BEBERAPA SIFAT AGUNG NAN MULIA RASULILLAH SHOLALLHU ALAIHI WASALLAM
Bayangkan kita mendekati rumah Nabi Muhammad dan mengetuk pintunya, kemudian ita khayalkan seakan-akan kita mendengar langsung dari orang yang pernah bertemu dengan beliau, bertatap muka, atau hidup bersama beliau. Biarkan orang itu menggambarkan kepada kita sifat dan fisik Nabi Muhammad seakan-akan kita melihatnya secara langsung, agar kita melihat pancaran sinar matanya yang agung dan senyumnya yang menawan.
Diriwayatkan oleh al-Barra’ bin Azib radiyallahu ‘anhu,
“Setahuku, Rasulullah itu adalah orang yang paling tampan wajahnya, paling baik akhlaqnya. Tidak tinggi sekali dan juga tidak pendek (tubuhnya).” (H.R. Bukhari)
“Rasulullah adalah orang yang sedang (tingginya), jarak antara kedua bahunya menandakan beliau lelaki yang gagah, rambutnya panjang menyentuh ujung telinganya, aku melihat (wajahnya) kemerah-merahan. Belum pernah aku melihat sesuatu yang lebih bagus dan indah daripada Rasulullah.” [1]
Di antara sifat-sifat beliau adalah malu. Malu dalam hal yang pantas untuk malu, tetapi tegas dalam hal yang menyangkut akhlaq dan kebenaran. Sampai-sampai Sahabat Abu Said al-Khudri mengatakan,
“Rasulullah lebih pemalu dari seorang perawan dalam pingitan. Bila beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, kami tahu dari raut wajahnya.” (H.R. Bukhari)
Cara Nabi Muhammad Berbicara
Sekarang, mari kita lihat bagaimana Rasulullah berbicara. Sebelumnya, dengarlah apa yang dikatakan Aisyah radiyallahu ‘anha,
“Rasulullah tidak pernah berbicara penuh sebagaimana bicaramu ini (cerewet), tetapi beliau berbicara dengan perkataan yang pas, jelas, padat, sehingga bisa dihafal oleh orang yang ada di sekitarnya.” (H.R. Abu Daud)
Rasulullah selalu berbicara dengan mudah dan sopan serta lemah-lembut, karena beliau ingin agar orang lain mengerti arah pembicaraannya. Beliau sangat menjaga perbedaan-perbedaan di antara umatnya sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Beliau sangat peka bahwa pemahaman dan cara berpikir umatnya berbeda-beda. Oleh karena itu, beliau memilih untuk bersikap halim (menerima perbedaan walaupun tidak sesuai dengan isi hati) dan sabar, sehingga menyenangkan lawan bicaranya. Diriwayatkan dari Aisyah,
“Rasulullah selalu berbicara dengan perkataan yang jelas yang bisa dipahami orang yang mendengar.”
Renungkanlah bagaimana Rasulullah yang berakhlaq mulia sangat lembut dan bersahabat, lapang dada, serta terbuka. Beliau rela mengulangi perkataannya agar dimengerti oleh orang lain. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik,
“Rasulullah sering mengulang perkataannya sampai tiga kali supaya dimengerti dan dipahami.” (H.R. Bukhari)
Rasulullah juga suka bercanda dengan para Sahabat untuk mengurangi rasa takut karena sebagian di antara mereka ada yang takut kepada yang lain.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah pernah didatangi oleh seorang laki-laki yang sangat ketakutan hingga gemetar seluruh tubuhnya. Laki-laki itu lalu ditenangkan oleh Rasulullah sambil berkata,
“Tenanglah karena aku bukanlah seorang raja. Aku adalah anak seorang wanita yang memakan daging kering (dendeng).” (H.R. Ibnu Majah)
Saya menyarankan agar para membaca juga melihat artikel-artikel lainnya tentang Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam. Hal ini dimaksudkan agar kita lebih mengenal pribadi beliau sehingga tumbuhlah rasa cinta kepada beliau.
Diriwayatkan oleh al-Barra’ bin Azib radiyallahu ‘anhu,
“Setahuku, Rasulullah itu adalah orang yang paling tampan wajahnya, paling baik akhlaqnya. Tidak tinggi sekali dan juga tidak pendek (tubuhnya).” (H.R. Bukhari)
“Rasulullah adalah orang yang sedang (tingginya), jarak antara kedua bahunya menandakan beliau lelaki yang gagah, rambutnya panjang menyentuh ujung telinganya, aku melihat (wajahnya) kemerah-merahan. Belum pernah aku melihat sesuatu yang lebih bagus dan indah daripada Rasulullah.” [1]
Di antara sifat-sifat beliau adalah malu. Malu dalam hal yang pantas untuk malu, tetapi tegas dalam hal yang menyangkut akhlaq dan kebenaran. Sampai-sampai Sahabat Abu Said al-Khudri mengatakan,
“Rasulullah lebih pemalu dari seorang perawan dalam pingitan. Bila beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, kami tahu dari raut wajahnya.” (H.R. Bukhari)
Cara Nabi Muhammad Berbicara
Sekarang, mari kita lihat bagaimana Rasulullah berbicara. Sebelumnya, dengarlah apa yang dikatakan Aisyah radiyallahu ‘anha,
“Rasulullah tidak pernah berbicara penuh sebagaimana bicaramu ini (cerewet), tetapi beliau berbicara dengan perkataan yang pas, jelas, padat, sehingga bisa dihafal oleh orang yang ada di sekitarnya.” (H.R. Abu Daud)
Rasulullah selalu berbicara dengan mudah dan sopan serta lemah-lembut, karena beliau ingin agar orang lain mengerti arah pembicaraannya. Beliau sangat menjaga perbedaan-perbedaan di antara umatnya sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Beliau sangat peka bahwa pemahaman dan cara berpikir umatnya berbeda-beda. Oleh karena itu, beliau memilih untuk bersikap halim (menerima perbedaan walaupun tidak sesuai dengan isi hati) dan sabar, sehingga menyenangkan lawan bicaranya. Diriwayatkan dari Aisyah,
“Rasulullah selalu berbicara dengan perkataan yang jelas yang bisa dipahami orang yang mendengar.”
Renungkanlah bagaimana Rasulullah yang berakhlaq mulia sangat lembut dan bersahabat, lapang dada, serta terbuka. Beliau rela mengulangi perkataannya agar dimengerti oleh orang lain. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik,
“Rasulullah sering mengulang perkataannya sampai tiga kali supaya dimengerti dan dipahami.” (H.R. Bukhari)
Rasulullah juga suka bercanda dengan para Sahabat untuk mengurangi rasa takut karena sebagian di antara mereka ada yang takut kepada yang lain.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah pernah didatangi oleh seorang laki-laki yang sangat ketakutan hingga gemetar seluruh tubuhnya. Laki-laki itu lalu ditenangkan oleh Rasulullah sambil berkata,
“Tenanglah karena aku bukanlah seorang raja. Aku adalah anak seorang wanita yang memakan daging kering (dendeng).” (H.R. Ibnu Majah)
Saya menyarankan agar para membaca juga melihat artikel-artikel lainnya tentang Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam. Hal ini dimaksudkan agar kita lebih mengenal pribadi beliau sehingga tumbuhlah rasa cinta kepada beliau.
[1] Al-Thabaqaat al-kubra: Ibnu Sa’ad 1/449. Dan, al-Sirah an-Nabawiyah: Ibnu Katsir 3/274
Post a Comment