IR. SUTAMI MENTERI YANG TAK MAMPU BAYAR LISTRIK
Sutami, Menteri yang Tak Mampu Bayar Listrik. (Kisah Inspiratif)
Lancarnya mudik, berkat jalan yang juga baik. Ada jalan peninggalan
pemerintahan yang lalu, juga ada hasil kerja Pak Basuki Hadimuljono
sebagai menteri PUR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) saat ini.
Proyeknya
banyak, tersebar di seluruh penjuru tanah air: jalan, waduk, jembatan,
saluran irigasi, perumahan, rumah susun dan terowongan. Melibatkan uang
ratusan dengan huruf T besar di depannya. Semuanya lancar. Mulus. Tak
terdengar gosip miring. Dan Pak Bas, selalu tampil sederhana tapi
profesional. Ia paham benar apa yang ditanganinya.
Ah,
saya jadi ingat Pak Tami. Lengkapnya: Ir. Sutami. Menteri hebat jaman
old. Orangnya agak kurus. Rambutnya tebal. Senyumnya khas, ramah.
Kulitnya hitam, karena ia memang orang lapangan tulen yang selalu kerja
keras dan terjemur matahari.
Sama seperti Pak Bas, Pak Tami juga menteri Pekerjaan Umum.
Tapi,
ini dia, Pak Tami adalah pemegang rekor menteri PU terlama sejak negara
ini berdiri! 13,5 tahun, enam kabinet, dua presiden! Sulit untuk
menandingi.
Lalu, apa hebatnya Pak Sutami?
Begini.
Biasanya suatu rezim berganti, pemimpin yang baru akan mengganti SEMUA
jajaran yang bekerja di bawahnya. Tapi, tidak untuk Pak Tami. Ia tetap
dibawa serta.
Pak Sukarno lengser,
penggantinya -Suharto-tetap memasang insinyur lulusan ITB itu sebagai
Menteri PU. Tentu saja ia istimewa. Ya, pasti. Ini prestasinya:
Usia
33 tahun pria kelaihran Solo 19 Oktober 1928 ini menyempurnakan teknik
konstruksi yang dikenal dengan sebutan ‘prestressed-concentrate’.
Mudahnya:
memberi lanjaran baja, bisa satu, bisa juga banyak, berjajar, sebelum
melakukan pengecoran. Baja ini tersimpan aman dalam pipa. Fungsinya,
sebagai urat yang menguatkan beton cor.
Karena itu, jembatan beton dengan rentang 50 meter lebih, tanpa tiang, tak mudah ambrol.
Ide
ini brilyan, karena Pak Sutami memang dikenal pintar. Tak heran,
Sukarno mengangkatnya jadi menteri PU, pada kabinet Dwikora 1 pada tahun
1964, saat usianya baru 36 tahun!
Jembatan
Semanggi, waduk Jatiluhur, jembatan Ampera di sungai Musi,
menyelesaikan pembangunan gedung DPR dengan atap lekungnya yang khas
tanpa jebol, membantu mengkalkulasi patung Pancoran, tugu pembebasan
Irian Barat yang dikhawatirkan akan rontok tapi Pak Tami bilang: “aman”
(dan nyatanya sampai sekarang aman), bandara Ngurai Rai, Bali. Ratusan
jalur irigasi sawah dan ratusan jalan, termasuk tol Jagorawi.
Jembatan
Semanggi yang dibuat sejak 1961, paling heroik. Karena, saat peresmian,
semua ngeri melihat lengkungan jembatan beton terbentang tanpa tiang.
Takut ambruk.
Menjawab keraguan, Pak
Tami dengan heroiknya menaiki mobil dinasnya dan berhenti tepat di
tengah jembatan, tak terjadi apa-apa, bahkan sampai sekarang!
PLTA
Maninjau di Sumatera Barat juga fenomenal. Banyak yang ragu bisa
terwujud mengingat medannya terjal. Tapi pembangkit itu bisa selesai
tepat waktu. Saking girangnya, Pak Tami sampai menggendong si pemimpin
proyek!
Pak Sutami tak suka hingar
bingar kemewahan. Bekerja dalam senyap ciri khasnya. Para wartawan yang
mengikutinya pernah mengeluh, karena diajak blusukan meninjau proyek
waduk hingga harus jalan enam jam!
Acara
peresmian proyek yang kelewat meriah juga harus diwaspadai, bisa jadi
ada kebusukan yang berusaha ditutupi. Dalam suatu peresmian jalan,
tiba-tiba mobilnya belok menuju jalan aspal yang baru dibuat. Ia turun
dan menginjak kuat-kuat lapisan aspal pinggir jalan, ternyata ambrol. Ia
mengkalkulasi, ambrol di bagian sini pasti juga jebol di tempat lain.
Artinya, ada aturan yang dilanggar! Pak menteri naik mobil dinasnya
lagi, pulang ke Jakarta, tak peduli pesta sudah disiapkan, ia marah
bukan main!
Dalam suatu ‘open house’
Lebaran, di akhir-akhir masa jabatannya, saat koleganya mendatanginya
sebagai penghormatan kepada menteri senior, barulah orang paham siapa
sesungguhnya Pak Sutami: atap rumah dinasnya bocor di sana-sini dan ia
tak lapor untuk perbaikan, “biar saja, dananya bisa dipakai buat yang
lain dulu” katanya.
Rumah pribadinya
di Solo aliran listriknya pernah hampir diputus PLN karena ia tak kuat
bayar iurannya. Pak Sutami benar-benar hidup mengandalkan gajinya saja,
agaknya tak tersisa dana untuk rumah di Solo.
Anggaran
di departemennya paling banyak. Tapi Pak Tami tetap lurus, jujur dan
sederhana. Bisa jadi karena ia kerap berpuasa dan tirakat semenjak
remaja.
Rumah pribadinya di Jakarta
ia beli dengan cara mencicil. Ketika pensiun ia tak memiliki mobil
pribadi! Seorang menteri purna tugas tak punya mobil!
Saat
sakit dan meninggal di usia muda, 52 tahun karena lever, petugas negara
yang mau menyelesaikan rekening rumah sakitnya dibuat kaget karena uang
muka ternyata sudah dibayar Pak Tami pakai dana pribadi.
Ia berpesan pada anaknya, Dewi Susilowati, “seorang pejabat tidak boleh menuntut, tak boleh meminta-minta”
Post a Comment