MAJLIS TALIM SEBAGAI COUNTER FAHAM RADIKAL DAN PEMECAH BELAH
Sikap intoleransi berbasis agama dan etnis tampaknya masih menjadi persoalan riil sampai hari ini di Indonesia. Apalagi dalam perkembangannya, sikap intoleransi berbasis agama dan etnis seringkali disertai tindakan pengembirian hak-hak sipil, penyerangan fisik, serta pengrusakan properti.
Kasus terbaru terkait intoleransi berbasis agama dan etnis adalah apa yang terjadi di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada pekan lalu. (baca: Provokasi Kebencian oleh Pemuka Islam dalam Kasus Tanjung Balai)
Kepolisian sejauh ini sudah menetapkan 21 tersangka yang terlibat dalam aksi penyerangan dan pengrusakan itu dan sudah ditahan. Nama-nama pelaku bisa bertambah mengingat kepolisian masih terus mencari pelaku lainnya. Kepolisian juga memburu pelaku provokasi melalui sosial media. (baca: Negara Hadir: Pelaku Kerusuhan dan Penyebar Kebencian Tanjung Balai Ditangkap)
Kehadiran negara terkait kasus penyerangan di Tanjung Balai tentu patut diapresiasi. Negara melalui kepolisian membuktikan ketegasannya dalam menangani kasus intoleran berbasis agama dan etnis. Namun penindakan secara hukum saja rasanya tidak cukup. Negara juga harus memikirkan bagaimana sikap intoleransi itu sudah dibendung sejak di hilir.
Membendung sikap intoleransi sejak di hilir penting karena dua hal. Pertama, dalam banyak kasus kepolisian terkesan tidak berdaya menghalau massa intoleran yang sudah kehilangan akal sehat dan beringas. Kedua, untuk mendorong upaya preventif ketimbang upaya refresif yang seringkali mengkriminalkan korban.
Cara membendung sikap intoleransi sejak di hilir ialah dengan memberikan edukasi terus-menerus kepada masyarakat tentang betapa pentingnya nilai keberagaman, keterbukaan, anti diskriminasi, dan tunduk pada hukum agar terciptanya kedamaian dan harmoni di tengah masyarakat. Di internal umat Islam, edukasi terus-menerus itu bisa dilakukan, misalnya, melalui majelis taklim.
Majelis taklim adalah salah satu lembaga pendidikan yang diakui negara melalui Peraturan Pemeritah (PP) Nomor 52 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Majelis taklim adalah lembaga pendidikan keagamaan nonformal yang diselenggarakan untuk masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal.
Selain telah diakui negara, majelis taklim juga punya arti penting di tengah masyarakat Muslim. Hal itu terlihat dalam survei yang bertajuk “Survei Kebutuhan Pendidikan Keagamaan Non-Formal dan Informal pada Masyarakat”. Survei yang pertama kali dirilis pada akhir Juni lalu itu dilaksanakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta Kementerian Agama Republik Indonesia yang bekerjasama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Dalam survei yang digelar di 13 provinsi di bagian barat Indonesia yang menjadi wilayah kerja Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, yaitu seluruh provinsi di pulau Sumatera ditambah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat itu menunjukkan bahwa mayoritas responden menilai keberadaan majelis taklim sangat penting (60,4 persen). Yang menilai penting 36,4 persen.
Mayoritas responden juga mengaku dengan mudah menemukan kehadiran majelis taklim di lingkungannya (89,9 persen). Dari pengamatan mayoritas responden itu, sebagian besar (36,8 persen) menyebut ada lebih 5 majelis taklim berbeda yang ada di lingkungannya.
Yang menarik, majelis taklim lebih banyak tumbuh di wilayah perkotaan, ketimbangan perdesaan. Dari 13 provinsi itu, DKI Jakarta adalah provinsi yang keberadaan majelis taklimnya lebih banyak (98 persen). Selanjutnya secara berurutan ditempati Jawa Barat, Banten, Tengah Sumatera [Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi], Utara Sumatera [Aceh dan Sumatera Utara], dan terakhir Selatan Sumatera [Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung].
