YAHUDI BANI QOINUQA DAN TURUNNYA qs: Surat Ali Imran ayat 12-13
Yahudi Bani Qoinuqa’
Pada
saat itu ummat tengah menghadapi pengepungan kaum Quraish di luar
Madinah. Nabi Muhammad memandang suku Yahudi menjadi sebuah resiko
keamanan. Jika bala tentara Mekkah hendak berkemah di selatan Madinah, yang merupakan wilayah
dua suku paling berpengaruh, para tentara Yahudi dapat dengan mudah
bergabung dengan Quraisy, yang mereka anggap sebagai sekutu. Jika
Quraisy menyerang kota dari utara, yang merupakan pilihan terbaik
mereka, suku Yahudi dapat menyerang Muslim dari belakang sehingga
mereka benar-benar terkepung. Nabi Muhammad menyadari bahwa dia harus
menghentikan pertikaian ini. Orang Yahudi yang telah beralih ke Islam
memberinya informasi bahwa Bani Qoinuqa’, suku terkecil di antara
mereka, adalah yang paling keras terhadap ummat. Sebelum hijrah mereka
merupakan sekutu Ibnu Ubbay dan setelah perang Badar mereka memutuskan
perjanjian mereka dengan Nabi Muhammad dan menghidupkan kembali
persekutuan lama untuk membesarkan oposisi dan menyingkirkan Nabi.
Wilayah mereka lebih dekat ke pusat “kota” Madinah. Tak seperti dua
suku lainnya, mereka bukan petani melainkan pandai besi dan tukang
kayu. Segera setelah Badar dan pembelotan Ka”ab ke Mekkah, Nabi Muhammad
mengunjungi mereka di wilayah mereka dan mendesak mereka agar
menerimanya sebagai nabi demi tradisi agama mereka yang sama. Yahudi
suku Qoinuqa’ mendengarkan dakam keheningan dan menjawab bahwa mereka
tak bermaksud tinggal dalam ummat: “Oh Nabi Muhammad, tampaknya engkau
berpikir bahwa kami adalah orang-orangmu. Jangan menipu diri sendiri
karena engkau telah berperang di Badar tanpa sedikit pun pengetahuan
tentang perang dan memenangkannya; karena demi Tuhan jika kami
memerangimu, akan kau lihat bahwa kami adalah laki-laki sejati!”
Setelah ancaman ini, Nabi Muhammad menarik diri dan menunggu
perkembangan.
Beberapa
hari kemudian terjadi sebuah insiden di pasar Qoinuqa’. Salah seorang
pandai besi Yahudi mengganggu seorang perempuan Muslim yang tengah
berdagang di sana. Dengan diam-diam dia mengaitkan ujung rok bawah
perempuan itu di bagian belakang ke bagian atas pakainnya, sehingga
ketia berdiri, sebagian tubuh bagian bawah perempuan itu akan
terekspos. Perasaan terpendam antara ummat Muslim dan Yahudi Qoinuqa’
agaknya sudah begitu memuncak, sehingga ketika salah seorang Anshar
melompat ke arah pandai besi itu dengan teriakan kemarahan, langsung
terjadi perkelahian mengerikan antara kedua kelompok, menewaskan
seorang Muslim dan seorang Yahudi. Dengan demikian jumlah korban
seimbang. Nabi Muhammad dipanggil, dalam kapasitasnya sebagai hakim
perselisihan, untuk mengembalikan perdamaian. Namun kaum Yahudi menolak
arbitrasinya, membuat barikade ke benteng mereka, dan menyeru pada
sekutu Arab untuk membantu mereka. Qoinuqa’ memiliki sekitar 700 orang
siap tempur. Jika sekutu Arab mereka menjawab panggilan itu sambil
membawa kekuatan mereka untuk berhadapan dengan Nabi Muhammad, mereka
akan sulit dikalahkan. Ibnu Ubbay sangat bersemangat untuk menolong
Qoinuqa’ dan berkonsultasi dengan sekutu mereka yang lain, Ubadah bin
Shamit. Namun Ubadah adalah adalah seorang Muslim yang taat dan dia
menunjukkan bahwa persekutuan lamanya dengan ummat Yahudi telah
dibatalkan begitu mereka menandatangani perjanjian dengan Nabi
Muhammad. Ubnu Ubbay menyadari bahwa dia tak sanggup membantu karena
sebagian orang Arab tetap berdiri kukuh di belakang Nabi. Qoinuqa’
berharap memimpin pemberontakan melawan Nabi Muhammad dan para sahabat
Muhajirin, namun malahan, mereka terkepung oleh suku-suku Arab yang ada
di Madinah. Selama dua minggu mereka menunggu Ibnu Ubbay melaksanakan
janjinya, namun akhirnya mereka terpaksa menyerah tanpa syarat.
