KITA BUKAN MAKELAR KAVLINGAN SYURGA
Aktivitas membeli surga adalah diantara fenomena cukup ngetrend mewabah frekuensi gelombang kemajemukan simbolis religius bangsa kita dasawarsa ini. Identiknya, ironisme berasumsi bisa menyuap Malaikat Rokib sang pencacat amal ibadah, sekalian(berasumsi bisa) mengelabuhi Malaikat Atid sang pencatat segala macam kemaksiatan seluruh makhluk itu.
Hemat saya(pribadi). Hal itu, adalah geliat pragmatisme ibadah, konsekuensi dari dilematis(beragama) bagi Muslimin dalam menghadapi kompleksnya fenomena tantangan globalisasi.
Esensinya, sebagai pelarian akibat semakin terpuruknya kualitas istiqomah(kontinuitas) beribadah, sedangkan aktivitas hidupannya over dosis memuja harta(hedonisme). Mereka(pelaku) panik, dan sedikit menyadari telah terpolusinya keimanannya. Maka maraklah aktivitas membeli surga, dianggap jalur pintas untuk menjauhi neraka.
Kroposnya akar-akar Islam di lapangan Ibadah, baik vertikal(kepada Allah) maupun horisontal(sesama ummat beragama), adalah resiko dominan dari komoditas surga. Faktor utamanya, mereka(pelaku) berpikir pragmatis, bahwa dalam konteks ibadah cukup mengeluarkan sebagian duitnya saja. Naifnya lagi, sering tanpa memperdulikan uang halal atau haram. Menggelikannya, banyak orang berceletuk : "Berbuat demikian itu lebih baik, daripada sama sekali tidak beramal ".
Marak para koruptor-pecandu mengeruk duit rakyat itu, atau artis(tak terkecuali artis bintang porno), mempublikasikan diri melalui berbagai media massa(yang dikontraknya), mereka berebut membangun megah masjid-masjid atau menyantuni para yatim piatu.
Seolah-olah mereka adalah "teladan beribadah bagi segenap Muslimin. Padahal selain unsur membeli surga, juga sering adanya faktor politis(bagi para koruptor) dan komersialis(mencari penggemar) bagi para artis. Jelaslah fenomena-fenoma tidak prosedural atau jauh dari autentisitas ibadah.
Kaveling Surga
Esensi Ibadah
Saya tidak bermaksud menjadi "sales surga". Tetapi, esensialitas persoalannya, perspektif hukum fiqih, empat madzahib fuqoha ahlissunnah waljama'ah(Hambali, Maliki Hanafi, Syafii) konsesus(ittifaq) bahwa generalitas dalam beribadah : Selain ada rukun yang dilaksanakan, juga sebelum memulai ibadah terlebih dulu harus memperhatikan terhadap syarat-syaratnya.
Selain ada syarat diwajibankannya(beribadah), utamanya harus memenuhi syarat syah, agar sesuai prosedur (ibadah)nya menjadi syah.
Apakan sesuai prosedur, mencuci lantai masjid dengan air kencing? Menyantuni para anak yatim dengan uang hasil korupsi? Atau membangun pesantren dengan uang hasil memamerkan aurat badan di berbagai media massa? Jelas tidak, bukan? Sesuai Qowaid al-Fiqh : al-Ashlu baqou ma kana ala makana(hukum sesuatu hal, itu sesuai dengan kondisi asalnya). Umpamanya, uang haram dijariahkan ke masjid, maka tetap haramlah hukum menyalurkan duit(haram) itu.
Sedekah atau dermawan, memang dianjurkan. Namun dengan harta haram, dalam konteks ibadah, hal itu hanya melaksanakan rukun, sedangkan menafikan syarat(ibadah) tentunya menyebabkan tidak syah.
Dan memang, harta itu, hisabnya(pertanggung jawaban di hadapan Allah) dua hal ; dari mana(dengan cara apa, pen) diperoleh, dan untuk apa dipergunakan. (HR. at-Tirmidzi dari Abu Barzah R.A.). Maka, tidak tepat, menjadikan hal haram atau subhat itu, sebagai argumentasi "untuk mencari modal" beribadah. Bukankah sangat banyak jalan untuk mencari rezeki sekaligus tanpa mencampakkan konstitusi(syariat) Ilahi?