Tingkat partisipasi responden yang mengikuti majelis taklim pun terbilang tinggi. Mayoritas responden (51,6 persen) mengaku mengikuti majelis taklim seminggu sekali. Dari amatan responden yang sering mengikuti majelis taklim itu, umumnya jumlah peserta majelis taklim lebih dari 30 orang.
Alasan utama responden mengikuti majelis taklim adalah karena mereka merasa minim pengetahuan agama. Sedangkan kegiatan majelis taklim menurut pengakuan responden umumnya diisi dengan ceramah agama dan pengajian al-Quran atau pengajian kitab.
Dilihat dari latar belakang sosial, yang mengikuti majelis taklim ternyata cukup beragam. Pertama, majelis taklim tidak identik dengan kaum perempuan/ibu-ibu. Tingkat partisipasi kaum pria yang mengikuti majelis taklim cukup tinggi. Kedua, peserta majelis taklim tidak identik dengan kalangan sepuh. Peserta yang berusia relatif muda juga banyak yang menghadirinya.
Ketiga, yang mengikuti majelis taklim tidak hanya yang berlatar pendidikan umum semata, tapi juga yang berpendidikan agama. Terakhir, tingkat partisipasi responden dari kalangan menengah atas lebih tinggi dari responden kalangan menengah bawah.
Mayoritas responden menyatakan bahwa pemateri dalam kegiatan majelis taklim umumnya pamong atau pemuka agama dari wilayah kecamatan sekitar tempat tinggal. Sementara pamong atau pemuka agama yang mengisi kegiatan majelis taklim yang berasal dari luar kecamatan intensitas sangat jarang.
Survei ini juga mengungkap posisi penting pemateri/pamong/pemuka agama di tengah masyarakat dalam kegiatan majelis taklim.
Pertama, mayoritas responden menilai pemateri/pamong/pemuka agama adalah sumber pengetahuan keislaman yang paling utama (71,7 persen). Posisi kedua ditempati televisi (46,3), lalu orangtua (25,2), buku/kitab (14,6), situs agama di internet (10,1), dan lain-lain.
Kedua, mayoritas responden menilai pemateri/pamong/pemuka agama adalah sumber pengetahuan keislaman yang paling dipercayai (64,8 persen). Selanjutnya, orangtua (13,4) televisi (7,2), buku/kitab (3,6), kawan (0,8), situs agama di internet (0,6), dan lain-lain.
Bila memang keberadaan majelis taklim begitu penting bagi masyarakat Muslim dan tingkat partisipasi masyarakat Muslim yang mengikuti kegiatan majelis taklim cukup tinggi, lalu adakah dampaknya bagi kehidupan masyarakat Muslim yang disebabkan dari mengikuti kegiatan majelis taklim yang bisa dikuantifikasi?
Menurut Direktur Riset LSI Hendro Prasetyo dampak itu ada. Itu terlihat dari prilaku keislaman masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan majelis taklim dalam hal pelaksanaan salat lima waktu dan puasa Ramadan. (baca: Direktur Riset LSI: Tanpa Diatur, Mayoritas Muslim sudah Salat dan Berpuasa)
Hendro lebih jauh mengungkap bahwa mayoritas responden mengaku melaksanakan salat lima waktu. Rinciannya, yang mengaku selalu salat lima sekitar 25 persen, sementara yang mengaku sering sekitar 29 persen. Adapun responden yang mengaku kadang-kadang atau tidak pernah melaksanakan salat jumlahnya kecil sekali, yaitu 19 persen.
Dampak yang sama terlihat dalam pelaksanakan puasa Ramadan. Mayoritas responden mengaku berpuasa di bulan Ramadan. Rinciannya, yang mengaku selalu berpuasa sekitar 60 persen, sementara yang mengaku sering 27 persen. Sedangkan responden yang mengaku tidak pernah puasa atau kadang-kadang sangat minoritas, yaitu hanya 6 persen.
