PAK KARNO DAN POLITIK SUMBERDAYA ALAM INDONESIA
“Dunia akan bertekuk lutut kepada siapa yang punya
minyak, Inilah bangsa Indonesia, Indonesia punya minyak, punya pasar.
Jadi minyak itu dikuasai penuh oleh orang Indonesia untuk orang
Indonesia, lalu dari minyak kita ciptakan pasar-pasar dimana orang
Indonesia menciptakan kemakmurannya sendiri”—Bung Karno
Berakhirnya perang kemerdekaan, yang ditandai dengan pengakuan kedaulatan diakhir tahun 1949, bukan berarti akhir dari revolusi Indonesia. Setidaknya demikian lah pandangan beberapa kelompok politik nasional. Mengapa? Karena meskipun secara politik-formil telah merdeka, namun dalam aspek ekonomi, cengkeraman kekuatan neo-kolonial masih begitu kuat. Cengkeraman neo-kolonialisme itu juga terasa di sektor energi, yang ditandai oleh masih berlangsungnya ‘penghisapan’ sumberdaya energi nasional oleh korporasi-korporasi asing dengan berlandaskan regulasi produk era kolonial Belanda.
Pemerintahan Bung Karno yang menjadi ‘nahkoda’ negara Indonesia merdeka bertekad mengakhiri warisan buruk kolonial di sektor energi. Kenyataannya, upaya merebut kembali sumberdaya yang telah dikuasai asing selama puluhan bahkan ratusan tahun tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Penentangan dari berbagai pihak, baik internal maupun eksternal, mewarnai upaya Bung Karno dan pemerintahannya untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip ekonomi ‘berdiri diatas kaki sendiri’ (berdikari) dalam pengelolaan sumber daya energi Indonesia.
Penentangan dan Dukungan
Penentangan internal datang dari beberapa kelompok yang pro-modal asing seperti Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan sebagian kalangan militer. Disisi lain, kelompok nasionalis progresif dan komunis (PKI) menginginkan likuidasi sistem ekonomi neo-kolonial dipercepat melalui nasionalisasi aset asing. Manifestasi dari tuntutan kelompok kedua ini adalah pengambilalihan Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU) milik korporasi asal Belanda, Shell, di Sumatera oleh kalangan buruh progresif.
Gerakan pengambilalihan tersebut disambut pemerintah Bung Karno dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 34/1956 yang melegitimasi pengambilalihan TMSU dari tangan Shell. Berdasarkan PP tersebut, penguasaan TMSU diserahkan pada pemerintah Indonesia dan pengelolaannya dilakukan oleh sebuah badan hukum yang dibentuk Menteri Perekonomian atas wewenang yang diberikan pemerintah. Memasuki dekade 1960, nama TMSU dirubah menjadi Perusahaan Minyak Nasional (Permina).
NasionalisasI TMSU segera disusul dengn pengambilalihan NV. Nederlands Indische Aardolie Maatschappij (NIAM) yang juga dimiliki Belanda. Nama perusahaan Belanda tersebut dirubah berdasarkan Undang-undang (UU) No. 19 Prp. tahun 1960 tentang Perusahaan Negara dan UU No. 44 Prp. tahun 1960 tentang Minyak dan Gas Alam (Migas) menjadi PT. Permindo. Ditahun 1961, Permindo berubah nama kembali menjadi PT.Pertamin dengan merujuk pada PP No. 3/1961.
Pengambilalihan tambang minyak milik korporasi Belanda ini rupanya juga membuat gentar korporasi negara lainnya yang juga telah ‘menyedot’ minyak bumi Indonesia, khususnya di Sumatera. Amerika Serikat (AS) yang punya satu Multi Nasional Corporation (MNC) nya, Caltex, juga mempunyai beberapa kilang minyak di Sumatera merasa terancam dengan tindakan pemerintahan Bung Karno itu.
Sabotase politik dan ekonomi dengan cara meniupkan gerakan separatis, seperti dalam kasus Pemerintahan Revolusiner Republik Indonesia (PRRI), pun dilakukan AS yang bersekutu dengan kelompok militer daerah, PSI dan Masyumi. Dalam momen inilah penentangan internal bergabung dengan penentangan eksternal guna menghentikan pelaksanaan prinsip-prinsip berdikari dalam pengelolaan industri minyak nasional.
Disisi lain, Bung Karno, yang disokong kaum nasionalis progresif, PKI dan pimpinan militer di level pusat sama sekali tidak gentar menghadapi situasi keruh tersebut. Ia malah berseru “Jangan Dengarkan Asing!!”, ketika berpidato sepulangnya dari kunjungan kenegaraan ke AS ditahun 1957.
