ANTARA HAMAS DAN SURIAH
1999 adalah tahun sulit buat Hamas.
Ia didepak keluar dari markas politiknya di Yordania, oleh sang raja yg baru dilantik, King Abdullah II. Hampir tak ada negara Arab yg mau menerima Hamas, krn mmg Hamas sudah kadung dicap sbg "teroris" oleh AS.
Ia didepak keluar dari markas politiknya di Yordania, oleh sang raja yg baru dilantik, King Abdullah II. Hampir tak ada negara Arab yg mau menerima Hamas, krn mmg Hamas sudah kadung dicap sbg "teroris" oleh AS.
Barulah pada 2001,
Hamas akhirnya menemukan negara yg mau menerimanya. Negara yg mengijinkan mrk membuka kantor biro politiknya kembali. Negara yg berani melawan ancaman Barat.
Itulah Suriah.
Dengan sang presidennya, Bashar Assad.
Saat itu, Bashar Assad mengundang Khaled Meshal -kepala biro politik Hamas- utk masuk dan membangunkan segala prasarana yg diperlukan. Tak hanya itu, kepindahan ke Suriah juga menjadi awal kontak yg lebih intensif antara Hamas dengan gerakan muqawwah anti Israel lainnya, yaitu Hizbullah. Walau berbeda aliran, Hamas dan Hizbullah menjalin hubungan yg cukup dekat, demi tujuan bersama: melawan okupansi Israel.
Di kantor barunya ini jugalah Hamas mendapat akses utk memodernisasi senjata-senjata militernya. Bila sebelumnya mereka hanya menggunakan "bambu runcing" aka senapan2 tua, mulai 2001 ini Hamas mulai memiliki jenis senjata baru yg lebih canggih: ROKET.
Tapi dari manakah roket-roket ini didapat Hamas? Dari mana mrk mendapat uang dan teknologi pembuatan roket?
Dari Iran, tentu saja.
Sebagai negara yg sama2 memusuhi Israel, Iran menemukan 'kecocokan chemistry' dlm diri Hamas. Maka, guliran dana dan teknologi mengalir dari Iran buat Hamas. Kita semua tahu, Iran adlh negara pemilik nuklir yg cukup ditakuti barat. Bukan hal sulit buat mrk utk membuat roket atau mengajarkan teknik pembuatan roket ke Hamas. Dan demikianlah, semenjak 2001, pola perjuangan Hamas mulai mengalami perubahan. Tak lagi hanya mengandalkan "bambu runcing", tapi mulai menggunakan roket demi roket yg diluncurkan sebagai tanda perlawanan.
Tapi, kenapa Bashar Assad mau menolong Hamas?
Yah, krn mmg begitulah tradisi yg diwarisi Bashar dari ayahnya, Hafez Assad. Mereka adalah orang2 yg semenjak dulu memusuhi Israel. Hafez, ayah Bashar, terlibat bbrp perang dengan Israel. Termasuk perang terakhir Arab vs Israel, yaitu Perang Yom Kippur, 1973.
Perang Yom Kippur adalah perang terakhir antara arab vs israel. Tak spt perang2 sebelumnya dimana semua negara arab turun melawan, di perang terakhir ini hanya Suriah dan Mesir saja yg turun ke gelanggang perang, walau mendapat support dr negara arab lain, di antaranya Saudi. Saat itu, raja Saudi, King Faishal sempat melakukan boikot minyak thdp AS, sbg tanda dukungan buat Suriah dan Mesir.
Perang ini berakhir dengan kekalahan di pihak Suriah dan Mesir. Hafez harus kehilangan Dataran Tinggi Golan. Namun demikian, ini tak mengubah sikap politiknya thdp Israel. Berbeda dengan Mesir yg tetiba berubah sikap. Yg sebelumnya memusuhi Israel, berbalik jadi mengakui. Adapun Hafez tetap dlm status bermusuhan dgn Israel sampai akhir hayatnya.
Demikianlah Hafez Assad. Walau terkenal dengan tangan besinya saat menumpas pemberontakan di era 80an yg dengan brutal menghilangkan ribuan nyawa, di saat yg lain ia juga dikenal sbg sosok pemimpin Arab yg keras thdp Israel. Dua wajah dalam 1 koin, itulah Hafez.
Selain dari sikap permusuhannya dengan Israel, dukungan Assad Family thdp Palestina jg tercermin dari sikap mereka terhadap para pengungsi Palestina.
Salah satu kamp pengungsi Palestina terbesar ada di Yarmouk, Suriah. Di sini Assad memperlakukan para pengungsi asing ini bak warga negaranya sendiri. Tak hanya membangun tenda, mereka bahkan membangunkan rusun-rusun buat para pengungsi ini. Lengkap dgn RS. Sekolah. Pertokoan. Bahkan sampai kafe dan salon, lengkap di kamp ini. Lokasi ini lebih cocok disebut "kampung" drpd "kamp pengungsi" saking lengkap fasilitasnya.
Dengan seluruh perannya, tak heran bila zionis jengah dengan eksistensi dinasti Assad.
Maka, taktik lama pun diulang kembali:
Taktik devide et impera. Alias adu domba.
Poros2 kekuatan anti Israel harus dilenyapkan. Yaitu Hamas dan Hizbullah.
Bagaimana cara melenyapkannya?
