PERAN ZIONIS PADA ARAB SAUDI

KETIKA itu orang-orang Yahudi memang banyak menetap di banyak negara Eropa. Mereka saat itu juga memiliki reputasi buruk di mata orang Eropa karena sejumlah perilaku buruk yang mereka lakukan. Bukan rahasia umum lagi jika aneka kejahatan dan kriminalitas di Eropa selalu saja berpangkal pada orang-orang Yahudi ini. Mereka juga berada di belakang tiap usaha kemaksiatan seperti rumah judi dan rumah pelacuran, yang ditentang oleh Gereja.

Orang-orang Yahudi yang tinggal di Eropa disebut juga sebagai Yahudi Ashkenazim, untuk membedakan mereka dari orang-orang Yahudi yang tinggal menetap di Dunia Arab dan hidup berdampingan dengan kaum Muslimin dan Kristen di sana yang disebut sebagai Yahudi Sephardim. Skandal besar tentu menyedot perhatian para kuli tinta di mana pun berada. Salah seorang wartawan senior yang sangat antusias mengikuti peristiwa ini adalah Theodore Herlz. Dengan tekun, wartawan yang aktif sebagai kontributor internasional untuk harian Neue Freie Presse terbitan Perancis, ini mengikuti persidangan Dreyfus dan mencatat perkembangan demi perkembangan peristiwa ini yang terjadi di luar dinding persidangan.

Herlz yang lahir di Budapest, Hungaria, dari keluarga Yahudi sekular pada 2 Mei 1860. Saat peristiwa Dreyfus terjadi, dia baru berusia 34. Walau masih relatif muda, namun Herlz yang cerdas dan pekerja keras itu telah memiliki lobi tingkat tinggi. Dia kenal dengan sejumlah pemimpin Eropa. Gejolak anti-Yahudi yang pecah di banyak negeri Eropa menyusul skandal Dreyfus membuat Herzl berpikir perlunya orang-orang Yahudi yang terserak di banyak negara untuk bisa memiliki satu Negara Yahudi sendiri. Pemikiran Herzl ini berangkat dari pemikiran Yahudi Sekuler, karena Yudaisme sendiri menentang campur tangan manusia dalam mendirikan satu negara bagi kaum Yahudi.
Cita-cita Herzl ini yang kelak dikenal sebagai gerakan Zionisme berawal dari ide-ide besar tokoh Yahudi sekuler Eropa yang tadinya bersifat utopis seperti gerakan Hovevei-Zion, Hibbat-Zion, dan Poalei-Zion.

Namun upaya Herzl dengan sistematis menjadikan mimpi-mimpi besar itu menjadi kenyataan. Sejak itulah Herzl dengan giat mensosialisasikan idenya itu, terutama menggalang dana bagi terlaksananya satu kongres Yahudi Eropa dan mempersiapkan satu negara khusus bagi kaum Yahudi sedunia, yang saat itu Herzl telah mengarahkan telunjuknya ke Palestina, sebuah wilayah yang masuk dalam kekuasaan kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Diam-diam, Herzl mendapat bantuan dana dari para Baron Eropa yang juga berdarah Yahudi seperti Rothschild dan Hirsch.



Setelah orang-orang Yahudi di Eropah menggelar konferensinya dengan hasilnya merencanakan pendirian negara Israel Merdeka di tanah Arab (Palestina). Mereka melobi banyak tokoh-tokoh Yahudi Eropa yang bergerak di segala lapisan, dari tokoh pengusaha hingg a media, dari tokoh politik hingga para raja dan bangsawan.

Herzl sendiri kemudian menemui Sultan Mahmud II yang saat itu menjabat sebagai khalifah di Kekalifahan Turki Utsmani yang wilayah kekuasaannya sangat luas bahkan pernah hingga  menjangkau Jazirah Al-Muluk yang sekarang kita kenal dengan sebutan Kepulauan Maluku.

Kepada Sultan Mahmud yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang adil, berani, dan tegas pendiriannya, Herzl mencoba membujuk Sultan agar sudi menyerahkan Tanah Palestina yang saat itu berada dalam kekuasaan kekhalifahan Turki Utsmani kepada kaum Yahudi. Herzl merayu Sultan dan mengatakan jika Sultan mau menyerahkan Tanah Palestina, maka kaum Yahudi Eropa akan memberikan segala hal yang akan menguntungkan Sultan pribadi dan kekhalifahan Turki Usmani.

