Nama lengkapnya Daud bin Ali bin Khalaf al-Ishfahani. Tokoh yang dijuluki Abu Sulaiman ini dibesarkan dan berdomisili di Baghdad sampai meninggal dunia.
Pada mulanya, ia merupakan penganut fanatik madzhab al-Syafi’i meskipun ayahnya seorang penganut madzhab Abu Hanifah. Namun ia belajar tidak langsung kepada imam al-Syafi’i, tetapi dari murid dan sahabatnya, karena ia baru berusia 4 tahun ketika imam al-Syafi’i wafat. Guru-gurunya antara lain Ishaq bin Rahawaih (161-238 H), seorang ulama Khurasan (Iran) yang mencapai derajat hafiz dalam bidang hadits, serta penyusun kitab hadits “al-Musnad”.
Di samping mempelajari fiqh al-Syafi’i, ia juga mempelajari hadits dari para muhaddits semasanya. Ia menerima hadits dari orang-orang yang bermukim di Baghdad, kemudian melawat ke Nisabur, Iran, dan meriwayatkan hadits dari para muhaddits negeri tersebut. Ia menyusun hadits-hadits yang diriwayatkannya di dalam bukunya sehingga (ketika berorientasi ke fiqh al-Zhahiri), fiqh-nya sesungguhnya merupakan kumpulan hadits yang diriwayatkannya sendiri.
Untuk membangun madzhabnya, Daud al-Zhahiri menulis berbagai karya, antara lain :
1. Kitab al-Hujjah (buku tentang argumentasi).
2. Kitab al-Khabar al-Mujib li al-‘Ilm (buku mengenai informasi keilmuan).
3. Kitab al-Khusus wa al-‘Umum (buku tentang penjelasan mengenai lafal khusus dan umum).
4. Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal (buku mengenai lafal yang jelas dan tidak jelas pengertiannya).
5. Kitab Ibthal al-Qiyas (buku yang membahas masalah penolakn terhadap kias).
6. Kitab Ibthal al-Taqlid (buku yang berisi penjelasan mengenai larangan bertaklid).
7. Kitab Khabar al-Wahid (buku tentang hadits ahad).[2]
Pemikiran Fiqh Daud al-Zhahiri.
Fuqaha’ sepakat mengatakan bahwa Daud al-Zhahiri merupakan orang pertama yang berpendapat bahwa syari’at merupakan nash yang zhahir (nyata). Oleh sebab itu, alirannya disebut madzhab al-Zhahiri, sebuah sebutan yang selalu disandarkan kepada namanya. Mazhab ini pernah berkembang di Andalusia dan mencapai puncak keemasannya di abad kelima hijriyah. Namun di abad kedelapan, mazhab ini punah dan habis.[4]
Daud al-Zhahiri mendasarkan madzhabnya atas pengamalan zhahir nash al-Qur’an dan al-sunah. Ia berpendapat bahwa keumuman nash al-Qur’an dan al-sunah dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak ada nash yang menjelaskan suatu masalah, ia menerapkan ijma’ termasuk ijma’ shahabat. Sedangkan bila tidak ada juga dalam ijma’, biasanya mereka menggunakan metode istishab yaitu kaidah bahwa hukum asal sesuatu itu mubah (boleh). Ia menolak metode qiyas, istihsan, sad al-zari’ah, ra’yu dan ta’lil nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil ahkam (hukum). Ia pun menolak dalil taqlid.[5]
Berikut ini beberapa pandangannya tentang ijma’, qiyas dan taqlid.[6]
1. Tentang Ijma’.
Ijma’ yang dimaksud oleh Daud al-Zhahiri hanyalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan sahabat. Ijma’ seperti inilah yang dapat dijadikan hujjah. Sesudah generasi mereka sudah tidak ada lagi ijma’. Alasannya adalah, mengatahui pendapat yang disepakati oleh para mujtahid di masa sahabat adalah mungkin karena mereka dikenal, berjumlah sedikit, dan mudah untuk berkumpul guna membahas suatu masalah secara bersama. Sedangkan jumlah mujtahid pasca generasi sahabat demikian banyak dan tersebar diseluruh penjuru dunia, sehingga tidak mungkin untuk mengetahui pendapat mereka.
Pendapat di atas berbeda dengan pendapat madzhab lain yang tidak membatasi ijma’ pada kesepakatan para mujtahid dari kalangan sahabat, tetapi mencakup tabi’in.
