ISLAM INDONESIA ITU INDAH BUKAN WAHABI YANG RADIKAL DAN PRIMITIF
Pengantar: Irfan Permana P
Sebuah
pertanyaan: ajaran Wahabi ini sangat kering, rigid, anti seni, miskin
estetika, mengubur rasio dan spiritualitas. Tapi kok semakin diminati
anak-anak muda dan pekerja kantoran terutama di kota-kota besar?
1).
Mereka orang-orang sibuk yg tenggelam dalam dunia materi sehingga tidak
ada waktu mendalami samudera luas ilmu-ilmu agama. Maka ketika ada yg
datang menawarkan sesuatu yg hitam-putih, dirasa lebih praktis dan
cocok. Orientasi surga-neraka dirasa
lebih penting daripada orientasi cinta. Karena itu estetika Islam yg
terkait erat dengan tasawuf asing di kalangan mereka.
2).
Terbuai slogan “kembali kepada Quran dan Sunnah”, seolah yg selainnya
menjauh dari Quran dan Sunnah. Akibatnya mereka mudah sekali mencap
selainnya sebagai pelaku bid’ah, sesat, dan kafir.
3).
Sponsornya kaya raya. Mereka punya TV, radio, dan menguasai media
online. Tak heran semakin banyak yg terjaring, tetapi umumnya datang
dari kalangan awam yg sebelumnya tidak ada background pengetahuan agama.
(Tapi setelah kenal ajaran ini tiba-tiba bisa jadi ngustad, apalagi
kalo kebetulan ia seleb).
Paragraf di atas hanya opini pribadi. Selebihnya bacalah artikel panjang tapi layak baca ini…
Heyder Affan
Mencoba
memerankan sebagai jembatan penghubung antara dunia Islam dan Barat,
pemikir Islam Azyumardi Azra meyakini bahwa kelompok Islam ekstrim
radikal di Indonesia tidak sebesar yang dibayangkan.
“Memang
kita harus waspadai ada penyebaran paham radikalisme, tetapi saya kira
Islam Indonesia beda dengan Islam di Pakistan, Arab Saudi, atau Mesir,”
kata Profesor Doktor Azyumardi Azra MA, 61 tahun, dalam wawancara khusus
dengan BBC Indonesia, Rabu (27/04) di ruang kerjanya di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Ahli sejarah Islam peraih gelar kehormatan The Commander of the Order of the British Empire dari pemerintah Inggris ini memiliki istilah khas untuk menyebut praktik Islam di Indonesia yaitu ‘Islam yang berbunga-bunga’.
‘Islam Indonesia berbunga-bunga, bukan Wahabi yang primitif’
Islam jalan tengah ala Azyumardi
Tetapi
mengapa pria kelahiran Lubuk Alung, Sumatera Barat, 1955 ini meminta
pemerintah perlu menanamkan konsep keislaman keindonesiaan terhadap
guru-guru? Dan kenapa pemerintah dianggapnya tidak pernah serius
menangani persoalan radikalisasi?
Dan
sebagai pakar sejarah Islam, apa tanggapan Azyumardi terhadap istilah
Wahabi yang belakangan menjadi sebutan terhadap kelompok intoleran?
Berikut petikan wawancara dengan penulis buku Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (2013):
‘Islam Indonesia itu Islam yang berbunga-bunga’
Apa yang Anda khawatirkan dengan menggejalanya radikalisasi di kalangan anak muda belakangan ini? Memang
ada gejala radikalisasi terutama karena proses globalisasi. Ada proses
penyebaran paham dan gerakan transnasional yang radikal dalam berbagai
bentuknya. Mulai yang soft (lunak) sampai yang lebih keras.
Tetapi
spektrumnya cukup luas. Ada yang cuma radikal dalam pengertian wacana
yang biasa disebut Salafi-Wahabi. Mulai dari Salafi Wahabi lebih lunak,
hanya pada tingkat ajaran atau wacana, tapi tidak dalam gerakan. Tapi
juga ada yang sangat keras, ekstrem radikal dan tidak segan melakukan
kekerasan atau terorisme.
Cuma
saya melihat, dalam watak Islam Indonesia, sesungguhnya bahaya kelompok
garis keras tidak sebesar dibayangkan oleh banyak kalangan.
- Jejak Wahabi, dari sayap kanan hingga perang Paderi
- Aliran Wahabi dan wajah Islam moderat di Indonesia
- Polemik di balik istiIah ‘Islam Nusantara’
- Wajah radikal dan moderat peranakan Arab Indonesia
- Kaum muda keturunan Arab yang gelisah
Ada
kalangan yang melihat seolah-olah dengan penyebaran radikalisme itu,
kemudian seolah-olah Islam Indonesia itu akan kiamat; menjadi radikal
semua dan Indonesia kemudian berubah menjadi negara Islam atau negara
Syariah, bahkan menjadi negara gagal, karena adanya kelompok-kelompok
radikal yang mengacau, melakukan tindakan teror.