Pun autentisitas total ibadah(bertakwa) bukanlah berorientasi meraih surga atau menjauhi neraka. Tapi Li-Allahi Taala(karena Allah Taala) murni menjalankan kewajiban hamba atas perintah Kholiq(Sang Pencipta).
Bila beribadah orientasinya masuk surga-menjauhi neraka, otomatis signifikan mengikis kualitas orisinilitas ibadah. Perspektif Tauhid adalah termasuk asy-Syirku al-Asghor(bagian dari penyekutuan kepada Allah SWT).
Efek Samping
Kompfleksnya sistem media informasi, berperan aktif menularkan hedonisme. Kenaifan itu pun telah kronis mewabah ke plosok-plosok. Kini di daerah-daerah pun telah "ngetrend" terjangkit virus "Menyuap Malaikat-Membeli Surga". Berujung semakin terpinggirkannya implementasi kualitas ibadah. Fenomenanya, mereka mau menyumbangkan materi untuk pembangunan masjid, namun berat untuk melangkahkan kaki sholat berjamaah ke masjid. Atau marak pula(orang-orang daerah) gemar menyumbangkan duit untuk acara-acara pengajian/majlis talim, namun enggan mengikuti pengajian di majlis yang didonasinya itu. Lebih parahnya, untuk golongan(orang daerah) semacam ini, sering berasumsi :"bahwa pendidikan bukanlah(lagi) hal terpenting dalam kehidupan manusia.
Utamanya memandang negatif kepada komunitas pelajar jurusan agama(Islam) karena dianggap tidak prospektif menghasilkan bongkahan-bongkahan materi". Meskipun realitasnya, terdapat jutaan orang-orang bergelar "sarjana ekonomi plus" berstatus pengangguran. Namun belum juga terbuka mata hati kaum hedonis itu.
Bagi mereka, yang terpenting adalah : "Bagaimana putra-putrinya secepat mungkin bisa meraup materi, misalnya berdagang, dengan tanpa membutuhkan pendidikan tinggi, toh ijazah pun(utamanya ijazah pendidikan agama) tidak menjamin masa depan". Itulah yang ada dibenak mereka. Sungguh naif! Ironisme mewabah adalah, dengan berprinsip" demikian itu, mereka pun sering ditemukan meninggalkan fardu ain(kewajiban personal) seperti sholat lima waktu dan atau puasa Ramadan. Dominan sibuk dengan aktivitas duniawi.
Inilah, diantara imbas hedonisme(pemuja harta). Terkesan "berprinsip": Boleh berpuas-puas berbuat dosa dengan kemewahan harta, termasuk cara(haram) memperoleh hartanya. Toh, dengan harta itu, akan mampu menyuap malaikat sekaligus membeli surga! . Sungguh memilukan! Firman Allah Taala, (QS. Asy-Syu'araa': 88-89), akan datang suatu hari: "Yaitu pada hari di mana tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih."
Insya Allah Taala, dengan ketakwaan. Manusia akan diberi rahmat dijauhkan dari neraka dan dimasukkan surga oleh Dzat Maha Segalanya, yang "staffNya"(para malaikat) itu tidak bisa dikelabuhi dengan rekayasa fatamorgana materi. Dan memang, surga tidak bisa "dibeli"(dengan materi).
Ilmiahnya. Melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan Allah SWT sesuai orisinilitas syariatNya, itulah esensi dari kehidupan manusia berperadaban untuk estafet meraih honoris causa takwa. Sekaligus upaya prosedural "menyuap Malaikat-Membeli Surga!"
Hemat saya(pribadi). Hal itu, adalah geliat pragmatisme ibadah, konsekuensi dari dilematis(beragama) bagi Muslimin dalam menghadapi kompleksnya fenomena tantangan globalisasi.
Esensinya, sebagai pelarian akibat semakin terpuruknya kualitas istiqomah(kontinuitas) beribadah, sedangkan aktivitas hidupannya over dosis memuja harta(hedonisme). Mereka(pelaku) panik, dan sedikit menyadari telah terpolusinya keimanannya. Maka maraklah aktivitas membeli surga, dianggap jalur pintas untuk menjauhi neraka.