2. Tentang Qiyas.
Pada dasarnya Daud al-Zhahiri menolak penggunaan qiyas dan ra’yu. Ia berpendapat bahwa hukum yang dibentuk dengan qiyas adalah hukum ‘aqliah (berdasarkan akal), sedangkan agama bersifat Ilahiah. Seandainya agama adalah ‘aqliah, tentu hukum yang berlaku akan berbeda dengan hukum yang dibawa oleh al-Qur’an dan al-sunah. Namun, kemudian ia menerapkan qiyas. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengalamannya di dalam menetapkan hukum. Pengalaman itu telah membuatnya meneliti kembali metode yang digunakan oleh ahl al-hadits dan ahl al-ra’yi. Mereka berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunah serta menolak qiyas dan ra’yu sama sekali. Sementara itu, praktek peradilan menuntut adanya perangkat-pembantu lainnya, seperti qiyas ketika referensi dari al-Qur’an dan sunah tidak memadai. Meskipun begitu, menurut pendapatnya, qiyas boleh digunakan hanya apabila nash menyatakan keharaman atau kehalalan sesuatu serta menjelaskan ‘illat-nya. Namun, apabila nash tidak menjelaskan ‘illat (alasan hukum), maka seorang mujtahid tidak berhak untuk membuatnya sendiri, lalu melakukan qiyas dengannya. Dalam hal ini Allah swt berfirman :
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ ذَلِكُمُ اللهُ رَ بِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ {الشورى : 10}
Artinya : “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.”[7]
Artinya, bukan kepada ra’yu dan qiyas. Adapun ia menyebut qiyas yang digunakannya ini dengan nama dalil. Namun, dalil dalam pandangannya termasuk dalam ruang lingkup al-istidlal al-fiqh (deduksi dalil fiqh) yang bersandar pada nash yang jelas, bukan termasuk dalam ruang lingkup qiyas.
Dalam deduksi dalil terdapat banyak teknik. Sebagai contoh, nash mengemukakan dua premis tanpa mengemukakan kesimpulannya : “Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar adalah haram” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud dari Ibnu Umar). Kesimpulannya ialah bahwa setiap yang memabukkan adalah haram. Hukum ini tidak ditemukan melalui qiyas, tetapi melalui dilalah alfaz (indikasi lafal) atau (seperti diistilahkan oleh para ahli mantik) al-qiyas al-idmari (qiyas yang menyembunyikan). Teknik lain adalah ta’mim al-syart (generalisasi kata kerja syarat). Umpamanya terdapat nash dari firman Allah swt :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ اْلأَوَّلِينَ {الأنفال : 38}
Artinya : “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu”.”[8]
Nash ini turun berkenaan dengan orang-orang kafir, tetapi hukumnya berlaku bagi setiap orang yang melakukan maksiat. Artinya, apabila orang yang melakukan maksiat berhenti dan bertobat dari perbuatannya, maka ia akan mendapat ampunan dari Allah swt. Generalisasi ini datang dari zhahir-nya nash, bukan dari qiyas.
3. Tentang Taqlid.
Daud az-Zahiri melarang taqlid secara mutlak. Orang yang sangat awam pun harus berijtihad. Jika tidak mampu berijtihad, ia harus bertanya kepada orang lain. Akan tetapi, ia baru boleh menerima pendapat orang lain itu jika disertai dengan dalil dari al-Qur’an, atau al-sunah, atau ijma’. Jika orang itu tidak mengemukakan dalilnya, maka ia harus bertanya kepada orang lain lagi.
Adapun hasil pemikiran fiqh-nya adalah :[9]
1. Membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan di dalam hadis Nabi saw, yaitu emas, perak, jelai, gandum, buah kurma, dan garam (HR. Muslim). Menurut fuqaha’ mazhab lain, pengharaman riba terhadap keenam jenis itu mempunyai ‘illat dan karenanya dapat dilakukan qiyas terhadap barang lain yang mempunyai kesamaan ‘illat dengannya. Daud az-Zhahiri menolak pendapat fuqaha’ tersebut. Menurutnya, Rasulullah saw telah membatasi barang-barang yang dapat ditakar, dimakan, dan disimpan sebagai makanan pokok, pada empat jenis. Seandainya riba berlaku pada semua barang yang ditimbang atau dimakan, tentu ia akan mengatakan, umpamanya, “janganlah kamu menjual barang-barang yang dimakan dengan barang-barang yang dimakan secara riba.” Kata-kata ini lebih ringkas dan lebih berfaedah. Karena ia tidak mengatakan demikian, tetapi hanya menyebut kempat jenis, maka pengharaman riba terbatas pada keempat jenis tersebut.