Memang
kita harus waspadai ada penyebaran paham radikalisme, tetapi saya kira
Islam Indonesia beda dengan Islam di Pakistan, Arab Saudi, atau Mesir.
Biasa
kita sebut Islam Nusantara, atau Islam Indonesia, yang dalam refleksi
atau ekspresi budayanya itu memang lebih akomodatif. Saya sering
menyebut Islam yang berbunga-bunga (flowery Islam), karena Islam itu berpadu embedded dengan berbagai kegiatan sosial keagamaan yang tidak ada di negeri lain.
Sehingga kemudian saya menyebut Islam Indonesia yang inklusif, moderat, wasatiyah, yang berada di tengah-tengah, terlalu besar untuk bisa dikalahkan.
Bagaimana
mungkin ada kelompok radikal bisa mengubah NU, Muhammadiyah, itu tidak
mungkin. Itu bisa dibilang kemustahilan, karena ormas Islam wasatiyah
ini memiliki aset yang begitu besar, punya lembaga yang begitu besar di
seluruh nusantara.
Mereka
begitu kaya dengan sekolah Islam, misalnya. Kalau Muhammadiyah dari TK
sampai perguruan tinggi, dan jumlah 30 ribu lebih. Kemudian di
lingkungan para kiai NU kemungkinan memiliki pesantren 25 ribu lebih.
Memang ada kalangan satu atau anggota NU atau Muhammadiyah yang terpengaruh, tapi jumlah mereka terlalu kecil untuk mengubah Islam wasatiyah Indonesia.
Belum
lagi ormas-ormas seperti Al Washliyah di Sumatra Utara yang juga
memiliki banyak sekolah dan perguruan tinggi, Mathla’ul Anwar di Banten,
kemudian PUI dan Persis di Jabar dan Persis, juga memiliki madrasah.
Juga Nahdlatul Wathan di NTB yang semua mengajarkan paham wasatiyah.
Memang
ada infiltrasi ke NU atau Muhammadiyah. Infiltrasi orang-orang yang
menolak praktik-praktik yang banyak dilakukan oleh banyak kaum muslimim
seperti Maulud Nabi, tahlilan, walimah-walimah, ziarah kubur.
Memang
ada kalangan satu atau anggota NU atau Muhammadiyah yang terpengaruh,
tapi jumlah mereka terlalu kecil untuk mengubah Islam wasatiyah
Indonesia.
Dan
lagi pula, Islam wasatiyah Indonesia menghadapi tantangan radikalisasi
itu bukan sesuatu hal yang baru. Dan sepanjang sejarahnya mereka tidak
tergoyahkan.
Infiltrasi paham radikal ke sekolah-sekolah
Tadi Anda mengatakan, kita harus mewaspadai penyebaran paham radikal. Sejauh pengetahuan Anda, seperti apa penyebaran itu?Ada infiltrasi ke NU, Muhammadiyah, mencoba memasuki atau menginfiltrasi masjid-masjid mereka, lembaga pendidikan mereka.
Begitu
juga banyak penelitian yang mengindikasikan adanya inflitrasi ke
sekolah-sekolah, merekrut anak muda, atau mengubah cara pandang anak
muda menjadi lebih radikal atau hitam putih.
Putri saya sekolah di sebuah sekolah yang bagus, elit, cukup mahal di Jakarta selatan. Ada satu atau dua gurunya yang kalau mengajar suka menyisipkan pesan-pesan ajaran salafi, yang berpikir hitam putih.
Saya
mengalami sendiri. Putri saya sekolah di sebuah sekolah yang bagus,
elit, cukup mahal di Jakarta selatan. Ada satu atau dua gurunya yang
kalau mengajar suka menyisipkan pesan-pesan ajaransalafi, yang berpikir hitam putih, atau mengajarkan paham-paham yang kelihatan pro-radikalisme untuk mengubah keadaan.
Cuma,
saya tidak tahu berapa banyak murid yang bisa terpengaruh. Ini tingkat
SMA. Putri saya sendiri menceritakan kepada saya mengenai pola gurunya
yang sektarian, yang menganggap bahwa pemahaman miliknya paling benar.
Putri saya bercerita dan menunjukkan sejumlah pesan pendek (sms). Nah,
saya laporkan kepada ketua yayasan, seorang profesor yang juga profesor
universitas negeri di Jakarta
Saya bilang ini harus ditertibkan. Kalau dibiarkan maka tidak mungkin satu atau dua muridnya terpengaruh.
Jadi
ini aktual dan riil usaha-usaha oleh beberapa guru untuk mengubah cara
pandang pemikiran keislaman murid di tingkat SMA dari yang bersifat
wasatiyah – karena lahir dan besar di lingkungan Islam moderat dan
inklusif – untuk diubah menjadi salafi dan kemudian sangat sektarian.