Makelar Surga Para artis dan para koruptor, yang mulutnya sering meletup-letup memproklamirkan diri katanya cinta agama, mayoritas -untuk dimaksud tidak semuanya-- mereka itulah Makelar surga paling berpengaruh. Mempromosikan kepada publik, bahwa surga adalah komoditas bisa diraih dengan bermodal materi. Kalaulah hal itu dianggap ibadah sampingan, tentu tidak masalah. Ironisnya mengesampingkan esensialitas ibadah kepada Allah SWT. Memang, dalam hati kecilnya, mereka pun mungkin takut atas dosa-dosanya(?). Namun magnet godaan setan dengan umpan fatamorgana duniawi eksis lebih kuat mengalahkan keimanannya.
Kroposnya akar-akar Islam di lapangan Ibadah, baik vertikal(kepada Allah) maupun horisontal(sesama ummat beragama), adalah resiko dominan dari komoditas surga. Faktor utamanya, mereka(pelaku) berpikir pragmatis, bahwa dalam konteks ibadah cukup mengeluarkan sebagian duitnya saja. Naifnya lagi, sering tanpa memperdulikan uang halal atau haram. Menggelikannya, banyak orang berceletuk : "Berbuat demikian itu lebih baik, daripada sama sekali tidak beramal ".
Marak para koruptor-pecandu mengeruk duit rakyat itu, atau artis(tak terkecuali artis bintang porno), mempublikasikan diri melalui berbagai media massa(yang dikontraknya), mereka berebut membangun megah masjid-masjid atau menyantuni para yatim piatu.
Seolah-olah mereka adalah "teladan beribadah bagi segenap Muslimin. Padahal selain unsur membeli surga, juga sering adanya faktor politis(bagi para koruptor) dan komersialis(mencari penggemar) bagi para artis. Jelaslah fenomena-fenoma tidak prosedural atau jauh dari autentisitas ibadah.
Kaveling Surga
Perspektif Tauhid(ilmu ketuhanan) adalah hak perogratif Allah SWT untuk membagi kebijakan sifat Rakhman dan Rakhim-Nya. Siapa yang akan dimasukkan ke surga atau neraka? Sesuai dengan keagungan Qudroth dan Irodath-Nya.
Entah ahli ibadah atau pecandu berbuat dosa, bahkan Muslim atau Kafir sekalipun? Menentukan masuk surga atau neraka adalah hak otoritas Tuhan yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun!
"Dia(Allah) mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu" (QS 5:18).
Sekali lagi, biarlah Allah SWT menentukan otoritas Rakhman-Rakhim-Nya kepada segenap makhlukNya. Adalah kesalahan fatal, bila ada manusia bermaksud "mengaveling surga", apalagi hanya dengan mengandalkan seonggok harta. Dan sedikitpun manusia tidak ada kelayakan ber-action jadi "agen surga".
Esensi Ibadah
Saya tidak bermaksud menjadi "sales surga". Tetapi, esensialitas persoalannya, perspektif hukum fiqih, empat madzahib fuqoha ahlissunnah waljama'ah(Hambali, Maliki Hanafi, Syafii) konsesus(ittifaq) bahwa generalitas dalam beribadah : Selain ada rukun yang dilaksanakan, juga sebelum memulai ibadah terlebih dulu harus memperhatikan terhadap syarat-syaratnya.
Selain ada syarat diwajibankannya(beribadah), utamanya harus memenuhi syarat syah, agar sesuai prosedur (ibadah)nya menjadi syah.
Apakan sesuai prosedur, mencuci lantai masjid dengan air kencing? Menyantuni para anak yatim dengan uang hasil korupsi? Atau membangun pesantren dengan uang hasil memamerkan aurat badan di berbagai media massa? Jelas tidak, bukan? Sesuai Qowaid al-Fiqh : al-Ashlu baqou ma kana ala makana(hukum sesuatu hal, itu sesuai dengan kondisi asalnya). Umpamanya, uang haram dijariahkan ke masjid, maka tetap haramlah hukum menyalurkan duit(haram) itu.
Sedekah atau dermawan, memang dianjurkan. Namun dengan harta haram, dalam konteks ibadah, hal itu hanya melaksanakan rukun, sedangkan menafikan syarat(ibadah) tentunya menyebabkan tidak syah.
