MINYAK DI CASPIA YANG MEMBUAT AMERIKA NGOTOT ( bag-1 )

Kunjungan Wakil Presiden AS Dick Cheney ke Azerbaijan, Georgia, dan Ukraina, 3-5 September 2008, beberapa saat setelah pertempuran di Georgia berakhir dengan kemenangan tentara Rusia, semakin menegaskan warna politik luar negeri AS yang bernapaskan kepentingan kebutuhan akan minyak dan gas atau migas.

Sejak lama AS mengincar kekayaan migas di sekitar Laut Kaspia, yang relatif baru sedikit dimanfaatkan ketika wilayah itu menjadi bagian dari Uni Soviet. Tidak mengherankan AS berjuang mati-matian untuk merangkul negara-negara bekas Soviet di sekitar Laut Kaspia, yang belum sepenuhnya lepas dari komunisme.

Bukan rahasia, hancurnya Uni Soviet tahun 1991 langsung disikapi sejumlah investor AS dengan berburu rente ke negara-negara mantan Uni Soviet, khususnya industri migas di cekungan Kaspia. Pada awal tahun 1990-an, perusahaan-perusahaan migas Barat berhasil menguasai hak untuk mengembangkan sejumlah proyek, seperti eksplorasi ladang minyak Tengiz di Kazakhstan, ladang Azeri-Chirag-Guneshi (ACG) di Azerbaijan, dan ladang gas alam Dauletabad di Turkmenistan.

Di luar itu, perusahaan-perusahaan dan konsultan AS mendesak negara-negara bekas Uni Soviet menyetujui rute jaringan pipa migas yang menghindari negeri-negeri yang dianggap AS sebagai musuh, yaitu Rusia dan Iran. Jaringan pipa-pipa baru itu pulalah yang didorong Cheney untuk segera direalisasikan pada kunjungannya awal September 2008.

Penyelesaian politik

Jauh sebelum kenaikan harga minyak, yakni tahun 1998, seorang petinggi perusahaan minyak UNOCAL, John J Maresca, saat tampil di depan Komite Hubungan Internasional, sub-komite Asia-Pasifik, House of Representatives AS, sudah memaparkan betapa besar potensi migas di sekitar Kaspia.

Wilayah Kaspia, menurut Maresca, punya cadangan hidrokarbon besar yang belum tersentuh. Cadangan gas terukur di Azerbaijan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Kazakhstan lebih dari 236 triliun kaki kubik. Sedangkan total cadangan minyak di wilayah itu kemungkinan lebih dari 60 miliar barrel. Cukup untuk melayani kebutuhan minyak Eropa selama 11 tahun. Bahkan, ada perkiraan cadangan minyak Kaspia mencapai 200 miliar barrel.

Sejak 100 tahun lalu, industri minyak internasional lahir di Kaspia atau Asia Tengah setelah ditemukannya minyak di sana. Keberadaan migas di wilayah itu secara umum juga telah banyak diketahui pada masa Uni Soviet, tetapi baru sebagian kecil saja yang dimanfaatkan.

Pada tahun 1995, wilayah itu memproduksi 870.000 barrel per hari (44 juta ton per tahun). Maresca mengungkapkan, tahun 2010 perusahaan Barat bisa meningkatkan produksi minyak dari Kaspia mencapai 4,5 juta barrel per hari. Naik lebih dari 500 persen hanya dalam 15 tahun. Oleh karena itulah diperlukan sejumlah rute baru untuk jaringan pipa migas di wilayah Asia Tengah karena jaringan pipa yang ada saat ini praktis berada di bawah ”kekuasaan” Rusia.

Untuk itu, dia meminta agar AS mendukung upaya-upaya regional dan internasional untuk terciptanya keseimbangan dan penyelesaian politik menyeluruh dengan Rusia, negara-negara bekas Soviet, dan Afganistan.

Wajarlah bila kemudian Presiden George W Bush, yang sangat dekat dengan kalangan industri migas AS, mau mendekati pemimpin Rusia, Vladimir Putin. Bush bahkan berupaya menjadikan hubungan dengan Putin menjadi lebih personal, dengan mengundang pemimpin Rusia itu ke rumah peristirahatannya, memancing bersama.

Sebelum George W Bush, Presiden Bill Clinton pun sudah menaruh perhatian besar terhadap potensi migas Kaspia. Pada pertengahan 1990-an, seperti ditulis analis Alex Lantier dalam World Socialist Web Site, Agustus 2008, pemerintahan AS di bawah Presiden Clinton mendapatkan dua proyek jaringan pipa utama untuk mengekspor migas Kaspia, dengan tidak melalui wilayah Iran, Rusia, dan China. Proyek pertama adalah rencana mengekspor gas Turkmenistan melalui Afganistan dan Pakistan ke Samudra Hindia. Akan tetapi, proyek ini akhirnya gagal karena keamanan di Afganistan dan Pakistan yang hingga kini sangat tidak mendukung. Proyek kedua adalah rencana membangun jaringan pipa melingkar ke barat melalui negara-negara pro-AS di Kaukasus, yaitu Georgia dan Azerbaijan. Jaringan itu akan digabung dengan jaringan pipa bawah laut yang menghubungkan Kazakhstan dan Turkmenistan di sisi timur Kaspia, yang menyambung dengan jaringan pipa Baku (Azerbaijan)-Tbilisi (Georgia)-Ceyhan (Turki) atau BTC.