Melalui adu domba umat islam dalam Perang Suriah, tentu saja..
Semoga kita belajar dari pengalaman pahit ini.
*keterangan foto:
Kepala biro politik HAMAS, Khaled Meshal, pidato di Damaskus pada 2003, dengan latar belakang gambar Bashar Assad.
Hamas akhirnya menemukan negara yg mau menerimanya. Negara yg mengijinkan mrk membuka kantor biro politiknya kembali. Negara yg berani melawan ancaman Barat.
Itulah Suriah.
Dengan sang presidennya, Bashar Assad.
Saat itu, Bashar Assad mengundang Khaled Meshal -kepala biro politik Hamas- utk masuk dan membangunkan segala prasarana yg diperlukan. Tak hanya itu, kepindahan ke Suriah juga menjadi awal kontak yg lebih intensif antara Hamas dengan gerakan muqawwah anti Israel lainnya, yaitu Hizbullah. Walau berbeda aliran, Hamas dan Hizbullah menjalin hubungan yg cukup dekat, demi tujuan bersama: melawan okupansi Israel.
Di kantor barunya ini jugalah Hamas mendapat akses utk memodernisasi senjata-senjata militernya. Bila sebelumnya mereka hanya menggunakan "bambu runcing" aka senapan2 tua, mulai 2001 ini Hamas mulai memiliki jenis senjata baru yg lebih canggih: ROKET.
Tapi dari manakah roket-roket ini didapat Hamas? Dari mana mrk mendapat uang dan teknologi pembuatan roket?
Dari Iran, tentu saja.
Sebagai negara yg sama2 memusuhi Israel, Iran menemukan 'kecocokan chemistry' dlm diri Hamas. Maka, guliran dana dan teknologi mengalir dari Iran buat Hamas. Kita semua tahu, Iran adlh negara pemilik nuklir yg cukup ditakuti barat. Bukan hal sulit buat mrk utk membuat roket atau mengajarkan teknik pembuatan roket ke Hamas. Dan demikianlah, semenjak 2001, pola perjuangan Hamas mulai mengalami perubahan. Tak lagi hanya mengandalkan "bambu runcing", tapi mulai menggunakan roket demi roket yg diluncurkan sebagai tanda perlawanan.
Tapi, kenapa Bashar Assad mau menolong Hamas?
Yah, krn mmg begitulah tradisi yg diwarisi Bashar dari ayahnya, Hafez Assad. Mereka adalah orang2 yg semenjak dulu memusuhi Israel. Hafez, ayah Bashar, terlibat bbrp perang dengan Israel. Termasuk perang terakhir Arab vs Israel, yaitu Perang Yom Kippur, 1973.
Perang Yom Kippur adalah perang terakhir antara arab vs israel. Tak spt perang2 sebelumnya dimana semua negara arab turun melawan, di perang terakhir ini hanya Suriah dan Mesir saja yg turun ke gelanggang perang, walau mendapat support dr negara arab lain, di antaranya Saudi. Saat itu, raja Saudi, King Faishal sempat melakukan boikot minyak thdp AS, sbg tanda dukungan buat Suriah dan Mesir.
Perang ini berakhir dengan kekalahan di pihak Suriah dan Mesir. Hafez harus kehilangan Dataran Tinggi Golan. Namun demikian, ini tak mengubah sikap politiknya thdp Israel. Berbeda dengan Mesir yg tetiba berubah sikap. Yg sebelumnya memusuhi Israel, berbalik jadi mengakui. Adapun Hafez tetap dlm status bermusuhan dgn Israel sampai akhir hayatnya.
Demikianlah Hafez Assad. Walau terkenal dengan tangan besinya saat menumpas pemberontakan di era 80an yg dengan brutal menghilangkan ribuan nyawa, di saat yg lain ia juga dikenal sbg sosok pemimpin Arab yg keras thdp Israel. Dua wajah dalam 1 koin, itulah Hafez.
Selain dari sikap permusuhannya dengan Israel, dukungan Assad Family thdp Palestina jg tercermin dari sikap mereka terhadap para pengungsi Palestina.
Salah satu kamp pengungsi Palestina terbesar ada di Yarmouk, Suriah. Di sini Assad memperlakukan para pengungsi asing ini bak warga negaranya sendiri. Tak hanya membangun tenda, mereka bahkan membangunkan rusun-rusun buat para pengungsi ini. Lengkap dgn RS. Sekolah. Pertokoan. Bahkan sampai kafe dan salon, lengkap di kamp ini. Lokasi ini lebih cocok disebut "kampung" drpd "kamp pengungsi" saking lengkap fasilitasnya.
Dengan seluruh perannya, tak heran bila zionis jengah dengan eksistensi dinasti Assad.
Maka, taktik lama pun diulang kembali:
Taktik devide et impera. Alias adu domba.
Poros2 kekuatan anti Israel harus dilenyapkan. Yaitu Hamas dan Hizbullah.
Bagaimana cara melenyapkannya?
Melalui adu domba umat islam dalam Perang Suriah, tentu saja..
Semoga kita belajar dari pengalaman pahit ini.
*keterangan foto:
Kepala biro politik HAMAS, Khaled Meshal, pidato di Damaskus pada 2003, dengan latar belakang gambar Bashar Assad.
Post a Comment