MANUVER WAHABI DI INDONESIA

Arab Saudi telah berusaha keras selama puluhan tahun untuk menjadikan Indonesia jauh dari pendulum Islam moderat untuk menuju pendulum Wahabisme yang keras, yaitu agama negara di Arab Saudi. Kampanye Saudi untuk mengantarkan indonesia kepada titik itu dilakukan dengan sabar, beragam cara ditempuh dan (tentu) berhamburan dengan uang. Ini menjadi cerminan negara yang lain bahwa Saudi telah berhasil melaksanakan manuver politiknya di negara-negara Muslim di Asia dan Afrika.
Presiden-presiden Amerika secara turun temurun telah membuat kita merasa yakin dan mantap bahwa Arab Saudi adalah teman kita (Amerika, red) dan yang selalu berharap baik atas kondisi kita. Padahal kita tahu bahwa Osama bin Laden dan sebagian besar pembajak kejadian 9/11 adalah orang-orang Saudi, dan bahwa, seperti halnya yang ditulis oleh Sekretaris Negara Hillary Clinton dalam sebuah telegram diplomatik sekitar delapan tahun yang lalu, “para pendonor dana di Arab Saudi merupakan sumber pendanaan paling signifikan bagi terbentuknya kelompok-kelompok teroris Sunni di seluruh dunia”.⁠⁠⁠⁠
Peristiwa-peristiwa terkini di Indonesia memberikan titik terang mengenai proyek Saudi yang ternyata lebih berbahaya daripada sekedar mendanai para teroris. Arab Saudi menggunakan kekayaannya, yang sebagian besar juga berasal dari Amerika Serikat, untuk mengubah seluruh negara-negara di dunia ini menjadi sarang sarang Islam radikal. Dengan menolak untuk memprotes atau bahkan secara resmi mengakui proyek yang luas jangkauannya ini, kita membiayai sendiri para pembunuh – dan teror global ini.
Pusat kampanye Arab Saudi untuk mengubah orang-orang Indonesia menjadi Islam Wahabi adalah universitas yang memberikan bebas biaya kuliah di Jakarta yang dikenal dengan singkatan LIPIA. Seluruh bahasa pengantar menggunakan bahasa Arab, yang diberikan oleh para penceramah dari Arab Saudi dan negara-negara terdekat.
Perbedaan Gender dipisahkan; cara berpakaian yang sangat tegas diberlakukan. Musik, televisi, serta “tertawa keras”, dilarang. Para mahasiswa belajar dengan cara yang sangat konservatif dari ajaran Islam; mendukung amputasi tangan untuk pencuri, rajam untuk pezina, dan hukuman mati bagi kaum gay serta para penghujat (agama).
Banyak mahasiswa yang datang dari berbagai pondok yang jumlahnya lebih dari 100 pondok yang didanai Arab Saudi di Indonesia, atau paling tidak mereka pernah mendatangi satu dari 150 masjid yang dibangun oleh Saudi di Indonesia. Hal yang paling menjanjikan adalah pemberian beasiswa untuk belajar di Arab Saudi, yang setelah lulus mereka sepenuhnya siap untuk menimbulkan malapetaka sosial, politik, dan agama di tanah air mereka. Beberapa dari mereka mempromosikan kelompok teror seperti Hamas Indonesia dan Front Pembela Islam, yang belum pernah ada sebelum orang-orang Saudi tiba.
Karena menggebu ingin memanfaatkan kesempatan, Raja Salman dari Arab Saudi melakukan kunjungan sembilan hari ke Indonesia pada bulan Maret, disertai rombongan yang berjumlah 1.500 orang. Saudi setuju untuk mengizinkan lebih dari 200.000 orang Indonesia melakukan ziarah ke Mekkah setiap tahun -jumlah yang lebih banyak dibandingkan dari negara-negara lain-, dan Saudi meminta izin untuk membuka cabang-cabang baru universitas LIPIA mereka.

Beberapa orang Indonesia berusaha untuk menyerang melawan serangan Saudi terhadap nilai-nilai ajaran tradisional, namun sulit kiranya untuk menolak izin pendirian universitas/sekolah agama baru ketika Indonesia tidak dapat memberikan alternatif model pendidikan sekuler yang layak.