2. Orang yang dalam keadaan junub dan tidak mempunyai wudhu boleh menyentuh mushaf al-Qur’an. Pendapat ini mempunyai hubungan dengan pendapatnya tentang al-Qur’an dalam surah al-Waqi’ah ayat 78-79, Allah swt menyebutkan al-Qur’an antara lain sebagai berikut, “la yamassuhu illa al-mutahharun” (tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan) dan “fi kitab maknum” (pada kitab yang terpelihara [Lauh Mahfuz]). Menurut pendapatnya, al-Qur’an yang digambarkan oleh Allah swt dengan firman-Nya tersebut bukanlah makhluk, melainkan kalam Allah yang merupakan satu kesatuan dengan Zat-Nya. Sementara itu, al-Qur’an dalam arti tulisantulisannya, yang ada pada manusia serta boleh disentuh oleh orang yang haid dan orang yang junub adalah makhluk.
Abu al-Faraj Muhammad bin Abi Ya’qub Ishaq al-Waraq al-Baghdadi yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Nadim (w. 385 H/995 M), penyusun buku “al-Fihris” menyebutkan bahwa sejumlah besar topik fiqh karya Daud al-Zhahiri seperti tentang bersuci, haid, shalat, haji, nikah, dan thalak. Namun semua karya Daud al-Zhahiri ini menurut informasi dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah (Ensiklopedi Islam) sudah tidak ada lagi.[3] Akan tetapi dari jalan madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut membuat kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer dikalangan ahli fiqh yaitu “al-Muhalla” dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam” dalam masalah ushul fiqh.
Mazhab az-Zhahiri merupakan salah satu dari ulama fikih yang pernah ada dan muncul pertama kali di Spanyol dan Afrika Utara. Selain nama Az-Zhahiri, mazhab ini juga dikenal dengan nama mazhab al-Daudi. Para pengikut mazhab ini disebut Ahl az-Zhahir atau az-Zahiriyah (penganut ajaran lahiriah). Pemikiran-pemikiran fikih mazhab ini sampai sekarang masih dapat ditemukan, bahkan sering dijadikan bahan perbandingan ketika melakukan pembahasan disekitar masalah-masalah fikih dizaman kontemporer ini. Mazhab az-Zhahiri berkembang sejak abad ketiga sampai abad kedelapan .
Mazhab az-Zhahiri dibangun oleh seorang fakih besar yang bernama Daud bin Khalaf al-Isfahani yang memiliki nama julukan Abu Sulaiman (Daud az-Zhahiri)
Daud az-Zhahiri sebagai pengikut mazhab as-Syafi’i, dengan tekun mendalami fikih dan ushul fikih (sitem ijtihad) Imam as-Syafi’i dan murid-muridnya. Dari penelitian yang mendalam nampak bagi Daud az-Zhahiri bahwa dalam berijtihad Imam al-Syafi’i dan murid-muridnya ternyata menggunakan nalar (rasio). Penggunaaan nalar secara intensif dan efektif oleh Imam as-Syafi’i dan pengikutnya terlihat jelas ketika mereka menggunakan qias sebagai pendekatan dalam berijtihad. Oleh karena itu, Imam Daud az-Zhahiri menilai bahwa mazhab as-Syafi’i dengan pendekatan qias dan mazhab Hanafi dengan pendekatan istikhsan sesungguhnya relative sama dengan penggunaan akal atau nalar ketika berusaha menggali dan menetapkan hukum Islam.
Disamping itu, mulai abad kedua H. bermunculan berbagai aliran dalam rangka memahami sumber hukum Islam. Aliran muktazilah yang lebih menonjol dalam bidang teologi terkenal dengan pemikiran tentang kemampuan akal aliran batiniah. Satu sekte dalam mazhab Syiah , terkenal sebagai kelompok yang menakwilkan ayat al-Qur’an secara berlebihan. Kedua aliran tersebut menurut pemikiran Imam Daud az-Zhahiri sudah melampui batas dalam hal menggunakan akal dalam memahami nash.