“Semakin rajin masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan seperti majelis taklim, semakin besar kemungkinan masyarakat itu menjadi religius,” simpul dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta itu saat mempresentasikan hasil survei tersebut.
Bercermin dari hasil survei dan paparan Direktur Riset LSI di atas, tidak bisa dipungkiri pentingnya keberadaan majelis taklim dan dampaknya bagi masyarakat Muslim. Terlebih jumlah majelis taklim selalu bertambah setiap tahun. Data Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI menyebut ada sekitar 165.000 jumlah majelis taklim se-Indonesia sampai 2012.
Tentu sangat disayangkan potensi majelis taklim yang begitu besar selama ini hanya dimanfaatkan segelintir elite agama dan politik semata-mata untuk mencari keuntungan jangka pendek dalam pemilihan umum. Sementara tujuan utama keberadaan majelis taklim, yaitu “meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia peserta didik serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta” (PP Nomor 52 Tahun 2007 Pasal 23) terabaikan.
Karena itu, sudah saatnya negara, melalui Kementerian Agama memanfaatkan kekuatan yang dimiliki majelis taklim tadi untuk menyebarkan nilai-nilai yang mendukung terwujudnya kedamaian dan harmoni di tengah masyarakat, seperti keberagaman, keterbukaan, anti diskriminasi, dan tunduk pada hukum.
Keseriusan negara dalam membendung sikap intoleransi berbasis agama dan etnis sejak di hilir bisa dimulai dari pemberian penyuluhan dan penamanan nilai-nilai di atas kepada pemateri atau pamong sebagai sumber pengetahuan keagamaan yang paling utama dan paling dipercaya berdasarkan hasil survei di atas.
Harapannya, di kemudian hari para pemateri atau pamong yang telah mendapat penyuluhan dan wawasan yang baru itu ikut serta dalam agenda besar penyebaran pandangan keislaman yang rahmatan lil alamin, sebagaimana tujuan utama keberadaan majelis taklim, dalam materi yang mereka sampaikan dalam kegiatan majelis taklim.
Kasus terbaru terkait intoleransi berbasis agama dan etnis adalah apa yang terjadi di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada pekan lalu. (baca: Provokasi Kebencian oleh Pemuka Islam dalam Kasus Tanjung Balai)
Kepolisian sejauh ini sudah menetapkan 21 tersangka yang terlibat dalam aksi penyerangan dan pengrusakan itu dan sudah ditahan. Nama-nama pelaku bisa bertambah mengingat kepolisian masih terus mencari pelaku lainnya. Kepolisian juga memburu pelaku provokasi melalui sosial media. (baca: Negara Hadir: Pelaku Kerusuhan dan Penyebar Kebencian Tanjung Balai Ditangkap)
Kehadiran negara terkait kasus penyerangan di Tanjung Balai tentu patut diapresiasi. Negara melalui kepolisian membuktikan ketegasannya dalam menangani kasus intoleran berbasis agama dan etnis. Namun penindakan secara hukum saja rasanya tidak cukup. Negara juga harus memikirkan bagaimana sikap intoleransi itu sudah dibendung sejak di hilir.
Membendung sikap intoleransi sejak di hilir penting karena dua hal. Pertama, dalam banyak kasus kepolisian terkesan tidak berdaya menghalau massa intoleran yang sudah kehilangan akal sehat dan beringas. Kedua, untuk mendorong upaya preventif ketimbang upaya refresif yang seringkali mengkriminalkan korban.
Cara membendung sikap intoleransi sejak di hilir ialah dengan memberikan edukasi terus-menerus kepada masyarakat tentang betapa pentingnya nilai keberagaman, keterbukaan, anti diskriminasi, dan tunduk pada hukum agar terciptanya kedamaian dan harmoni di tengah masyarakat. Di internal umat Islam, edukasi terus-menerus itu bisa dilakukan, misalnya, melalui majelis taklim.