Seketika
itu juga Ibnu Ubbay mendatangi Nabi Muhammad dan memohon agar Nabi
memperlakukan mereka dengan baik. Ketika Nabi tidak menjawab, Ubbay
menarik kerah bajunya. Nabi Muhammad menjadi sangat marah. Ibnu Ubbay
tetap pada pendiriannya : bagaimana dia dapat meninggalkan sahabat
sahabat lamanya, yang telah sering membantunya di masa lalu? dia tahu
bahwa Nabi Muhammad berhak, sesuai konvensi Arab, untuk menghabisi
seluruh suku, namun Nabi Muhammad membiarkan orang-orang Qainuqa’ hidup
dengan catatan mereka harus meninggalkan oase. Ibnu Ubbay diminta untuk
menemani mereka keluar Madinah. Begitu mereka mengerti bahwa
Ibnu Ubbay tak lagi memiliki kekuatan untuk menolong mereka, Qainuqa’
siap meninggalkan tempat tinggalnya. Berikut ini ungkapan Karen
Amstrong tentang hubungan Nabi dengan kaum Yahudi di Madinah:
“Sangat
sulit bagi orang Barat menanggapi hubungan Nabi Muhammad dengan kaum
Yahudi di Madinah, karena hal ini mengangkat terlalu banyak hal
memalukan dari masa lalu kita sendiri. Namun perjuangan Nabi Muhammad
menghadapi tiga suku utama Yahudi di oase amat berbeda dengan kebencian
rasial dan agama yang menyerang ummat Kristen Eropa selama hampir
seribu tahun. Terror irasional yang dirasakan ummat Kristen menemukan
ekspresi finalnya dalam perang salib secular Hitler terhadap Yahudi.
Nabi Muhammad tak memiliki fantasi dan hal menakutkan itu. Dia tak
memiliki kehendak untuk menjadikan Madinah sebagai Judenrein. Perselisihannya
dengan Qainuqa’ murni politis dan tak pernah diteruskan pada klan-klan
kecil Yahudi di Madinah yang tetap setia pada Perjanjian dan hidup
bersama kaum Muslim dalam damai”.
Pengusiran Bani Qunaiqa adalah
peristiwa pertama pengusiran terhadap entitas Yahudi di Madinah. Ini
sebagai balasan pengkhianatan yang mereka lakukan atas perjanjian yang
telah disepakati.
Usai kaum Muslimin mendapatkan kemenangan dalam Perang Badar, sikap Yahudi Bani Qunaiqa di Madinah makin menjadi-jadi. Mereka makin lancang, mengolok-olok, mengejek dan mengganggu Muslim yang datang ke pasar mereka. Bahkan mengganggu wanita Muslimah. Padahal keberadaan Yahudi Bani Qunaiqa ini dilindungi atas dasar perjanjian dalam Piagam Madinah.
Atas tindakan ini, seperti diceritakan Ibnu Ishaq, lantas Rasulullah Saw mengumpulkan mereka di Pasar Qainuqa. Beliau bersabda, “Wahai kaum Yahudi takutlah kepada murka Allah yang telah ditimpakan kepada kaum Quraisy. Masuklah kalian ke dalam Islam karena sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa aku adalah nabi yang diutus (Allah) sebagaimana kalian dapati di kitab kalian dan janji Allah kepada kalian!’.
Jawab mereka, “Wahai Muhammad apakah kamu mengira kami ini seperti kamu? Janganlah kamu membanggakan kemenangan terhadap suatu kaum yang tidak mengerti suatu peperangan. Demi Allah seandanya kami yang kamu hadapi seperti di dalam suatu peperangan niscaya kamu akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini.” Atas peristiwa ini, Allah Swt menurunkan Surat Ali Imran ayat 12-13:
“Katakanlah kepada orang-orang yang
kafir: "Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke
dalam neraka Jahannam. dan Itulah tempat yang seburuk-buruknya".
Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah
bertemu (bertempur). segolongan berperang di jalan Allah dan
(segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat
(seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah
menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai mata hati.”Usai kaum Muslimin mendapatkan kemenangan dalam Perang Badar, sikap Yahudi Bani Qunaiqa di Madinah makin menjadi-jadi. Mereka makin lancang, mengolok-olok, mengejek dan mengganggu Muslim yang datang ke pasar mereka. Bahkan mengganggu wanita Muslimah. Padahal keberadaan Yahudi Bani Qunaiqa ini dilindungi atas dasar perjanjian dalam Piagam Madinah.
Atas tindakan ini, seperti diceritakan Ibnu Ishaq, lantas Rasulullah Saw mengumpulkan mereka di Pasar Qainuqa. Beliau bersabda, “Wahai kaum Yahudi takutlah kepada murka Allah yang telah ditimpakan kepada kaum Quraisy. Masuklah kalian ke dalam Islam karena sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa aku adalah nabi yang diutus (Allah) sebagaimana kalian dapati di kitab kalian dan janji Allah kepada kalian!’.
