TRAGEDY NANKING PEMBANTAIAN OLEH JEPANG PADA CHINA
SETIAP tanggal 18 September, masyarakat China memperingati Insiden Mukden, salah satu titik dalam sejarah yang membuat hubungan antara China dan Jepang terganjal hingga hari ini. Insiden itu menandai masa-masa kelam dalam sejarah panjang China, yang harus ”takluk” berulang kali pada Kekaisaran Jepang di periode akhir abad ke-19 hingga akhir Perang Dunia II. Insiden Mukden menjadi tonggak sejarah penting ”penghinaan” Jepang terhadap China, di samping tragedi Pemerkosaan Nanking, Desember 1937.
Insiden, yang oleh surat kabar Jepang Yomiuri Shimbun tahun 2006 diakui sebagai dampak perilaku agresif kaum militan ultrakanan Jepang, tersbutmenjadi dasar agresi rezim fasis Jepang waktu itu. Agresi itu dilancarkan untuk mencaplok wilayah Dong Bei (secara harfiah bermakna timur laut) di kawasan Manchuria, China utara, yang kaya sumber daya alam, seperti batubara dan bijih besi. Pada 18 September 1931, militer Jepang merekayasa peledakan jalur kereta api di dekat Mukden (sekarang Shenyang) dan kemudian menyebut peledakan itu sebagai perbuatan ”bandit-bandit China”.
Jepang menganggap insiden itu membahayakan kepentingan ekonomi dan politik Jepang karena jalur kereta api itu dimiliki perusahaan Jepang. Jepang pun segera mengirim bala tentara ke Manchuria yang disikapi pemerintahan nasionalis China di bawah Chiang Kai Shek dengan protes kepada Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Peringatan LBB agar Jepang menarik mundur tentaranya dari Manchuria tak diindahkan. Agresi Manchuria itu menandai awal pendudukan Jepang atas China, yang diwarnai dengan perilaku agresif dan kejam tentara fasis Jepang. Salah satu catatan yang mengerikan adalah perlombaan memenggal penduduk China di antara dua letnan Jepang seusai pertempuran.
Puncak kekejaman Jepang di China adalah Pemerkosaan Nanking, 13 Desember 1937. Dalam bukunya, The Rape of Nanking, penulis dan sejarawan Iris Chang menyebutkan, sekitar 300.000 orang tewas dibunuh selama enam minggu ”pesta kekejian” militer Jepang. Dalam Pengadilan Kejahatan Perang di Tokyo disebutkan, 42.000 orang dibunuh di dalam kota Nanking, ibu kota China waktu itu, dan 100.000 orang dibunuh di sekitar kota.
Sebagian besar perempuan dewasa dan anak diperkosa, lalu dibunuh dengan dirusak organ seksualnya. Perilaku agresif Jepang itu mengundang kecaman dunia, dari Amerika, Eropa, hingga Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda. Kartunis Herge dalam komik Tintin seri Lotus Biru menggambarkan rekayasa Jepang dalam Insiden Mukden tersebut.
Penulis Amerika, Pearl S Buck, berulang kali menuliskan karya yang isinya simpati kepada China yang dibelah kolonial Eropa dan Jepang. Dalam buku Memoir Ang Jang Goan, pendiri Rumah Sakit Jang Seng Ie (kini Rumah Sakit Husada, Jakarta), yang diterbitkan Yayasan Nation Building, diceritakan betapa Ang Jang Goan dan kawan-kawan di Palang Merah Jang Seng Ie mengumpulkan dana kemanusiaan untuk membantu China menghadapi agresi fasisme militer Jepang. Sejarawan Didi Kwartanada mengatakan, sesudah Insiden Mukden, solidaritas warga Tionghoa dan Peranakan di Hindia- Belanda untuk melawan Jepang semakin kuat. Tahun 1937,
Dokter Tjipto Mangunkusumo pun berulang kali mengecam fasisme Jepang yang menjadi bahaya di Pasifik. Ingatan terhadap kekejaman dan kekejian fasisme Jepang tersebut terus terbawa hingga kini saat China telah memiliki kekuatan ekonomi dan militer besar. Itu sebabnya emosi masih mudah mendidih dalam setiap konflik dengan Jepang, seperti dalam sengketa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku sepekan terakhir.