Sebelumnya, ditahun 1956, Bung Karno juga pernah mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:
“Dulu Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya untuk menguasai Tarakan, untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politik, tapi soal bagaimana menjadikan manusia yang didalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya”.
Jadi, Bung Karno sadar betul bahwasanya Indonesia memiliki resources luar biasa di sektor energi senantiasa menjadi incaran ekpansionis asing. Maka, memasuki tahun 1960, politik anti neo-kolonialisme dan imperialisme (Nekolim) yang dijalankan Bung Karno dalam industri minyak makin menghebat. Ketika Sang Proklamator ingin menyusun kebijakan energi yang mandiri bersama dengan Perdana Menteri Djuanda dengan berlandaskan Pasal 33 UUD 1945 yang telah dipulihkan kedudukannya sebagai konstitusi negara melalui Dekrit 5 Juli 1959, ia berbicara begini:
“Kamu tahu, sejak 1932 aku berpidato di depan Landraad soal modal asing ini? soal bagaimana perkebunan-perkebunan itu dikuasai mereka, jadi Indonesia ini tidak hanya berhadapan dengan kolonialisme tapi berhadapan dengan modal asing yang memperbudak bangsa Indonesia, saya ingin modal asing ini dihentikan, dihancurleburkan dengan kekuatan rakyat, kekuatan bangsa sendiri, bangsaku harus bisa maju, harus berdaulat di segala bidang, apalagi minyak kita punya, coba kau susun sebuah regulasi agar bangsa ini merdeka dalam pengelolaan minyak” .
Berdasarkan instruksi tersebut, Djuanda menyusun suatu UU tentang Migas yang kemudian disetujui oleh Bung Karno. UU itu dikenal sebagai UU No. 44/tahun 1960. Substansi dari UU itu adalah pemberian kewenangan bagi negara atau perusahaan negara untuk mengelola seluruh sumberdaya minyak dan gas alam. Negara atau perusahaan negara menjadi satu-satunya pemegang kuasa pertambangan migas.
Pada UU tersebut juga ditegaskan kewenangan Kementerian Keuangan dalam menunjuk kontraktor yang akan melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan oleh negara atau perusahaan negara selaku pemegang tunggal hak kuasa pertambangan. Jadi, korporasi-korporasi asing yang ketika itu telah memiliki areal konsesi migas di Indonesia seperti Shell, Stanvac dan Caltex menyandang ‘status’ baru menjadi sekedar kontraktor di blok migas milik perusahaan negara.
Modal Nasional
Pemberlakuan UU No. 44/1960 kontan membuat gusar pihak asing, dalam hal ini negara-negara Barat yang sangat berkepentingan menguasai sektor energi Indonesia. Mereka pun berusaha membujuk Bung Karno untuk membatalkan UU itu.
Pada awal 1963, pimpinan tiga korporasi asing yakni Stanvac, Caltex dan Shell mendatangi Bung Karno di Istana dengan satu maksud; meminta Bung Karno membatalkan UU No.40/1960! Bung Karno pun menjawab permintaan itu dengan tegas,
“Undang-Undang itu aku buat untuk membekukan UU lama dimana UU lama merupakan sebuah fait accomply atas keputusan energi yang tidak bisa menasionalisasikan perusahaan asing. UU 1960 itu kubuat agar mereka tau, bahwa mereka bekerja di negeri ini harus membagi hasil yang adil kepada bangsaku, bangsa Indonesia”
Bung Karno tetap tidak goyah terhadap tuntutan itu. Ia malah menawarkan sistem pembagian keuntungan 60:40, yang berarti 60% laba produksi bagi Indonesia dan 40 % bagi kontraktor asing kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Disamping itu, perusahaan migas asing diwajibkan memenuhi kebutuhan pasar domestik dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah.
Bahkan, Caltex diperintahkan menyerahkan 53% hasil minyaknya ke Permina untuk proses penyulingan, memberikan fasilitas distribusi kepada pemerintah serta menyerahkan kapital dalam bentuk dollar bagi kepentingan investasi jangka panjang bagi Permina.
Begitulah keberanian ‘Putra Sang Fajar’ ketika berhadapan korporasi asing. Ia berani melawan kepentingan asing di bisnis migas dengan memegang teguh prinsip berdikarinya. Pengelolaan migas secara berdikari masa itu mengantarkan Indonesia menjadi anggota organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) di tahun 1962.