Jawab mereka, “Wahai Muhammad apakah kamu mengira kami ini seperti kamu? Janganlah kamu membanggakan kemenangan terhadap suatu kaum yang tidak mengerti suatu peperangan. Demi Allah seandanya kami yang kamu hadapi seperti di dalam suatu peperangan niscaya kamu akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini.” Atas peristiwa ini, Allah Swt menurunkan Surat Ali Imran ayat 12-13:
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Abu Uwanah bahwa seorang wanita Arab membawa perhiasannya ke tempat pedagang Yahudi Bani Qainuqa. Ia mendatangi tukang sepuh untuk menyepuhkan perhiasannya kemudian duduk menunggu tukang sepuh Yahudi menyelesaikan pekerjaannya. Kemudian datanglah orang-orang Yahudi berkerumun dan menyuruh kepada wanita Arab itu untuk membuka penutup wajah mukanya tapi ia menolak. Tanpa sepengetahuan wanita Arab itu, si tukang sepuh menyangkutkan ujung pakaiannya yang menutup seluruh tubuhnya pada bagian tubuhnya. Ketika wanita itu berdiri terbukalah aurat bagian belakangnya. Orang-orang Yahudi yang melihatnya tertawa terbahak-bahak. Wanita itu menjerit minta tolong.
Mendengar teriakan itu, seorang lelak Muslim yang berada di tempat perniagaan itu langsung menyerang tukang sepuh Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi yang berada di tempat itu mengeroyoknya hingga laki-laki itu mati terbunuh. Tindakan orang orang Yahudi yang membunuh orang Muslimin menyebabkan kemarahan kaum Muslimin sehingga terjadilah peperangan antara kaum Muslimin dengan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa. Dengan demikian kaum Yahudi lah yang melanggar perjanjian yang diadakan di antara mereka dengan Nabi Saw. Insiden ini menurut riwayat ath-Thabrahi dan al-Waqidi terjadi pada Syawal tahun kedua Hijriah.
Rasulullah Saw kemudian mengepung mereka selama beberapa hari hingga mereka menyerah dan menerima hukumannya yang akan diputuskan oleh Rasullulah Saw. Beliau memerintahkan untuk menghabisi mereka dan pasukan Muslimin siap melaksanakannya.
Tiba-tiba datanglah sang munafik Abdullah bin Ubay bin Salul. Dia mendesak supaya Rasulullah memaafkan kaum Yahudi itu. “Hai Muhammad, perlakukan sahabatku dengan baik,” katanya.
Rasulullah mendiamkan permintaan ini. Abdullah bin Ubay mengulangi perkataanya tapi beliau malah berpaling muka. Kemudian Abdullah bin Ubay memasukkan tangannya ke dalam baju besi Rasullulah Saw. Wajah beliau tampak berubah kemudian menjawab, “Tinggalkan aku!” Beliau tampak marah hingga raut mukanya tampak merah padam. Beliau mengulangi perkataannya sambil memperlihatkan kemarahannya, “Celaka engkau, tinggalkan aku.” Abdullah bin Ubay menyahut, “Tidak demi Allah. Aku tidak akan melepaskan Anda sebelum Anda memperlakukan para sahabatku dengan baik. Empat ratus orang tanpa perisai dan tiga ratus orang bersenjata lengkap yang telah membelaku terhadap musuhku itu apakah hendak Anda habisi dalam waktu sehari? Demi Allah aku mengkhawatirkan terjadinya bencana itu.” Akhirnya Rasullulah Saw memperhatikan perkataan sang munafik itu dan berkata, “Mereka aku serahkan pada kamu dengan syarat harus keluar dari kota Madinah dan tidak boleh dekat dengan kota ini.”
Orang orang Yahudi Bani Qainuqa itu kemudian pergi meninggalkan kota Madinah menuju pedusunan yang bernama Adzra’at di daerah Syam. Belum berapa lama mereka tinggal di sana sebagian mereka mati ditimpa bencana.
Sementara itu, sikap berbeda ditunjukkan sahabat Ubadah bin Shamit. Sebagai seorang Muslim yang mempunyai hubungan persekutuan dengan orang Yahudi, Ubadah bin Shamit bersikap beda dengan Abdullah bin Ubay. Ia menemui Rasullulah Saw lalu berkata, “Sesungguhnya kami memberikan loyalitas kepada Allah Swt, Rasul-Nya dan kaum Muslimin dan aku melepaskan diriku dari ikatan persekutuan orang orang kafir tersebut.”
Sehubungan dengan kedua orang ini (Abdulah bin Ubay dan Ubadah bin Shamit), Allah menurunkan Surat Al Maidah ayat 51-52:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”
Post a Comment