Majelis taklim adalah salah satu lembaga pendidikan yang diakui negara melalui Peraturan Pemeritah (PP) Nomor 52 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Majelis taklim adalah lembaga pendidikan keagamaan nonformal yang diselenggarakan untuk masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal.
Selain telah diakui negara, majelis taklim juga punya arti penting di tengah masyarakat Muslim. Hal itu terlihat dalam survei yang bertajuk “Survei Kebutuhan Pendidikan Keagamaan Non-Formal dan Informal pada Masyarakat”. Survei yang pertama kali dirilis pada akhir Juni lalu itu dilaksanakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta Kementerian Agama Republik Indonesia yang bekerjasama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Dalam survei yang digelar di 13 provinsi di bagian barat Indonesia yang menjadi wilayah kerja Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, yaitu seluruh provinsi di pulau Sumatera ditambah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat itu menunjukkan bahwa mayoritas responden menilai keberadaan majelis taklim sangat penting (60,4 persen). Yang menilai penting 36,4 persen.
Mayoritas responden juga mengaku dengan mudah menemukan kehadiran majelis taklim di lingkungannya (89,9 persen). Dari pengamatan mayoritas responden itu, sebagian besar (36,8 persen) menyebut ada lebih 5 majelis taklim berbeda yang ada di lingkungannya.
Yang menarik, majelis taklim lebih banyak tumbuh di wilayah perkotaan, ketimbangan perdesaan. Dari 13 provinsi itu, DKI Jakarta adalah provinsi yang keberadaan majelis taklimnya lebih banyak (98 persen). Selanjutnya secara berurutan ditempati Jawa Barat, Banten, Tengah Sumatera [Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi], Utara Sumatera [Aceh dan Sumatera Utara], dan terakhir Selatan Sumatera [Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung].
Tingkat partisipasi responden yang mengikuti majelis taklim pun terbilang tinggi. Mayoritas responden (51,6 persen) mengaku mengikuti majelis taklim seminggu sekali. Dari amatan responden yang sering mengikuti majelis taklim itu, umumnya jumlah peserta majelis taklim lebih dari 30 orang.
Alasan utama responden mengikuti majelis taklim adalah karena mereka merasa minim pengetahuan agama. Sedangkan kegiatan majelis taklim menurut pengakuan responden umumnya diisi dengan ceramah agama dan pengajian al-Quran atau pengajian kitab.
Dilihat dari latar belakang sosial, yang mengikuti majelis taklim ternyata cukup beragam. Pertama, majelis taklim tidak identik dengan kaum perempuan/ibu-ibu. Tingkat partisipasi kaum pria yang mengikuti majelis taklim cukup tinggi. Kedua, peserta majelis taklim tidak identik dengan kalangan sepuh. Peserta yang berusia relatif muda juga banyak yang menghadirinya.
Ketiga, yang mengikuti majelis taklim tidak hanya yang berlatar pendidikan umum semata, tapi juga yang berpendidikan agama. Terakhir, tingkat partisipasi responden dari kalangan menengah atas lebih tinggi dari responden kalangan menengah bawah.
Mayoritas responden menyatakan bahwa pemateri dalam kegiatan majelis taklim umumnya pamong atau pemuka agama dari wilayah kecamatan sekitar tempat tinggal. Sementara pamong atau pemuka agama yang mengisi kegiatan majelis taklim yang berasal dari luar kecamatan intensitas sangat jarang.
Survei ini juga mengungkap posisi penting pemateri/pamong/pemuka agama di tengah masyarakat dalam kegiatan majelis taklim.
Pertama, mayoritas responden menilai pemateri/pamong/pemuka agama adalah sumber pengetahuan keislaman yang paling utama (71,7 persen). Posisi kedua ditempati televisi (46,3), lalu orangtua (25,2), buku/kitab (14,6), situs agama di internet (10,1), dan lain-lain.