Selain itu, Bung Karno ternyata memiliki cita-cita besar bagi pembangunan sektor energi negeri ini. Ia bercita-cita membangun Permina sebagai perusahaan negara yang kuat dan bisa menjadi katalisator bagi perusahaan-perusahaan negara lainnya melalui apa yang dinamakan struktur modal nasional. Modal Nasional atau disebut oleh sebagian pihak sebagai Dana Revolusi Soekarno ini nantinya akan menjadi modal akuisisi ekonomi di level global. Jadi, Bung Karno telah memiliki rancangan besar bagi Permina dan juga perusahaan negara lainnya untuk menjadi ‘pemain ulung’ di tingkat global, hingga akhirnya dapat berekspansi atau mengakuisisi perusahaan-perusahaan dari negara lain.
Namun, kenyataan berbicara lain. Kemelut politik tahun 1965 yang dilanjutkan dengan ‘kudeta merangkak’ tahun 1966 menggagalkan cita-cita besar sang Proklamator. Alhasil, sejak era Orde Baru hingga kini pengelolaan energi Indonesia kembali mengulang tata kelola corak kolonial, ketika produksi minyak nasional didominasi pengelolaannya oleh korporasi asing. Dampaknya Indonesia menjelma menjadi importir minyak yang selalu ‘kalang kabut’ tiap kali harga minyak dunia naik drastis, dikala negara-negara penghasil minyak lainnya justru ‘kebanjiran’ profit akibat naiknya harga hidrokarbon tersebut.
Sementara negara-negara lain semacam China, Singapura dan Malaysia justru kian menunjukkan ‘taring’nya dalam percaturan ekonomi dunia dengan menggunakan ‘resep’ Bung Karno tentang struktur modal nasional. Perusahaan negara semacam Temasek (Singapura) dan Petronas (Malaysia) kini bisa berekspansi dan mengakusisi perusahaan di beberapa negara,termasuk Indonesia. Disisi lain, Pertamina justru ‘mati’ dikandang sendiri sebagai akibat kebijakan liberalisasi dari hulu hingga hilir dalam bisnis migas negeri ini.
Karena itu, gerakan ‘banting stir’ kembali pada Pasal 33 UUD 1945 yang asli merupakan solusi konkret untuk memulihkan kedaulatan bangsa ini atas sumberdaya energi sekaligus melanjutkan pembangunan ekonomi nasional secara berdikari, sebagaimana yang dicita-citakan Bung Karno.
Berakhirnya perang kemerdekaan, yang ditandai dengan pengakuan kedaulatan diakhir tahun 1949, bukan berarti akhir dari revolusi Indonesia. Setidaknya demikian lah pandangan beberapa kelompok politik nasional. Mengapa? Karena meskipun secara politik-formil telah merdeka, namun dalam aspek ekonomi, cengkeraman kekuatan neo-kolonial masih begitu kuat. Cengkeraman neo-kolonialisme itu juga terasa di sektor energi, yang ditandai oleh masih berlangsungnya ‘penghisapan’ sumberdaya energi nasional oleh korporasi-korporasi asing dengan berlandaskan regulasi produk era kolonial Belanda.
Pemerintahan Bung Karno yang menjadi ‘nahkoda’ negara Indonesia merdeka bertekad mengakhiri warisan buruk kolonial di sektor energi. Kenyataannya, upaya merebut kembali sumberdaya yang telah dikuasai asing selama puluhan bahkan ratusan tahun tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Penentangan dari berbagai pihak, baik internal maupun eksternal, mewarnai upaya Bung Karno dan pemerintahannya untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip ekonomi ‘berdiri diatas kaki sendiri’ (berdikari) dalam pengelolaan sumber daya energi Indonesia.
Penentangan dan Dukungan
Penentangan internal datang dari beberapa kelompok yang pro-modal asing seperti Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan sebagian kalangan militer. Disisi lain, kelompok nasionalis progresif dan komunis (PKI) menginginkan likuidasi sistem ekonomi neo-kolonial dipercepat melalui nasionalisasi aset asing. Manifestasi dari tuntutan kelompok kedua ini adalah pengambilalihan Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU) milik korporasi asal Belanda, Shell, di Sumatera oleh kalangan buruh progresif.