Cuma
saya kira, ada satu dua murid mungkin terpengaruh, tetapi umumnya
tidak. Jadi, ini harus kita waspadai walaupun kecil, termasuk melalui entry point yang lain.
Karena itu saya berulang kali mengusulkan kepada Menteri Agama atau Mendikbud supaya para guru ditatar dan diberikan sarasehan mengenai keislaman keindonesiaan, kepaduan atau integrasi antara keislaman dan keindonesiaan.
Karena
itu saya berulang kali mengusulkan kepada Menteri Agama atau Mendikbud
supaya para guru ditatar dan diberikan sarasehan mengenai keislaman
keindonesiaan, kepaduan atau integrasi antara keislaman dan
keindonesiaan.
Karena,
mereka tidak memiliki perspektif yang jelas mengenai keindonesiaan dan
keislaman, yang sesungguhnya terintegrasi. Jadi tidak perlu
dipertentangkan sebagai dua entitas yang bertentangan.
Nah,
satu atau dua guru mempertentangkan dua entitas itu; bahwa kita ini
jangan dikotak-kotakkan oleh bangsa, oleh negara, kita ini umat Islam
sedunia yang bersatu dibawah Ukhuwah Islamiyah sehingga perlu mendirkan
khilafah. Ya argumen seperti itulah.
Karena
itulah, ini saya kira program mendesak untuk diselenggarakan oleh
Dikbud dan kementerian agama untuk melakukan simposium, sarasehan,
melakukan percakapan keislaman keindonesiaan, dalam rangka memperkokoh
integrasi keindonesiaan keislaman.
Apa
yang dialami putri Anda tentu kemungkinan juga dialami sebagian
murid-murid di sekolah lain yang sebagian gurunya melakukan hal serupa?Saya
kira ya, dan itu muncul dari waktu ke waktu. Misalnya ketika pemilu
presiden 2014 lalu, ketika Prabowo bertarung dengan Jokowi, digunakan
isu sektarian agama untuk melawan Jokowi demi mempromosikan Prabowo. Ini
‘kan tidak benar.
Dan
ini dilakukan di sekolah. Saya kira yang saya alami bukan hanya saya,
karena itu terbuka di dalam kelas. Jadi murid-murid mendengar semua
tetapi tidak berani bersuara karena takut atau sungkan.
Perkuat keislaman keindonesiaan
Dari
gambaran seperti ini, apa yang menjadi kesulitan pemerintah sehingga
mereka terkesan mendiamkan, acuh. Di mana letak masalahnya sehingga
pemerintah tidak bisa melakukan tindakan kongkrit padahal praktik
seperti itu merupakan ancaman?Saya kira menteri agama,
mendikdub sudah tahu gejala seperti itu, karena ini bukan suatu yang
baru ada infiltrasi itu, mereka juga tahu. Cuma saya kira tidak ada
kesungguhan dalam melakukan program untuk memperkuat keislaman
keindonesiaan. Tidak ada program itu.
Kalau
kita bilang, mereka bilang ya, tetapi tidak mereka lakukan. Mereka
bilang bagus, tetapi tidak dilakukan. Saya tidak tahu apa penyebabnya.
Kalau soal dana tidak ada masalah, tinggal mengeluarkan instruksi dan
penyediaan dana, dan bahkan saya kira juga sekolah atau madrasah bisa
diperintahkan untuk membuat anggaran untuk membuat kegiatan. Tidak harus
anggarannya dari pusat. Cuma tidak serius saja.
Apakah tidak adanya perangkat hukum juga yang melatari pemerintah sehingga terkesan tidak bisa menghentikan semua itu?Kalau
untuk menghentikan itu dengan menggunakan perangkat hukum jelas nggak
bisa, karena perangkat hukum kita belum menjangkau, misalnya orang yang
berwacana mengenai paham radikal atau aksi radikal. Nggak tahu dalam
perubahan UU anti terorisme, apakah orang yang berwacana juga bisa
ditangkap.
Kalau
di negara lain, baik berwacana atau menyimpan literatur tentang hal-hal
berbau radikal atau terorisme, bisa ditangkap. Tapi di Indonesia belum.
Tapi bukan tidak mungkin bisa dilakukan. Tindakan persuasif atau
edukatif bisa dilakukan.
Di
sini, saya kira harus mulai dari tingkat sekolah. Jadi kepala sekolah
harus melihat itu dan mendengar laporan dari orang tua murid. Dan juga
kalau dia swasta, pengurus yayasannya harus mewaspadai ini. Dan ketika
ada laporan melakukan tindakan seperlunya.
Karena, pada dasarnya PNS itu tidak boleh memegangi apalagi menyebarkan dan melakukan tindakan yang tidak sesuai ideologi negara. Ini jelas. PNS harus setia kepada Pancasila, NKRI.
Misalnya,
dalam bentuk peringatan kepada guru yang bersangkutan. Sekali dua kali,
tapi tetap juga, kalau perlu dikeluarkan sebagai guru, karena dia akan
menjadi virus-virus yang merusak.