Di tahun 1773, Rotschild I mengundang 12 keluarga Yahudi terkemuka dunia untuk berkumpul di kediamannya. Dalam pertemuan tersebut, Rotschild I mengeluarkan dan membacakan 25 butir strategi penguasaan dunia yang di dalam Kongres Zionis Internasional I di Basel Swiss (1897) disahkan menjadi agenda gerakan Zionis Internasional dengan nama Protocolat of Zions.
Selain itu, Rotschild juga memanggil dan memperkenalkan seorang Yahudi dari Ingolstadt, Bavaria, anak dari seorang Rabi Yahudi yang menyembunyikan keyahudiannya dan mengaku sebagai seorang Yesuit Katolik bernama Adam Weishaupt. Orang ini tertarik pada pemikiran pemikiran ajaran sesat Dinasti Kerajaan Perancis terakhir, yang dalam The Holy Blood Holy Grail (1982) disebut sebagai Dinasti Merovingian.

Awalnya, Rotschild menugaskan Weishaupt untuk memimpin Coven of Golden Dawn (Fajar Keemasan), sebuah sekte mistik pribadi keluarga Rotschild yang masih aktif sampai dengan hari ini. Kemudian, di dalam pertemuan tersebut, Rotschild menunjuk Weishaupt untuk membentuk dan memimpin sebuah sekte mistik kuno Bavaria bernama Illuminati (Yang Tercerahkan, kaum gnostis sendiri menyebut Maria Magdalena sebagai The Illuminatrix). Illuminati merupakan sekte Luciferian (iblis) yang memiliki arti Sang Pembawa Cahaya.
Di dalam struktur keanggotaan Illuminati, lapisan tertinggi berada dalam kelompok Areopagites atau Tribunal yang memegang kendali atas sekte. Mereka inilah yang berhak hadir dalam pertemuan-pertemuan rahasia. Nesta Helen Webster dalam World Revolution: The Plot Against Civilisation (1921) menyebut bahwa keahlian Illuminati adalah dalam seni menipu dan memanipulasi, yang memanjakan dan menggerakan mimpi-mimpi orang-orang lugu dan memprovokasi serta mengarahkan mimpi-mimpi orang fanatic dengan memuji-muji dan mendongkrak keangkuhan serta kesomboingan intelektualitas mereka.
Illuminati mempermainkan ketidakseimbangan otak manusia, dengan mendorong ambisi dan nafsu kekuasaan serta memandang rendah idealisme dan nilai-nilai luhur. Syahwat kekuasaan merupakan mainan utama dari Illuminati sejak dulu hingga millennium ketiga ini. Siapa pun yang terpengaruh akan provokasinya, secara sadar atau tidak, telah menjadi pelayan bagi kelompok pemuja setan ini.

Webster menegaskan, “Tujuan utama Illuminati adalah untuk kekuasaan dan kekayaan. Mereka memiliki tujuan untuk menguasai seluruh dunia dan seluruh umat manusia dengan jalan menghancurkan pemerintahan yang religius maupun yang sekuler. Illuminati akan bertahta dalam satu tatanan dunia yang sama sekali baru yang dinamakan sebagai The New World Order.” Guna menuju penguasaan dunia, Illuminati mempergunakan semboyan “Tujuan Menghalalkan Cara”. Walau demikian, ada dua senjata utama mereka untuk mempengaruhi atau menundukkan sasaran, terutama politikus, pejabat militer, dan juga para penguasa, termsuk anggota legislatif, yakni dengan uang dan seks. Kisah tersendiri penyatuan sekte Illuminati dengan gerakan Freemasonry, keduanya gerakan Yahudi paganis, dan juga kisah tentang Baron Franz Friedrich Knigge yang pada tahun 1780 direkrut menjadi anggota dan sikap Comte de Virieu yang keluar dari sekte tersebut.



Dengan dukungan jaringan pers dan media massa yang sangat luas, komplotan Zionis ini dengan giat mempropagandakan kedustaan berupa hak sejarah kaum Yahudi atas tanah Palestina dan mendelegitimasi keberadaan orang Palestina di tanahnya sendiri. Herzl sendiri berkeliling Eropa untuk melobi para tokoh Eropa dan jaringan Yahudi di sana. Selain itu, Herzl yang menyambangi Sultan Abdul Hamid II di Turki dengan satu maksud agar bersedia bekerjasama dengan kaum Yahudi untuk menyerahkan tanah Palestina.