Gerakan pengambilalihan tersebut disambut pemerintah Bung Karno dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 34/1956 yang melegitimasi pengambilalihan TMSU dari tangan Shell. Berdasarkan PP tersebut, penguasaan TMSU diserahkan pada pemerintah Indonesia dan pengelolaannya dilakukan oleh sebuah badan hukum yang dibentuk Menteri Perekonomian atas wewenang yang diberikan pemerintah. Memasuki dekade 1960, nama TMSU dirubah menjadi Perusahaan Minyak Nasional (Permina).
NasionalisasI TMSU segera disusul dengn pengambilalihan NV. Nederlands Indische Aardolie Maatschappij (NIAM) yang juga dimiliki Belanda. Nama perusahaan Belanda tersebut dirubah berdasarkan Undang-undang (UU) No. 19 Prp. tahun 1960 tentang Perusahaan Negara dan UU No. 44 Prp. tahun 1960 tentang Minyak dan Gas Alam (Migas) menjadi PT. Permindo. Ditahun 1961, Permindo berubah nama kembali menjadi PT.Pertamin dengan merujuk pada PP No. 3/1961.
Pengambilalihan tambang minyak milik korporasi Belanda ini rupanya juga membuat gentar korporasi negara lainnya yang juga telah ‘menyedot’ minyak bumi Indonesia, khususnya di Sumatera. Amerika Serikat (AS) yang punya satu Multi Nasional Corporation (MNC) nya, Caltex, juga mempunyai beberapa kilang minyak di Sumatera merasa terancam dengan tindakan pemerintahan Bung Karno itu.
Sabotase politik dan ekonomi dengan cara meniupkan gerakan separatis, seperti dalam kasus Pemerintahan Revolusiner Republik Indonesia (PRRI), pun dilakukan AS yang bersekutu dengan kelompok militer daerah, PSI dan Masyumi. Dalam momen inilah penentangan internal bergabung dengan penentangan eksternal guna menghentikan pelaksanaan prinsip-prinsip berdikari dalam pengelolaan industri minyak nasional.
Disisi lain, Bung Karno, yang disokong kaum nasionalis progresif, PKI dan pimpinan militer di level pusat sama sekali tidak gentar menghadapi situasi keruh tersebut. Ia malah berseru “Jangan Dengarkan Asing!!”, ketika berpidato sepulangnya dari kunjungan kenegaraan ke AS ditahun 1957.
Sebelumnya, ditahun 1956, Bung Karno juga pernah mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:
“Dulu Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya untuk menguasai Tarakan, untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politik, tapi soal bagaimana menjadikan manusia yang didalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya”.
Jadi, Bung Karno sadar betul bahwasanya Indonesia memiliki resources luar biasa di sektor energi senantiasa menjadi incaran ekpansionis asing. Maka, memasuki tahun 1960, politik anti neo-kolonialisme dan imperialisme (Nekolim) yang dijalankan Bung Karno dalam industri minyak makin menghebat. Ketika Sang Proklamator ingin menyusun kebijakan energi yang mandiri bersama dengan Perdana Menteri Djuanda dengan berlandaskan Pasal 33 UUD 1945 yang telah dipulihkan kedudukannya sebagai konstitusi negara melalui Dekrit 5 Juli 1959, ia berbicara begini:
“Kamu tahu, sejak 1932 aku berpidato di depan Landraad soal modal asing ini? soal bagaimana perkebunan-perkebunan itu dikuasai mereka, jadi Indonesia ini tidak hanya berhadapan dengan kolonialisme tapi berhadapan dengan modal asing yang memperbudak bangsa Indonesia, saya ingin modal asing ini dihentikan, dihancurleburkan dengan kekuatan rakyat, kekuatan bangsa sendiri, bangsaku harus bisa maju, harus berdaulat di segala bidang, apalagi minyak kita punya, coba kau susun sebuah regulasi agar bangsa ini merdeka dalam pengelolaan minyak” .
Berdasarkan instruksi tersebut, Djuanda menyusun suatu UU tentang Migas yang kemudian disetujui oleh Bung Karno. UU itu dikenal sebagai UU No. 44/tahun 1960. Substansi dari UU itu adalah pemberian kewenangan bagi negara atau perusahaan negara untuk mengelola seluruh sumberdaya minyak dan gas alam. Negara atau perusahaan negara menjadi satu-satunya pemegang kuasa pertambangan migas.
Pada UU tersebut juga ditegaskan kewenangan Kementerian Keuangan dalam menunjuk kontraktor yang akan melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan oleh negara atau perusahaan negara selaku pemegang tunggal hak kuasa pertambangan. Jadi, korporasi-korporasi asing yang ketika itu telah memiliki areal konsesi migas di Indonesia seperti Shell, Stanvac dan Caltex menyandang ‘status’ baru menjadi sekedar kontraktor di blok migas milik perusahaan negara.