Pembantaian Nanking adalah kebrutalan dan kekejaman yang dilakukan oleh militer Jepang di China.
Namun selama ini, kasus ini ditutup-tutupi oleh pihak Jepang hingga akhirnya dilupakan dunia.
Padahal dilansir dari learning-history.com, kejahatan ini terjadi sebelum dan selama Perang Dunia II. Sekitar dari awal 1930-an hingga 1945.
Kisah dimulai sejak tahun 1928, di mana Pemerintah Nasionalis Chinamemindahkan ibukota China dari Peking ke Nanking.
Kota yang biasanya mampu menampung 250.000 orang itu populasinya semakin membludak hingga lebih dari 1 juta orang pada pertengahan 1930-an.
Hal ini karena banyaknya pengungsi yang melarikan diri dari tentara Jepang yang telah menyerbu China sejak 1931.
Pada 11 November 1937, setelah mengamankan kendali Shanghai, tentara Jepang maju ke arah Nanking dari berbagai arah.
Dengan segera mereka melancarkan serangan besar-besaran hingga membuat pasukan China mundur ke sisi lain Sungai Yangtze.
Pada 13 Desember, Divisi ke-6 dan ke-116 Angkatan Darat Jepang pertama kalinya mulai memasuki kota.
Pada saat yang sama, Divisi ke-9 memasuki Gerbang Guanghua, dan Divisi ke-16 memasuki Gerbang Zhongshan serta Gerbang Pasifik.
Nanking jatuh ke tangan Jepang pada Desember 1937 dan dalam enam minggu ke depan, Jepang melakukan Pembantaian Nanking.
Pada aksi keji ini, sekitar 300.000 serdadu dan warga sipil China tewas, dan 20.000 wanita diperkosa.
Tragedi di Sungai Yangtze
Pada 13 Desember, sejumlah besar pengungsi mencoba melarikan diri dari Jepang dengan mencoba menyeberangi Sungai Yangtze.
Namun karena terjebak dan tidak adanya transportasi, pasukan Jepang menembaki orang-orang di sungai.
Diperkirakan ada lebih dari 50.000 orang tewas dalam insiden tragis.
Ketika pasukan Jepang pertama kali memasuki kota pada tanggal 13, jalan-jalan dipenuhi dengan lebih dari 100.000 pengungsi atau tentara China yang terluka.
Jepang tanpa henti menembaki orang-orang ini sampai keesokan paginya, tank dan artileri memasuki kota dan pembunuhan terus berlanjut.
Eksekusi massal terhadap tawanan
Sejumlah besar tentara China telah ditangkap di daerah pinggiran kota sebelum Jepang memasuki kota.
Dalam banyak kasus, para tawanan ditembak oleh senapan mesin, dan mereka yang masih hidup dieksekusi secara individual.
Dalam beberapa kasus, ada juga yang dibakar hidup-hidup dalam lumuran bensin atau diberi gas beracun.
Kekejaman ekstrim
Diperkirakan 20.000 wanita diperkosa oleh tentara Jepang selama enam minggu dalam Pembantaian Nanking.
Jepang menjarah semua gudang dan menyita hampir semuanya dari warga sipil.
Mereka juga mengorganisir pembakaran gedung-gedung di kota.
Kekejian itu terungkap antara lain dari penelitian wartawan dan oleh pengakuan dari tentara-tentara Jepang itu sendiri pada 1971.
Namun hal itu ditepis dan terjadi gelombang penolakan terhadap pembantaian.
Pada tahun 1982, Departemen Pendidikan Jepang memulai kampanye untuk mengubah penyajian sejarah Perang Dunia II.
Pembantaian Nanking digambarkan sebagai insiden kecil yang terjadi karena tentara Jepang terlalu frustrasi oleh perlawanan yang kuat dari Tentara China.