Di hadapan Sultan, Herzl menawarkan janji dari pemilik modal Yahudi internasional yang berkenan memulihkan kas keuangan Turki Utsmani yang sedang kosong jika Sultan mau bekerja sama.
Mendengar itu, dengan tegas Sultan Abdul Hamid II berkata, “Jangan lagi engkau membicarakan soal ini. Saya tidak akan menyisihkan sejengkal pun tanah Palestina karena tanah itu bukan milik saya, tetapi milik umat Islam. Kami berjuang untuk mendapatkan tanah itu dan menyuburkannya dengan darah umat ini. Biarkanlah orang Yahudi menyimpan uang mereka yang berjuta-juta banyaknya di peti mereka sendiri.”

Ternyata Herzl sangat tersinggung dan pergi dengan tangan hampa. Setelah itu, tidak berapa lama kemudian, komplotan zionis kembali mengirim tiga orang menghadap Sultan Abdul Hamid II, mereka adalah Mezrahi Krazu, Jack, dan Lion. Namun Sultan menolak bertemu dan hanya mengutus bawahannya bernama Takhsin Pasha.
 Dihadapan Takhsin Pasha, ketiga utusan tersebut kembali minta izin agar orang Yahudi diperkenankan mengunjungi Palestina untuk ziarah ke tempat-tempat suci mereka dan mendirikan sebuah perkampungan kecil dekat Yerusalem. Jika permintaan ini disetujui, maka kaum Zionis akan melunasi seluruh hutang kekhalifahan, akan membiayai berdirinya armada laut yang lengkap dengan kapal-kapal perangnya demi menjaga kedaulatan Turki Utsmani, dan akan memberikan kredit sebesar 35 juta lire uang emas tanpa bunga. Takshin menyampaikan ini kepada Sultan dan sikap Abdul Hamid II tak tergoyahkan.

Kepada Takhsin, Sultan berkata, “Katakan pada kaum Yahudi itu ;
Pertama, hutang pemerintah bukanlah suatu kejahatan. Negara lain seperti Prancis juga tersangkut hutang, dan semua itu tidak mempengaruhinya,
Kedua, Baitul Maqdis telah dibebaskan oleh kaum Muslimin atas pimpinan Umar bin Khattab r.a. Aku tidak bersedia menanggung nama buruk dalam sejarah, bahwa aku telah menjual tanah suci itu kepada Yahudi. Aku tidak mau mengkhianati amanah kaum Muslimin yang telah dipikulkan di atas pundakku,
Ketiga, katakan kepada mereka untuk menyimpan saja hartanya sendiri. Pemerintah negara tidak dibenarkan membina aparatur negaranya dengan uang musuh Islam, dan
Keempat, ini yang paling penting, suruh mereka segera angkat kaki dari sini, dan jangan boleh lagi mencoba menemui aku atau memasuki tempat ini!”

Ketegasan Sultan Abdul Hamid II inilah yang akhirnya menyebabkan komplotan zionis melancarkan konspirasi untuk menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmaniyah.

Akhirnya kekhalifahan Turki Utsmani benar-benar dibuat hancur secara moral pada 3 Maret 1924, hanya 27 tahun setelah Kongres Zionis Internasional pertama. Mustafa Kemal Attaturk, seorang Yahudi Dumamah Turki dari Kota Salonika, naik menjadi penguasa dan menghancurkan seluruh kehidupan beragama di Turki dan menggantinya dengan paham sekuler. Mustafa Kamal Ataturk merupakan seorang Mason dari Lodge Nidana. Selama berkuasa, Mustafa Kamal memperlihatkan watak seorang Yahudi asli yang sangat membenci agama. Saat berkuasa, setelah melarang adzan menggunakan bahasa Arab dan hanya diperbolehkan berbahasa Turki, Mustafa Kamal melewati suatu masjid yang masih mempergunakan adzan dengan bahasa Arab, seketika itu juga dirinya memerintahkan aparatnya untuk merobohkan masjid tersebut.