Meskipun
kerangka hukum kita belum bisa menjangkau, tapi bukan tidak ada hal
yang bisa dilakukan. Kalau guru PNS, lebih muda lagi. Lagi-lagi kepala
sekolah yang menertibkannya.
Bisa
dengan nasihat lebih dulu. Sekali dua kali, kalau tidak bisa ya
dilaporkan kepada orang di atasnya, apakah kepala dinas dan seterusnya.
Bahkan bisa dilaporkan ke Menteri agam atau Mendikbud, atau kepada badan
kepegawaian negara.
Karena,
pada dasarnya PNS itu tidak boleh memegangi apalagi menyebarkan dan
melakukan tindakan yang tidak sesuai ideologi negara. Ini jelas. PNS
harus setia kepada Pancasila, NKRI.
Tapi
kalau PNS menyebarkan hal yang tidak sesuai dengan Pancasila, NKRI, UUD
1945, Bhinneka Tunggal Ika, empat prinsip itu, saya kira harus diambil
tindakan.
Cuma
saja, belum kita dengar tindakan itu dilakukan instansi yang berwenang
untuk menertibkan para PNS yang punya pikiran, punya gerakan yang
‘aneh-aneh’ yang tidak sesuai Pancasila atau NKRI.
Misalnya, Presiden SBY pernah menerima Rizieq Shihab di Istana didampingi Gubernur DKI saat itu Fauzi Bowo. Padahal FPI melakukan tindakan kekerasan di mana-mana, termasuk di Tanjung Priok dan Monas, tapi kok seolah dibentangkan karpet merah oleh Presiden.
Apakah
Anda juga melihat ketidaksungguhan pemerintah itu tidak terlepas dari
cara pandang terhadap persoalan hubungan antara negara dan Islam yang
dianggap belum selesai?Saya kira lebih karena faktor
nggak serius. Mereka sadar bahwa itu tidak cocok. Tidak sesuai dan bisa
berbahaya bagi NKRI. Tapi tidak ada kesungguhan untuk melakukan
pencegahan, dan saya kira ini kaitannya dengan koordinasi yang lemah
antara instansi pemerintah.
Mereka
menganggap seolah-olah persoalan radikalisme dan terorisme itu bisa
diselesaikan oleh polisi, Densus 88 atau BNPT. Kalau BNPT dan Densus 88
lebih menangani akhir, ujung dari proses itu. Tapi awal prosesnya itu
yang tidak ditangani.
Saya kira BNPT dan Densus 88enggak masuk
ke seolah di mana terjadi proses rekrutmen atau proses radikalisasi.
Dan itu memang harus ditangani instansi berwenang, dalam hal ini
Kementerian Dikbud dan Kementerian Agama.
Saya
kira persepsi seperti ini harus diluruskan. Jangan menyerahkan semua
masalah kepada BNPT dan Densus 88. Karena dua lembaga ini menangani
akhir proses, ketika paham radikal itu diwujudkan dalam tindakan
kekerasan, pemboman.
Bagaimana
tanggapan Anda ketika ada pernyataan bahwa sikap pemerintah seperti itu
tidak terlepas dari kebijakan akomodatif pemerintah terhadap Islam
moderat dan radikal untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan mereka?Untuk
masa Presiden Jokowi, kelihatannya berkurang. Karena juga memang
eksplosi gerakan-gerakan radikal dalam bentuk kekerasan, itu kurang.
Kita bersyukur satu kejadian selama Jokowi hanya pemboman di belakang
Sarinah selama hampir dua tahun dia memerintah.
Bahkan
selama 5 tahun terakhir, termasuk masa pemerintahan SBY selama tiga
tahun dan Jokowi dua tahun, itu memang tidak ada kejadian terlalu besar
di Inmdonesia, kecuali di Srainah itu.
Seringkali para pejabat, termasuk Presiden SBY, memberikanan pesan yang keliru kepada publik ketika mengakomodasi, mengentertainment, menerima pimpinan kelompok -kelompok radikal.
Tapi
saya kira tindakan yang menoleransi, atau seolah merestui, itu memang
merajalela pada masa Presiden SBY, terutama masa keduanya, 2009-2014,
baik di tingkat kementerian atau pemerintahan daerah.
Seringkali para pejabat, termasuk Presiden SBY, memberikan pesan yang keliru kepada publik ketika mengakomodasi, meng-entertainment, menerima pimpinan kelompok -kelompok radikal.
Misalnya,
Presiden SBY pernah menerima Rizieq Shihab di Istana didampingi
Gubernur DKI saat itu Fauzi Bowo. Padahal FPI melakukan tindakan
kekerasan di mana-mana, termasuk di Tanjung Priok dan Monas, tapi kok seolah dibentangkan karpet merah oleh Presiden.
Kemudian Mendagri, Gamawan Fauzi, juga menerima FPI, padahal kaca-kaca Kemendagri pecah karena dilempari dalam demo FPI.