Modal Nasional
Pemberlakuan UU No. 44/1960 kontan membuat gusar pihak asing, dalam hal ini negara-negara Barat yang sangat berkepentingan menguasai sektor energi Indonesia. Mereka pun berusaha membujuk Bung Karno untuk membatalkan UU itu.
Pada awal 1963, pimpinan tiga korporasi asing yakni Stanvac, Caltex dan Shell mendatangi Bung Karno di Istana dengan satu maksud; meminta Bung Karno membatalkan UU No.40/1960! Bung Karno pun menjawab permintaan itu dengan tegas,
“Undang-Undang itu aku buat untuk membekukan UU lama dimana UU lama merupakan sebuah fait accomply atas keputusan energi yang tidak bisa menasionalisasikan perusahaan asing. UU 1960 itu kubuat agar mereka tau, bahwa mereka bekerja di negeri ini harus membagi hasil yang adil kepada bangsaku, bangsa Indonesia”
Bung Karno tetap tidak goyah terhadap tuntutan itu. Ia malah menawarkan sistem pembagian keuntungan 60:40, yang berarti 60% laba produksi bagi Indonesia dan 40 % bagi kontraktor asing kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Disamping itu, perusahaan migas asing diwajibkan memenuhi kebutuhan pasar domestik dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah.
Bahkan, Caltex diperintahkan menyerahkan 53% hasil minyaknya ke Permina untuk proses penyulingan, memberikan fasilitas distribusi kepada pemerintah serta menyerahkan kapital dalam bentuk dollar bagi kepentingan investasi jangka panjang bagi Permina.
Begitulah keberanian ‘Putra Sang Fajar’ ketika berhadapan korporasi asing. Ia berani melawan kepentingan asing di bisnis migas dengan memegang teguh prinsip berdikarinya. Pengelolaan migas secara berdikari masa itu mengantarkan Indonesia menjadi anggota organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) di tahun 1962.
Selain itu, Bung Karno ternyata memiliki cita-cita besar bagi pembangunan sektor energi negeri ini. Ia bercita-cita membangun Permina sebagai perusahaan negara yang kuat dan bisa menjadi katalisator bagi perusahaan-perusahaan negara lainnya melalui apa yang dinamakan struktur modal nasional. Modal Nasional atau disebut oleh sebagian pihak sebagai Dana Revolusi Soekarno ini nantinya akan menjadi modal akuisisi ekonomi di level global. Jadi, Bung Karno telah memiliki rancangan besar bagi Permina dan juga perusahaan negara lainnya untuk menjadi ‘pemain ulung’ di tingkat global, hingga akhirnya dapat berekspansi atau mengakuisisi perusahaan-perusahaan dari negara lain.
Namun, kenyataan berbicara lain. Kemelut politik tahun 1965 yang dilanjutkan dengan ‘kudeta merangkak’ tahun 1966 menggagalkan cita-cita besar sang Proklamator. Alhasil, sejak era Orde Baru hingga kini pengelolaan energi Indonesia kembali mengulang tata kelola corak kolonial, ketika produksi minyak nasional didominasi pengelolaannya oleh korporasi asing. Dampaknya Indonesia menjelma menjadi importir minyak yang selalu ‘kalang kabut’ tiap kali harga minyak dunia naik drastis, dikala negara-negara penghasil minyak lainnya justru ‘kebanjiran’ profit akibat naiknya harga hidrokarbon tersebut.
Sementara negara-negara lain semacam China, Singapura dan Malaysia justru kian menunjukkan ‘taring’nya dalam percaturan ekonomi dunia dengan menggunakan ‘resep’ Bung Karno tentang struktur modal nasional. Perusahaan negara semacam Temasek (Singapura) dan Petronas (Malaysia) kini bisa berekspansi dan mengakusisi perusahaan di beberapa negara,termasuk Indonesia. Disisi lain, Pertamina justru ‘mati’ dikandang sendiri sebagai akibat kebijakan liberalisasi dari hulu hingga hilir dalam bisnis migas negeri ini.
Karena itu, gerakan ‘banting stir’ kembali pada Pasal 33 UUD 1945 yang asli merupakan solusi konkret untuk memulihkan kedaulatan bangsa ini atas sumberdaya energi sekaligus melanjutkan pembangunan ekonomi nasional secara berdikari, sebagaimana yang dicita-citakan Bung Karno.
Post a Comment