Herzl dan kawan-kawan Zionisnya tentu murka luar biasa. Tidak ada jalan lain, bujukan dan sogokan telah dilakukan dengan maksimal, maka jalan terakhir adalah dengan jalan menghancurkan kedudukan kekhalifahan Turki Utsmaniyah sebagai benteng terakhir umat Islam di abad ke-19 Masehi. Dengan intensif Herzl dan komplotannya merancang suatu gerakan infiltrasi untuk menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmaniyah.

Jalan pertama adalah tinggal menggerogoti wilayah kekuasaannya sehingga kekuatan dan pengaruh kekhalifahan tersebut kian lama kian sirna. Jalan kedua adalah dengan menyusupkan seseorang yang cerdas dan memiliki kemampuan, juga didukung oleh kondisi riil yang ada, yang mampu menghancurkan kekhalifahan dari dalam Turki sendiri. Berbagai stategi dirancang termasuk menghancurkan moral dan ahklak kaum muda Turki dengan serangan pemikiran dan juga serangan budaya (Ghozul Fikri).

Dengan melakukan gerakan ghozul fikri ini Yahudi mengadu domba antar orang-orang Turki dengan orang Arab, membisikan fitnah dan kejahatan yang diadakannya, sehingga baik dari pihak Arab maupun Turki timbullah sebuah persinggungan dan kecendrungan kebencian.

Beberapa hal yang kemudian terbukti dilakukan komplotan zionis pimpinan Theodore Herzl ini adalah memprovokasi keluarga Suud lewat seorang perwira Yahudi Inggris bernama T.E. Lawrence sehingga Saudi Arabia memberontak terhadap kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan mendirikan sistem pemerintahan kerajaan (monarkhi), sesuatu yang sesungguhnya tidak dikenal dalam sistem pemerintahan Islam. Upaya lain adalah menyusupkan seorang perwira Yahudi dari daerah Dumamah Turki bernama Mustafa Kemal yang menghancurkan kekalifahan Turki Utsmaniyah dan menjadikan Turki sebagai negara yang berjalan di atas prinsip-prinsip sekulerisme.

Dari dalam konspirasi Zionis telah memiliki seorang pion yakni seorang perwira di tubuh angkatan bersenjata Turki bernama Mustafa Kemal, seorang Turki kelahiran Salonika yang masih berdarah Yahudi. Dari luar, konspirasi akan menggerogoti pengaruh kekhalifahan di wilayah-wilayah luar Turki dengan cara mempr ovokasi satu-persatu tokoh-tokoh setempat, menumbuhkan sikap kesukuan serta harga diri kelompoknya, dan dibenturkan dengan bangsa Turki. Politik adu domba, seperti Devide et Impera-nya VOC Hindia Belanda terhadap Nusantara, dilakukan komplotan Zionis ini.

Pion-pion Zionis pun disebar dan disusupkan ke dalam lapisan elit mereka. Salah seorangnya Lawrence, yang berhasil menyusup dan menjalin hubungan mesra dengan klan Ibnu Saud yang merupakan dinasti berpengaruh di Saudi Arabia.

Hingga tercapainya peran dan maksud yahudi menguasai tanah dengan persyaratan dan kompensasi yang dimintanya kepada Saudi atas kemenangannya terhadap khilafah Turki, yaitu memberikan sebagian tanah Palestina kepada Yahudi (kini dikenal dengan nama Israel). Belum lagi perampasan dan penundukan paksa wilayah Hijaz (Mekah, Medinah sekitarnya), hingga mengorbankan darah kaum muslimin kala itu yang sedang menunaikan ibadah haji dan umrah, termasuk para imam besar mesjid Haram.
Sementara kedudukan wilayah Hijaz saat itu sebagai bagian dari kekhalifahan Turki, juga telah lama menerapkan sistem hukum syari’at Islam.

Kemudian sebagai tanah yang dihadiahkan Saudi kepada Yahudi dengan memorandum dan pembagian keuntungan. Sementara Arab Saudi yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam saat itu, belum bebas memainkan negeri Palestina, namun berkat kepiawaian seorang Lawrence, yang merupakan anak buah dari Jenderal Allenby (seorang jenderal yang sangat islamofobia), tokoh-tokoh Saudi akhirnya terprovokasi dan akhirnya melakukan pemberontakan terhadap kekhalifahan Islam yang berpusat di Turki. Bahkan dalam banyak pertempuan melawan pasukan kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah, Lawrence memimpin sendiri pasukan Saudi. Disebabkan jarak geografis yang cukup jauh dengan pusatnya, maka wilayah Saudi pun berhasil melepaskan diri dari kekhalifahan Islam dan berdiri sebagai kerajaan sendiri.