Selain itu, Departemen Pendidikan tidak pernah mengakui bahwa distorsi sejarah adalah suatu kesalahan.
Bahkan pada 10 November 1990, ketika terjadi protes oleh orang-orang China-Amerika terhadap tindakan Jepang.
Wakil Konsul Jepang di Houston menyatakan: "Pembantaian Nanking tidak pernah terjadi."
Insiden, yang oleh surat kabar Jepang Yomiuri Shimbun tahun 2006 diakui sebagai dampak perilaku agresif kaum militan ultrakanan Jepang, tersbutmenjadi dasar agresi rezim fasis Jepang waktu itu. Agresi itu dilancarkan untuk mencaplok wilayah Dong Bei (secara harfiah bermakna timur laut) di kawasan Manchuria, China utara, yang kaya sumber daya alam, seperti batubara dan bijih besi. Pada 18 September 1931, militer Jepang merekayasa peledakan jalur kereta api di dekat Mukden (sekarang Shenyang) dan kemudian menyebut peledakan itu sebagai perbuatan ”bandit-bandit China”.
Jepang menganggap insiden itu membahayakan kepentingan ekonomi dan politik Jepang karena jalur kereta api itu dimiliki perusahaan Jepang. Jepang pun segera mengirim bala tentara ke Manchuria yang disikapi pemerintahan nasionalis China di bawah Chiang Kai Shek dengan protes kepada Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Peringatan LBB agar Jepang menarik mundur tentaranya dari Manchuria tak diindahkan. Agresi Manchuria itu menandai awal pendudukan Jepang atas China, yang diwarnai dengan perilaku agresif dan kejam tentara fasis Jepang. Salah satu catatan yang mengerikan adalah perlombaan memenggal penduduk China di antara dua letnan Jepang seusai pertempuran.
Puncak kekejaman Jepang di China adalah Pemerkosaan Nanking, 13 Desember 1937. Dalam bukunya, The Rape of Nanking, penulis dan sejarawan Iris Chang menyebutkan, sekitar 300.000 orang tewas dibunuh selama enam minggu ”pesta kekejian” militer Jepang. Dalam Pengadilan Kejahatan Perang di Tokyo disebutkan, 42.000 orang dibunuh di dalam kota Nanking, ibu kota China waktu itu, dan 100.000 orang dibunuh di sekitar kota.
Sebagian besar perempuan dewasa dan anak diperkosa, lalu dibunuh dengan dirusak organ seksualnya. Perilaku agresif Jepang itu mengundang kecaman dunia, dari Amerika, Eropa, hingga Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda. Kartunis Herge dalam komik Tintin seri Lotus Biru menggambarkan rekayasa Jepang dalam Insiden Mukden tersebut.
Penulis Amerika, Pearl S Buck, berulang kali menuliskan karya yang isinya simpati kepada China yang dibelah kolonial Eropa dan Jepang. Dalam buku Memoir Ang Jang Goan, pendiri Rumah Sakit Jang Seng Ie (kini Rumah Sakit Husada, Jakarta), yang diterbitkan Yayasan Nation Building, diceritakan betapa Ang Jang Goan dan kawan-kawan di Palang Merah Jang Seng Ie mengumpulkan dana kemanusiaan untuk membantu China menghadapi agresi fasisme militer Jepang. Sejarawan Didi Kwartanada mengatakan, sesudah Insiden Mukden, solidaritas warga Tionghoa dan Peranakan di Hindia- Belanda untuk melawan Jepang semakin kuat. Tahun 1937,
Dokter Tjipto Mangunkusumo pun berulang kali mengecam fasisme Jepang yang menjadi bahaya di Pasifik. Ingatan terhadap kekejaman dan kekejian fasisme Jepang tersebut terus terbawa hingga kini saat China telah memiliki kekuatan ekonomi dan militer besar. Itu sebabnya emosi masih mudah mendidih dalam setiap konflik dengan Jepang, seperti dalam sengketa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku sepekan terakhir.
Pembantaian Nanking adalah kebrutalan dan kekejaman yang dilakukan oleh militer Jepang di China.