Di Indonesia, sebagaimana halnya di negara-negara lain yang didalamnya orang-orang Saudi aktif mempromosikan Wahabisme -termasuk di Pakistan, Afghanistan, dan Bosnia- kelemahan dan korupsi pemerintahan pusat menciptakan kaum pengangguran yang tidak terelakkan dan mudah tergoda oleh iming-iming janji makanan gratis dan sebuah tempat bagi para tentara Tuhan (syahid).

Tumbuh suburnya fundamentalisme yang sedang dalam proses mengubah Indonesia, mengajarkan beberapa hal. Pertama adalah hal yang sudah sangat lazim kita ketahui, tentang tabiat pemerintah Saudi. Saudi adalah kerajaan monarki absolut yang didukung oleh salah satu sekte keagamaan paling reaksioner di dunia.

Hal ini memberi angin segar bagi para pemuka agama untuk mempromosikan merek anti-Barat, anti-Kristen, anti-Semit, tentang militansi agama di luar negeri. Sebagai gantinya, para pemuka agama tersebut menahan diri untuk tidak mengkritik monarki Saudi atau ribuan pangeran yang bergaya hidup mewah.

Orang-orang Saudi yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga yang berkuasa untuk memberikan dukungan penting kepada kelompok-kelompok seperti Al Qaeda, Taliban, dan ISIS. Fakta ini harus berada di garda depan pikiran kita setiap kali kita mempertimbangkan kebijakan kita terhadap Timur Tengah – termasuk saat kita memutuskan apakah akan berpihak pada orang Saudi dalam Keberhasilan Arab Saudi dalam mengatur kembali Indonesia menunjukkan betapa pentingnya pertempuran global atas ide-ide besar. Banyak para pelaku kebijakan di Washington yang mempertimbangkan bahwa pengeluaran (budget) untuk proyek budaya dan “soft power” lainnya sebagai bentuk pemborosan. Saudi tidak berpikir demikian. Mereka mengucurkan uang dan sumber daya untuk mempromosikan pandangan dunia (worldview) mereka. Kita semestinya harus melakukan hal yang sama.

Pelajaran ketiga yang Indonesia ajarkan saat ini adalah tentang kerentanan demokrasi. Pada tahun 1998, kediktatoran militer Indonesia yang represif memberi jalan pada suatu sistem baru, berdasarkan pemilu bebas, yang menjanjikan hak sipil dan politik untuk semua orang. Para penceramah radikal yang sebelumnya telah dipenjara karena telah menumbuhkan kebencian keagamaan, merasa diri mereka bebas menyebarkan racun mereka.
Demokrasi memungkinkan mereka menempa massa secara besar-besaran yang menuntut kematian bagi orang murtad dan pembangkang. Partai politik mereka berkampanye dalam pemilu yang demokratis sebagai hak untuk berkuasa dan menghancurkan demokrasi. Ini adalah kenyataan yang menyedihkan bagi mereka yang meyakini bahwa satu sistem politik adalah yang terbaik dan paling cocok untuk semua negara dalam segala situasinya.
Kampanye Saudi untuk usaha radikalisasi Islam global juga membuktikan bahwa sekian peristiwa yang membuat bumi terguncang sering terjadi secara perlahan dan tidak frontal. Media pers, yang dengan penuh perhatian memfokuskan diri untuk menyuguhkan berita hari ini, sering kali menghilangkan sisi cerita yang lebih dalam dan lebih penting.
Para sejarawan jurnalistik terkadang menunjuk ke arah utara “migrasi besar” Afrika-Amerika setelah Perang Dunia II sebagai cerita penting yang oleh beberapa jurnalis diperhatikan dikarenaan peristiwa ini merupakan sebuah proses yang lamban dibandingkan dengan berita acara satu hari.
Hal yang sama berlaku dalam kampanye panjang Arab Saudi untuk mengajak 1,8 miliar muslim di dunia kembali ke abad ke-7. Kita hampir tidak menyadarinya, tapi setiap hari, dari Mumbai ke Manchester, kita bisa merasakan efeknya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.