Ketika akal diperlakukan sebagai sesuatu yang memilki kekuatan yang begitu tinggi, termasuk dalam mazhab as-Syafi’i dan mazhab Hanafi, Imam Daud az-Zhahiri menanggapinya dengan membangun mazhab baru, suatu mazhab yang justru membatasi secara ketat intervensi akal terhadap wahyu ketika terjadi proses ijtihad. Penganut mazhab ini menggali hukum dari nash dan sunnah sebatas yang dapat ditangkap oleh makna zahir (makna yang jelas dan kuat) sementara makna yang marjuh (makna yang tidak jelas dan tidak kuat) mereka tolak. Penakwilan (penjelasan) hanya dilakukan ketika ada indikasi (qarinah) atau dalil yang mendukung penakwilan tersebut. Namun demikian, bukan berarti mazhab az-Zhahiri menolak kehadiran akal sebagai media memahami nash. Hanya saja sikap lebih berhati-hati mereka lebih dominan.
B. Perkembangannya Mazhab Az-Zhahiri
Pada abad keempat H. mazhab Zhahiri ttidak hanya berkembang di Irak dan Iran, tetapi juga sampai pada wilayah Sind dan Oman.Di dunia timur mazhab az-Zhahiri sebagai mazhab yang memiliki pengikut berlanjut sampai pertengahan abad kelima. Pada saat itu muncul Husain ibn Muhammad ibn Ya’la al-Farra’ al-Hanbali (w.458 H/1056), tokoh penganut mazhab Hanbali, ahlu ushul fikih dan berpengetahuan luas dan mendalami dalam bidang al-Qur’an dan Hadis, dalam kapasitas sebagai hakim atau qadi, berhasil menggeser posisi mazhab az-Zhahiri dan saat itu pamor mazhab az-Zhahiri mulai menurun dan sebaliknya, mazhab Hanbali mulai menaik.
Pada abad kelima yakni saat mazhab az-Zhahiri mulai mundur didunia belahan Timur, tetapi sebaliknya didunia belahan barat, tepatnya di Spanyol, justru muncul Ibn Hazm menyebarkan dan membangun mazhab az-Zhahiri, sehinnga mazhab az-Zhahiri mrnjadi besar dan mempunyai pengikut yang banyak.
Munculnya Ibn Hazm dibarat bukan berarti mazhab az-Zhahiri baru di Spanyol pada periode Ibn Hazm tersebut. Pada abad ketiga bagi Ibn Khallad, Ibn Waddah, dan Qasim bin Asbag. Ketiganya ahli fikih dari Spanyol, sekembalinya dari menuntut ilmu dari dunia timur, membawa ajaran mazhab az-Zhahiri ke Spanyol. Mereka dimaksud adalah Abdullah bin Qasim bin Qasim as-Syyar (w. 272 H.) dam Munzir bin Sa’id al-Khayyar. tokoh yanh disebut terakhir ini merupakan seorang mujtahid yang memiliki kebebasan berpikir dan menjadi guru utama bagi Ibn Hazm dan mempelajari dan mendalami ajaran Mazhab az-Zhahiri.
Ibn Hazm merupakan tokoh yang menjadikan mazhab az-Zhahiri berkembang pesat di dunia barat. Ibn Hazm menulis berbagai karya mengkader beberapa orang muridnya sebagai usaha memperjuangkan dan mengembangan mazhab az-Zhahiri, sehingga, menurut penilaian Muhammad Abu Zahrah (fakih kontemporer Mesir), tidak dapat satu suku di Spanyol yang tidak memilki tokoh bermazhab az-Zhahiri dan tidak ada pelosok Spanyol yang tidak menganut mazhab az-Zhahiri.
Daerah-daerah selain Spanyol yang sempat dijangkau oleh murid-murid Ibn Hazm dalam rangka menyebarkan dan mengembangan mazhab az-Zhahiri antara lain adalah : 1) Maroko (Magrib), 2) Baghdad, 3) Iskandariah (Mesir).
