FITNAH FITNAH AKHIR ZAMAN : FITNAH AHLAS FITNAH SARRA DAN FITNAH DUHAIMA
Salah satu persoalan
yang perlu mendapat perhatian serius tentang akhir zaman adalah Fenomena
Fitnah Duhaima’ sebagaimana yang dijanjikan oleh Rosululloh saw.
Duhaima’ yang bermakna kelam atau gelap gulita merupakan fitnah terbesar
yang akan dilalui dalam salah satu fase perjalanan umat Islam.
Riwayat
yang menyebutkan akan terjadinya fitnah ini adalah sebagaimana yang
dikisahkan dari Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ia berkata: “Suatu ketika
kami duduk-duduk di hadapan Rosululloh ShallAllohu alaihi wa sallam
memperbincangkan soal berbagai fitnah, beliau pun banyak bercerita
mengenainya. Sehingga beliau juga menyebut tentang Fitnah Ahlas. Maka, seseorang bertanya: ‘Apa yang dimaksud dengan fitnah Ahlas ?’
Beliau menjawab :
هِيَ
هَرَبٌ وَحَرْبٌ ثُمَّ فِتْنَةُ السَّرَّاءِ دَخَنُهَا مِنْ تَحْتِ
قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي وَلَيْسَ
مِنِّي وَإِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ ثُمَّ يَصْطَلِحُ النَّاسُ
عَلَى رَجُلٍ كَوَرِكٍ عَلَى ضِلَعٍ ثُمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْمَاءِ لَا
تَدَعُ أَحَدًا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا لَطَمَتْهُ لَطْمَةً فَإِذَا
قِيلَ انْقَضَتْ تَمَادَتْ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي
كَافِرًا حَتَّى يَصِيرَ النَّاسُ إِلَى فُسْطَاطَيْنِ فُسْطَاطِ إِيمَانٍ
لَا نِفَاقَ فِيهِ وَفُسْطَاطِ نِفَاقٍ لَا إِيمَانَ فِيهِ فَإِذَا كَانَ
ذَاكُمْ فَانْتَظِرُوا الدَّجَّالَ مِنْ يَوْمِهِ أَوْ مِنْ غَدِهِ
'Yaitu fitnah pelarian dan peperangan. Kemudian Fitnah Sarra’, kotoran
atau asapnya berasal dari bawah kaki seseorang dari Ahlubaitku, ia
mengaku dariku, padahal bukan dariku, karena sesungguhnya waliku
hanyalah orang-orang yang bertakwa. Kemudian manusia bersepakat pada
seseorang seperti bertemunya pinggul di tulang rusuk, kemudian Fitnah Duhaima’ yang
tidak membiarkan ada seseorang dari umat ini kecuali dihantamnya. Jika
dikatakan : 'Ia telah selesai’, maka ia justru berlanjut, di dalamnya
seorang pria pada pagi hari beriman, tetapi pada sore hari menjadi
kafir, sehingga manusia terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang
tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung
keimanan. Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada
hari itu atau besoknya.1
Jika melihat dari teks yang menjelaskan berbagai bentuk fitnah di atas, nampaknya hakikat dan terjadinya fitnah-fitnah tersebut saling berhubungan satu sama lain. Peristiwa yang satu akan menjadi penyebab munculnya fitnah berikutnya. Sebagaimana tersebut dalam nash di atas, beliau mengungkapkan dengan kalimat ‘tsumma’ yang bermakna kemudian. Ini menunjukkan bahwa fitnah-fitnah tersebut akan terjadi dalam beberapa waktu, yang ketika hampir berakhir atau masih terus terjadi hingga puncaknya, maka dilanjutkan dengan fitnah berikutnya. Kalimat “tsumma” menunjukkan jeda waktu yang tidak pasti, namun menunjukkan makna “tartib” (kejadian yang berurutan).
Fitnah pertama yang beliau sebutkan adalah Fitnah Ahlas. Kata Ahlas merupakan bentuk plural dari kata “hilsun ” atau “halasun”, yaitu
alas pelana atau kain di punggung unta yang berada di bawah pelana.
Fitnah ini diserupakan dengan alas pelana karena ada persamaan dari sisi
terus menerus menempel / terjadi.
Tentang
realita fitnah Ahlas ini, sebagian ada yang berpendapat bahwa ia sudah
terjadi semenjak zaman para sahabat, dimana Al-Faruq 'Umar bin Khaththab
adalah merupakan dinding pembatas antara kaum Muslimin dengan fitnah
ini, sebagaimana yang diterangkan Nabi ShallAllohu 'Alaihi wa Sallam ketika beliau berkata kepada 'Umar: “Sesungguhnya antara kamu dan fitnah itu terdapat pintu yang akan hancur.”2
Dan sabda Rosul ShallAllohu 'Alaihi wa Sallam ini
memang menjadi kenyataan dimana ketika 'Umar baru saja meninggal dunia,
hancurlah pintu tersebut dan terbukalah fitnah ini terhadap kaum
Muslimin dan ia tidak pernah berhenti sampai sekarang ini.