Dan memang, harta itu, hisabnya(pertanggung jawaban di hadapan Allah) dua hal ; dari mana(dengan cara apa, pen) diperoleh, dan untuk apa dipergunakan. (HR. at-Tirmidzi dari Abu Barzah R.A.). Maka, tidak tepat, menjadikan hal haram atau subhat itu, sebagai argumentasi "untuk mencari modal" beribadah. Bukankah sangat banyak jalan untuk mencari rezeki sekaligus tanpa mencampakkan konstitusi(syariat) Ilahi?
Pun autentisitas total ibadah(bertakwa) bukanlah berorientasi meraih surga atau menjauhi neraka. Tapi Li-Allahi Taala(karena Allah Taala) murni menjalankan kewajiban hamba atas perintah Kholiq(Sang Pencipta).
Bila beribadah orientasinya masuk surga-menjauhi neraka, otomatis signifikan mengikis kualitas orisinilitas ibadah. Perspektif Tauhid adalah termasuk asy-Syirku al-Asghor(bagian dari penyekutuan kepada Allah SWT).
Efek Samping
Kompfleksnya sistem media informasi, berperan aktif menularkan hedonisme. Kenaifan itu pun telah kronis mewabah ke plosok-plosok. Kini di daerah-daerah pun telah "ngetrend" terjangkit virus "Menyuap Malaikat-Membeli Surga". Berujung semakin terpinggirkannya implementasi kualitas ibadah. Fenomenanya, mereka mau menyumbangkan materi untuk pembangunan masjid, namun berat untuk melangkahkan kaki sholat berjamaah ke masjid. Atau marak pula(orang-orang daerah) gemar menyumbangkan duit untuk acara-acara pengajian/majlis talim, namun enggan mengikuti pengajian di majlis yang didonasinya itu. Lebih parahnya, untuk golongan(orang daerah) semacam ini, sering berasumsi :"bahwa pendidikan bukanlah(lagi) hal terpenting dalam kehidupan manusia.
Utamanya memandang negatif kepada komunitas pelajar jurusan agama(Islam) karena dianggap tidak prospektif menghasilkan bongkahan-bongkahan materi". Meskipun realitasnya, terdapat jutaan orang-orang bergelar "sarjana ekonomi plus" berstatus pengangguran. Namun belum juga terbuka mata hati kaum hedonis itu.
Bagi mereka, yang terpenting adalah : "Bagaimana putra-putrinya secepat mungkin bisa meraup materi, misalnya berdagang, dengan tanpa membutuhkan pendidikan tinggi, toh ijazah pun(utamanya ijazah pendidikan agama) tidak menjamin masa depan". Itulah yang ada dibenak mereka. Sungguh naif! Ironisme mewabah adalah, dengan berprinsip" demikian itu, mereka pun sering ditemukan meninggalkan fardu ain(kewajiban personal) seperti sholat lima waktu dan atau puasa Ramadan. Dominan sibuk dengan aktivitas duniawi.
Inilah, diantara imbas hedonisme(pemuja harta). Terkesan "berprinsip": Boleh berpuas-puas berbuat dosa dengan kemewahan harta, termasuk cara(haram) memperoleh hartanya. Toh, dengan harta itu, akan mampu menyuap malaikat sekaligus membeli surga! . Sungguh memilukan! Firman Allah Taala, (QS. Asy-Syu'araa': 88-89), akan datang suatu hari: "Yaitu pada hari di mana tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih."
Insya Allah Taala, dengan ketakwaan. Manusia akan diberi rahmat dijauhkan dari neraka dan dimasukkan surga oleh Dzat Maha Segalanya, yang "staffNya"(para malaikat) itu tidak bisa dikelabuhi dengan rekayasa fatamorgana materi. Dan memang, surga tidak bisa "dibeli"(dengan materi).
Ilmiahnya. Melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan Allah SWT sesuai orisinilitas syariatNya, itulah esensi dari kehidupan manusia berperadaban untuk estafet meraih honoris causa takwa. Sekaligus upaya prosedural "menyuap Malaikat-Membeli Surga!"
Post a Comment