Perkembangan mazhab az-Zhahiri di Suriah tidak hanya sebatas pada sisi ajaran keagamaan saja, tetapi juga pada masalah politik praktis. Pada tahun 788 H. sebagian dari tokoh mazhab ini, di bawah pimpinan Syihabbuddin Abu Hasyim Ahmad Ibnu Muhammad Bin Ismail Bin Abdur Rahman Bin Yusuf (704-792 H.), melakukan pemberontakan terhadap pemerintah mamluk yang berkuasa pada saat itu. Pemberontakan tersebut dapat di gagalkan oleh pemerintah dan pelaku pemberontakan di tangkap. Akan tetapi, tidak semua tokoh mazhab az-Zhahiri ikut dalam pemberontakan tersebut, sehingga mereka terhindar dari penangkapan. Diantara tokoh yang tidak ikut adalah Musa Bin Amir Syarafuddin az-Zanji dan Ahmad bin Muhammad Bin Mansur Abdullah Syihabuddin al-Asymuni.
Pada akhir abad ke-8, awal abad ke-9 H., madzhab az-Zhahiri mengalami kemerosotan jumlah pengikut. Penyebab kemerosotan itu antara lain disebabkan oleh munculnya buku al-Khutat (catatan-catatan sejarah) yang memuat informasi negatif mengenai madhab az-Zhahiri. Buku tersebut ditulis oleh Ahmad Bin Ali Bin Abdul Qadir Abu al-Abas al-Husain al-Ubaidi Taqiyuddin al-Maqrizi, ahli sejarah klasik dari Persia.
Adapun yang mendukung penyebaran mazhab az-Zhahiri antara lain adalah:
(1) Daud az-Zhahiri menulis beberapa karya yang memuat pendapatnya yang dilengkapi dalil yang cukup.
(2) jasa murid-muridnya yang berfungsi sebagai penerus, pendukung, dan penyebar mazhabnya.
(3) terdapat orang-orang yang berpengaruh didalam pemerintahan Bani Umayyah, antara lain adalah Qadi Abu al-Qasim Ubaidillah bin Ali an-Nakha’i (w. 376 H) yang menjadi hakim di Khurasan, Iran, yang menganut mazhab ini.
C. Metode Istimbath Mazhab Az-Zhahiri
Inti dari ajaran dan paham yang berkembang dalam mazhab az-zhahiri berkisar pada persoalan hukum Islam dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami sumber tersebut. Konsekuensi logis dari pendapat tersebut adalah adanya perbedaaan pendapat dalam masalah fikihnya.
Seperti telah disebutkan, Imam Daud az-Zhahiri menolak al-qias dan mengajukan al-Dalil sebagai cara memahami nash. Dalam cara mempertegas ijtihadnya, Imam Daud az-Zhahiri berkata :
اِنَّ اْلاُصُوْلَ : أَلْكِتَابُ وَ السُنَّةُ وَاْلإِ جْمَاعُ
“Sumber hukum pokok hanyalah al-Qur’an, Sunnah, Ijmak.”
Bagi penganut az-Zhahiri keumuman nash al-Qur’an sudah cukup menjawab semua tantangan dan masalah. Pendirian tersebut berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl: 89.
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَى هَؤُلاءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“ (dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
Bagi Imam Daud Az-Zhahiri, makna yang digunakan dari al-Qur’an dan sunnah adalah makna zhahir atau makna tersurat; ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari ‘illat seperti yang dilakukan oleh ulama yang mengakui al-Qias sebagai cara ijtihad, seperti Imam ibn Idris al-Syafi’i. menurut Imam Daud az-Zhahiri, Syariat Islam tidak boleh diintervensi oleh akal.
Ulama yang mengakui al-Qias biasanya ingin mengetahui makna tersirat dari suatu ketentuan al-Qur’an dan sunnah. Dalam rangka mengetaui dalil dibalik teks, ulama melakukan pengetahuan sehingga diketaui ‘illat hukumnya, baik ‘illat yang terdapat dalam Nash secara tekstual (‘illat manshuhah) maupun ‘illat yang diperoleh setelah melalui penelitian (‘illat mustanbathah). Bagi Imam Daud az-Zhahiri, tujuan penentuan syari’ah adalah Ta’abbudi (bukan ta’aquli).
Adapaun al-dalil yang merupakan langkah-langkah ijtihad yang ditempuh oleh Imam Daud az-Zhahiri dibangun oleh Ibnu Hazm.
Ad-dalil adalah suatu metode pemahaman suatu nash yang menurut ulama mazhab az-Zhahiri, pada hahikatnya tidak keluar dari nas dan atau ijmak itu sendiri. Dengan pendekatan ad-dalil dilakukan pendekatan kepada nash atau ijmak melalui dilalah (petunjuknya) secara langsung tanpa harus mengeluarkan ‘illatnya terlebih dahulu. Dengan demikian, konsep ad-Dalil tidak sama dengan qias, sebab untuk melakukan qias diperlukannya kesamaan ‘illat secara kasus asal dan kasus baru. Sedangkan pada ad-Dalil tidak diperlukan mengetahui ‘illat tersebut.
