KONSULTAN POLITIK DAN BUZZERS POLITIK



“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. [Al Hujurat : 6].


Dalam sebuah film berjudul "OUR BRAND IS CRISIS" diceritakan tentang pemilu di Bolivia yang menggunakan Konsultan Politik. Singkat kata dengan konsultan politik tersebut menanglah paslon yang didukung tersebut.


Ironisnya walau menang cara yang dipaka adalah kotor, sehingga terjadi perang sipil di Bolivia dan setelah meletus pulanglah "para konsultan politi tersebut kenegaranya."

Buzzer, mereka gak peduli akan cara buzzer dan simpatisan akan berbea Buzzer seperti konsultan konsultan politik itu,tujuannya menangkan paslonna dengan cara apapun serang satu paslon angkat paslon lainnya, persatuan an utuhnya bangsa bukanlah tujuan mereka BAYARAN dan duitlah tujuan akhir para buzzer.

Aktor-aktor politik Indonesia membayar para pemberi pengaruh media sosial untuk menyebarkan propaganda menjelang pemilihan umum negara tahun 2019, dalam praktik yang berkembang yang diyakini banyak orang telah memperkuat perpecahan politik dan agama di negara ini.

Beberapa laporan menunjuk pada lusinan influencer ini, yang disebut sebagai "buzzers", yang bekerja dalam kerumunan untuk membanjiri media sosial dengan propaganda politik untuk mempengaruhi hasil pemilu.

Menurut penelitian oleh Pusat Kebijakan Inovasi dan Tata Kelola, buzzers mulai digunakan untuk mempromosikan kepentingan politik pada tahun 2014, dan digunakan secara luas untuk menyebarkan propaganda selama pemilihan presiden tahun itu.

Buzzers sering bekerja sendiri atau sebagai bagian dari upaya terkoordinasi untuk menyebarkan pesan, tertarik dengan pembayaran besar untuk suka dan saham mereka di media sosial.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa semua kandidat dalam pemilihan gubernur Jakarta 2017 menggunakan tim buzzer untuk menyebarkan pesan kampanye viral.

Segerombolan penonton memainkan peran penting dalam kampanye pemilihan yang memecah belah yang menyematkan gubernur Kristen Cina Basuki Tjahaja Purnama, yang dikenal sebagai "Ahok," terhadap dua pesaing Muslim.

Pemilihan dilakukan dengan ketegangan agama yang memuncak setelah diedit segmen pidato yang dibuat oleh Ahok menampilkan ayat-ayat Alquran yang menyebar seperti api di media sosial. Akibatnya, Ahok kehilangan jabatannya dan dipenjara karena penistaan ​​terhadap Islam.


 Beberapa outlet, termasuk The Guardian dan The Australian Broadcasting Corporation, telah melaporkan peningkatan jumlah buzzer yang muncul di lanskap digital selama beberapa tahun terakhir.

Sebuah sumber mengatakan kepada Guardian bahwa menjelang pemilu 2017 di Jakarta, sebuah tim yang terdiri lebih dari 20 orang bekerja sebagai bagian dari “tentara cyber rahasia” yang mengecam pesan-pesan di media sosial untuk mendukung Ahok selama kampanye pemilihan ulangnya.

Menurut sumber itu, setiap anggota timnya memiliki 11 akun media sosial, dan akan menghasilkan hingga 2.400 posting di Twitter per hari.

Sebagian besar adalah pendukung Ahok dan mahasiswa yang tertarik dengan bayaran sekitar $ AS280 per bulan, meskipun buzzers yang berpengaruh bisa mendapatkan $ AS400 untuk satu posting, menurut laporan itu.

"Mereka memberi tahu kami bahwa Anda harus memiliki lima akun Facebook, lima akun Twitter, dan satu Instagram," katanya kepada Guardian. Upaya dikoordinasikan melalui layanan pesan terenkripsi seperti WhatsApp.


 Tetapi pihak berwenang mulai menangkap


Pihak berwenang sudah mulai memperhatikan karena masih merajalela di lanskap politik Indonesia.

Awal tahun ini, polisi melakukan serangkaian penangkapan terhadap jaringan cyber-jihad yang memproklamirkan diri yang dikenal sebagai Muslim Cyber ​​Army (MCA), yang menurut penyelidikan Guardian menggunakan akun semi-otomatis dan bel untuk mendorong berita palsu dan menyebarkan berita politik yang memfitnah. konten.

Laporan tersebut mengungkapkan bahwa MCA terkait dengan beberapa partai oposisi, dan diyakini telah didanai oleh setidaknya satu entitas dengan pengaruh politik.

Michael Sianapar, Direktur Partai Solidaritas Indonesia (PSI), mengatakan kepada Australian Broadcasting Corporation bahwa manipulasi politik massa hanya semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir.

“Media sosial adalah alat [elit politik] yang sekarang telah dikuasainya ... yang merugikan masyarakat. Kita harus menguasainya kembali, ”katanya.
Orang-orang memperhatikan dengan seksama saat pemilihan baru akan berlangsung
Pemilihan IndonesiaAditya Irawan / NurFoto melalui Getty Images
Kandidat oposisi Prabowo Subianto menyapa para pendukungnya di Jakarta setelah mendaftar untuk pemilihan umum 2019, pada 10 Agustus 2018.

Musim pemilihan telah dimulai di 31 provinsi di Indonesia, termasuk empat provinsi terpadat di negara ini. Negara ini akan mengadakan pemilihan umum pada bulan April 2019, dan kampanye berjalan lancar.

Namun rumor dan perpecahan agama terus mendominasi lanskap politik Indonesia.

Rahmat Effendi, terpilih kembali sebagai walikota Bekasi di Jawa Barat pada bulan Juli, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa sebelum pemilihan lokal, gosip tentang afiliasi agamanya berdengung di seluruh pemilih.

"Ada rumor dan cerita palsu yang menyebar dari masjid ke masjid bahwa saya akan membangun 500 gereja dan perang salib akan terjadi," kata Effendi kepada Al Jazeera.

"Tapi kami bertindak cepat bersama polisi untuk menangkap mereka yang bertanggung jawab menyebarkan kebohongan."

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.