Adapun Fitnatu Sarra’, maka Imam
Ali Al Qaari menyatakan yang dimaksud dengan fitnah ini adalah nikmat
yang menyenangkan manusia, berupa kesehatan, kekayaan, selamat dari
musibah dan
bencana. Fitnah ini disambungkan dengan sarra’ karena
terjadinya disebabkan timbul / adanya berbagai kemaksiatan karena
kehidupan yang mewah, atau karena kekayaan tersebut menyenangkan musuh.
Terjadinya fitnah sarra’ ini diawali oleh seorang yang secara nasab bersambung
kepada Rosululloh ShallAllohu alaihi wa sallam (Ahlu Bait). Namun
perilakunya yang menyebabkan bencana ini menjadikannya tidak bisa
dianggap
Beliau juga mengatakan bahwa boleh jadi yang dimaksud “yaz’umu annahu minni”
adalah mengklaim bahwa apa yang dikerjakan adalah datang dari
Rosululloh saw, meskipun jika dilihat dzahir nashnya adalah benar-benar
mengaku secara nasab.
Jika
untuk kedua fitnah di atas Rosululloh saw hanya menjelaskan secara
singkat, maka untuk Fitnah Duhaima beliau saw memberikan penjelasan yang
lebih rinci. Ada beberapa ciri khusus dari fitnah ini yang tidak
dimiliki oleh fitnah sebelumnya.
1. Fitnah
ini akan menghantam semua umat islam (lebih khusus lagi pada bangsa
Arab). Tidak seorangpun dari warga muslim yang akan terbebas dari fitnah
ini. Beliau menggunakan lafadz “lathama” yang bermakna menghantam, atau
memukul bagian wajah dengan telapak tangan (menempeleng/menampar). Kalimat ini merupakan gambaran sebuah fitnah yang sangat keras dan ganas.
2. Fitnah
ini akan terus memanjang, dan tidak diketahui oleh manusia kapan ia
akan berakhir. Bahkan ketika manusia ada yang berkata bahwa fitnah itu
sudah berhenti, yang terjadi justru sebaliknya; ia akan terus memanjang
dan sulit diprediksi kapan berhentinya. Inilah maksud ucapan beliau : Jika dikatakan : 'Ia telah selesai’, maka ia justru berlanjut.
3.
Efek dahsyat yang ditimbulkan oleh fitnah ini, yaitu munculnya
sekelompok manusia yang di waktu pagi masih memiliki iman, namun di sore
hari telah menjadi kafir. Ini merupakan sebuah gambaran tentang
kerasnya fitnah tersebut.
4.
Terbelahnya manusia (muslim) dalam dua kelompok/kemah besar. Satu
kelompok berada di kemah keimanan dan kelompok lainnya berada di kemah
kemunafikan..
[1]. HR. Abu Dawud, bab Dzikrul Fitan wa Daliluha, XII/ 354.S
2. HR. Bukhari no. 6567 dan Muslim no. 5150 dari Hudzaifah bin Al-Yaman.
3. Rosululloh saw. bersabda:
“Masa kenabian akan berlangsung di tengah kalian selama masa yang
dikehendaki Alloh. Kemudian Alloh akan mengangkatnya jika Ia telah
menghendakinya. Kemudian akan berlangsung masa kekhilafahan yang sesuai
dengan jalan yang dicontohkan oleh Nabi (minhajin nubuwwah), selama masa
yang dikehendaki oleh Alloh. Kemudian Alloh akan mengangkatnya jika Ia
telah menghendakinya. Kemudian akan berlangsung masa kekuasaan para raja
yang menggigit, selama masa yang dikehendaki oleh Alloh. Kemudian
Alloh akan mengangkatnya jika Ia telah menghendakinya. Kemudian akan
berlangsung masa kekuasaan para raja yang memaksa (diktator), selama
masa yang dikehendaki oleh Alloh. Kemudian Alloh akan mengangkatnya jika
Ia telah menghendakinya. Kemudian akan berlangsung masa kekhilafahan
yang sesuai dengan jalan yang dicontohkan oleh Nabi.” Nabi kemudian diam.
HR. Ahmad no. 17680 dan Ath-Thayalisi no. 433. Al-Haitsami dalam Majma’
Az-Zawaid 5/189 berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzar dan
At-Thabrani sebagiannya dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, dan para perawinya
adalah tsiqah.”
Post a Comment