8. Contoh Hasil Istimbath Hukum Mazhab Zhahiri
Diantara pendapat Daud az-Zahiri adalah sebagai berikut :
1. Orang yang junub boleh menyentuh Al-Qur’an
Imam Abu Daud berpendapat bahwa Al-Qur’an yang tidak disentuh kecuali oleh yang disucikan (Q.S. al-waqi’ah: 79)
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”
Adalah al-Qur’an yang ada di lauh al-Mahfuzh . Menurut pendapatnya, Al-Qur’an yang digambarkan oleh Allah SWT dengan firman-Nya tersebut bukanlah makhluk, melainkan kalam Allah yang merupakan satu kesatuan dengan dzat-Nya. Sedangkan al-Qur’an yang ditulis dalam kertas dan beredar dikalangan manusia adalah makhluk; ia (mushaf) boleh disentuh oleh yang sedang haid dan junub.
2. Membatasi pengharaman riba
Imam Daud az-Zhahiri membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan dalam hadis Nabi SAW. Barang itu adalah emas, perak, jelai, gandum, buah kurma, dan garam. Menurut fuqaha mazhab lain, pengharaman riba pada enam jenis itu mempunyai ilat dan karenanya dapat dilakukuan qias terhadap barang yang lain yang mempunyai kesamaan ilat dengannya.
Menurut imam Maliki, ‘illat pada gandum, jelai, dan buah kurma adalah bahwa ketiganya dapat ditakar, dimakan, dan disimpan sebagai makanan pokok, lauk-pauk, dan buah-buahan. Ilat ini terdapat juga pada beras, kacang kedelai, dan kacang tanah; maka pengharaman riba juga berlaku kepada ketiga jenis barang tersebut.
Menurut fukaha kufah, ilat bagi keenam barang itu adalah “dapat ditimbang dan ditakar”. menurut Imam as-Syafi’i ilat pada gandum adalah “dapat dimakan, baik disimpan, ditakar, atau ditimbang maupun tidak“ sedangkan ilat pada emas dan perak adalah “memiliki nilai ganti dan harga jual.“
Daud az-Zhahiri menolak pendapat fukaha tersebut. Menurutnya, rosul telah membatasi barang-barang yang dapat ditakar, dikaman, dan disimpan sebagai makanan pokok, pada empat jenis. Seandainya riba berlaku pada semua barang yang ditimbang atau dimakan, tentu ia akan mengatakan, umpanya “janganlah kamu menjual barang-barang yang dimakan dengan barang-barang yang dimakan secara riba“ kata-kata ini lebih ringkas dan lebih berfaedah. Karena ia tidak mengatakan demikian, tetapi hanya menyebutkan empat jenis, maka pengharaman riba terbatas keempat jenis tersebut.
3. Dalam memahami hadis :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَ كُلُّ خَمْرِ حَرَامٌ
“tiap-tiap yang memabukkan itu khamar, dan tiap- tiap khamar itu haram”
Mereka tidak memerlukan qias ataupun natijah (kesimpulan), yaitu:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“tiap-tiap yang memabukkan hukumnya haram”.
Jadi untuk menetapkan bahwa tiap-tiap yang memabukkan itu haram, tidak diperlukan qias.dari lafal hadis itu pun sudah dapat diambil suatu kesimpulan tentang keharaman benda-benda yang memabukkan.
Demikian juga halnya dalam memahami ayat
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir; jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu …….” (QS. Al-Anfal: 38)
Nash tersebut diatas memang ditujukan kepada orang-orang yang kafir. Tetapi pengertian yang dapat difahami dari lafalnya, termasuk juga orang-orang yang melakukan perbuatan maksiat. Bila orang yang berbuat maksiat itu bertaubat, maka orang ini pun akan mendapat pengampunan dari Allah. Cara memahami ayat tersebut, cukup melihat zhahir nash saja, tidak perlu dengan qias.