Banyaklah
kasus-kasus seperti itu, yang memberikan pesan yang salah seolah-olah
merestui kelompok radikal seperti itu. Ini jelas keliru.
Saya kira pemerintah harus bersikap tegas, tidak memberikan isyarat-isyarat yang keliru.
Saya
juga pernah mengkritik Presiden SBY yang meresmikan gedung sebuah
kelompok radikal salafi di Yogyakarta, namanya MTA (Majelis Tafsir
Al-quran) yang radionya itu cuma mencerca muslimin yang lain, terutama
warga Nadhliyin yang sering melakukan praktek-praktek yang mereka sebut
bid’ah, karena MTA menerapkan Islam yang murni (salafi).
Tapi kok gedungnya diresmikan oleh Presiden SBY. Itu ‘kan seolah-olah merestui paham-paham yang tidak toleran seperti itu.
Tapi
saya lihat di masa Presiden Jokowi ini agak sedikit berubah ya. Saya
kira Mendagrinya lebih tegas, karena dia mungkin latar belakangnya dari
PDI-P. Kita lihat juga di DKI, ada (Gubernur) Ahok juga keras
mengeluarkan pernyataan.
Misalnya
kalau ada kelompok-kelompok radikal yang macam-macam di Jakarta, dia
mengatakan ‘akan menindaknya, tidak ada ampun’. Jadi tegas dia.
Nah oleh karena itu, kita lihat juga berkuranglah merajalelanya kelompok-kelompok radikal di Jakarta.
Jadi,
ini memang kuncinya dari aparat pemerintah, mulai dari presiden,
menteri sampai gubernur, wali kota dan bupati. Kalau pejabat-pejabat ini
mengakomodasi, saya kira mereka akan merajalela, seolah mendapat
pengakuan.
Karena
itu, penting sekali bersikap tegas, walaupun kita ingatkan bahwa jangan
sampai melanggar hak asasi mereka. HAM mereka tetap harus dilindungi,
tetapi di saat yang sama jangan melakukan tindakan yang seolah-olah
merestui kekerasan.
‘Aliran Wahabi terlalu primitif’
Sekarang
ini sering muncul istilah Wahabi di masyarakat, tetapi
kelompok-kelompok yang dicap sebagai pengusung aliran Wahabi menolak
label seperti itu. Mereka menganggap aliran Wahabi adalah bagian dari
masa lalu. Nah, ketika muncul gerakan puritan dan ada pelabelan Wahabi
terhadap gerakan seperti itu, bagaimana Anda memandangnya?Itulah,
ini mendukung argumen saya bahwa Islam moderat di Indonesia terlalu
besar untuk gagal. Karena apa? Meskipun ada orang-orang yang aktif
menyebarkan paham Wahabi, tapi istilah Wahabi itu sendiri adalah anatema di banyak kalangan Muslim Indonesia. Anatema itu artinya lebih dari sekedar jorok.
Karena
itulah, kalau ada orang yang berusaha menyebarkan paham Wahabi, tetapi
dia menolak disebut Wahabi, itu karena memang kalau dia disebut Wahabi,
itu ya lebih dari jorok.
Kenapa
istilah Wahabi itu dianggap jorok bagi sebagian besar Islam Indonesia,
karena Islam Wahabi itu terlalu kering, terlalu sederhana, dan terlalu
primitif bagi orang Islam Indonesia umumnya.
Kenapa istilah Wahabi itu dianggap jorok bagi sebagian besar Islam Indonesia, karena Islam Wahabi itu terlalu kering, terlalu sederhana, dan terlalu primitif bagi orang Islam Indonesia umumnya.
Sementara
orang Islam Indonesia senang mengamalkan Islam yang banyak
tambahan-tambahan, yang dicap bi’dah oleh orang Wahabi, mulai tahlilan,
maulud nabi, ziarah kubur, tujuh bulanan kehamilan. Itu semua ditolak
oleh Wahabi.
Jadi,
orang Islam Indonesia, sering saya katakan, agak sedikit berseloroh ya,
tidak bisa hidup tanpa kuburan, tanpa batu nisan. Kalau ada yang
meninggal, pasti diberi kuburan dan batu nisan. Beda dengan Wahabi yang
tidak ada batu nisannya.
Sekarang
di Arab Saudi, hanya ada tiga kuburan tiga orang di dalam masjid
Nabawi, yaitu makamnya Rasulullah, Sayidina Abubakar dan Sayidina Umar.
Itu saja. Kalau ada raja (Arab Saudi) meninggal, ya dikubur di tempat
tertentu, tapi tidak diberi batu nisan.
Jadi
orang Islam Indonesia tidak bisa seperti ini. Karena itu bertentangan
dengan karakter kaum Muslimin Indonesia. Hal-hal seperti itu tidak
mungkin. Tidak bisa dibayangkan bahwa kalau keluarganya atau orang
tuanya meninggal, tanpa batu nisan,enggak mungkin.