Kedua, mayoritas responden menilai pemateri/pamong/pemuka agama adalah sumber pengetahuan keislaman yang paling dipercayai (64,8 persen). Selanjutnya, orangtua (13,4) televisi (7,2), buku/kitab (3,6), kawan (0,8), situs agama di internet (0,6), dan lain-lain.
Bila memang keberadaan majelis taklim begitu penting bagi masyarakat Muslim dan tingkat partisipasi masyarakat Muslim yang mengikuti kegiatan majelis taklim cukup tinggi, lalu adakah dampaknya bagi kehidupan masyarakat Muslim yang disebabkan dari mengikuti kegiatan majelis taklim yang bisa dikuantifikasi?
Menurut Direktur Riset LSI Hendro Prasetyo dampak itu ada. Itu terlihat dari prilaku keislaman masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan majelis taklim dalam hal pelaksanaan salat lima waktu dan puasa Ramadan. (baca: Direktur Riset LSI: Tanpa Diatur, Mayoritas Muslim sudah Salat dan Berpuasa)
Hendro lebih jauh mengungkap bahwa mayoritas responden mengaku melaksanakan salat lima waktu. Rinciannya, yang mengaku selalu salat lima sekitar 25 persen, sementara yang mengaku sering sekitar 29 persen. Adapun responden yang mengaku kadang-kadang atau tidak pernah melaksanakan salat jumlahnya kecil sekali, yaitu 19 persen.
Dampak yang sama terlihat dalam pelaksanakan puasa Ramadan. Mayoritas responden mengaku berpuasa di bulan Ramadan. Rinciannya, yang mengaku selalu berpuasa sekitar 60 persen, sementara yang mengaku sering 27 persen. Sedangkan responden yang mengaku tidak pernah puasa atau kadang-kadang sangat minoritas, yaitu hanya 6 persen.
“Semakin rajin masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan seperti majelis taklim, semakin besar kemungkinan masyarakat itu menjadi religius,” simpul dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta itu saat mempresentasikan hasil survei tersebut.
Bercermin dari hasil survei dan paparan Direktur Riset LSI di atas, tidak bisa dipungkiri pentingnya keberadaan majelis taklim dan dampaknya bagi masyarakat Muslim. Terlebih jumlah majelis taklim selalu bertambah setiap tahun. Data Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI menyebut ada sekitar 165.000 jumlah majelis taklim se-Indonesia sampai 2012.
Tentu sangat disayangkan potensi majelis taklim yang begitu besar selama ini hanya dimanfaatkan segelintir elite agama dan politik semata-mata untuk mencari keuntungan jangka pendek dalam pemilihan umum. Sementara tujuan utama keberadaan majelis taklim, yaitu “meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia peserta didik serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta” (PP Nomor 52 Tahun 2007 Pasal 23) terabaikan.
Karena itu, sudah saatnya negara, melalui Kementerian Agama memanfaatkan kekuatan yang dimiliki majelis taklim tadi untuk menyebarkan nilai-nilai yang mendukung terwujudnya kedamaian dan harmoni di tengah masyarakat, seperti keberagaman, keterbukaan, anti diskriminasi, dan tunduk pada hukum.
Keseriusan negara dalam membendung sikap intoleransi berbasis agama dan etnis sejak di hilir bisa dimulai dari pemberian penyuluhan dan penamanan nilai-nilai di atas kepada pemateri atau pamong sebagai sumber pengetahuan keagamaan yang paling utama dan paling dipercaya berdasarkan hasil survei di atas.
Harapannya, di kemudian hari para pemateri atau pamong yang telah mendapat penyuluhan dan wawasan yang baru itu ikut serta dalam agenda besar penyebaran pandangan keislaman yang rahmatan lil alamin, sebagaimana tujuan utama keberadaan majelis taklim, dalam materi yang mereka sampaikan dalam kegiatan majelis taklim.
Post a Comment