Namun selama ini, kasus ini ditutup-tutupi oleh pihak Jepang hingga akhirnya dilupakan dunia.
Padahal dilansir dari learning-history.com, kejahatan ini terjadi sebelum dan selama Perang Dunia II. Sekitar dari awal 1930-an hingga 1945.
Kisah dimulai sejak tahun 1928, di mana Pemerintah Nasionalis Chinamemindahkan ibukota China dari Peking ke Nanking.
Kota yang biasanya mampu menampung 250.000 orang itu populasinya semakin membludak hingga lebih dari 1 juta orang pada pertengahan 1930-an.
Hal ini karena banyaknya pengungsi yang melarikan diri dari tentara Jepang yang telah menyerbu China sejak 1931.
Pada 11 November 1937, setelah mengamankan kendali Shanghai, tentara Jepang maju ke arah Nanking dari berbagai arah.
Dengan segera mereka melancarkan serangan besar-besaran hingga membuat pasukan China mundur ke sisi lain Sungai Yangtze.
Pada 13 Desember, Divisi ke-6 dan ke-116 Angkatan Darat Jepang pertama kalinya mulai memasuki kota.
Pada saat yang sama, Divisi ke-9 memasuki Gerbang Guanghua, dan Divisi ke-16 memasuki Gerbang Zhongshan serta Gerbang Pasifik.
Nanking jatuh ke tangan Jepang pada Desember 1937 dan dalam enam minggu ke depan, Jepang melakukan Pembantaian Nanking.
Pada aksi keji ini, sekitar 300.000 serdadu dan warga sipil China tewas, dan 20.000 wanita diperkosa.
Tragedi di Sungai Yangtze
Pada 13 Desember, sejumlah besar pengungsi mencoba melarikan diri dari Jepang dengan mencoba menyeberangi Sungai Yangtze.
Namun karena terjebak dan tidak adanya transportasi, pasukan Jepang menembaki orang-orang di sungai.
Diperkirakan ada lebih dari 50.000 orang tewas dalam insiden tragis.
Ketika pasukan Jepang pertama kali memasuki kota pada tanggal 13, jalan-jalan dipenuhi dengan lebih dari 100.000 pengungsi atau tentara China yang terluka.
Jepang tanpa henti menembaki orang-orang ini sampai keesokan paginya, tank dan artileri memasuki kota dan pembunuhan terus berlanjut.
Eksekusi massal terhadap tawanan
Sejumlah besar tentara China telah ditangkap di daerah pinggiran kota sebelum Jepang memasuki kota.
Dalam banyak kasus, para tawanan ditembak oleh senapan mesin, dan mereka yang masih hidup dieksekusi secara individual.
Dalam beberapa kasus, ada juga yang dibakar hidup-hidup dalam lumuran bensin atau diberi gas beracun.
Kekejaman ekstrim
Diperkirakan 20.000 wanita diperkosa oleh tentara Jepang selama enam minggu dalam Pembantaian Nanking.
Jepang menjarah semua gudang dan menyita hampir semuanya dari warga sipil.
Mereka juga mengorganisir pembakaran gedung-gedung di kota.
Kekejian itu terungkap antara lain dari penelitian wartawan dan oleh pengakuan dari tentara-tentara Jepang itu sendiri pada 1971.
Namun hal itu ditepis dan terjadi gelombang penolakan terhadap pembantaian.
Pada tahun 1982, Departemen Pendidikan Jepang memulai kampanye untuk mengubah penyajian sejarah Perang Dunia II.
Pembantaian Nanking digambarkan sebagai insiden kecil yang terjadi karena tentara Jepang terlalu frustrasi oleh perlawanan yang kuat dari Tentara China.
Selain itu, Departemen Pendidikan tidak pernah mengakui bahwa distorsi sejarah adalah suatu kesalahan.
Bahkan pada 10 November 1990, ketika terjadi protes oleh orang-orang China-Amerika terhadap tindakan Jepang.
Wakil Konsul Jepang di Houston menyatakan: "Pembantaian Nanking tidak pernah terjadi."
Post a Comment