Berbeda
dengan kaum Muslimin Arab Saudi, orang Islam Indonesia tidak bisa hidup
tanpa batu nisan. Itu contohnya. Makanya, bisa dipahami istilah Wahabi
itu menjadi anatema bagi kebanyakan kaum Muslimin di Indonesia.
Dan
karena itu, meskipun ada lembaga atau orang-orang yang berusaha
mengembangkan paham Wahabi, itu saya kira tidak menarik dan bahkan
ditolak oleh Muslim Indonesia secara terbuka atau diam.
Islam Indonesia senang melakukan kegiatan keagamaan sosial, sepertiselametan,tasyakuran, baca yasin, yang tidak terakomodasi atau ditolak oleh Wahabi.
Jangan dibalas dengan aksi kekerasan
Dahulu
sepertinya kebanyakan orang mendiamkan ketika ada upaya penyebaran
paham Wahabi, tapi belakangan ada counter balik dengan mensosialisasikan
istilah yang disebut Islam Nusantara. Apakah langkah ini efektif untuk
menahan laju penyebaran paham Wahabi?
Dalam
batas-batas tertentu, saya kira cukup efektif, karena ada resistensi
dari masyarakat lokal terhadap tindakan radikalisasi dan terorisme. Kita
tahu, di banyak kasus teroris yang ditembak mati oleh Densus 88
kemudian ditolak oleh masyarakat setempat untuk dikubur di kampungna.
Walaupun ada satu-dua yang menerimanya. Kemudian juga ada penolakan
terhadap Wahabi dan sebagainya.
Jadi, saya kira kontra wacana itu baik dan bagus. Ini menunjukkan ada kewaspadaaan dan ketahanan masyarakat lokal.
Cuma
kita ingatkan, boleh ada penokalan, tapi jangan terjerumus aksi
kekerasan. Karena kalau tidak diingatkan, bukan tidak mungkin penolakan
itu ada aksi kekerasan, misalnya ada masjid yang menjadi pusat
penyebaran Salafisme atau Wahabisme, lantas diserbu atau dibakar.
Memang
sejauh ini belum terjadi, tapi penting kita ingatkan jangan ada
kekerasan. Paham kekerasan jangan dibalas dengan aksi kekerasan – nanti
menimbulkan kekacauan.
‘Pemerintah Saudi menggaji para dai’
Di titik mana bahwa penyebaran Wahabi saat ini bisa dibuktikan berlangsung atau dilakukan secara sistematis?Tidak terlalu sistematis juga. Kita tahu bahwa di Indonesia ada dai-dai yang dibayar gajinya secara bulanan oleh pemerintah Arab Saudi.
Apakah itu riil?
Itu
riil. Jadi mereka yang alumni Arab Saudi menjadi dai pemerintah Arab
Saudi itu mendapat gaji bulanan. Walaupun tidak seluruh alumni Arab
Saudi ini diangkat menjadi dai. Karena, saya kira, mereka melihat apakah
alumni tersebut menerima atau menganut wahabi atau tidak.
Jadi ada alumni Saudi tidak menjadi dai, dan
mereka tetap menganut paham Islam nusantara. Misalnya Ketua PBNU, Said
Agil Siradj. Dia alumni Saudi, tetapi tetap kritis terhadap Wahabi.
Tetapi di sisin lain, ada orang-orang alumni Saudi yang terpengaruh dan menjadi Wahabi. Dia diangkat menjadi dai dan mendapat gaji bulanan.
Tetapi di sisin lain, ada orang-orang alumni Saudi yang terpengaruh dan menjadi Wahabi. Dia diangkat menjadi dai dan mendapat gaji bulanan. Tetapi saya kiraaudience mereka
terbatas. Mereka misalnya tidak bisa berdakwah di lingkungan NU. Di
lingkungan Muhammadiyah mungkin ada, tapi di kalangan tertentu yang
terbatas.
Kalau
mereka bisa berdakwa, saya kira, mereka berdakwa di masjid-masjid yang
memang pengurus masjidnya punya kecenderungan menjalankan paham salafi.
Jadi mereka cenderung terlepas, tidak nyantol ke institusi tertentu.
Aliran Wahabi dan Perang Paderi
Bagaimana
Anda menafsirkan pernyataan Ketua PBNU Said Agil Siradj yang menyatakan
bahwa ajaran Wahabi itu dua digit di bawah terorisme?Memang
pahamnya radikal, bisa bergeser ya. Kalau disebut dua digit bisa juga.
Karena memang presedennya ada. Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri paham
Wahabi atau tokoh yang namanya dipakai sebagai nama gerakan di akhir
abad 18, itu memang disebut dua digit, saya kira jangan-jangan cuma satu
digit.