4. Menurut az-Zahiri, seorang istri yang mampu (kaya), wajib membiayai suaminya yang miskin (kurang mampu). jalan pikiran mazhab ini adalah bahwa suami istri waris-mewarisi apabila salah seorang meninggal dunia. Sangat logis apabila dalam mengatasi biaya hidup rumah tangga pun saling membantu. Sesuai dengan Surat al-Baqarah ayat 228:
.......وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ...........
“......Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf”.
Selain dari ayat tersebut, juga berdasarkan ayat surat al-Maidah ayat 2:
.......وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى........
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa”
Ayat tersebut memerintahkan agar tolong menolong dalam mengerjakan kebaikan. Menolong dan membantu suami dalam dalam keadaan susah dan sulit mendapatkan biaya hidup, adalah termasuk tolong menolong dalam mengerjakan kebajikan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mazhab az-Zhahiri dibangun oleh seorang fakih besar yang bernama Daud bin Khalaf al-Isfahani yang memiliki nama julukan Abu Sulaiman (Daud az-Zhahiri)
Yang mendukung penyebaran mazhab az-Zhahiri antara lain adalah: (1) Daud az-Zhahiri menulis beberapa karya yang memuat pendapatnya yang dilengkapi dalil yang cukup. (2) jasa murid-muridnya yang berfungsi sebagai penerus, pendukung, dan penyebar mazhabnya. (3) terdapat orang-orang yang berpengaruh didalam pemerintahan Bani Umayyah, antara lain adalah Qadi Abu al-Qasim Ubaidillah bin Ali an-Nakha’i (w. 376 H) yang menjadi hakim di Khurasan, Iran, yang menganut mazhab ini.
Seperti telah disebutkan, Imam Daud az-Zhahiri menolak al-qias dan mengajukan al-Dalil sebagai cara memahami nash. Bagi Imam Daud Az-Zhahiri, makna yang digunakan dari al-Qur’an dan sunnah adalah makna zhahir atau makna tersurat; ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari ‘illat seperti yang dilakukan oleh ulama yang mengakui al-Qias sebagai cara ijtihad, seperti Imam ibn Idris al-Syafi’i. menurut Imam Daud az-Zhahiri, Syariat Islam tidak boleh diintervensi oleh akal.
Diantara pendapat Daud az-Zahiri adalah sebagai berikut : Orang yang junub boleh menyentuh Al-Qur’an, Imam Daud az-Zhahiri membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan dalam hadis Nabi SAW, Menurut az-Zahiri, seorang istri yang mampu (kaya), wajib membiayai suaminya yang miskin (kurang mampu).
Berdasarakan seluruh pemaparan di atas, maka dapatlah disimpulkan isi dari makalah ini, yakni :
1. Daud al-Zhahiri adalah seorang mujtahid baru dengan membentuk madzhab sendiri setelah adanya empat madzhab yang mu’tabar. Nama madzhabnya adalah madzhab al-Zhahiri.
2. Pemikiran fiqh Daud al-Zhahiri merupakan pengamalan zhahir nash al-Qur’an dan al-sunah. Ia berpendapat bahwa keumuman nash al-Qur’an dan al-sunah dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak ada nash yang menjelaskan suatu masalah, ia menerapkan ijma’ termasuk ijma’ shahabat.
3. Daud al-Zhahiri menolak metode qiyas, istihsan, sad al-zari’ah, ra’yu dan ta’lil nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil ahkam (hukum). Ia juga menolak dalil taqlid.
REFERENSI
https://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Zhahiri
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/07/03/nqwmc923-menelusuri-mazhab-azzahiri-kaum-tekstual-pengusung-sunah
http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Artikel/Efbe/BIOGRAFI%20DAN%20METODE%20USHUL%20FIQH%20IMAM%20DAUD%20AL-ZHAHIRI.htm
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan, 2001.
Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab. Semarang: PT Pustaka rizki Putra, 1997.
Saeful Rijal, Lc, www.Saeful-Rijal-CintaRosul.blogspot.com/Ijtihad/Zhahiri//cc/c/s/(Disampaikan dalam diskusi ISC, tanggal 15 Oktober 2009), Diakses pada tenggal 23 Desember 2009.
PM, Abdullah. Abd-allah.blogspot/sejarah/zhahiriyah/co.id. Diakses pada tanggal 23 Desember 2009.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos. 1997.
Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006
Abu Qisthi, “Mazhab Zahiri”, dalam http://www.syariahonline.com, 7 Januari 2009
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press, 2006
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 56
Post a Comment