Jaringan pipa ini menjadi jalan utama untuk mengirimkan sebagian besar ekspor energi Kaspia ke kawasan Mediterania, dan diproyeksikan akan menjadi pukulan besar terhadap dominasi rute energi Rusia dari Kaspia ke Barat. Namun, pelaksanaannya ternyata tidak mudah karena sejumlah negara bekas Soviet masih sangat memperhitungkan Rusia jika terlalu pro-Barat. Kalaupun belum lama ini calon presiden Demokrat, Barack Obama, menegaskan bahwa AS akan menghilangkan ketergantungan dari minyak Timur Tengah dalam waktu 10 tahun (jika dia terpilih), hal itu bisa jadi hanya bermakna AS menggeser prioritas politik migasnya dari Timur Tengah ke wilayah lain, dalam hal ini Kaspia. Tidak bermakna AS di bawah Obama akan lebih banyak memanfaatkan energi alternatif. Politik migas Warna politik migas dalam politik luar negeri AS selama ini sulit disembunyikan. Selain menjadi salah satu ”bilik jantung” kebijakan luar negeri AS, hal itu juga terkait dengan orang-orang yang menjalankan politik luar negeri AS itu.

Menteri Luar Negeri AS saat ini, Condoleezza Rice, sebelumnya adalah salah seorang petinggi di perusahaan minyak terbesar AS, Chevron, pada 1991-1995 sebagai seorang pakar Uni Soviet. Saat itulah Chevron berhasil menguasai kue terbesar dari ladang minyak Tengiz, Kazakhstan, yang punya cadangan potensial 25 miliar barrel. Wakil Presiden Dick Cheney juga merupakan pucuk pimpinan perusahaan infrastruktur perminyakan Halliburton dan merupakan anggota Dewan Penasihat Tengizchevroil (TCO) di Kazakhstan, perusahaan perminyakan yang didirikan Pemerintah Kazakhstan setelah runtuhnya Soviet, dengan kepemilikan Chevron 50 persen, ExxonMobil 25 persen, dan Pemerintah Kazakhstan melalui KazMunazGas 20 persen, sisanya 5 persen dimiliki LukArco Rusia. Akan tetapi, bukan hanya AS yang mengincar minyak Kaspia. Rusia sangat memahami betapa berharga energi migas dalam meningkatkan pendapatan negara itu dan gencar mengincar migas di negara-negara tetangganya.

Desember 2007, Rusia berhasil membuat kesepakatan dengan Kazakhstan dan Turkmenistan untuk membangun sebuah jaringan pipa gas baru sepanjang pantai timur Kaspia menuju Rusia. Pembangunan jaringan pipa yang diharapkan bisa mengekspor 20 miliar meter kubik per tahun pada tahapan awalnya, dipandang sebagai sebuah pukulan atas harapan AS yang menginginkan pemerintah negara-negara Asia Tengah berkomitmen mengirimkan migasnya ke jaringan pipa trans-Kaspia yang bersambung dengan jaringan pipa di Kaukasus yang dibangun dengan dukungan AS.

China juga berusaha mengamankan suplai energi melalui jaringan pipa Asia Tengah dari negara-negara tetangganya di barat. Sebuah jaringan pipa minyak Kazakhstan-China, yang menghubungkan ladang minyak Kazakh di utara Kaspia dengan jaringan pipa di China di Wilayah Otonomi Xinjiang, barat laut China, tengah dibangun dan akan beroperasi Oktober 2009. Sebuah jaringan paralel pipa gas alam juga tengah dibangun menuju ladang-ladang di Uzbekistan dan Turkmenistan. Jelas, konflik di Georgia bukan semata konflik politik peninggalan masa lalu saat Soviet pecah. Lebih dari itu adalah konflik memburu perdagangan migas dari Kaspia. Dalam hal ini, AS yang sangat bernafsu menguasai sumber daya migas itu hanya bisa berkomentar cukup keras mengenai serbuan tentara Rusia ke Georgia. Walau bagaimanapun, Rusia masih jauh lebih berpengaruh di Asia Tengah ketimbang AS, dan negara-negara kaya migas di Kaspia, yaitu Turkmenistan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Kirgistan, masih lebih memperhitungkan Rusia. (Dari Berbagai Sumber)

SELNJUTNYA : 2

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.