Karena,
saya baca sejarahnya berdasarkan sumber-sumber Arab, ketika pasukan
Wahabi yang didukung oleh Raja Najeb, Ibnu Saud, menyerbu Mekkah,
digambarkan Mekkah itu berdarah-darah, banjir darah disebutkan. Karena
siapapun yang menolak paham Wahabi langsung ditebas lehernya. Jadi
memang keras. Itu membikin bulu roma kita bergidik membaca sejarahnya.
Memang sangat mudah sangat tergelinjir ke terorisme, radikalisme. Karena pahamnya tidak memberikan tempat bagi toleransi dan akomodasi paham yang berbeda dengan mereka. Dan presedennya ada.
Syukurnya,
mereka tidak bertahan lama di situ, karena berhasil diusir dari Mekkah
dan Madinah oleh pasukan Ustmani, dengan mengerahkan kekuatan Ustmani
yang bermarkas di Mesir.
Memang
sangat mudah sangat tergelinjir ke terorisme, radikalisme. Karena
pahamnya tidak memberikan tempat bagi toleransi dan akomodasi paham yang
berbeda dengan mereka. Dan presedennya ada.
Nah, di
Indonesia juga pernah ada seperti itu, yaitu gerakan Paderi di
Minangkabau. Juga pada akhir abad 19 awal abad 20, terutama tiga orang
haji pulang dari Mekkah, waktu ketika Wahabi sudah diusir dari Mekkah
dan Madinah, tetapi mereka menyaksikan sisa-sisa kekerasan oleh Wahabi.
Nah
itulah yang mereka lakukannya juga di Sumatra Barat dengan gerakan
Paderi, yaitu memurnikan Islam dari campuran praktik atau adat Minang,
melakukan tebas leher kalau ada yang tidak sepakat.
Tapi
kemudian tidak berhasil, karena saya kira itu satu-satunya preseden
gerakan model Wahabi di Indonesia, karena tidak berhasil, karena tidak
cocok dengan watak umum orang Indonesia.
Wahabi dan Komite Hijaz 1924
Setelah
periode perang Paderi, apakah paham Wahabi tetap menyebar ke Indonesia,
meskipun ada penyesuaian atau akulturasi dengan situasi lokal
Indonesia?Sesungguhnya menurun setelah perang Paderi dan
pengusiran oleh pasukan Muhammad Ali Pasha, tapi kemudian bangkit lagi
pafa tahun 1920-an, ketika kekuasaan Wahabi-Saudi bangkit lagi dan
kembali menguasai Mekkah dan Madinah, dan puncaknya 1924.
Ketika
itulah, kaum Muslimin Indonesia merasa ini ‘gawat kalau begini’,
sehingga para ulama Indonesia membentuk Komite Hijaz, yang terdiri
Muhammadiyah dan kiai-kiai dari pesantren, pada 1924.
Nah
mereka mengirim utusan ke Mekkah dan Madinah, meminta kepada penguasa
baru di Hijaz supaya jangan memaksakan paham Wahabi. Supaya melindungi
situs-situs sejarah, karena pada tahun 1920-an dan puncaknya pada tahun
1924, barisan Wahabi itu kembali bisa menguasai Mekkah dan Madinah.
Hasilnya, mereka mendengarkan, sehingga tidak terjadi penggusuran paham non-Wahabi. Para jamah haji tetap bisa mempraktekkan Islam yang oleh Wahabi dianggap tidak murni.
Para
ulama Indonesia itu merasa bahwa perkembangan ini membahayakan, karena
itu mereka membentuk komite Hijaz, menuntut kepada penguasa Hijaz supaya
melindungi paham dan praktik keislaman non wahabi terutama dari
nusantara.
Hasilnya,
mereka mendengarkan, sehingga tidak terjadi penggusuran paham
non-Wahabi. Para jamah haji tetap bisa mempraktekkan Islam yang oleh
Wahabi dianggap tidak murni. Misalnya, mengajarkan tasawuf, mengajarkan
tarekat, itu tetap masih ada.
Baru
kemudian, pemerintah Saudi berhasil menggusur praktik Islam Nusantara
mulai akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, ketika pemerintah Saudi,
yang sudah punya banyak duit, kemudian melakukan nasionalisasi terhadap
lembaga pendidikan islam, termasuk sebuah madrasah yang didirikan orang
Indonesia, yaitu Madrasah Darul Ulum di Mekkah.
Awal
tahun 1980-an dinasionalisasi oleh pemerintah Saudi dan dijadikan
negeri, kemudian pimpinannya Syeh Muhammad Yasin bin Isa Alpadani
dipensiunkan. Dia berasal dari Padang dan menjadi kepala sekolahnya.
Madrasah
ini sebelumnya mempunyai peranan yang besar di dalam pengembangan
pemahaman dan praktik Islam Nusantara, tapi kemudian ditutup oleh
pemerintah Saudi.
Sejak saat itulah, saya kira, tidak ada lagi lokus bagi paham keislaman non wahabi untuk berkembang di Saudi, termasuk halakah-halakah yang ada di masjid haram atau nabawi yang dipimpin kiai atau syeh dari Indonesia, itu sudah ditutup.