Pion Zionis T.E. Lawrence merupakan seorang pion kelompok Zionis. Hal ini dikemukakan oleh sejarawan Inggris bernama Martin Gilbert, yang di dalam artikelnya berjudul “Lawrence of Arabia  was a Zionist” (The Jerusalem Post, edisi 22 Februari 2007), menyebut Lawrence sebagai agen Zionisme Internasional. Sejak memberontak terhadap kekhalifahan Islam, Saudi Arabia menjadi sebuah kerajaan (monarki) di mana Dinasti Saud menjadi garis keturunan raja.

Walau secara formal kerajaan Saudi Arabia mencantumkan Islam sebagai agama resmi kerajaan, namun ada banyak hal yang bisa dijadikan catatan buruk bagi perannya dalam ikut berjuang menegakkan panji ketauhidan di seluruh muka bumi. Craig Unger, mantan deputi direktur New York Observer di dalam karyanya yang sangat berani berjudul “Dinasti Bush Dinasti Saud” (2004) memaparkan kelakuan beberapa oknum di dalam tubuh kerajaan negeri itu, bahkan di antaranya termasuk para pangeran dari keluarga kerajaan.

“Pangeran Bandar yang dikenal sebagai ‘Saudi Gatsby’ dengan ciri khas janggut dan jas rapih, adalah anggota kerajaan Dinasti Saudi yang bergaya hidup Barat, berada di kalangan jetset, dan belajar di Barat. Bandar selalu mengadakan jamuan makan mewah di rumahnya yang megah di seluruh dunia. Kapan pun ia bisa pergi dengan aman dari Arab Saudi dan dengan entengnya melabrak batas-batas aturan seorang Muslim. Ia biasa minum Brandy dan menghisap cerutu Cohiba,” tulis Unger.

Bandar, tambah Unger, merupakan contoh perilaku dan gaya hidup sejumlah syaikh yang berada di lingkungan elit kerajaan Saudi. “Dalam hal gaya hidup Baratnya, ia bisa mengalahkan orang Barat paling fundamentalis sekali pun.” Bandar adalah putera dari Pangeran Sultan, Menteri Pertahanan Saudi. Dia juga kemenakan dari Raja Fahd dan orang kedua yang berhak mewarisi mahkota kerajaan, sekaligus cucu dari (alm) King Abdul Aziz.

Lalu yang juga ironis adalah tindakan dari kerajaan Saudi yang menyerahkan penjagaan keamanan bagi negerinya termasuk Makkah dan Madinah kepada tentara Zionis Amerika. Bahkan Saudi mengontak Vinnel Corporation di tahun 1970-an untuk melatih tentaranya, Saudi Arabian National Guard (SANG) dan mengadakan logistik tempur bagi tentaranya. Vinnel merupakan salah satu Privat Military Company (PMC) terbesar di Amerika Serikat yang bisa disamakan dengan perusahaan penyedia tentara bayaran.

Dalam invasi Amerika Serikat ke Afghanistan dan Irak, Saudi bersikap pro-aktif membantu pasukan sekutu ini dengan menyediakan wilayahnya kepada pihak sekutu dengan harga sewa yang didiskon sampai dengan 30 persen. Tangan para syaikh Saudi berlumuran (mengalirkan) darah umat Islam Afghanistan dan Irak. Dan derita rakyat Palestina juga adalah tanggungjawab Saudi Arabia yang telah menyerahkan tanah Palestina kepada Yahudi (zionis Izrael) sehingga membuat Saudi dengan masalahnya ini berlarut-larut. Wajar bila Saudi dalam konflik Palestina kurang menaruh perhatian karena Saudi dengan Israel terlilit dengan ikatan perjanjian sejarah.

Maka inilah sebuah awal sejarah miris negara Islam yang mengaku sebagai penegak kalimat Tauhid akan tetapi malah ia membantu Kafir untuk menumpas umat Islam saudaranya sendiri.  Yahudi. tulah semua demi nafsu dunia (harta dan jabatan). (yma)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.