Jadi, terjadilah penyeragaman pemahaman keagaman di Saudi yaitu menjadi paham Wahabi sejak tahun 1980-an.
Penyebaran literatur aliran Wahabi
Ketika terjadi penyeragaman penyebaran aliran Wahabi, apa dampaknya terhadap perkembangan Wahabi di Indonesia saat itu?Saya
kira tidak banyak. Memang ada gelombang pada tahun 1980an, pemerintah
Saudi sangat giat menyebarkan literatur-literatur Wahabi.
Misalnya,
karya-karya buku Muhamad bin Abdul Wahab atau guru-gurunya. Atau
karya-karya Ibnu Taimiyah, yang dipandang sebagai asal muasal dari paham
Wahabi yang menekankan pemurnian dsb.
Jadi
literatur seperti itulah disediakan dalam terjemahan bahasa Indonesia
dan disebarkan kemana-mana, walaupun demikian saya kira pengaruhnya
tidak signifikan. Karena di Indonesia memiliki tradisi keilmuan yang
cukup terbuka. Jadi, buku-buku itu dibaca, tetapi tidak terpengaruh
banyak.
Tapi buku-buku itu tidak bisa masuk ke pesantren-pesantren. Karena itu, tidak cocok dengan pesantren.
Itulah
sebabnya, kitab karya Muhammad bin Abdul Wahab atau Ibnu Taimiyah tidak
dianggap bagian kitab kuning, tidak dianggap bagian dari literatur
klasik yang harus dipelajari para santri. Jadi tidak sampai tersebar ke
pesantren, dan itu biasanya ditaruh di masjid-masjid.
Konflik Saudi-Iran dan proxy war
Antara
rentang waktu penyebaran literatur aliran Wahabi dan kemunculan gerakan
penyebaran aliran Wahabi belakangan ini, apa yang bisa Anda katakan?Mereka terus menyebarkan (ajaran WahabI). Lembaga Saudi atau pemerintah Saudi melalui berbagaidai yang digaji terus berusaha. Tetapi saya melihat bahwa mereka memperoleh pendukung yang signifikan.
Tidak banyak orang Muslim Indonesia yang mengadopsi paham Wahabi. Tidak ada gejalan seperti itu.
… Kaum Muslim Indonesia harus sadar, harus waspada, harus hati-hati, jangan menjadi agen dari Saudi, atau agen dari Iran, untuk menciptakan proxy war di Indonesia.
Walaupun
demikian, saya kira masalah Wahabi semakin ramai di Indonesia, terutama
dalam konteks konstestasi dengan Iran, dengan Syiah.
Karena
pada awal tahun 1980-an, setelah keberhasilan Revolusi Ayatullah
Khomeini pada 1979, Iran juga sangat giat menyebarkan paham Syiah ke
Indonesia. Mendirikan berbagai lembaga misalnya kajian tentang Syiah,
lembaga penyebaran Syiah, dan lain-lain.
Dan
kemudian Arab Saudi, yang secara tradisional bermusuhan dengan Iran,
melihat upaya penyebaran Syiah di Indonesia juga sangat berbahaya.
Maka kemudian muncullah bibit-bibit konflik antara Sunni dan Syiah, yang kemudian di belakangnya itu Saudi dan Iran.
Apalagi
pada masa tahun 2000 dan 2001, peristiwa 11 September, meningkatnya
ketegangan, Iran mendapat sanksi, kemudian pertarungan untuk mendapatkan
dominasi dan hegemoni terus berlanjut di Timur Tengah, di antara
negara-negara Arab.
Inilah
yang mempertinggi, meningkatkan eskalasi di antara kalangan Sunni
ekstrim di Indonesia yang cenderung Wahabi dengan para pendukung Syiah.
Dan seringkali juga konflik Sunni-Syiah di Indonesia, saya sering menyebutnya konflik internal di antara ahlul bait. Ada ahlul yang sangat Sunni dan Salafi-Wahabi, tapi juga ada kalangan Ahlul Bait yang pro-Syiih, atau juga bisa disebut Syiah.
Nah
mereka inilah sebetulnya terlibat konflik. Kalau kita melihat kasus
pelemparan batu di Bangil terhadap pesantren yang dianggap Syiah, itu
konflik diantara kelompokAhlul Bait.
Juga kalau kita lacak apa yang terjadi di Sampang, Madura, itu juga punya kaitan dengan ini.
Karena
itulah, saya sering mengingatkan dengan mengatakan secara terbuka,
bahwa kaum Muslim Indonesia harus sadar, harus waspada, harus hati-hati,
jangan menjadi agen dari Saudi, atau agen dari Iran, untuk menciptakan proxy war di Indonesia.
Mereka konfliknya di Timur Tengah, tetapi malah kemudian kekerasannya di Indonesia. Itulah proxy war. Itu berbahaya kalau terjadi seperti itu.
SUMBER:
Post a Comment